Category: ngibul

  • [Ngibul #7] Minum Air Putih

    author = Bagus Panuntun

    Coba luangkan sejenak waktumu, ambil gawaimu, buka instagram-mu, menujulah ke kolom pencarian dan ketikkan tagar #ComeBex. Selanjutnya simak sejenak foto-foto yang muncul dari tagar tersebut. Maka kau akan melihat sosok lelaki berkacamata dengan jidat bersih nan lebar, kulit kuning langsat, bermata sipit, lalu berambut panjang gimbal.

    Ia adalah Subex, mahasiswa Sejarah UGM, head crew band parodi Sastro Moeni, juga kawan saya yang sejak minggu lalu dipastikan mengalami gagal ginjal dan musti menjalani terapi cuci darah dua kali seminggu. Duka menyeruak ketika kabar tersebut datang begitu mendadak. Dua minggu sebelumnya, saya masih terbahak ketika kawan-kawan memberinya julukan baru “candi” sebab hobi barunya mendekam diam di kamar selama berbulan-bulan. Seminggu sebelumnya, saya mendengar kabar bahwa Subex sengaja menjadi “candi” untuk merenungkan skripsinya mengenai sejarah perdagangan kopra di kepulauan Talaud.

    Tiga hari sebelumnya, saya dibuat kagum sekaligus terkejut mendengar kabar bahwa ia telah mengelarkan bab 2-nya. Siapapun yang mengenal Subex tentu paham bahwa menyelesaikan bab 2 adalah sebuah pencapaian luar biasa untuk seorang yang lebih kerap menggulung kabel dan datang ke gigs indie dibanding membaca buku dan masuk ke ruang kuliah. Akan tetapi tepat pada Kamis minggu lalu, tersebarlah kabar bahwa Subex positif gagal ginjal, dan lebih ironisnya kabar itu jatuh tepat pada tanggal 9 Maret yang merupakan peringatan Hari Ginjal Sedunia.

    Kabar sakitnya Subex yang awalnya hanya diketahui beberapa gelintir orang lantas menyebar begitu cepat seiring bertambahnya foto dan hashtag #ComeBex yang merupakan modifikasi dari terma #ComeBack, sebuah ungkapan yang akhir-akhir ini dimaknai para pecinta sepak bola sebagai “bangkit kembali setelah jatuh”.

    Berawal dari satu, menjadi sepuluh, menjadi seratus, lalu menjadi seribu, simpati pada Subex pun terus mengalir. Setelah hashtag #ComeBex, berikutnya hadir pula charity “Cuci Darah untuk Subex”, dan selang beberapa hari kemudian aksi solidaritas untuk Subex pun digelar di Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Budaya, dan Fakultas Filsafat UGM dengan campaign #minumairputih. Dan dari campaign #minumairputih inilah sebenarnya kita dapat belajar banyak hal.

    Semua orang tentu tahu bahwa air memang sangat penting bagi tubuh. Akan tetapi, nyatanya masih banyak di antara kita, terlebih para mahasiswa dan kelas pekerja, yang kelewat abai pada hal tersebut.

    Berapa gelas air yang biasa kita minum dalam sehari?

    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya jika kita menjawab dahulu pertanyaan ini “Berapa gelas air yang sebaiknya kita minum dalam sehari?”. Sebagian besar orang mungkin akan dengan mantap menjawab “8 gelas air atau 2 liter !”. Padahal, saran umum tersebut adalah bentuk salah kaprah yang brutal. Nyatanya, penelitian terbaru yang dilakukan International Marathon Medical Directors Association (IMMDA) menyarankan agar kita mengkonsumsi air minum hanya pada saat kita merasa haus dan dahaga. Konsumsilah air minum secukupnya, yaitu tidak lebih dari 0.03 liter per kg berat badan. Jadi, misalnya kita memiliki berat badan 100 kg, maka konsumsilah air minum kurang lebih 3 liter per hari. Heinz Valtin, spesialis ginjal dari Dartmouth Medical School, juga mengatakan bahwa saran umum minum 8 gelas air per hari sebenarnya sama sekali tidak benar. Ia lebih jauh lagi mengingatkan bahwa minum air dalam jumlah terlalu banyak justru dapat menyebabkan hiponatremia yaitu kondisi di mana jumlah air dalam tubuh berlebihan sehingga ia akan masuk ke dalam sel-sel tubuh dan menyebabkan pembengkakan otak.

    Kembali ke pertanyaan sebelumnya, “Berapa gelas air yang biasa kita minum dalam sehari?”. Kemudian mari kita tambahi dengan pertanyaan, “Sudah tepatkah?”. Jika sejak membaca tulisan ini kita sadar bahwa selama ini kita minum air dengan cara yang kurang tepat, maka mulailah meminum dengan takaran yang tepat. Saya sendiri selama ini meminum lebih dari 10 gelas air per hari. Bagaimana bisa? Ya bisa, wong saya baru mengetahui penelitian dari IMMDA dan Heinz Valtin ketika proses menulis artikel ini. Hehehehe…

    Berapa kali kita menunda mengisi galon yang sudah habis?

    Seringkali kita begitu berat kaki melangkah ke depo air minum isi ulang yang jaraknya paling hanya beberapa kilometer dari rumah. Malasnya orang mengisi ulang galon saya kira setara dengan malasnya orang ikut jamaah subuh. Padahal berdasarkan pengalaman pribadi, telat mengisi galon akan berdampak pada berkurangnya secara drastis jumlah air yang kita minum. Bukankah kencing kita biasanya kekuningan tepat pada momen ketika kita kehabisan air di galon? Parahnya lagi, kita terus menundanya sampai akhirnya kita merasa bak di gurun sahara: kerongkongan kerontang, kepala nyut-nyutan, penglihatan berkunang-kunang.

    Dan pertanyaan terakhir, “Berapa kali kita enggan memesan air putih di rumah makan sebab merasa gengsi atau setidaknya nggak enak hati?”.

    Perihal terakhir ini saya kira menjadi perihal yang paling membuat hati masygul. Tentu itu bukan semata kesalahan kita. Akhir-akhir ini saya mengamati semakin banyak kafe, kedai, rumah makan, atau restoran yang sengaja menghapus air putih dari daftar menu minumnya. Saya punya pengalaman yang buruk terkait hal ini. Suatu hari, saya pernah janjian dengan seorang teman di sebuah kafe dekat kampus. Malam itu saya hanya membawa uang dua belas ribu rupiah. Pas, tidak kurang tidak lebih. Sebab teman saya belum datang dan waitress kafe sudah menghampiri, saya pun memilih untuk memesan makanan terlebih dahulu dengan menu makanan yang harganya tak lebih dari dua belas ribu namun tetap dapat membuat perut kenyang. Alhasil, saya pun memesan Indomie goreng telur yang harganya tepat sejumlah uang yang saya bawa dan meminta tambahan air putih supaya makan saya tetap nikmat tanpa keseretan. Namun betapa kaget dan wirangnya saya ketika waitress tersebut tiba-tiba menagih uang sebesar tujuh belas ribu rupiah.

    “Lho, kan Indomie telur cuma dua belas ribu mbak?”,

    “Iya mas, tambahan air mineral botolnya 5.000 rupiah”,

    “Saya nggak mau air botolan mbak. Saya minta air segelas kecil aja.”,

    “Maaf mas, nggak ada, adanya air mineral botol”,

    “Segelas aja nggak bisa mbak?”,

    “Maaf mas, nggak ada..”,

    Beneran mbak?”

    “Iya mas, nggak ada”

    Nggak ada mbahmu koprol, la njuk piye le mu ngecor kopi kalau air nggak ada?”, batin saya emosi. Namun apa daya, akhirnya saya mengalah dan jadilah malam itu saya mengubah menu jadi Indomie rebus telur. Kalau keseretan, paling tidak saya bisa minum kuahnya.

    Fenomena penghapusan menu air putih sebenarnya pernah menimbulkan kontroversi di Amerika. Kontroversi tersebut dimulai dari sebuah campaign  Coca Cola bertajuk “Cap the Tap” atau “Matikan Keran”, yang merupakan ajakan bagi restoran-restoran di Amerika untuk mematikan keran restoran (di Amerika, air keran bisa langsung diminum) dan memberi pelatihan bagi para pegawai untuk memberikan tawaran alternatif seperti air mineral botol (Ingat, Coca-cola memiliki brand air mineral botol bernama Dasani), teh hijau, diet soda, atau smoothies. Campaign tersebut tentu saja dilakukan dengan demi motif profit semata. Akan tetapi, campaign tersebut segera ditentang banyak pihak.

    Sebuah petisi bahkan muncul di forcechange.com untuk mengajak warga Amerika menolak campaign “Cap the Tap”. Alasan penolakan tersebut pun bukan hanya didasari alasan kesehatan saja, namun juga motif ekonomi di mana disebutkan bahwa air kran telah membantu warga Amerika menjaga dompetnya.

    Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Adakah tanda-tanda penolakan terhadap kebijakan semacam itu? Saya kira sulit. Kebijakan semacam itu bahkan kini nampak merambah ke warung-warung pinggiran yang dahulu nampak membumi dan sederhana.  Bukankah kita sering melihat aa’ warung burjo atau bapak warung soto bermuka masam kala kita memesan air putih?.

    Ini mungkin agak merepotkan, namun daripada kita sering merasa kehausan atau kekurangan cairan di tengah aktivitas yang padat, alangkah baiknya jika kita mulai rajin membawa air minum dari rumah di manapun kita berada. Setidaknya jika kita sedang bokek dan tidak ingin memesan minuman berbayar, kita bisa mengurangi probabilitas meminum kuah Indomie atau mendapati muka masam bapak penjual soto.

    Kembali pada campaign #minumairputih yang dilakukan teman-teman UGM, nampaknya lagi-lagi kita musti banyak belajar dalam memandang kehidupan. Mendengar kabar tentang seorang karib yang musti melewatkan 12 jam per minggu bersama mesin dialiser, selang panjang merah-biru bernama CDL, juga jarum suntik sebesar ekor capung ciwet tentu membuat duka, pilu, pahit, getir, juga prihatin segera mengendap. Namun larut dalam kesedihan saja toh pada akhirnya tak membantu apa-apa. Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa pernah menulis “Kehidupan ini seimbang tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.” Dan begitulah campaign #minumairputih bisa hadir di tengah kita meski berawal dari sakitnya Subex.

    Jika pada akhirnya campaign tersebut dapat menyebar begitu luas dan membuat kita banyak belajar, saya kira semua itu tidak berawal dari rasa peduli kawan-kawan Subex, namun bermuara dari sosok Subex sendiri, sosok yang senantiasa mau berteman dengan siapa saja.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Bagus Panuntun
    Pelapak buku di instagram @warungsastra, yang pada mulanya ia beri nama @jualbukutereliye
  • [Ngibul #69] Pelajaran dari Memilih Buku Anak

    author = Andreas Nova

    “Papa, itu buku apa?” Tanya anak saya ketika kami sama-sama membaca buku di sebuah ruang di rumah kami.

    “Oh, ini buku Papa” jawab saya sembari menunjukkan buku berisi penuh tulisan.

    “Buku Papa tidak bagus, tidak ada gambarnya” balas anak saya sembari kembali berkutat dengan bukunya.

    Anak saya berusia dua setengah tahun. Belum bisa membaca, namun memiliki ketertarikan dengan buku. Bukunya lebih awet dari pada mainannya yang sering mengalami kerusakan pertama dalam hitungan jam. Ia selalu meminta saya menyampul bukunya dengan plastik mika, agar sama dengan buku-buku yang saya miliki.

    Setiap bulan, saya meluangkan waktu dan menganggarkan isi dompet untuk membelikannya dua buah buku. Kadang kalau tidak menemukan buku yang menarik, ia hanya mengambil satu buah buku. Menarik, tentu saja bukan dilihat dari blurb yang ada di sampul belakang, juga bukan karena penulis atau tertarik pada judulnya. Sekali lagi, anak saya berusia dua setengah tahun dan belum bisa membaca. Ia memilih dengan melihat ilustrasi sampul depan.

    Buku bergambar tokoh dalam animasi Tayo the Little Bus atau Robocar Poli, sudah hampir pasti masuk dalam wishlist anak saya. Saya pernah mencoba menunjukkan buku Kisah Mitologi Yunani untuk Anak-Anak. Namun, anak saya tidak tertarik. Padahal gaya tulisan di buku itu cukup sederhana, diksinya mudah dimengerti anak, kalimat-kalimatnya tidak panjang, cocok untuk anak yang sudah sedikit bisa membaca. Ukuran hurufnya cukup besar, ada ilustrasi di dalamnya. Enaklah kalau dibaca anak atau dibacakan kepada anak sebelum tidur.

    “Adek mau beli buku ini?” Tanya saya sembari menunjukkan buku Kisah Mitologi Yunani untuk Anak-Anak itu.

    Ia kemudian membuka buku itu (tentu saja saya menunjukkan buku sampel yang tidak bersegel plastik), melihat-lihat isinya sebentar.

    “Tidak mau Papa.” Jawabnya.

    “Lho, kenapa? Kan bukunya bagus? Ada gambarnya juga.” Tanya saya balik.

    “Ini ada gambar monster. Takut.” Katanya sembari menunjuk Hidra (iya, yang dimaksud itu Hydra, tapi barangkali karena ditujukan untuk anak-anak ditulis seperti itu) yang sedang bertarung dengan Herkules.

    “Lho tapi ini kan ada masnya yang mau mengalahkan monsternya,” saya mencoba mendongengkan spoiler dengan menunjukkan ilustrasi Herkules yang melawan Hidra.

    “Lihat, monsternya kalah nih.” Lanjut saya sembari menunjukkan ilustrasi Hidra yang sudah ditaklukkan Herkules.

    “Kalah karena ditembak? Masnya tidak bawa tembak (pistol), Papa?” Tanyanya memberikan harapan untuk tertarik pada buku ini.

    “Ngg… jaman dahulu belum ada tembak. Lihat masnya bawa pedang.” Saya menunjukan pedang yang dibawa Herkules.

    “Pedang itu apa?” Lalu saya teringat, ia belum tahu konsep pedang, dan di film yang pernah dia tonton bersama saya paling hanya ketika menyaksikan serial Voltron yang memunculkan senjata pedang. Itupun hanya satu kali nonton.

    “Pedang itu senjata. Seperti pisau tapi lebih besar.” Saya berusaha menjelaskan dengan kosakata sederhana.

    Ia kemudian melihat-lihat beberapa halaman di buku itu.

    “Tidak Papa, Taka mau buku ini” sembari menyodorkan buku bersampul Robocar Poli kepada saya.

    “Sama buku ini tidak?”

    Saya coba menggoyahkan pilihannya. Sayangnya tidak berhasil. Ia tetap memilih buku seharga empat puluh tiga ribu itu. Lalu saya tiba-tiba penasaran. Berapa ya harga buku Kisah Mitologi Yunani untuk Anak-Anak? Saya melihat sampul belakang buku itu mencoba mencari label harga yang biasanya tertempel di sudut bawah. Ah, tidak ada. Saya mengambil buku yang sama, yang masih bersegel plastik. Cukup mengagetkan buku setebal delapan puluhan halaman ukuran B4 harganya seratus dua puluh lima ribu rupiah, sama dengan harga novel Cantik Itu Luka edisi softcover yang jumlah halamannya lebih dari lima kali lipat halaman buku mitologi tadi.

    Saya kemudian penasaran, berapa sih harga buku anak sekarang ini? Ada buku Dongeng Nusantara untuk Anak yang dijual dengan harga seratus ribu termasuk parkir alias masih ada kembalian dua ribu rupiah. Rata-rata buku anak setebal 80-120 halaman dijual di atas seratus ribu. Paling murah harganya tiga puluh ribu, ukuran A6, full color, kertas Artpaper 90gr, 20 halaman.

    Saya perhatikan, buku anak-anak dikemas dengan sama. Buku penuh ilustrasi, full color, isi menggunakan artpaper 90gr-120gr, sampul bisa hardcover maupun softcover dengan ivory 310gr. Wajar saja harganya jadi tidak murah. Namun, selama isinya juga bagus dan sesuai untuk anak-anak, saya rasa tidak akan ada keberatan dari orangtua yang sayang dengan anak atau yang anaknya merengek minta dibelikan buku karena tertarik oleh sampulnya dan kebetulan orangtuanya punya uang berlebih di dalam dompetnya.

    Sampul merupakan salah satu cara menarik perhatian calon pembeli ketika buku terpajang di toko buku, bersaing dengan ratusan judul buku lainnya. Termasuk calon pembeli kecil, seperti anak-anak. Cover yang berwarna-warni dan memuat tokoh yang familiar dan mereka sukai tentu saja bakal lebih cepat menarik perhatian mereka. Apalagi kalau isi dalamnya juga ada ilustrasi berwarna. Anak-anak akan semakin suka. Yang kadang sering saya temukan ketika membaca isinya adalah kalimat-kalimat yang panjang dan diksi yang saya rasa masih terlalu berat untuk anak-anak. Rasanya anak umur 3-5 tahun akan kesulitan mengeja dan memahami kata ‘mendistribusikan’, ‘mendeklarasikan’, atau bahkan ‘bergabung’.

    Melihat hal itu saya jadi punya beberapa harapan terkait buku anak yang semoga bisa terwujud ketika kelak anak saya membelikan buku untuk anaknya. Harapan pertama adalah akan ada panduan kata-kata mana saja yang cocok diperkenalkan pada anak usia 3-5, atau jenjang-jenjang berikutnya. Namun, seandainya tidak adapun saya berharap penyusun buku anak juga menggunakan ‘roso’ dan mencoba memahami apakah pembaca kecilnya akan memahami buku yang disusun ini.

    Harapan saya yang lainnya adalah, ada karya sastra yang di downgrade untuk anak-anak. Ya, tidak semuluk-muluk ‘Bumi Manusia untuk Siswa SD’ gitu juga sih. Kalau cerita yang porsi roman cukup banyak minimal ya untuk anak SMP lah. ‘Bumi Manusia untuk Remaja’ kayaknya bisa jadi best seller karena katanya kisah cintanya tidak serumit kisah cinta posislamisme dalam Ayat-Ayat Cinta.

    Selama ini sastra selalu identik diperuntukkan untuk dewasa. Saya sendiri baru mengenal sastra Indonesia dari pelajaran Bahasa Indonesia SMP. Itu juga dari nukilan beberapa paragraf Layar Terkembang karya ST. Alisjahbana. Saya rasa sastra perlu diperkenalkan kepada pembaca-pembaca muda kita dengan cara disadur dengan bahasa yang lebih ringan, seperti yang sudah dilakukan negara-negara dengan budaya literasi yang sudah baik.

    Sastra untuk anak akan memperkaya pilihan buku anak. Sekarang, jika kita menyusuri rak buku anak, hanya akan ditemukan: 1) Buku mewarnai; 2) Buku anak tentang agama; 3) Buku anak adaptasi film; 4) Buku anak berisi dongeng. Dongeng sendiri didominasi beragam dongeng dari luar negeri dan dongeng itu-itu saja dari dalam negeri. Kenapa dongeng dalam negeri itu-itu saja? Ya karena isinya, Timun Mas lagi, Sangkuriang lagi, Malin Kundang lagi. Padahal Indonesia punya lebih dari seribu suku bangsa yang pasti punya mitos dan dongeng yang menarik untuk dibagikan dan diceritakan kepada anak-anak. Juga akan lebih baik lagi jika muncul penulis-penulis dongeng untuk anak di dalam negeri.

    Sebenarnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud telah memiliki menerbitkan buku elektronik yang bisa diunduh gratis di halaman ini, ini, ini atau ini. Cerita dongengnya lebih beragam dari apa yang bisa kita temukan di toko buku. Ada cerita dari Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan lain-lain. Cerita kuliner juga ada, Cuma mungkin desain dan tataletaknya barangkali belum cukup menarik minat anak-anak.

    Juga saya menyayangkan buku-buku tersebut diterbitkan dalam bentuk buku elektronik (mungkin pemerintah telah mencetak terbatas dan langsung didistribusikan ke sekolah atau pustaka daerah). Barangkali jika dilakukan peningkatan mutu, lalu melakukan penerbitan bersubsidi dan didistribusikan terbuka ke toko-toko buku, barangkali kita akan menemukan lebih banyak pilihan buku untuk anak di toko buku.

    Jika harapan-harapan tersebut terwujudpun saya masih punya harapan terakhir yaitu semoga harganya tidak terlalu tinggi. Buku anak mungkin memang perlu ilustrasi, tapi barangkali kertasnya tidak perlu artpaper, HVS juga sudah cukup oke. Ilustrasi toh hanya sebagai alat bantu imajinasi anak dalam menggambarkan adegan dalam narasi yang pilihan diksinya terbatas untuk anak-anak.

    Masalah harga ini juga tidak bisa kita pasrahkan pada penerbit saja. Pemerintah juga bisa membantu untuk memberikan subsidi harga kertas atau mungkin ada kebijakan lain terkait menurunkan harga buku ini. Betul, ada harga ada kualitas. Tapi apakah yang layak mendapat buku berkualitas cuma mereka yang punya uang? Kan tidak.

    Kadang saya membayangkan barangkali ada anak yang tertarik pada sebuah buku dari sampulnya. Lalu ia merengek pada bapaknya untuk dibelikan buku itu. Kemudian bapaknya sama kagetnya dengan saya ketika melihat label harga di sampul belakang buku tersebut. Bapaknya kemudian mengalihkan perhatian si anak, kemudian ia berjanji pada anaknya untuk membelikan mainan seharga seperlima harga buku yang diinginkan anaknya tadi di penjual mainan yang biasa berjualan di depan sekolah anaknya.

  • [Ngibul #68] ‘Afiat

    author = Asef Saeful Anwar

    “Pada suatu siang yang terik dan panas,” demikian ustaz muda kita memulai ceritanya setelah membuka kultum dengan salam, sapa, syukur, dan selawat, “salah seorang panglima perang Khalifah Bani Umayyah, yaitu Al-Hajjaj bin Yusuf, meminta kepada pengawalnya untuk mengajak seseorang, siapa saja yang ditemuinya yang bukan bawahannya, menghadap kepadanya. Maka, dipanggil-lah seorang penggembala ke hadapannya.”

    “Aku mengundangmu untuk makan siang,” ustaz muda kita mencoba mereka-reka suara sang panglima dengan amat berwibawa seolah-olah telah ada seorang penggembala di depannya. Para jamaah kultum jelang berbuka puasa mulai tertarik dengan gaya suara yang diubah itu.

    “Maaf, Tuan,” sang ustaz muda mengganti suaranya, dengan nada lemah dan pelan, memerankan seorang penggembala yang rendah hati, “aku telah lebih dulu diundang oleh yang lebih mulia dari Anda dan aku akan memenuhinya.”

    “Siapakah yang mengundangmu sementara engkau sudah ada di sini?” sang ustaz kembali mengubah suaranya, kali ini dengan nada tinggi, menirukan sang panglima yang mulai dikuasai emosi, “Dan siapa itu yang lebih mulia dari aku?” Suaranya makin mantap dan keras, sampai-sampai seorang panitia yang tengah menyiapkan menu berbuka di masjid itu kaget mendengarnya dan hampir menjatuhkan nasi kotak.

    “Aku tengah memenuhi undangan Tuhan untuk berpuasa,” kali ini suara sang penggembala ditegaskan oleh sang ustaz muda.

    “Oh Tuhan, hari begitu terik dan engkau berpuasa. Segeralah berbuka denganku. Esok kamu bisa berpuasa kembali.” Wah pandai benar ustaz muda kita ini menirukan sang panglima yang merayu. Sepertinya ia pernah belajar teater di pesantrennya. Biar tidak bertele-tele, kita langsung simak saja perkataan sang ustaz muda tanpa saya deskripsikan lagi ya.

    “Apa Tuan bisa menjamin besok aku masih hidup?” tanya sang penggembala. Begitu mendapatkan pertanyaan tersebut, sang panglima terdiam cukup lama. Coba bayangkan bila Ibu-ibu, eh maksud saya Bapak-bapak atau Mas-masnya yang jadi panglima, apa yang bisa Bapak-bapak atau Mas-mas Jawab?

    Tanpa disangka sang panglima Bani Umayah itu malah merayu dengan cara lain. Dia berkata: “Hari ini juru masakku menghidangkan banyak makanan yang amat lezat. Sungguh sayang bila engkau melewatkan kenikmatan menyantapnya.”

    “Demi Tuhan,” jawab sang penggembala, “sesungguhnya yang membuat lezat dan nikmatnya masakan bukanlah seorang juru masak, bukan bahan-bahannnya, bukan pula bumbunya, melainkan karena ‘afiat.”

    Bu…Pak…Mas…Mbak… sudah sering kan kita berkata; “Alhamdulillah saya sehat wal ‘afiat”? Apa Ibu-ibu dan Bapak-bapak tahu artinya?

    ‘Afiat itu salah satu artinya “dukungan dari Allah” sederhananya: selezat apa pun masakan yang kita makan, tidak akan dapat kita nikmati kalau tidak ada dukungan dari Allah. Contohnya kita mau makan gulai sapi, meskipun gusi kita sedang tidak sakit, lidah sedang tidak sariawan, tenggorokan juga tidak sedang radang, intinya kondisi tubuh kita sehat, bisa jadi saat tidak ada ‘afiat, saat kita makan gulai sapi tiba-tiba malah ingat bangkai tikus yang terlindas di atas aspal, tiba-tiba ada lalat yang masuk ke dalam gulai, tiba-tiba terjadi hal yang membuat kita tidak bisa menikmatinya meskipun sebenarnya gulai sapi itu amat lezat. Sebaliknya, kalau kita dapat ‘afiat makan mendoan serasa makan rendang meskipun mulut kita sedang sariawan.

    Orang yang kerap dapat ‘afiat itu makan bukan untuk kenyang, Bu, Pak, Mas, Mbak, tapi mereka makan agar bisa kuat berdiri untuk beribadah. Apa kita sudah seperti itu? Apa niat berbuka kita untuk kuat tarawih 20 rakaat 1 juz atau sekadar mengenyangkan perut yang lapar seharian? Apa niat minum kita untuk lancar bertadarus sepanjang malam atau sekadar karena dahaga sepanjang siang?

    Para jamaah sekalian, puasa itu salah satu cara mencapai ‘afiat. Puasa itu latihan batin, bukan sekadar latihan badan. Plesetan Jawa bilang Ramadhan kuwi udu nggur Ra Madhang, bulan Ramadhan itu bukan sekadar bulan tidak makan. Misalnya, saat berpuasa lidah tidak sekadar dilatih untuk tahan tidak mencecap makanan, tapi dilatih pula untuk tidak banyak berkata demi menjaganya dari perkataan buruk. Mumpung sekarang bulan puasa…..

    Tiga menit kemudian waktu berbuka datang. Semua nasi kotak telah ada di hadapan para jamaah. Ketika para jamaah tengah menikmati takjil, yang berupa tiga biji kurma di masing-masing kotak nasi, tiba-tiba ada seorang ibu muda yang berujar di tengah jamaah:

    “Bapak-bapak, Ibu-ibu, Mas-mas, dan Mbak-mbak, dan terutama Pak Ustaz, sebelumnya saya mohon maaf bila nasinya terlalu encer karena saat masak tadi saya ngasih airnya kebanyakan. Selamat berbuka puasa, dan semoga kita dilimpahi banyak ‘afiat.”

    Ternyata, selain nasi yang encer, para jamaah yang berbuka puasa di Masjid As-Sabur itu harus pula menghadapi kenyataan lainnya: daging ayam yang ada di nasi kotak itu terlalu alot dan asin. Maka terjadilah drama buka puasa dengan pandang-memandang sambil mengunyah antara ustaz muda kita itu dan para jamaah tanpa ada yang berani mengeluhkan betapa tidak enaknya menu buka puasa magrib itu.

  • [Ngibul #67] Kamu dan Marcel Proust

    author = Olav Iban

    Ini adalah penggal kisah tentang potong-potongan ingatan masa kemarin. Dan untuk memulainya, kuambil bagian awal novel À La Recherche du Temps Perdu karya Marcel Proust.

    Ada satu sesi yang dikenal sebagai episode madeleine. Madeleine, sebagaimana kamu tahu, adalah sejenis kue sponge kecil dari tepung gandum, gula, dan telur. Teksturnya remah, mudah larut. Proust mengalami gempa waktu karena segigit madeleine hancur di dalam mulutnya. Memori otaknya menghambur kenangan, lalu dimulailah novel tujuh volume À La Recherche du Temps Perdu.

    Keterlaluan kalau kamu tak ingat Marcel Proust. Kita pernah berbagi cinta karena bukunya—bukan novelnya, tapi sepersekian detik scene film Up yang sekilas memuat kata Temps Perdu di scrapbook-nya.

    Dikisahkan, Proust sedang kedinginan ketika ia pulang ke rumah ibundanya setelah hari yang melelahkan. Ditawarkan kepada Proust oleh ibu secangkir teh hangat dengan kue madeleine, yang mulanya ditolak namun tetap diiyakan tanpa alasan. Proust pun meminumnya, bersama madeleine yang telah basah dicelup teh hangat. Seketika datanglah awal mula kisah panjang yang tak baru tapi baru: ingatan masa kemarin yang telah lama hilang terlupakan oleh lelah dan tua.

    Proust mendeskripsikan sengatan madeleine basah itu seperti ini:

    Mais à l’instant même où la gorgée mêlée des miettes du gâteau toucha mon palais, je tressaillis, attentif à ce qui se passait d’extraordinaire en moi. Un plaisir délicieux m’avait envahi, isolé, sans la notion de sa cause. Il m’avait aussitôt rendu les vicissitudes de la vie indifférentes, ses désastres inoffensifs, sa brièveté illusoire, de la même façon qu’opère l’amour, en me remplissant d’une essence précieuse: ou plutôt cette essence n’était pas en moi, elle était moi.

    Tak lama setelah teh hangat yang bercampur dengan remah-remah itu menyentuh langit-langit mulutku, aku bergidik dan terdiam sejenak, terasa ada hal luar biasa yang terjadi padaku. Suatu kegembiraan yang luar biasa telah menyerbu panca inderaku, sesuatu yang terisolasi, terpisah, tanpa tahu dari mana datangnya. Semua terjadi sekaligus, mengubah hidupku—yang tak mau peduli, yang kekacauannya tak berbahaya, yang ilusif dan sementara—lewat cara yang sama seperti cinta bekerja menuangi hidupku dengan esensi berharga; atau tepatnya, esensi itu bukan ada dalam diriku, tapi akulah esensi itu sendiri.

    Proust kebingungan. Sensasi yang dialaminya adalah baru, tapi tidak ‘baru’. Diceritakan kemudian Proust meminumnya dua-tiga kali lagi. Namun, sensasi luar biasa itu malah memudar dan hilang. Akhirnya ia yakin, “La vertu du breuvage semble diminuer. Il est clair que la vérité que je cherche n’est pas en lui, mais en moi.” Ramuan ajaib ini sudah kehilangan magisnya, kata Proust, sudah jelas sekarang bahwa apa yang kucari tidak ada di dalam secangkir teh itu, tetapi ada di dalam diriku sendiri.

    Dengan banyak perjuangan, Proust mencari-cari dalam kesadaran ingatannya. Mengobrak-abrik nalarnya, mencoba menjawab apa sensasi ini? Ia sepenuhnya yakin bahwa rasa madeline terbasahi teh hangatlah yang memicu gelora cinta yang meluap-luap di dalam dirinya. Tapi, apa?

    Lalu, the memory revealed itself. Rasa itu adalah aroma madeline basah yang disuguhkan Bibi Léonie pada Minggu pagi dulu sekali, ketika Proust kecil tinggal di Combray.

    Bila kamu pikir ini sepele dan sekian saja, kamu perlu membaca ulang tujuh volume buku Proust. Rasa madeleine itu mendamaikan Proust—karena kala itu ia mengucapkan selamat pagi kepada Bibinya dengan ceria. Rasa itu suatu rasa religius—karena pagi itu ia akan berangkat mengikuti Misa.  Rasa itu adalah rasa cinta—karena Bibinya adalah Bibinya. Rasa itu adalah rasa arsitektural—karena Proust kecil berlarian di jalanan kecil Combray dengan segala rumah-rumahnya. Rasa itu adalah rasa sosiologis—karena Proust kecil bermain dengan anak-anak Combray. Rasa madeleine itu tidak sesepele aroma kue sponge bercampur teh lemon. Rasa madeleine itu kompleks, acak, tapi holistik. Dan lebih dari itu, rasa madeleine (setelah bertahun-tahun hilang dari hidup Proust) adalah katalisator utama perjalanan waktu.

    Akibat episode madeleine, novel Proust menjadi tenar. Orang-orang mengutipnya sebagai l’univers dans une tasse de thé, semesta dalam secangkir teh. Para neurolog mengaitkannya dengan involuntary memory, suatu sub-komponen ingatan sehari-hari yang tak sengaja timbul tanpa ada usaha secara sadar untuk membangkitkannya. Seperti tumpukan layer kenangan tentangmu (dengan segala kisah-kisahmu) yang tiba-tiba muncul begitu saja hanya karena nama Marcel Proust bertengger di rak depan toko buku.

    Akhir-akhir ini, ada buku Marcel Proust muncul di rak-rak depan toko buku. Cuma buku tipis kisah-kisah awal. Tapi ada keyakinan ketika kamu melihat nama Marcel Proust di sana, ingatanmu akan terbawa pada À La Recherche du Temps Perdu. Pun begitu padaku.

    Tentu saja bohong. Kamu tahu tidak ada toko buku di kota ini. Kenangan tentangmu muncul memang karena Proust, tapi Proust hadir bukan karena rak buku, melainkan karena dua film yang baru selesai kutonton. Kenangan tentangmu sudah kutumpuk terlalu dalam sehingga untuk mengelupasnya butuh lebih dari sekadar ketidaksengajaan.

    Pertama, serial Breaking Bad. Tidak seluruhnya. Hanya adegan singkat ini yang memicunya, yakni ketika Gus yang baru selesai memasak berkata pada Mr. White, “It always amazes me the way the senses work in connection to my brain. Taken separately, these ingredients alone don’t remind me of anything. But in this precise combination, the smell of this meal instantly brings me back to my childhood. How is that possible?”

    Lalu Mr. White menjawab, “Basically it all takes place in the hippocampus. Neural connections are formed. The senses make the neurons express signals that go right back to the same part of the brain as before. Where memory is stored. It’s something called relational memory.”

    Sebelum Mr. White menjawab, sudah dahulu kujawab, “Kamu dan Marcel Proust.”

    Pemicu kedua adalah Kimi No Na Wa, sebuah film animasi Jepang yang aku temukan secara random karena ratingnya yang terlalu tinggi di IMDb. Sebenarnya film ini tidak harafiah mengungkit episode madeleine, tapi tonton saja, nanti kamu tahu mengapa. Bukannya dulu kamu sering bertanya-tanya, bagaimana bisa kita seperti sudah saling mengenal lama walau nyatanya baru bertemu sekian hari saja?

    Begitu kamu menyadari ada episode madeleine dalam hidupmu, secepatnya kamu akan tahu bahwa carpe diem quam minimum credula postero hanya apologi filosofis. Bahwa masa kemarinmu adalah tumpukan peristiwa gigantik yang berpararel denganku, dengannya, dengan ibumu, dengan bom atom Nagasaki.

    Tapi jangan sekali-sekali kamu bilang, tanpaku kamu tak mungkin menjadi kamu yang kini. Kalau saja Mary Ann Mantell tidak sedang berjalan-jalan di ladangnya dan menemukan fosil dinosaurus itu, apakah tidak akan ada dinosaurus lain yang ditemukan oleh milyaran manusia? Kepastian masa kinimu hanya perkara waktu hingga kapan ia akan tersingkap.

    Telaah besar tentang waktu (dan kumpulan peristiwa yang membentuknya) sudah seumur dengan era manusia pertama. Semua orang dibuat penasaran olehnya. Begitu juga kita—yang ingin berkelindan sampai mati, sambil mengutuki waktu dan menggerutui takdir.

    Apapun itu, Proust membuat kita mengerti bahwa keabadian sang waktu terkadang menular kepada golden moments dalam hidup kita. Melipat kisah fana menjadi perahu kertas yang mengalir kekal di arus waktu yang baka.

    Merci pour cette belle aventure—
    Il est temps pour toi d’en
    vivre une nouvelle!

  • [Ngibul #66] Penyair Perempuan dan Sastra Indonesia

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Pada tahun 2014, di Yogyakarta terbit buku antologi puisi penyair Yogyakarta berjudul Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014). Diantara 90 nama penyair Yogyakarta dalam buku tersebut, ada sekitar dua belas nama penyair perempuan yang masuk di dalamnya. Beberapa nama di antaranya bahkan merupakan para penyair muda (kelahiran 80an ke atas) antara lain: Mutia Sukma, Fitri Merawati, Nurul Latiffah, Retno Iswandari, dan Komang Ira Puspitaningsih. Beberapa nama yang lain adalah penyair perempuan yang usianya lebih senior di antaranya Ita Dian Novita, Marfuah, Ulfatin Ch, Abidah El Khalieqy, Dorotea Rosa Herliany, Nana Erawati, serta Dhenok Kristianti. Beberapa nama penyair perempuan lainnya nampak tidak masuk dalam antologi tersebut baik yang senior atau yang masih muda (tentu ada pertimbangan tertentu dari tim penyusun, terlebih buku tersebut sudah disusun 4 tahun yang sebelumnya sehingga ada nama-nama baru yang belum tercatat). Dari buku tersebut, kita bisa melihat bahwa pada dekade ini, setidaknya di Yogyakarta telah bermunculan nama-nama penyair perempuan yang mulai dibicarakan dalam sastra kita. Kemungkinan, penyair-penyair perempuan usia muda juga sudah muncul di berbagai kota di luar Yogyakarta. Jumlahnya mungkin sudah cukup banyak, namun jumlah tersebut saya kira belum mampu menyaingi jumlah penyair laki-laki yang tentu saja jumlahnya membeludak dalam dunia Kesusastraan Indonesia

    Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia sastra Indonesia khususnya di genre puisi sampai saat ini masih didominasi oleh penulis laki-laki. Hal tersebut tentu saja menjadi ironi mengingat data yang sering kita dengar mengatakan bahwa jumlah perempuan saat ini lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Mengapa demikian? Apakah memang hanya sedikit perempuan yang menulis (termasuk puisi)? Ataukah sebenarnya perempuan menulis puisi tapi tak terpublikasi (hanya menjadi dokumen pribadi semata)? Atau justru malah dunia sastra kita (khususnya puisi) belum membuka ruang yang besar bagi kehadiran penyair perempuan (karya-karya mereka dimuat tetapi belum banyak mendapat perhatian)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan susah untuk dijawab. Perlu sebuah kajian mendalam untuk mengetahui masalah yang ada. Tetapi jika boleh meraba-raba, minimnya jumlah penulis perempuan (khususnya di genre puisi) tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang ada di Indonesia termasuk juga mengenai genre puisi sendiri sebagai alat penyampaian ide.

    Memang dewasa ini, arus keterbukaan dan kebebasan khususnya pascareformasi 1998 telah membuka ruang bagi siapapun untuk mengekspresikan diri, tak terkecuali kaum perempuan. Namun, perempuan dalam masyarakat Indonesia masih ada yang termarginalisasi. Berbagai aturan dan norma yang ada dalam masyarakat turut membatasi kebebasan perempuan. Dalam pergaulan sehari-hari misalnya, seorang perempuan dilarang untuk keluar malam. Mereka yang keluar malam (bekerja) di malam hari dianggap memiliki citra yang buruk. Di desa-desa terpencil di Indonesia perempuan yang sudah masuk masa haid dianggap sudah siap untuk dinikahi. Bagi masyarakat tertentu, perempuan yang pada usia lebih dari 17 tahun belum menikah dianggap tidak laku. Di dalam serba keterbatasan, dunia pendidikan membuka sedikit celah bagi perempuan untuk memperoleh hak yang sama dengan laki-laki. Hanya saja dunia pendidikan tak serta menjamin bahwa perempuan memperoleh perlakuan yang sama dengan laki-laki atau bebas dari stereotip. Perempuan-perempuan perkotaan barangkali lebih beruntung yang jika dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di desa dalam urusan memperoleh kebebasan. Hal yang sama juga barangkali dimiliki oleh perempuan golongan menengah ke atas dibandingkan perempuan golongan menengah ke bawah. Mereka cenderung lebih mudah memperoleh akses terhadap ilmu pengetahuan termasuk juga sastra. Tak bisa dipungkiri pula, para penulis sastra kita, baik laki-laki dan perempuan lahir dari kelas sosial tersebut. Dari segi pilihan genre, prosa nampaknya masih lebih diminati oleh perempuan dibandingkan puisi. Hal ini dimungkinkan karena prosa sifatnya lebih naratif sehingga perempuan memiliki ruang yang lebih besar untuk mencurahkan hasrat terpendamnya dibanding dengan puisi yang lebih bersifat tak langsung dan juga terlalu padat.

    Dalam penelitian Tineke Hellwig terhadap karya sastra Indonesia, perempuan lebih banyak hadir sebagai tokoh-tokoh dalam karya sastra karya kaum laki-laki. Representasi perempuan dalam karya-karya sastra Indonesia pun bermacam-macam tetapi perempuan dalam konteks ini tentu saja masih menjadi objek. Citra perempuan dalam konteks ini adalah citra perempuan dalam pandangan kaum laki-laki. Namun di tengah banyaknya penulis laki-laki, beberapa penulis perempuan juga sesekali muncul dalam dunia sastra Indonesia. Pada periode sastra Indonesia awal, sudah muncul beberapa nama penulis Tionghoa. Pada tahun 1930an, muncul nama Selasih dan Hamidah. Pada masa perang dikenal dua penulis perempuan yakni Arti Poerbani dan Suwarsih Djojopuspito. Sementara itu memasuki periode 1960an, gelombang pertama kemunculan penulis perempuan ditandai dengan kemunculan beberapa prosais perempuan diantaranya: Titie Said, Titis Basino, serta Nh. Dini. Selain mereka ada dua penulis perempuan yakni Marga T. dan Mira W. yang sangat produktif menulis dan menerbitkan buku. Sayangnya dua nama penulis perempuan ini seringkali diidentikkan dalam stereotip sebagai penulis novel populer. Sementara itu, dalam genre puisi dua nama yang paling dikenal adalah Toeti Heraty dan Dyah Hadaning. Selain itu, jumlah mereka juga masih belum banyak. Sedikitnya nama penulis perempuan pada masa awal Orde Baru ini kemungkinan besar terkait dengan ciri khas Orde Baru yang cenderung didominasi oleh laki-laki. Bisa dikatakan, para penulis perempuan itu (yang bisa mengekspresikan pikiran dan batinnya) melalui karya sastra adalah mereka yang memiliki akses lebih (golongan menengah ke atas) yang dalam konteks tertentu tidak terlalu terikat dengan hegemoni patriarki gaya Orde Baru.

    Seperti kita ketahui, Orde Baru adalah sebuah rezim kekuasaan yang sangat patriarkal, menempatkan laki-laki sebagai pusat dan posisi dominan dibandingkan perempuan. Orde Baru setidaknya dibangun dari 3 ideologi besar yakni Jawa(isme), Militer(isme), serta kapitalisme yang kesemuanya menempatkan laki-laki sebagai subjek utamanya sementara perempuan menjadi objek sekaligus termarginalisasi. Dalam konteks ini, kita mungkin bisa meminjam terminologi Simone de Beauvoir mengenai perempuan sebagai second sex atau kita juga bisa meminjam istilah jawa seperti konco wingking. Perempuan di masa Orde Baru dikesankan hanya sebagai pendamping laki-laki semata. Kebijakan Orde Baru khususnya bagi militer dan pegawai negeri sipil nampak mencolok menunjukkan hal tersebut melalui kemunculan organisasi-organisasi perempuan di bawah Kowani (Kongres Wanita Indonesia) dengan semboyan Panca Dharma Wanita yaitu: 1) Wanita Sebagai Istri Pendamping Suami, 2) Wanita Sebagai Ibu Rumah tangga, 3) Wanita Sebagai Penerus Keturunan dan Pendidik Anak, 4) Wanita Sebagai Pencari Nafkah Tambahan, 5) Wanita Sebagai Warga Negara dan Anggota Masyarakat. Selain itu, Orde Baru juga membuat kementrian khusus mengenai urusan perempuan yakni dengan adanya kementrian urusan wanita. Dari segi pemilihan kata, diksi perempuan dalam rezim Orde Baru ternyata tidak banyak digunakan. Orde Baru lebih memilih menggunakan istilah wanita yang diidentikan dengan pengertian sebagai “wani ditata” (berani ditata). Dalam konteks inilah, perempuan pada masa Orde Baru tidak memiliki ruang yang bebas untuk menyatakan dirinya.

    Di masa akhir kejayaan Rezim Orde Baru, masyarakat mulai menuntut adanya perubahan dalam tata kelola pemerintahan. Gelombang besar tuntutan perubahan itu kemudian mencapai puncaknya setelah terjadi peristiwa reformasi 1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dan rezim Orde Baru. Seiring dengan tumbangnya Orde Baru, tuntutan perubahan begitu besar. Salah satu tuntutan reformasi adalah soal kebebasan berekspresi yang selama masa Orde Baru dikekang. Bersamaan dengan gelombang itu pula, penulis-penulis perempuan satu persatu mulai bermunculan.

    Seperti kita tahu, gelombang besar-besaran kemunculan penulis perempuan di dunia sastra terjadi pascareformasi 1998. Dalam bukunya berjudul “Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia” Korrie Layun Rampan mendokumentasikan beberapa nama penulis perempuan, satu nama yang paling menonjol adalah Ayu Utami. Di genre puisi beberapa nama seperti Ulfatin Ch, Abidah El Khalieqy serta Linda Christianty juga masuk dalam buku tersebut. Masih di masa yang sama, gelombang kemunculan penulis perempuan juga ditandai melalui polemik yang kerap dikenal dengan sebutan sastra wangi, sebuah frase yang ditujukan bagi penulis perempuan kala itu yang dianggap terlalu mengeksplorasi hal-hal yang bersifat tabu (khususnya seksualitas). Beberapa nama yang mendapatkan stigma “negatif” tersebut selain Ayu Utami adalah Fira Basuki, Nukila Amal, Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Dinar Rahayu, juga beberapa nama lain. Kebanyakan nama-nama yang disebut menulis dalam genre prosa.

    Penulis perempuan pada masa awal reformasi itu nampak memiliki citarasa yang khas dalam tulisan-tulisannya. Melalui karya-karya prosa yang muncul, perempuan nampak mencoba mengungkapkan sisi-sisi yang selama tersembunyi dalam ruang domestik. Perempuan mencoba mengungkapkan semua hal secara vulgar, sebagi reaksi atas belenggu-belenggu yang selama ini mengganggu mereka. Kebebasan yang ditawarkan pascareformasi menjadi ruang bagi para penulis untuk mengeksorasi segala hal, termasuk masalah seksualitas yang selama ini dianggap tabu. Meskipun begitu, suara pada masa awal reformasi tak selamanya Tunggal. Helvi Tiana Rosa barangkali satu di antara penulis perempuan pascareformasi yang memiliki kecenderungan yang berbeda dalam karya-karyanya. Sepertinya, ia tidak terlalu sepakat dengan eksplorasi karya-karya para penulis perempuan pada masanya. Melalui gerakan sastra bernama Forum Lingkar Pena, nampak bahwa Helvi ingin menciptakan tradisi sendiri dalam penulisan sastra Indonesia.

    Dibandingkan dengan penulis-penulis perempuan pada masa sebelumnya, penulis zaman sekarang tentu memiliki cara pandang yang berbeda dari para pendahulunya. Perempuan zaman sekarang tentu saja menghadapi situasi sosial yang mungkin saja berbeda sehingga tema dan gaya tulisan mereka pun berbeda. Dari pembacaan sekilas saya terhadap karya-karya penyair perempuan sepertinya ada nuansa lain yang hendak dihadirkan.

    Saya mencoba membaca sekilas terhadap karya-karya perempuan dalam buku Antologi Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya. Tentu saja, karya-karya yang saya baca dan saya sampaikan di sini mungkin tidak merepresentasikan bagaimana karya penyair perempuan jaman sekarang (termasuk juga pembacaan saya). Tetapi dengan membaca karya-karya berikut, paling tidak kita akan melihat sedikit representasi mengenai penyair perempuan dan karyanya.

    Permulaan Puisi

    Sudah lama aku tak membaca buku
    sudah lama aku tak melihat namamu
    terselip di antara kertas-kertas

    Sekali ini terlanjur tanganku gemetar
    ingin menulis banyak tentang hidup
    tentang pacarku yang meninggalkan
    kerut kening pada lampu yang tak mampu
    menerangi penglihatanku
    juga tulangku yang selalu nyeri dengan masalah

    aku ingin menulis banyak

    wajahmu yang kusut penuh cerita
    dengan mulut gemetar kau berucap
    “Tak ada yang perlu ditakutkan
    kecuali ketakutan itu sendiri.”

    Dan aku rindu katakatamu

    aku ingin menulis dan bercerita banyak
    tentang hidup tentang pacarku
    tentang tulangku yang selalu nyeri dengan masalah

    Puisi di atas adalah karya dari Mutia Sukma. Sekilas jika kita lihat, penulis melalui aku lirik mencoba menceritakan kisah tentang aku yang ingin menulis: sebuah aktivitas untuk mengekspresikan kegelisahan batin. Aku nampak menghadapi situasi-situasi yang membuat hidupnya (tulang) menjadi nyeri. Dari sini kita bisa membaca bahwa melalui puisinya, penyair mencoba mengungkapkan hasratnya untuk menulis. Dalam posisi ini nampak pula ditunjukkan bahwa perempuan sudah memiliki kebebasan untuk menulis kapanpun dan soal apa saja dan hasrat itu benar-benar telah mencapai puncaknya hingga ia menggunakan ungkapan “Sekali ini terlanjur tanganku gemetar.”

    Dalam puisi ini juga muncul representasi laki-laki melalui kehadiran pacar yang nampak dicitrakan tidak dominan dan memiliki keterbatasan. Meskipun laki-laki tidak lagi dominan tapi dalam puisi ini nampak bahwa laki-laki masih menjadi bagian penting dalam kehidupan perempuan.

    Lakon Yang Akan Kita Mainkan

    Jika aku sinden,
    engkau dalang
    dan mereka adalah wiyaga kita.
    Lakon apakah yang akan kita pilih malam ini?

    Apakah tentang Sri Rama yang tak kuasa menyelamatkan Sinta seorang diri, lalu meminta Anoman beserta dirinya?
    Apakah tentang Arjuna yang berkata setia pada setiap wanita hingga dikatakan sebagai lelanange jagad?
    Ataukah tentang Bima yang sempat menolak Arimbi lantaran masih berwujud rakesi?

    Blencong mulai lelah menunggu kita berdiam.
    Geber mulai lusuh mengeluh dengan ketidakpastian.
    Para penonton satu demi satu memilih pulang.
    Dan para wiyaga pun undur diri ke senthong menemui istri dan anak-anaknya

    sementara aku,
    aku akan tetap di sini
    menunggumu hingga ber-suluk dan menancapkan gunungan kembar

    Banguntapan, 26 Juli 2013

    Puisi di atas adalah karya dari Fitri Merawati. Puisi tersebut nampak menujukkan kesetiaan seseorang meskipun banyak orang yang telah meninggalkan sosok pemimpinnya. Dalam puisi tersebut, nampak hubungan relasional antara dalang dan sinden juga relasi dengan yang lain. Dalam puisi itu juga, dimunculkan juga teks-teks yang menyuguhkan wacana mengenai kelemahan dan keburukan laki-laki melalui kehadiran teks cerita wayang. Dari puisi di atas, kita bisa melihat bagaimana suara perempuan hadir. Melalui tokoh sinden, representasi kesetiaan perempuan nampak dihadirkan. Meskipun dalang (bisa menjadi representasi laki-laki) menjadi tokoh yang peragu dan tidak cepat mengambil keputusan, nampak bahwa puisi tersebut masih menempatkan laki-laki sebagai pemimpin yang harus dihormati. Tapi jika kita perhatikan, relasi dalam hubungan ini bukan lagi hubungan yang hierarkis, melainkan hubungan kesetaraan, menempatkan dalang dan sinden dalam sebuah hubungan kerja yang satu sama lain saling mendukung. Perempuan bisa dikatakan bersama-sama kaum laki-laki muncul di hadapan publik. Kalau kita melihat lebih jauh, kesetiaan sang sinden lahir dari sebuah kesadaran diri, bukan lahir dari paksaan. Keputusan untuk bertahan adalah keputusan yang sadar diri sementara ia pun juga memiliki pilihan untuk pergi sama seperti para penonton dan wiyaga misalnya.

    Dari dua puisi di atas, nampak bahwa perempuan telah memiliki ruang untuk mengekspresikan dirinya. Perempuan tidak lagi hadir menjadi makhluk yang inferior di hadapan laki-laki. Di sini lain, meskipun memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, perempuan dalam dua puisi di atas nampak tidak mencoba untuk menonjolkan sisi keakuan yang berlebih khususnya dalam hubungan dengan laki-laki. Perempuan dalam dua puisi di atas adalah citra perempuan yang sadar diri, perempuan yang mengerti betul tentang dirinya. Ia tidak lagi merasa inferior di hadapan laki-laki tapi sekaligus tidak menginferiorkan keberadaan laki-laki.

    Dari dua puisi di atas, dapatkan kita menyimpulkan bahwa perempuan masa kini sudah memiliki cara pandang yang sadar diri, bahwa mereka adalah makhluk yang kedudukannya sama dengan laki-laki? Mereka tak lagi inferior, berhasil melepaskan diri dari hegemoni patriarki sekaligus tidak mencoba menempatkan diri sebagai lebih dominan? Mungkinkah perempuan sudah mencapai tingkat menjadi manusia seutuhnya yang merdeka sekaligus memerdekakan?

    Dua puisi di atas adalah dua puisi yang selain menggambarkan isi jiwa pengarangnya mungkin juga bisa menggambarkan jiwa zamannya. Tentu, kita harus terus melakukan pendalaman terhadap karya-karya para penyair perempuan. Yang perlu diapresiasi adalah kemunculan para penulis perempuan termasuk juga penyair perempuan usia muda menambah warna dalam kesusastraan Indonesia. Semoga kemunculan mereka merangsang kemunculan penulis perempuan yang lain. Yang patut dipikirkan juga, publik sastra harus ramah terhadap para penulis perempuan, menerima hasil kerja mereka dan mengapresiasinya demi perkembangan kesusastraan Indonesia secara lebih luas.

     

  • [Ngibul #63] Melihat Kibul Bekerja

    author = Andreas Nova

    Bagi saya dan redaktur Kibul lain, ada kebanggaan tersendiri ketika bisa menayangkan Kibul di layar gawai anda selama kurang lebih setahun ini. Tentu saja pada awalnya sempat ada rasa pesimis, apakah situs web yang pada halaman cara berkontribusi sudah jelas dituliskan “tidak memberikan honorarium berupa uang pada kontributor” akan mendapatkan cukup naskah untuk sekedar menghidupkan situs web yang baru bermula? Ternyata dugaan kami salah. Naskah terus masuk berdatangan melalui surel redaksi Kibul. Baik dari penulis yang sudah moncer di media lain, baik di media daring ataupun media cetak, sampai penulis yang belum kami kenal. Baik dari kota-kota di Pulau Jawa maupun kota-kota yang bahkan saya baru pertama kali mendengar namanya. Naskah yang datang, baik berupa cerpen, puisi, opini, terjemahan cerpen, terjemahan puisi, juga resensi tidak hanya menghidupkan Kibul, tapi juga menyemarakkan pilihan bacaan alternatif yang bisa diakses secara daring melalui gawai. Saya dan redaktur Kibul lainnya juga tidak pernah menduga bahwa Kibul bisa tetap konsisten selama satu tahun lebih ini. Puncaknya adalah ketika kami merayakan Setahun Kibul dengan meluncurkan Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017: Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup di Taman Budaya Yogyakarta, hari Sabtu 28 April 2018. Acara tersebut bekerjasama dengan rekan-rekan dari Studio Pertunjukan Sastra, dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 151 dengan tema Penulis Muda dan Sastra Daring.

    Acara itu adalah acara kedua yang menghadirkan Kibul sebagai pembicara. Kebetulan dalam dua acara tersebut saya yang mewakili Kibul. Acara yang pertama adalah TahunBaruDiJBS akhir 2017 lalu. Tema yang diusung dalam kedua acara tersebut hampir sama, menyoal media daring, bagaimana perannya dan sebagainya. Dalam sesi tanya jawab di kedua acara tersebut, saya menyadari ada hal-hal yang sering disalahpahami ketika mengenal Kibul. Tentu saja saya tidak akan membeberkan semuanya secara detil. Nanti tulisan ini menjadi sangat panjang, membosankan dan seolah berisi pembenaran dari saya. Ada tiga poin penting yang akan saya ulas: (1) Apa itu Kibul? (2) Bagaimana Kibul bekerja? (3) Mengapa Kibul menerbitkan buku?

    Apa itu Kibul?

    Satu yang sering disalahpahami mengenai Kibul adalah menganggap Kibul sama dengan media daring macam Mojok ataupun Basabasi. Tanpa mengurangi rasa hormat pada situs web sejenis lainnya, kami sering dibandingkan dengan kedua media daring tersebut barangkali karena sama-sama berdomisili di Yogyakarta. Saya sendiri sebenarnya sedikit susah ketika diminta mendefinisikan Kibul itu apa. Mungkin definisi yang sedikit pas itu, Kibul adalah media sastra alternatif kolektif. Sastra yang tidak hanya membahas sastra, tapi juga sekitaran sastra, alternatif dari media cetak, maupun media daring sejenis, dan kolektif karena dihidupkan bersama dengan rekan-rekan kontributor.

    Berbeda dari Mojok dan Basabasi yang dikelola secara profesional, Kibul adalah situs web yang dikelola secara amatir. Seperti yang diungkapkan oleh T.S. Pinang dalam acara Bincang-bincang Sastra edisi 151, amatir bukanlah antonim dari profesional, dikelola secara amatir bukan berarti dikelola dengan tidak profesional. Amatir berasal dari kata amator dalam Bahasa Latin, kata dasarnya adalah amor. Sebagian dari kita tentu lebih mengenal kata amor yang berarti cinta, namun mungkin jarang mengenal kata amator yang berarti pencinta. Yang membedakan amatir dan profesional itu bukan masalah keahlian, atau tingkat kedalaman pemahaman terhadap apa yang digelutinya, namun lebih pada motivasinya. Profesional lebih dimotivasi oleh uang, sedangkan amatir motivasinya adalah cinta, kesenangannya terhadap suatu hal.

    Mengenai hal amatir dan professional ini saya jadi teringat, alm. Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun) yang tidak begitu suka disebut sebagai penulis profesional. Beliau lebih suka disebut penulis amatir. Karena beliau tidak semata-mata menulis untuk uang, tapi beliau menulis karena mencintai proses menulis dan berbagi melalui tulisan.

    Biarpun Kibul dikelola secara amatir, namun dari segi tampilan dan kualitas konten, saya rasa tidak kalah dengan media daring yang dikelola secara professional. Amatir bukan berarti tidak serius dalam melakukan sesuatu. Bagaimanapun, Kibul secara serius diniatkan sebagai ruang alternatif (baik daring ataupun luring) untuk berkarya dan berproses bersama.

    Bagaimana Kibul bekerja?

    Membuat situs web tentunya butuh biaya. Mau tidak mau, tetap ada sejumlah uang yang dibutuhkan untuk setidaknya menyewa domain dan hosting. Seperti yang sudah pernah saya tulis di Ngibul edisi Tahun Baru, para redaktur melakukan patungan untuk biaya-biaya seperti itu. Lalu bagaimana dengan biaya desain, pengelolaan web, pengelolaan media sosial, dan sebagainya? Karena Kibul berawal dari kekancan (pertemanan), rembugan (musyawarah), dan urunan (patungan). Maka seperti pengelolaan web, dipegang oleh saya sendiri yang punya sedikit pengalaman mengelola web dan sedikit bahasa pemrograman, tapi kebetulan saya berteman dengan beberapa rekan yang mendalami pengelolaan web dan mendalami beberapa bahasa pemrograman yang bersedia menjawab pertanyaan saya, bahkan bersedia membantu ketika saya minta tolong untuk mengutak-atik situs web Kibul. Lalu untuk desain grafis, kebetulan salah seorang redaktur kami, Olav iban dianugerahi selera desain visual yang baik, juga punya cukup pengalaman dalam bidang desain. Redaktur-redaktur lain juga punya potensi di hal-hal lain.

    Kibul tidak melakukan monetasi pada situs web kibul.in karena selain kami menjaga tampilan situs web tersebut tetap bersih, pengunjung tidak terganggu iklan yang berseliweran, juga karena kami tidak mengeluarkan biaya untuk memberikan honorarium berupa uang kepada kontributor dan redaktur. Rasanya tidak etis kalau kami memonetasi situs web kami sementara kami tidak memberikan apa-apa pada redaktur dan kontributor. Semua digerakkan oleh redaktur dan kontributor yang mencintai dan ingin memperkaya kesusastraan Indonesia.

    Kibul yang dikelola secara amatir, swadaya, swadana dan nirlaba ini justru di mata saya menjadi media daring yang lebih independen dibandingkan situs web sejenis. Karena independensi itulah kami juga dengan terbuka menerima kiriman naskah dari rekan-rekan kontributor, juga artikel dari rekan-rekan yang ingin mempublikasikan acara yang dikelola oleh komunitasnya. Komunitas apapun. Mau berdiskusi dengan redaktur juga boleh, baik mau bertemu langsung maupun via surel atau pesan privat. Dengan diskusi kita bisa belajar kepada satu sama lainnya. Bagaimanapun, esensi berdirinya Kibul adalah belajar bersama.

    Mengapa Kibul menerbitkan buku?

    Pertanyaan ini memang baru muncul ketika acara Bincang-bincang Sastra edisi 151. Alasan Kibul menerbitkan buku yang pertama adalah untuk menandai pencapaian satu tahun Kibul. Bagi Redaktur Kibul, mencapai umur satu tahun bagi sebuah media daring yang dikelola secara amatir adalah pencapaian yang luar biasa, dan memacu semangat kami untuk mencapai umur dua tahun, tiga tahun dan seterusnya. Alasan kedua adalah sebagai apresiasi bagi rekan-rekan kontributor atas antusiasme yang luar biasa kepada Kibul, khususnya untuk rubrik Cerpen dan Puisi. Mungkin terkesan remeh ya? Kalau buat kenang-kenangan doang, mending nggak usah bikin. Apa yang salah dengan kenangan? Ada yang salah dengan memberikan apresiasi?

    Ada yang menganggap media daring yang malah menerbitkan versi cetak adalah sebuah kemunduran. Sudah online kok masih cetak? Ya, itu kan kalau dilihat dari sisi teknologinya. Media cetak memang muncul lebih dahulu dari media daring, tapi semua media memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Media daring diakses melalui gawai namun hanya dapat diindera oleh mata, sementara buku bisa diindera tidak hanya dengan mata, tapi juga dengan jari untuk meraba lembaran-lembaran kertas buku, hidung untuk mencium aroma nikmat ketika buku baru terbebas dari segel plastiknya, atau barangkali lidah jika mau mencoba. Media daring mudah diakses (jika punya kuota), namun di satu sisi lebih mudah melelahkan mata. Sementara buku lebih nyaman di mata, namun di sisi lain, buku adalah santapan lezat untuk rayap. Tapi tidak bisa kita pungkiri. Saat ini buku adalah media sastra yang paling dekat dengan masyarakat. Itu sejalan dengan visi kibul, mendekatkan sastra dengan masyarakat.

    Penutup

    Satu hal lagi yang sering mengusik saya adalah anggapan bahwa, “Tuh kan, ujung-ujungnya jualan buku. Pada akhirnya cari duit juga kan!” Kadang saya bertanya-tanya, apa ada yang salah dari berjualan? Apakah ada yang salah dari menjual buku? Tidak. Yang salah adalah jika melakukan hal-hal yang tidak etis, misalkan memaksa untuk membeli buku yang dijual, menerbitkan buku terjemahan yang tidak “permisi” pada penulisnya atau yang belum memasuki public domain.

    Lagipula jualan buku bukan jalan satu-satunya jalan rejeki Kibul. Selama saya dan rekan-rekan redaktur mendirikan, mengelola, dan mengurus Kibul. Ada saja rezeki yang masuk, dan justru bukan dari Kibul. Toh Kibul juga tidak menerima pendapatan dari monetasi situs web. Yang ada malah kami mengeluarkan uang untuk memperpanjang domain dan hosting. Tapi tetap saja ada rezeki, dan tidak hanya materi. Rezeki itu entah berupa karir yang baik, jejaring pertemanan yang semakin luas, Kibul semakin dikenal dan berkesempatan untuk dikenal lebih banyak orang, juga merupakan rezeki yang patut disyukuri. Toh jika ada sedikit keuntungan dari penjualan buku antologi juga kami alokasikan untuk memperpanjang domain dan hosting. Bagaimanapun Kibul harus bisa berdiri sendiri kan ya?

    Sedikit hal yang mengulur waktu penerbitan Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017 adalah kami harus minta ijin pada kontributor-kontributor Kibul yang karyanya termuat dalam buku bersampul kuning ini. Kami menunggu pernyataan kesediaan mereka, karena kami menghargai hak cipta atas karya mereka. Kami sadar, Kibul bisa mencapai usia setahun, juga karena andil besar rekan-rekan kontributor. Untuk itu kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada rekan-rekan kontributor, juga rekan-rekan yang membantu proses penerbitan Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017.

     

  • [Ngibul #64] Menggugat Thanos, Ekosofis Imbesil dengan 6 Akiknya

    author = Bagus Panuntun

    “Pantas Thanos ingin menghabisi setengah makhluk hidup ya!”

    Saya tengah terjebak macet Kota Bandung ketika keluhan itu keluar dari mulut saya. 30 menit sebelum berada di angkot ini, saya baru saja menonton Avengers: Infinity War dan masih hangover setelah melihat Thanos mengosak-ngasik para superhero hingga mereka keruntang-pungkang dan depresi.

    Kali ini giliran saya yang depresi. Siapapun yang sering bepergian di kota ini tentu tak asing lagi dengan kemacetan kota yang sudah pilih tanding dengan kemacetan Jakarta. Perjalanan yang harusnya bisa kita tempuh dalam 10 menit, bisa-bisa belum tuntas setelah satu jam. Parahnya, macet ini membuat kita tak mungkin lagi percaya bahwa dunia akan jadi lebih baik. Jumlah penduduk kota makin bertambah, sementara pertumbuhan ruas jalan tak sebanding. Di sisi lain, ekspansi pasar mobil dan motor telah mencapai titik gila-gilaan yang membuat siapapun bisa punya kendaraan pribadi. Bagaimana menguraikan masalah ini? Dengan walikota gaul yang konon jenius itu pun masalah ini sama sekali tak nampak lebih baik. Tambah parah, iya. Lalu bagaimana mengatasinya?

    Seperti kata Thanos: habisi setengah makhluk hidup! Cepat, singkat, adil pula. Tak pandang ras, tak pandang kaya-miskin, bahkan tak pandang kualitas iman. Semua sama di mata Thanos: layak lenyap.

    Tapi seketika saya terkesiap ketika lewat di depan Pasar Gandok. Tiba-tiba saya teringat bapak-emak saya yang juga seorang pedagang pasar.  Lalu saya membayangkan seandainya mereka jadi salah dua korban Thanos. Sungguh tidak adil jika mereka harus lenyap dari muka bumi karena dianggap membuat dunia tidak seimbang. Apa dosa orang-orang desa macam bapak-emak saya? Mereka yang tiap hari tandhur, makan secukupnya, tidak pernah menyerap sumber daya alam berlebih, dan rajin sholat pula, bukankah sosok-sosok yang justru membuat dunia jadi lebih baik?

    Baiklah, saya mulai meragukanmu meski belum sepenuhnya tak setuju dengan idemu, Thanos! Tapi saya mulai curiga, jangan-jangan selama perjalanan langlang buanamu mengelilingi planet-planet, kau hanya hanya turun di kota-kota besar saja? Jangan-jangan kau hanya tahu tempat-tempat macam Bandung atau New York? Jangan-jangan kau hanya seorang bocah metropolitan Titan yang sama sekali tak tahu ada tempat yang tentram macam Nglipar atau Kalipetung?

    Di titik inilah saya mulai mempertanyakan ide besar Thanos. Darimana Thanos mendapat ide segila itu? Keheranan saya datang sebab pertama, Thanos bukan seorang psikopat. Tak seperti Joker dalam Batman atau Hidan dalam Naruto, Thanos tidak membunuh untuk bersenang-senang. Hal ini terlihat misalnya ketika Thanos tak segera meremukkan kepala Thor di fragmen pertama Infinity War. Kedua, Thanos nampaknya tak punya masa lalu yang kelam-kelam amat. Sebagian besar villain, kita tahu, adalah tokoh-tokoh dengan masa lalu sangat kelam yang akhirnya memilih menjalani sisa hidupnya dengan merusak dan membalas dendam. Bukankah kisah “pengkhianatan” Gamora terhadap Thanos juga bukan kisah cinta yang pedih-pedih amat? Kalau Thanos mau merenung sedikit, kepergian Gamora bahkan tak pantas disebut pengkhianatan. Kita tahu, Gamora pergi bukan untuk bergabung dengan pihak lain. Gamora pergi semata karena ia muak dengan orang tua asuh yang hanya mendidik anaknya untuk adu jotos dan bahkan menyiksanya sedari kecil.

    Jikalau Thanos benar memiliki masa lalu kelam, satu-satunya hal yang menurut saya paling masuk akal adalah pengalaman Thanos ditertawakan orang-orang seplanet Titan karena idenya.

    Masalahnya, apakah Thanos memang tidak layak ditertawakan untuk ide fantastisnya tersebut? Kita mungkin masih bisa memaklumi jika misalnya Thanos mendapat ide itu dari wahyu kitab kuno atau  kitab suci. Tapi kita tahu, Thanos tak berpijak pada hal tersebut, apalagi kajian ilmiah.

    Maka saya mulai memikirkan hipotesis selanjutnya: alasan ideologi.

    Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita tak asing lagi dengan orang-orang yang melakukan banalitas kejahatan macam Thanos atas nama filsafat atau ideologi. Pol Pot misalnya, tokoh yang membantai dua juta rakyat Kamboja atas nama kesetaraan kelas ini adalah penganut komunisme agrarian. Ia percaya bahwa pada dasarnya manusia harus hidup tanpa sekat kelas dan setiap orang harus mengolah tanah dengan cara yang adil. Bagaimana cara mencapai tujuan itu? Paksa orang untuk jadi petani. Kalau tak mau, bunuh saja. Siksa mereka pelan-pelan sampai akhirnya mati. Daftar nama ini tentu masih bisa bertambah jika kita menyebut ideolog lain seperti Adolf Hitler dengan antisemitisnya atau Abu Bakr Al-Bahgdadi dengan kekhilafahan ISIS-nya.

    Pertanyaan selanjutnya, apa ideologi Thanos sebenarnya?

    Setelah merenung beberapa saat, saya menyimpulkan bahwa Thanos adalah seorang penganut ekosofi, yaitu sebuah aliran filsafat yang berusaha memahami sebab-musabab terjadinya ketidakseimbangan di alam semesta. Aliran ini dipelopori oleh filsuf sekaligus aktivis lingkungan asal Norwegia bernama Arne Naess (1912-2009). Naess sebagaimana para ekolog sebelumnya, meyakini bahwa perkembangan peradaban tidak berbanding lurus dengan bijaknya manusia dalam memahami alam.

    Ia selanjutnya menganggap penyebab utama dari fenomena ini adalah pencerahan abad 18 yang menjadikan manusia sebagai pusat dari kehidupan. Filsafat cartesians yang menjadikan rasio sebagai pusat dari subjek juga dianggap sebagai bibit dari gagasan antroposentris, yaitu gagasan yang menyatakan alam hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap kesejahteraan manusia. Akibat hal tersebut, bumi pun mengalami kerusakan. Rasio manusia modern yang selalu memiliki justifikasi untuk menyedot segala sumber daya alam telah membuat bumi jatuh dalam hiper-industrialisasi dan nampak makin tak punya harapan.

    Naess kemudian merumuskan solusi atas permasalahan ini. Ia merumuskan ekosofi sebagai filsafat yang tak hanya berpijak pada rasio tetapi juga pada emosi sebagai cara kita memahami alam. Menurut Naess, selama ini dualisme rasio dan emosi merupakan sebab berbagai kesalahpahaman daya imajinasi dan daya pikir kita terhadap alam. Oleh karena itu, manusia harus mulai berubah: ia harus melibatkan emosinya dalam memandang alam. Dengan cara ini, Naess percaya bahwa selanjutnya manusia akan menemukan alam sebagai entitas yang magis dan sakral, yang pada akhirnya membuat kita menyadari bahwa kita adalah entitas yang satu dengan alam.

    Thanos saya yakin adalah seorang ekosofis. Ia pertama-tama mewakili kekhawatiran paling mendasar para ekosofis yaitu bahwa “alam belantara merupakan sumber daya yang hanya bisa menyusut, tetapi tidak dapat bertumbuh”. Sebagaimana ide dari Arne Naess, Thanos juga contoh sempurna dari bagaimana seorang makhluk memiliki sentimentalitas yang luar biasa kuat dengan alam. Demi menyelamatkan semesta, ia bahkan ingin menumbalkan Gamora, satu-satunya makhluk di dunia yang konon ia cintai. Thanos dengan kesedihan yang tak dibuat-buat juga sangat mengkhawatirkan dunia sebagai tempat yang akan dilingkupi kemiskinan, kelaparan, perang, penyakit, dan kematian. Tak tanggung-tanggung, Thanos akhirnya punya misi yang terdengar sangat mulia: mengembalikan keseimbangan kosmis.

    Sayangnya meski terdengar mulia, sebenarnya ada permasalahan besar pada sosok kita satu ini: ia terlalu berlebih dalam melibatkan sisi emosional sampai hampir menihilkan rasionya. Di titik ini, ia bukanlah ekosofis seperti apa yang diharapkan Arne Naess. Pada akhirnya, Thanos memang seorang ekosofis, tapi ekosofis yang cacat pikir: ekosofis imbesil.

    Hei, Thanos! Jika kau mau berpikir sedikit saja, maka kau akan sadar bahwa dunia mungkin tak se-nirharapan yang kau bayangkan. Kau misalnya bisa sedikit berimajinasi bahwa masih ada banyak sekali planet yang kosong. Dengan space stone, kau seharusnya bisa memindahkan makhluk hidup dengan mudah. Kau juga perlu mikir dikit bahwa permasalahan overpopulasi yang kau khawatirkan sebenarnya tak bisa disimplifikasi sebagai penyebab utama ketidakseimbangan kosmis.

    Memang benar saat ini penduduk dunia semakin bertambah. Jika kita merujuk pada Planet Bumi, saat ini Bumi sudah ditinggali 7,6 milyar penduduk dan pada 2050 diproyeksikan mencapai 10 milyar. Tetapi data dari FAO (Food and Agriculture Organization) PBB—sebuah organisasi pangan internasional planet kami—menyatakan bahwa wabah kelaparan telah mengalami angka penurunan dari angka 18,6% pada 1991 menjadi 10,8% pada 2015. Angka kelahiran bayi juga mengalami penurunan yang signifikan. Jika dulu kakek-nenek kami bisa beranak-pinak untuk membentuk kesebelasan, orang tua kami rata-rata hanya punya 2 atau 3 anak saja.

    Fred Pearce (1951-sekarang), seorang peneliti bidang lingkungan lulusan Cambridge University—salah satu universitas terbaik di planet kami—bahkan menyatakan jika permasalahan utama Bumi bukanlah overpopulasi, tetapi overkonsumsi. Menurut Pearce, permasalahan yang saat ini kami hadapi datang dari tingkat konsumsi masyarakat negara maju yang mengonsumsi makanan melebihi apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Ujung-ujungnya, permasalahan yang saat ini sedang kami hadapi sebenarnya adalah masalah pemerataan pembagian sumber daya alam, bukan kekurangan sumber daya alam. Dari sini kita tahu, bahwa Bumi mungkin sedang tidak baik-baik saja, tetapi menghabisi setengah makhluknya sama sekali bukan solusi yang tepat.

    Hei, Thanos! Apa kau sempat berpikir sejauh itu? Saya yakin tidak. Sebab kita tahu, kau hanyalah monster ungu jelek yang kelewat baperan tapi tak pernah pakai otak.

    Sudah jelek, baperan, malas mikir pula. Kau ini penguasa semesta apa netizen?

    Ah, Thanos! Panas kota Bandung yang kering kemarau membuat saya tersadar bahwa saya masih berada di dalam angkot. Sulit dipercaya bahwa selama 30 menit, saya baru saja memikirkanmu dengan keras. Juga soal keselamatan dunia. Hei, nampaknya saya sudah jadi ekosofis juga. Tapi kalaupun iya, tentu saya harus jadi ekosofis yang berpikir. Tidak sepertimu.

    Sial! Saya telah tersadar dan kembali berada di tengah kemacetan yang mengular. Tapi ada yang lebih menjengkelkan. Samar-samar terlihat baliho besar bertuliskan “Jabar Asyik!”. Di dalam baliho itu, nampak seorang politikus berpeci hitam tersenyum lebar sambil menyorongkan jempolnya: Sip. Sementara itu, di bagian bawah baliho terlihat logo-logo partai politik pendukung yang berjajar horizontal. Lalu seketika saya cekikikan. Saya teringat kembali Thanos dengan 6 akiknya yang warna-warni. Tapi kali ini saya tak membayangkan keampuhan akik yang luar biasa itu. Saya justru curiga, jangan-jangan akik ini adalah metafor dari kekuasaan. Jangan-jangan mind stone adalah Golkar, reality stone adalah PDIP, space stone adalah NasDem, time stone adalah PKB, dan seterusnya.

    Duh Gusti, monster ungu dengan janggut mirip gethuk lindri yang bertaut dengan kemacetan kota dan jempol politikus memang bisa bikin gila. Tapi tak apa lah. Setidaknya dari sini saya mendapat pesan tersirat Infinity War: makhluk imbesil yang diberi kekuasaan terlalu besar, hanya akan membuat dunia jadi remuk redam.

     

    Sumber Bacaan:
    Chamary, JV. 2018. Is Thanos Right About Killing People In ‘Avengers: Infinity War’?, [online]
    Dewi, Saras. 2018. Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam: Marjin Kiri
    Pearce, Fred. 2010. The Overpopulation Myth: Overconsumption is the real proble, [online]

  • [Ngibul #62] Pendidikan Membenci Bangsanya Sendiri

    author = Asef Saeful Anwar

    “Ada beberapakah di antara Engku-Engku yang ada di sini, yang sudah bersekolah pemerintah? Tahukah Engku-Engku akan maksud sekolah itu? Supaya anak-anak kita suka kepadanya dan benci kepada bangsanya sendiri.”

     

    Perkataan itu keluar dari mulut si antagonis bernama Datuk Meringgih dalam novel Sitti Nurbaya karangan Marah Roesli. Semasa kecil saya mengenal watak si Datuk melalui HIM Damsyik pada sebuah miniseri berjudul sama dengan novelnya di layar Televisi Republik Indonesia. Dulu saya tak paham banyak dialog dalam sinema itu, tapi mengerti bahwa si Datuk adalah si tua bangka jahat mata keranjang yang hendak merebut Sitti Nurbaya dari pelukan asmara Samsul Bahri.

    Di bangku sekolah kesan itu kian dikuatkan lewat penuturan guru dan ringkasan novel dalam buku pelajaran. Tak ada ruang bagi saya untuk mengenal lebih karib kepada si Datuk sebab perpustakaan sekolah tak memiliki novel tersebut. Baru ketika kuliah saya menemukan dan membaca utuh novel itu. Saya pun menemukan sejumlah kejanggalan pada bangunan wacana mengenai si Datuk yang selamanya tak buruk-buruk amat.

    Kalimat terakhir dalam ucapan yang membuka tulisan ini justru masih relevan menjadi bahan permenungan bagaimana kini pendidikan formal—yang setiap 2 Mei diperingati—makin menjauhkan peserta didik dari lingkungannya. Ucapan si Datuk merupakan perlawanan pada politik etis yang pada dekade 1920-an tengah digalakkan. Bagaimana saat itu anak-anak mulai pergi ke sekolah, untuk duduk menggoyang kaki, dan mulai meninggalkan sawah dan surau. Tak jauh beda dengan kondisi zaman sekarang ketika semakin tinggi pendidikan formal seseorang semakin dijauhkan dari lingkungan asalnya. Rendra pernah menyindir kondisi macam ini pada “Sajak Seonggok Jagung”: apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?

    Dalam bagian lain si Datuk berujar: “Di mana ada sekolah di kampung ini? Hamba tidak bersekolah tetapi jadi kaya juga. Jadi apa perlunya sekolah itu kepada kita?….”. Ucapan tersebut adalah antitesis atas asa Sitti Nurbaya yang diceritakan berkali-kali membayangkan bahwa kelak Samsul Bahri akan berpangkat tinggi dan bergaji besar setelah menamatkan pendidikan formalnya di Jawa sebelum kemudian melamarnya. Jadi, di masa itu pendidikan formal ditawarkan sebagai suatu alat untuk meraih derajat sosial yang lebih tinggi dan gaji besar, sesuatu yang ditentang oleh si Datuk, yang mempunyai kedudukan tinggi di masyarakatnya dan horang kaya tanpa melalui pendidikan formal. Bukankah sekarang masih ada juga orang-orang yang bersekolah demi status dan gaji besar?

    Silakan berdebat dan teguh pada pendapat bahwa pendidikan formal yang direpresentasikan melalui sekolah dan perguruan tinggi masa kini bukan untuk menjadikan generasi penerus menjadi kaya dalam materi, tetapi kaya ilmu dan pengetahuan. Nyatanya, yang paling laku adalah sekolah atau program studi di perguruan tinggi yang dapat cepat membuat peserta didiknya bekerja, bekerja untuk memperkaya diri, untuk meningkatkan status sosial, bukan untuk membagi ilmu dan pengetahuannya. (Ah bagaimana membagi ilmu dan pengetahuan jika yang dipelajari hanya soal-soal keterampilan belaka?)

    Kembali pada persoalan yang dihadapi si Datuk, ucapan bahwa sekolah dapat membuat anak-anak membenci bangsanya sendiri sangat jelas dicerminkan oleh Samsul Bahri, pemuda terpelajar yang kemudian frustrasi dan justru menjadi alat penjajah untuk berperang melawan bangsanya sendiri yang tengah memprotes belasting yang demikian besar yang diberlakukan pemerintah Hindia-Belanda. Sebagian besar pembaca, penonton sinema, dan penyusun bahan ajar sastra di sekolah—semasa saya masih bersekolah—terjebak pada satu persoalan sentimentil dalam novel tersebut: cinta. Sebab Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri telah menjadi sejoli maka si Datuk adalah tua bangka jahat penyuka daun muda bermodal harta yang menjadi raja tega. Benar kemudian Sitti Nurbaya mati diracun Datuk Meringgih setelah si Datuk melakukan beragam usaha kekerasan lainnya demi mendapatkan sang dara, tapi apakah hanya karena salah dalam hal memperjuangkan cinta segala perilakunya menjadi salah?

    Tidak hanya dalam novel Sitti Nurbaya, pesimisme pada pendidikan formal ditunjukkan pula oleh sejumlah novel yang terbit semasa Balai Pustaka. Novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis adalah contoh paling representatif. Diceritakan ada seorang ibu, yang sangat memegang teguh adat istiadat, menyekolahkan anaknya hingga tinggi (tamat HBS). Tidak hanya menyekolahkan, tetapi sang ibu juga menempatkan anaknya dalam rumah orang Belanda. Betapa besar harapan sang ibu agar anaknya bisa menjadi manusia modern, yang menurut ukurannya adalah dapat bergaul dengan orang Belanda. Hanafi, si anak, ternyata mengalami shock culture. Pengetahuan dari pendidikan formalnya justru membuatnya menjadi seorang imitator bangsa Eropa. Keputusannya menikahi Corrie de Bussee merupakaan puncak dari usahanya menjadi manusia Eropa. Di akhir hayatnya, ia baru merasakan kesalahan penggunaan pengetahuannya mengenai bangsa Eropa. Ia baru mengerti bahwa “kebanyakan orang lebih suka melihat orang Timur berpelajaran Barat, bila ia tidak keluar dari ketimurannya”.

    Hanafi dan Samsul Bahri adalah contoh bagaimana pendidikan formal gagal memberdayakan peserta didiknya. Untungnya itu hanya terjadi dalam novel. Meskipun tak menutup kemungkinan itu merupakan mimesis atas sejumlah kasus gagalnya pendidikan formal ketika mulai diterapkan di Indonesia. Dalam alam nyata, yang banyak kita kenal justru tokoh-tokoh hasil suksesnya pendidikan formal, macam Kartini, Semaun, Mas Marco, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Hamengkubuwana IX. Mereka adalah produk pendidikan formal, tetapi mereka tidak membenci bangsanya, bahkan malah memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Apakah dengan demikian pernyataan Datuk Meringgih salah?

    Seseorang yang benci kepada bangsanya sendiri adalah mereka yang tak tahu—apalagi memahami dan mendalami—budayanya sendiri. Ketika mereka mendapatkan pengetahuan di luar budayanya, apalagi pengetahuan yang bias kolonial, mereka cenderung akan membenci bangsanya. Dalam konteks novel, ucapan Meringgih tak dapat disalahkan sebab ia memposisikan pendidkan formal sebagai salah satu usaha melanggengkan penjajahan. Dalam konteks kekinian, ia dapat menjadi pengingat bahwa terlalu percaya pada pendidikan formal adalah salah, apalagi tanpa dibekali oleh pengetahuan budaya bangsanya, maka yang terjadi adalah sebuah proses pendidikan untuk membenci bangsa sendiri.

    Kini, kata pendidikan acuannya hampir selalu pada pendidikan formal yang dilangsungkan di sekolah atau kampus. Acuan yang terus-menerus ini membuat pendidikan seolah-olah melulu bangku sekolah atau kursi kuliah. Orang yang tak sekolah atau tak tinggi sekolahnya masih kerap disebut orang tak berpendidikan. Padahal, pendidikan di luar yang formal amat banyak dan sangat penting, tapi malah pelan-pelan pupus. Pendidikan dalam keluarga dan lingkungan sosial tentang budaya, contohnya, adalah yang terpenting dan paling mendasar. Tokoh-tokoh semacam Kartini, Hatta, Hamengku Buwono IX, dan nama-nama lain yang telah disebut di atas telah memiliki pendidikan dasar yang kuat tentang budaya bangsanya sehingga ketika menerima dan menempuh pendidikan formal—bahkan hingga ke negeri asing—mereka tak membenci bangsanya, melainkan justru berjuang memerdekakan bangsanya.

    Apakah Datuk Meringgih dulu memperjuangkan bangsanya? Dalam novel diceritakan bahwa si Datuk turut terlibat dalam perang belasting. Sayangnya, novel ini, yang penerbitannya merupakan bagian agenda politik etis di bidang edukasi, memposisikan perlawanan si Datuk sebagai perlawanan yang sifatnya individual; membela kepentingan bisnisnya.

    Orang yang memahami budaya tempat ia berasal dan hidup di dalamnya pasti akan menghargai dan memperjuangkan bangsanya, tak terkecuali Datuk Meringgih. Namun, itu modal yang belum cukup untuk keberhasilan sebuah perjuangan. Mereka yang berhasil memperjuangkan bangsanya adalah mereka yang karib dengan budayanya dan belajar tentang budaya asing yang hendak merongrong bangsanya. Mau tak mau, harus diakui bahwa para founding father bangsa ini adalah mereka yang dengan tekun mempelajari budaya para penjajah.***

     

  • [Ngibul #60] Mabuk Puisi di Bulan Puisi

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    April 2018, masyarakat Indonesia mendadak heboh. Sebuah puisi berjudul Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri yang dibacakan dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya” di Indonesia Fashion Week tanggal 30 Maret 2018 menjadi viral, mengundang kehebohan dan melahirkan kontroversi. Kontroversi muncul karena di dalam puisi tersebut terdapat diksi-diksi antara lain:  syariat Islam, cadar serta adzan yang dianggap merepresentasikan simbol-simbol agama Islam. Simbol-simbol tersebut kemudian nampak dibandingkan dengan simbol-simbol kebudayaan nusantara, memunculkan wacana seolah satu sama lain saling bertentangan serta menampilkan Islam dalam posisi lebih rendah. Puisi itu kemudian oleh sebagian kalangan dianggap memuat unsur sara, mendiskreditkan Islam dan mengandung penistaan terhadap agama.

    Pascakemunculan puisi Ibu Indonesia, muncul puisi-puisi balasan yang ditulis oleh yang “bukan sastrawan/penyair”. Tak hanya itu, tiba-tiba saja muncul banyak kritikus sastra karbitan, yang turut pula menanggapi kemunculan puisi tersebut. Puisi Sukmawati mulai dibicarakan di berbagai ruang baik di dunia maya maupun nyata. Hampir semua media massa menulis soal kontroversi ini. Jejaring sosial yang selama ini menjadi salah satu media paling santer menggodok wacana tentu tak kalah riuh. Pembicaraan mengenai puisi tersebut muncul di  media sosial seperti Facebook, Twitter, Line dan juga Whatsapp. Di dunia nyata, mulai bapak-bapak yang tak tahu satu puisi dari penyair Indonesia hingga anak-anak sekolah yang tak hapal satupun puisi Chairil atau Sapardi Djoko Damono ikut membicarakan puisi Ibu Indonesia, baik itu di kafe, di rumah, di pos ronda bahkan di lapangan basket sekalipun. Semua orang kemudian “mabuk” puisi.

    Sayangnya, puisi yang membuat mereka mabuk adalah puisi yang bagi saya pribadi kurang puitis. Sebenarnya, penulisnya sudah berusaha memberikan kesan keindahan puisi melalui pilihan diksi dalam puisinya. Tetapi ada beberapa hal yang terlewat. Misalnya penggunaan diksi “sangatlah” yang kurang baik dari segi bunyi, yang juga diulang dua kali pada bait pertama. Mengapa tidak memilih diksi yang lain? Atau munculnya diksi “sekitar”, bukanlah lebih baik diksi itu dihilangkan? Bagi saya pribadi,puisinya pun cenderung vulgar, lebih menggunakan ungkapan-ungkapan langsung (denotatif) sehingga ekspresi kebahasaannya tidak jauh beda dengan ungkapan sehari-hari. Kalaupun ada beberapa metafora yang digunakan, saya pribadi agak kesulitan membayangkannya. Tentu, penilaian pribadi saya itu begitu subjektif. Pembicaraan mengenai kebahasaan puisi itu mungkin akan menjadi sesuatu yang menarik. Sayangnya, wacana yang hadir kemudian justru bukan pada aspek puisinya, melainkan pada aspek-aspek lain di luar kebahasaan puisi. Pembicaraan  kemudian langsung mengarah pada substansi puisi tersebut. Tentu hal ini berkait pula dengan siapa konsumen puisi tersebut serta ke arah mana puisi itu kemudian digiring. Terlepas dari motif dan makna puisi tersebut yang masih bisa didiskusikan, kehadiran puisi tersebut telah mengundang masalah dan cukup menyita perhatian. Dalam posisi ini, kita tentu tak bisa menutup mata. Sayangnya, apa yang terjadi berikutnya bukan malah meredakan kontroversi namun justru semakin memanaskannya suasana. Kebanyakan respon yang hadir menjadi semakin menyebalkan dan tak kalah tak puitis. Orang mulai nyinyir, meracau, dan latah (Dalam beberapa kasus diperkuat dengan tampilan video yang dilengkapi ilustrasi visual maupun backsound/ audio yang digunakan sebagai pendramatisir suasana). Masalah semakin meruncing tatkala beberapa pihak membawa kasus ini ke ranah hukum menggunakan legitimasi pasal penodaan/penistaan. Apapun bentuknya, ekspresi kemarahan nampak muncul di sana-sini. Perihal kemarahan (sebagian) orang itu tidak saya bicarakan di sini, sebab marah adalah hak pribadi, tapi tidak menggumbar kemarahan sepertinya jauh lebih baik (?)

    Momen mabuk puisi yang menggelora ini justru terjadi tepat bulan April, bulan yang oleh masyarakat bahasa-sastra sering dirayakan dengan agenda-agenda sastra. Bulan April merupakan bulan perayaan literasi, bertepatan dengan bulan kematian penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Sebelum kemunculan puisi Ibu Indonesia buatan Sukmawati, masyarakat sastra sudah secara rutin memperingati bulan April. Kampus-kampus sastra secara rutin menggelar acara-acara sastra baik berupa lomba pembacaan puisi, lomba menulis puisi, lomba menulis cerpen dan lain-lain sebagai bagian dari perayaan itu. Selain itu, seringkali juga pada malam 29 April dilangsungkan sebuah acara bertajuk malam apresiasi sastra, biasanya diisi dengan berbagai acara pertunjukan sastra.

    April tahun ini pun nampaknya akan menjadi benar-benar bulan puisi. Sayangnya, jika publik sastra yang biasa memperingati bulan April dengan mabuk puisi atau saya istilahkan sebagai  “mabuk anggur” maka masyarakat kita saat ini sebagian sedang “sibuk mabuk minuman oplosan.” Oplosan karena yang dibicarakan sesungguhnya bukan melulu puisinya namun wacana lain yang ada di baliknya. Yang disayangkan, wacana itu kemudian dioplos sedemikian rupa sehingga nampak menjadi syarat kepentingan, utamanya kepentingan politis. Saya membayangkan, mereka itu sedang menikmati oplosan obat nyamuk, sebotol bir dan ditambah lagi dengan sekaleng minuman bersoda. Pada akhirnya, semuanya jadi klenger.

    Fenomena masyarakat yang tengah mabuk oplosan ini menunjukkan pula bahwa puisi dalam konteks masyarakat Indonesia menjadi sesuatu yang termarjinalkan, tak dikenal/asing. Kita pun kemudian sadar bahwa puisi menjadi sesuatu yang besar justru ketika ia bersinggungan dengan arena yang jauh lebih besar yakni arena sosial-politik. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa sastra pada akhirnya harus diakui sebagai sebuah arena kecil yang berada di dalam arus arena kekuasaan. Apa  yang dibicarakan masyarakat Indonesia hari ini bukanlah puisi melainkan wacana lain yang menyertainya. Puisi hanyalah media belaka. Andai medianya diganti surat atau esai, tetap akan sama hebohnya. Begitulah, puisi pada akhirnya menjadi tidak penting dalam konteks ini.

    Lalu kapan masyarakat Indonesia benar-benar mabuk puisi,”mabuk anggur?” Ini memang masalah yang sejak dahulu menjadi problematik. Masyarakat kita sungguh jauh dari dunia literasi. Berbagai survei menunjukkan hal tersebut. Jangankan membaca puisi yang memang sudah dikenal asing itu, membaca bacaan lain saja nampaknya sebagian besar kita masih malas. Padahal jauh sebelumnya, masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat berbudaya: masyarakat sastra. Berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia akrab dengan puisi, meskipun dalam bentuk puisi-puisi lama, seperti syair, pantun, dan lain-lain. Namun agaknya, setelah tradisi itu mulai tergerus oleh modernisasi, sastra kita hidup dalam kehidupan golongan menengah semata, sekaligus milik sastrawan semata. Kita mulai terpisah dari akar rumput. Masyarakat buta dengan puisi. Dan ketika sesuatu yang kontroversial dibungkus dengan gaya puisi, masyarakat kita berpesta pora, menikmatinya dengan mabuk serta cerca. Namun ketika muncul puisi yang sangat bagus tak ada yang tahu dan peduli dengan hal itu. Elit-elit politik  yang senang menggunakan puisi untuk menyampaikan isi kepalanya juga tak bisa menulis puisi yang bagus, dan masyarakat umum tetap buta dengan puisi. Yang kita konsumsi bukan lagi puisi melainkan kontroversi. Andai puisi Ibu Indonesia dibungkus dengan gaya kesastraan yang tinggi dan tidak mengganggu eksistensi sebuah agama, masihkah puisi Ibu Indonesia itu dibaca, menjadi viral dan dibicarakan?

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [Ngibul #6] Garis Kuning di Eskalator

    author = Andreas Nova

    Anak saya Janantaka —biasa dipanggil Taka—berusia sekitar lima belas bulan. Layaknya anak seusianya, rasa keingintahuannya sangat tinggi. Banyak tingkahnya yang kemaki, namun justru membuat saya tertawa. Seperti mencoba meniru ibunya minum dari gelas —namun malah tersedak dan kemudian menangis— atau menirukan suara dengkuran saya. Di usianya sekarang ia sedang senang belajar berdiri dan berjalan.

     

    Ada beberapa tempat yang menjadi tempat favorit Taka untuk belajar berjalan —selain di rumah. Yang pertama di Magangan, halaman belakang Kraton, kedua Plaza Pasar Ngasem, dan terakhir, pusat perbelanjaan. Lebih tepatnya pusat perbelanjaan yang memiliki tangga berjalan. Rasanya Taka memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap benda tersebut. Mungkin baginya, benda itu ajaib sekali, mampu membawa banyak orang ke tempat lebih tinggi tanpa perlu berjalan. Tidak perlu terengah-engah menaiki undakan seperti di depan rumah simbah buyutnya atau bersusah-susah naik ke lantai dua di rumah omanya. Ia selalu merengek turun dari gendongan ibunya untuk melangkah sendiri menaiki tangga berjalan —dengan digandeng tentu saja.

     

    Taka selalu melakukan hal yang sama ketika menaiki tangga berjalan. Ia selalu menginjak garis kuning yang ada di sana. Awalnya saya pikir wajar ia menginjak garis itu. Garis kuning itu mencuri perhatiannya. Taka selalu tertarik pada warna yang mencolok. Tapi bukankah sebagai orangtua, selayaknya kita mengajarkan dan membiasakan hal yang baik pada anak. Saya tidak mau ia tumbuh menjadi sosok yang abai terhadap peringatan dan peraturan yang telah disepakati. Perlahan saya mencoba melarangnya. Awalnya —seperti biasa— ia mengamuk. Taka tetap ngotot menginjak garis kuning itu, tapi lama kelamaan —entah ia mengerti atau tidak kata-kata yang saya gunakan untuk membujuknya— garis kuning itu tidak lagi diinjaknya.

     

    Seberapa sering kita menginjak garis kuning ketika naik atau turun melalui tangga berjalan di pusat perbelanjaan? Garis kuning yang ada di tangga berjalan merupakan garis yang menandai batas area aman ketika kita menginjakkan kaki di anak tangga tersebut. Peringatan untuk tidak menginjakkan kaki di garis kuning selalu ada di salah satu sisi tangga berjalan, namun entah karena tidak terbaca atau memang sengaja diabaikan, nyatanya terkadang kita malah coba-coba menginjaknya.

     

    Saya kira siapapun yang membaca peringatan tersebut juga sudah berpikir kemungkinan terjadinya kecelakaan. Meskipun barangkali kita yakin kemungkinan itu tidak lebih dari 10%. Tapi namanya saja kemungkinan, tetap saja ia memiliki “mungkin” bukan?

     

    Banyak berita yang bertebaran di situs berita maupun media sosial tentang kecelakaan di eskalator akibat kelalaian mengabaikan peringatan tersebut. Korbannya tak hanya anak kecil, banyak juga orang dewasa. Jika kita mau mengindahkan peringatan tersebut, barangkali kemungkinan terjadinya kecelakaan bisa diminimalisir, atau bahkan nol. Tentu saja kita tahu peringatan tersebut dibuat bukan hanya sekadar untuk dipajang, ia bahkan dipampang dengan ukuran huruf yang tak bisa disebut kecil ataupun kurang jelas. Namun terkadang ketidakdewasaan lah yang membuat kita tak mau luput menginjaknya. Seandainya saja kita mau sedikit lebih dewasa, maka kita tak akan seperti anak kecil yang melihat segala sesuatunya dengan sekilas lalu mengabaikannya. Barangkali kita perlu lebih merenungkan peraturan-peraturan lain yang tertulis seperti “Mohon mendampingi anak-anak ketika menaiki tangga berjalan”. Padahal kita sendiri terkadang masih seperti anak-anak.

     

    ***

     

    Hal-hal remeh yang seringkali luput dari mata kita terkadang justru menunjukkan kedewasaan kita. Dewasa terkadang tidak selalu berbanding lurus dengan bertambahnya umur. Masih banyak di sekitar kita orang tua yang mengizinkan anaknya yang masih di bawah umur untuk mengendarai kendaraan bermotor. Ada juga ibu-ibu yang menyalakan lampu sinyal ke kiri, tapi berbelok ke kanan. Bahkan hal sesederhana mengantri saja mungkin masih terasa berat bagi sebagian orang. Sadar atau tidak sadar, tahu atau tidak mau tahu, hal tersebut merugikan orang lain.
    Sudah pasti kita tidak bisa menolak umur yang selalu bertambah setiap detiknya. Kita bukan superhero yang bisa beregenerasi dan bertahan hidup selama yang kita mau. Hidup kita bukan berada di lembaran komik Marvel atau DC. Menolak tua adalah omong kosong. Namun kedewasaan harus bertumbuh seirama dengan umur yang bertambah. Mulai dari hal-hal kecil, remeh dan terabaikan, perlahan tapi konsisten.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.