Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #66] Penyair Perempuan dan Sastra Indonesia

author = Fitriawan Nur Indrianto

Pada tahun 2014, di Yogyakarta terbit buku antologi puisi penyair Yogyakarta berjudul Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014). Diantara 90 nama penyair Yogyakarta dalam buku tersebut, ada sekitar dua belas nama penyair perempuan yang masuk di dalamnya. Beberapa nama di antaranya bahkan merupakan para penyair muda (kelahiran 80an ke atas) antara lain: Mutia Sukma, Fitri Merawati, Nurul Latiffah, Retno Iswandari, dan Komang Ira Puspitaningsih. Beberapa nama yang lain adalah penyair perempuan yang usianya lebih senior di antaranya Ita Dian Novita, Marfuah, Ulfatin Ch, Abidah El Khalieqy, Dorotea Rosa Herliany, Nana Erawati, serta Dhenok Kristianti. Beberapa nama penyair perempuan lainnya nampak tidak masuk dalam antologi tersebut baik yang senior atau yang masih muda (tentu ada pertimbangan tertentu dari tim penyusun, terlebih buku tersebut sudah disusun 4 tahun yang sebelumnya sehingga ada nama-nama baru yang belum tercatat). Dari buku tersebut, kita bisa melihat bahwa pada dekade ini, setidaknya di Yogyakarta telah bermunculan nama-nama penyair perempuan yang mulai dibicarakan dalam sastra kita. Kemungkinan, penyair-penyair perempuan usia muda juga sudah muncul di berbagai kota di luar Yogyakarta. Jumlahnya mungkin sudah cukup banyak, namun jumlah tersebut saya kira belum mampu menyaingi jumlah penyair laki-laki yang tentu saja jumlahnya membeludak dalam dunia Kesusastraan Indonesia

Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia sastra Indonesia khususnya di genre puisi sampai saat ini masih didominasi oleh penulis laki-laki. Hal tersebut tentu saja menjadi ironi mengingat data yang sering kita dengar mengatakan bahwa jumlah perempuan saat ini lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Mengapa demikian? Apakah memang hanya sedikit perempuan yang menulis (termasuk puisi)? Ataukah sebenarnya perempuan menulis puisi tapi tak terpublikasi (hanya menjadi dokumen pribadi semata)? Atau justru malah dunia sastra kita (khususnya puisi) belum membuka ruang yang besar bagi kehadiran penyair perempuan (karya-karya mereka dimuat tetapi belum banyak mendapat perhatian)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan susah untuk dijawab. Perlu sebuah kajian mendalam untuk mengetahui masalah yang ada. Tetapi jika boleh meraba-raba, minimnya jumlah penulis perempuan (khususnya di genre puisi) tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang ada di Indonesia termasuk juga mengenai genre puisi sendiri sebagai alat penyampaian ide.

Memang dewasa ini, arus keterbukaan dan kebebasan khususnya pascareformasi 1998 telah membuka ruang bagi siapapun untuk mengekspresikan diri, tak terkecuali kaum perempuan. Namun, perempuan dalam masyarakat Indonesia masih ada yang termarginalisasi. Berbagai aturan dan norma yang ada dalam masyarakat turut membatasi kebebasan perempuan. Dalam pergaulan sehari-hari misalnya, seorang perempuan dilarang untuk keluar malam. Mereka yang keluar malam (bekerja) di malam hari dianggap memiliki citra yang buruk. Di desa-desa terpencil di Indonesia perempuan yang sudah masuk masa haid dianggap sudah siap untuk dinikahi. Bagi masyarakat tertentu, perempuan yang pada usia lebih dari 17 tahun belum menikah dianggap tidak laku. Di dalam serba keterbatasan, dunia pendidikan membuka sedikit celah bagi perempuan untuk memperoleh hak yang sama dengan laki-laki. Hanya saja dunia pendidikan tak serta menjamin bahwa perempuan memperoleh perlakuan yang sama dengan laki-laki atau bebas dari stereotip. Perempuan-perempuan perkotaan barangkali lebih beruntung yang jika dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di desa dalam urusan memperoleh kebebasan. Hal yang sama juga barangkali dimiliki oleh perempuan golongan menengah ke atas dibandingkan perempuan golongan menengah ke bawah. Mereka cenderung lebih mudah memperoleh akses terhadap ilmu pengetahuan termasuk juga sastra. Tak bisa dipungkiri pula, para penulis sastra kita, baik laki-laki dan perempuan lahir dari kelas sosial tersebut. Dari segi pilihan genre, prosa nampaknya masih lebih diminati oleh perempuan dibandingkan puisi. Hal ini dimungkinkan karena prosa sifatnya lebih naratif sehingga perempuan memiliki ruang yang lebih besar untuk mencurahkan hasrat terpendamnya dibanding dengan puisi yang lebih bersifat tak langsung dan juga terlalu padat.

Dalam penelitian Tineke Hellwig terhadap karya sastra Indonesia, perempuan lebih banyak hadir sebagai tokoh-tokoh dalam karya sastra karya kaum laki-laki. Representasi perempuan dalam karya-karya sastra Indonesia pun bermacam-macam tetapi perempuan dalam konteks ini tentu saja masih menjadi objek. Citra perempuan dalam konteks ini adalah citra perempuan dalam pandangan kaum laki-laki. Namun di tengah banyaknya penulis laki-laki, beberapa penulis perempuan juga sesekali muncul dalam dunia sastra Indonesia. Pada periode sastra Indonesia awal, sudah muncul beberapa nama penulis Tionghoa. Pada tahun 1930an, muncul nama Selasih dan Hamidah. Pada masa perang dikenal dua penulis perempuan yakni Arti Poerbani dan Suwarsih Djojopuspito. Sementara itu memasuki periode 1960an, gelombang pertama kemunculan penulis perempuan ditandai dengan kemunculan beberapa prosais perempuan diantaranya: Titie Said, Titis Basino, serta Nh. Dini. Selain mereka ada dua penulis perempuan yakni Marga T. dan Mira W. yang sangat produktif menulis dan menerbitkan buku. Sayangnya dua nama penulis perempuan ini seringkali diidentikkan dalam stereotip sebagai penulis novel populer. Sementara itu, dalam genre puisi dua nama yang paling dikenal adalah Toeti Heraty dan Dyah Hadaning. Selain itu, jumlah mereka juga masih belum banyak. Sedikitnya nama penulis perempuan pada masa awal Orde Baru ini kemungkinan besar terkait dengan ciri khas Orde Baru yang cenderung didominasi oleh laki-laki. Bisa dikatakan, para penulis perempuan itu (yang bisa mengekspresikan pikiran dan batinnya) melalui karya sastra adalah mereka yang memiliki akses lebih (golongan menengah ke atas) yang dalam konteks tertentu tidak terlalu terikat dengan hegemoni patriarki gaya Orde Baru.

Seperti kita ketahui, Orde Baru adalah sebuah rezim kekuasaan yang sangat patriarkal, menempatkan laki-laki sebagai pusat dan posisi dominan dibandingkan perempuan. Orde Baru setidaknya dibangun dari 3 ideologi besar yakni Jawa(isme), Militer(isme), serta kapitalisme yang kesemuanya menempatkan laki-laki sebagai subjek utamanya sementara perempuan menjadi objek sekaligus termarginalisasi. Dalam konteks ini, kita mungkin bisa meminjam terminologi Simone de Beauvoir mengenai perempuan sebagai second sex atau kita juga bisa meminjam istilah jawa seperti konco wingking. Perempuan di masa Orde Baru dikesankan hanya sebagai pendamping laki-laki semata. Kebijakan Orde Baru khususnya bagi militer dan pegawai negeri sipil nampak mencolok menunjukkan hal tersebut melalui kemunculan organisasi-organisasi perempuan di bawah Kowani (Kongres Wanita Indonesia) dengan semboyan Panca Dharma Wanita yaitu: 1) Wanita Sebagai Istri Pendamping Suami, 2) Wanita Sebagai Ibu Rumah tangga, 3) Wanita Sebagai Penerus Keturunan dan Pendidik Anak, 4) Wanita Sebagai Pencari Nafkah Tambahan, 5) Wanita Sebagai Warga Negara dan Anggota Masyarakat. Selain itu, Orde Baru juga membuat kementrian khusus mengenai urusan perempuan yakni dengan adanya kementrian urusan wanita. Dari segi pemilihan kata, diksi perempuan dalam rezim Orde Baru ternyata tidak banyak digunakan. Orde Baru lebih memilih menggunakan istilah wanita yang diidentikan dengan pengertian sebagai “wani ditata” (berani ditata). Dalam konteks inilah, perempuan pada masa Orde Baru tidak memiliki ruang yang bebas untuk menyatakan dirinya.

Di masa akhir kejayaan Rezim Orde Baru, masyarakat mulai menuntut adanya perubahan dalam tata kelola pemerintahan. Gelombang besar tuntutan perubahan itu kemudian mencapai puncaknya setelah terjadi peristiwa reformasi 1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dan rezim Orde Baru. Seiring dengan tumbangnya Orde Baru, tuntutan perubahan begitu besar. Salah satu tuntutan reformasi adalah soal kebebasan berekspresi yang selama masa Orde Baru dikekang. Bersamaan dengan gelombang itu pula, penulis-penulis perempuan satu persatu mulai bermunculan.

Seperti kita tahu, gelombang besar-besaran kemunculan penulis perempuan di dunia sastra terjadi pascareformasi 1998. Dalam bukunya berjudul “Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia” Korrie Layun Rampan mendokumentasikan beberapa nama penulis perempuan, satu nama yang paling menonjol adalah Ayu Utami. Di genre puisi beberapa nama seperti Ulfatin Ch, Abidah El Khalieqy serta Linda Christianty juga masuk dalam buku tersebut. Masih di masa yang sama, gelombang kemunculan penulis perempuan juga ditandai melalui polemik yang kerap dikenal dengan sebutan sastra wangi, sebuah frase yang ditujukan bagi penulis perempuan kala itu yang dianggap terlalu mengeksplorasi hal-hal yang bersifat tabu (khususnya seksualitas). Beberapa nama yang mendapatkan stigma “negatif” tersebut selain Ayu Utami adalah Fira Basuki, Nukila Amal, Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Dinar Rahayu, juga beberapa nama lain. Kebanyakan nama-nama yang disebut menulis dalam genre prosa.

Penulis perempuan pada masa awal reformasi itu nampak memiliki citarasa yang khas dalam tulisan-tulisannya. Melalui karya-karya prosa yang muncul, perempuan nampak mencoba mengungkapkan sisi-sisi yang selama tersembunyi dalam ruang domestik. Perempuan mencoba mengungkapkan semua hal secara vulgar, sebagi reaksi atas belenggu-belenggu yang selama ini mengganggu mereka. Kebebasan yang ditawarkan pascareformasi menjadi ruang bagi para penulis untuk mengeksorasi segala hal, termasuk masalah seksualitas yang selama ini dianggap tabu. Meskipun begitu, suara pada masa awal reformasi tak selamanya Tunggal. Helvi Tiana Rosa barangkali satu di antara penulis perempuan pascareformasi yang memiliki kecenderungan yang berbeda dalam karya-karyanya. Sepertinya, ia tidak terlalu sepakat dengan eksplorasi karya-karya para penulis perempuan pada masanya. Melalui gerakan sastra bernama Forum Lingkar Pena, nampak bahwa Helvi ingin menciptakan tradisi sendiri dalam penulisan sastra Indonesia.

Dibandingkan dengan penulis-penulis perempuan pada masa sebelumnya, penulis zaman sekarang tentu memiliki cara pandang yang berbeda dari para pendahulunya. Perempuan zaman sekarang tentu saja menghadapi situasi sosial yang mungkin saja berbeda sehingga tema dan gaya tulisan mereka pun berbeda. Dari pembacaan sekilas saya terhadap karya-karya penyair perempuan sepertinya ada nuansa lain yang hendak dihadirkan.

Saya mencoba membaca sekilas terhadap karya-karya perempuan dalam buku Antologi Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya. Tentu saja, karya-karya yang saya baca dan saya sampaikan di sini mungkin tidak merepresentasikan bagaimana karya penyair perempuan jaman sekarang (termasuk juga pembacaan saya). Tetapi dengan membaca karya-karya berikut, paling tidak kita akan melihat sedikit representasi mengenai penyair perempuan dan karyanya.

Permulaan Puisi

Sudah lama aku tak membaca buku
sudah lama aku tak melihat namamu
terselip di antara kertas-kertas

Sekali ini terlanjur tanganku gemetar
ingin menulis banyak tentang hidup
tentang pacarku yang meninggalkan
kerut kening pada lampu yang tak mampu
menerangi penglihatanku
juga tulangku yang selalu nyeri dengan masalah

aku ingin menulis banyak

wajahmu yang kusut penuh cerita
dengan mulut gemetar kau berucap
“Tak ada yang perlu ditakutkan
kecuali ketakutan itu sendiri.”

Dan aku rindu katakatamu

aku ingin menulis dan bercerita banyak
tentang hidup tentang pacarku
tentang tulangku yang selalu nyeri dengan masalah

Puisi di atas adalah karya dari Mutia Sukma. Sekilas jika kita lihat, penulis melalui aku lirik mencoba menceritakan kisah tentang aku yang ingin menulis: sebuah aktivitas untuk mengekspresikan kegelisahan batin. Aku nampak menghadapi situasi-situasi yang membuat hidupnya (tulang) menjadi nyeri. Dari sini kita bisa membaca bahwa melalui puisinya, penyair mencoba mengungkapkan hasratnya untuk menulis. Dalam posisi ini nampak pula ditunjukkan bahwa perempuan sudah memiliki kebebasan untuk menulis kapanpun dan soal apa saja dan hasrat itu benar-benar telah mencapai puncaknya hingga ia menggunakan ungkapan “Sekali ini terlanjur tanganku gemetar.”

Dalam puisi ini juga muncul representasi laki-laki melalui kehadiran pacar yang nampak dicitrakan tidak dominan dan memiliki keterbatasan. Meskipun laki-laki tidak lagi dominan tapi dalam puisi ini nampak bahwa laki-laki masih menjadi bagian penting dalam kehidupan perempuan.

Lakon Yang Akan Kita Mainkan

Jika aku sinden,
engkau dalang
dan mereka adalah wiyaga kita.
Lakon apakah yang akan kita pilih malam ini?

Apakah tentang Sri Rama yang tak kuasa menyelamatkan Sinta seorang diri, lalu meminta Anoman beserta dirinya?
Apakah tentang Arjuna yang berkata setia pada setiap wanita hingga dikatakan sebagai lelanange jagad?
Ataukah tentang Bima yang sempat menolak Arimbi lantaran masih berwujud rakesi?

Blencong mulai lelah menunggu kita berdiam.
Geber mulai lusuh mengeluh dengan ketidakpastian.
Para penonton satu demi satu memilih pulang.
Dan para wiyaga pun undur diri ke senthong menemui istri dan anak-anaknya

sementara aku,
aku akan tetap di sini
menunggumu hingga ber-suluk dan menancapkan gunungan kembar

Banguntapan, 26 Juli 2013

Puisi di atas adalah karya dari Fitri Merawati. Puisi tersebut nampak menujukkan kesetiaan seseorang meskipun banyak orang yang telah meninggalkan sosok pemimpinnya. Dalam puisi tersebut, nampak hubungan relasional antara dalang dan sinden juga relasi dengan yang lain. Dalam puisi itu juga, dimunculkan juga teks-teks yang menyuguhkan wacana mengenai kelemahan dan keburukan laki-laki melalui kehadiran teks cerita wayang. Dari puisi di atas, kita bisa melihat bagaimana suara perempuan hadir. Melalui tokoh sinden, representasi kesetiaan perempuan nampak dihadirkan. Meskipun dalang (bisa menjadi representasi laki-laki) menjadi tokoh yang peragu dan tidak cepat mengambil keputusan, nampak bahwa puisi tersebut masih menempatkan laki-laki sebagai pemimpin yang harus dihormati. Tapi jika kita perhatikan, relasi dalam hubungan ini bukan lagi hubungan yang hierarkis, melainkan hubungan kesetaraan, menempatkan dalang dan sinden dalam sebuah hubungan kerja yang satu sama lain saling mendukung. Perempuan bisa dikatakan bersama-sama kaum laki-laki muncul di hadapan publik. Kalau kita melihat lebih jauh, kesetiaan sang sinden lahir dari sebuah kesadaran diri, bukan lahir dari paksaan. Keputusan untuk bertahan adalah keputusan yang sadar diri sementara ia pun juga memiliki pilihan untuk pergi sama seperti para penonton dan wiyaga misalnya.

Dari dua puisi di atas, nampak bahwa perempuan telah memiliki ruang untuk mengekspresikan dirinya. Perempuan tidak lagi hadir menjadi makhluk yang inferior di hadapan laki-laki. Di sini lain, meskipun memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, perempuan dalam dua puisi di atas nampak tidak mencoba untuk menonjolkan sisi keakuan yang berlebih khususnya dalam hubungan dengan laki-laki. Perempuan dalam dua puisi di atas adalah citra perempuan yang sadar diri, perempuan yang mengerti betul tentang dirinya. Ia tidak lagi merasa inferior di hadapan laki-laki tapi sekaligus tidak menginferiorkan keberadaan laki-laki.

Dari dua puisi di atas, dapatkan kita menyimpulkan bahwa perempuan masa kini sudah memiliki cara pandang yang sadar diri, bahwa mereka adalah makhluk yang kedudukannya sama dengan laki-laki? Mereka tak lagi inferior, berhasil melepaskan diri dari hegemoni patriarki sekaligus tidak mencoba menempatkan diri sebagai lebih dominan? Mungkinkah perempuan sudah mencapai tingkat menjadi manusia seutuhnya yang merdeka sekaligus memerdekakan?

Dua puisi di atas adalah dua puisi yang selain menggambarkan isi jiwa pengarangnya mungkin juga bisa menggambarkan jiwa zamannya. Tentu, kita harus terus melakukan pendalaman terhadap karya-karya para penyair perempuan. Yang perlu diapresiasi adalah kemunculan para penulis perempuan termasuk juga penyair perempuan usia muda menambah warna dalam kesusastraan Indonesia. Semoga kemunculan mereka merangsang kemunculan penulis perempuan yang lain. Yang patut dipikirkan juga, publik sastra harus ramah terhadap para penulis perempuan, menerima hasil kerja mereka dan mengapresiasinya demi perkembangan kesusastraan Indonesia secara lebih luas.