Category: resensi

  • Gone With The Wind: Kisah Cinta dalam 1124 Halaman

    author = About Alangga Dwi Kusuma
    Teman-jalan-jalan-dan-membaca-mu

    View all posts by Alangga Dwi Kusuma →










    Lalu Bersama Angin







    Margareth Mitchell







    Gramedia Pustaka Utama





    cetakan ketiga, April 2014 (terbit pertama tahun 1936)






    1124






    165.000




    Gone With The Wind




    Tanti Lesmana



    GONE WITH THE WIND terjual lebih dari 176.000 ekslempar dalam tiga minggu pertama setelah penerbitannya, dan pada tahun berikutnya–tahun 1937 — memperoleh penghargaan Pulitzer. Novel ini kemudian dibeli oleh MGM dan dibuat menjadi film yang amat populer, yang ditonton oleh lebih dari seperempat miliar orang di seluruh dunia.

    GONE WITH THE WIND memenangkan sepuluh Academy Award, dan tetap menjadi flm yang memesona generasi selanjutnya.

     

     

    “Kisah cinta Scarlett O’Hara dan Rhett Butler yang tak terlupakan sepanjang masa.”

     

    Kutipan kalimat di atas menghiasi sampul novel karya Margareth Mitchell cetakan ketiga dalam versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada April, 2014. Mungkin terkesan sangat terlambat ketika saya menjumpai novel ini baru pada tahun 2017, sementara novel ini sudah terbit jauh lama sejak 1936. Namun, saya rasa, saya berada pada usia yang tepat untuk dapat melahap novel yang sangat tebal ini. Pada perjumpaan pertama ini, sebuah pertanyaan langsung muncul dalam benak saya terkait kutipan kalimat di atas: “Kisah cinta macam apa yang dikandung novel ini hingga menghabiskan 1124 halaman?”

     

    Hal yang saya lakukan sebelum membaca lembar demi lembar novel ini adalah mencari informasi terkait novel tersebut, yang nyatanya informasi itu semakin membuat saya penasaran. Novel ini terjual sebanyak 176.000 eksemplar pada tiga minggu pertamanya. Setahun kemudian meraih penghargaan Pulitzer, dan kemudian, pada tahun 1939, novel ini diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama dan menjadi film terpopuler pada masa itu. Novel ini masuk dalam daftar “1001 Books  You Must Read Before You Die”.

     

    Kembali ke pertanyaan awal saya, “Kisah cinta macam apa yang dikandung novel ini hingga menghabiskan 1124 halaman?”

     

    Sesungguhnya saya perlu bersabar sampai lebih dari 200 halaman, baru kemudian bisa menikmati alur yang disajikan. Perlu satu minggu untuk menyelesaikan sekitar 200 halaman awal tersebut (yang sebagian besar mengisahkan latar belakang tokoh-tokohnya), dan satu minggu lagi untuk menyelesaikan sisanya yang sekitar 900 halaman. Apa yang saya pahami dari frasa “kisah cinta yang tak terlupakan” yang terpampang dalam sampul novel ini ternyata di luar perkiraan saya. Saya membandingkannya dengan novel-novel roman yang pernah saya baca sebelumnya yang memuat kisah cinta yang “keras” dan “tak terlupakan”. Misalnya, kisah cinta antara Musashi dan Otsu dalam Musashi. Meski harus berkali-kali terpisah, bertemu, dan berpisah lagi, Musashi dan Otsu mempunyai saat-saat cinta mereka bertaut satu sama lain. Begitu pula kisah cinta antara Setadewa dan Larasati dalam Burung-Burung Manyar (karya Y.B. Mangunwijaya). Kendati Setadewa tidak pernah memiliki Larasati seutuhnya karena dipisahkan oleh perang, pernikahan, dan pada akhirnya kematian, Setadewa dan Larasati mempunyai “waktu” yang sama untuk saling mengharapkan satu sama lain.

     

    Itulah yang tidak ditemui dalam Gone With The Wind. Scarlett O’Hara dan Rhett Butler tidak pernah sekalipun ada pada waktu yang sama untuk merasakan pertautan hati satu sama lain—bahkan setelah mereka berdua menikah. Rhett, yang berjuang keras untuk bisa mendapatkan Scarlett sejak kali pertama berjumpa, harus mengalami berbagai penghinaan dari Scarlett meskipun Rhett berkali-kali memberikan hadiah mahal dan berada di sekitar Scarlett pada saat-saat yang paling dibutuhkan. Scarlett selalu menyebut Rhett sebagai lelaki yang tidak tahu diri, seorang oportunis, bukan pria terhormat, dan sebutan-sebutan rendah lainnya yang mengungkapkan betapa buruknya reputasi Rhett di depan matanya. Itu belum ditambah Rhett harus bersabar menunggu dua lelaki yang dinikahi Scarlett tanpa pernah dicintainya mati terlebih dahulu (Rhett menjadi lelaki ketiga yang dinikahi Scarlett tanpa dicintainya terlebih dahulu). Namun, hal-hal tersebut kadarnya masih di bawah perjuangan Rhett melawan cinta buta Scarlett kepada Ashley Wilkes, teman masa kecil Scarlett sekaligus pria idamannya, bahkan setelah Ashley Wilkes menikah dengan Melanie Hamilton. Bagi Scarlett, Ashley adalah seorang gentleman, seorang pria terhormat yang selalu didambakan untuk bersanding dengannya.

     

    Cinta buta Scarlett kepada Ashley baru padam justru ketika istri Ashley, Melanie, meninggal dengan mewariskan pesan kepada Scarlett untuk menjaga Ashley Wilkes dan anaknya. Pada saat itulah, Scarlett melihat sosok Ashley yang sebenarnya—seorang lelaki yang rapuh yang hidup dengan mimpi-mimpi dan kehormatan—lelaki yang bahkan tidak mampu menyesuaikan pandangan hidupnya ketika dunia di sekitarnya hancur (dan berubah seutuhnya) karena Perang Sipil Amerika 1861. Sosok Ashley yang diinginkan Scarlett sebagai tempat bersandar ketika situasi benar-benar sulit saat perang justru menggantungkan hidupnya (dan bahkan hidup keluarganya) kepada Scarlett. Pada titik inilah harapan Scarlett terhadap Ashley hancur, sehancur harapan Ashley untuk melanjutkan hidupnya setelah ditinggalkan Melanie.

     

     

    “He never really existed at all, except in my imagination.”

    “Keberadaannya tak pernah nyata, kecuali dalam angan-anganku.”

     

    Begitulah yang dipikirkan Scarlett ketika menyadari bahwa cintanya kepada Ashley hanya sekadar obsesi belaka, tanpa kedalaman. Scarlett bahkan mengutarakan bahwa cintanya kepada Ashley adalah cinta kepada sesuatu yang ia ciptakan sendiri. Cinta kepada suatu kostum yang ia lekatkan pada diri Ashley—bukan kepada Ashley yang sejatinya.

     

    Lalu, sadarlah Scarlett betapa seseorang yang sungguh-sungguh mencintainya adalah Rhett Butler. Rhett sama halnya dengan Scarlett adalah seorang yang licik, keras kepala, dan serakah namun mencintai Scarlett dengan sungguh-sungguh. Rhett berhasil menikahi Scarlett dengan iming-iming kehidupan yang mapan karena dia seorang oportunis yang kaya raya. Pada dasarnya Rhett sungguh-sungguh mencintai Scarlett, meski hal itu tidak pernah ia ungkapkan, karena Rhett tahu bahwa Scarlett selalu brutal kepada lelaki yang mencintainya; selalu memanfaatkan lelaki yang memujanya untuk kepentingan pribadinya, seperti apa yang Scarlett lakukan kepada Frank Kennedy (suami kedua Scarlett) sampai akhirnya Kennedy meninggal. Scarlett dengan licik merebut Kennedy dari adiknya sendiri untuk ia nikahi dengan tujuan mendapatkan akses seluas-luasnya untuk menjalankan usaha Kennedy demi menghidupi dirinya, keluarganya, dan tanah kelahirannya: Tara.

     

    Ketika kemudian Scarlett menjumpai Rhett untuk menyatakan cintanya, dan bahwa ia telah membuang Ashley dari hatinya, Rhett telah berada di puncak kesabarannya dan memutuskan untuk meninggalkan Scarlett. Segalanya sudah terlanjur bagi Rhett.

     

    “Cintaku telah sirna,” lanjut Rhett, “karena Ashley Wilkes dan sifat keras kepalamu yang luar biasa yang membuatmu mempertahankan mati-matian segala sesuatu yang kaukira kauinginkan… Cintaku telah sirna.”

     

    Pada akhirnya, Rhett dan Scarlett tidak pernah bersatu dalam cinta di “waktu” yang sama, meski mereka berdua telah menikah dan melahirkan satu anak yang kemudian meninggal karena kecelakaan saat berkuda. Cinta Rhett kepada Scarlett terhalangi oleh impian Scarlett akan harta kekayaan dan Ashley Wilkes, sedangkan cinta Scarlett kepada Rhett yang baru terasa setelah Melanie, istri Ashley sekaligus sahabatnya harus terbentur keputusasaan Rhett, lelaki telah mencoba segala cara untuk mendapatkan cinta Scarlett sampai kelelahan dan habis kesabarannya.

     

    Lalu apakah novel ini merupakan “kisah cinta yang tak terlupakan?”

     

    Mungkin “kisah cinta Scarlett O’Hara dan Rhett Butler yang tak terlupakan sepanjang masa” merupakan frasa paling sederhana untuk melabeli cerita yang kompleks dalam novel klasik ini. Namun menurut saya pribadi, novel ini lebih bercerita tentang tragedi-tragedi yang menimpa tokoh-tokohnya ketimbang sebatas “kisah cinta antara Scarlett O’Hara dan Rhett Butler”, tepatnya tragedi percintaan: patah hati seorang Scarlett ketika Ashley menikah dengan Melanie; hancurnya semangat hidup Ashley karena Melanie meninggal ketika mengandung anaknya yang kedua; hingga terlambatnya Scarlett menyadari cinta Rhett yang terlanjur sirna ketika Scarlett telah mengharapkannya.

     

    Di sisi lain, dengan saratnya muatan fakta sejarah mengenai Perang Sipil Amerika (Perang Saudara Amerika 1861-1866) dan pandangan-pandangan kritis mengenai situasi sosial, politik, dan budaya di negara-negara bagian selatan (pihak Konfederasi) pada masa itu membuat novel ini sayang rasanya bila hanya dilabeli dengan “kisah cinta” antara dua tokoh utamanya saja. Namun begitu, saya bukannya tidak setuju seutuhnya dengan pelabelan “kisah cinta”, karena, seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, frasa itu mungkin saja ungkapan paling sederhana untuk mewakili seluruh kisah dalam Gone With The Wind. Selain itu, bisa jadi frasa yang saya maksud di atas merupakan bagian dari strategi pemasaran untuk melariskan buku ini karena mungkin orang-orang akan lebih tertarik ketika menjumpai kata “cinta” sehingga mau paling tidak mau mempertimbangkan untuk membeli novel yang sangat tebal ini yang, toh, pada dasarnya telah mempunyai reputasi yang sangat baik di dunia fiksi internasional.

     

     

    Margareth Mitchell lewat masterpiece-nya ini berhasil menghipnotis pembaca dengan kisah tentang orang-orang “Selatan” dalam menghadapi situasi Perang Sipil Amerika serta masa rekonsiliasi pascaperang tersebut. Ia secara mendetail menciptakan tokoh-tokoh dengan karakter yang khas dan stabil, lengkap dengan latar belakangnya—yang harus saya lahap dengan kesabaran tinggi pada 200 halaman awal novel ini—sambil menyelipkan pandangan-pandangan orang “Selatan” mengenai Perang Sipil melalui tokoh-tokoh tersebut. Ia juga berhasil menciptakan tokoh-tokoh “kejutan” di tengah-tengah novel ketika—mungkin—pembaca mulai lelah “berurusan” dengan tokoh-tokoh utamanya.

     

    Pengisahan mengenai renungan, konflik batin, dan keberagaman emosi para tokoh dalam novel ini turut menjadi daya tarik yang spesial yang bagi saya tidak dapat dibandingkan dengan filmnya—yang dirilis tiga tahun setelah penerbitan novel—yang konon amat popular: ditonton oleh seperempat milyar orang di seluruh dunia.

     

    Mengenai kisah cinta, dapat disetujui bahwa Margareth Mitchell telah menciptakan “kisah cinta yang tak terlupakan”, namun tentu saja tidak sebatas pengisahan hubungan Scarlett O’Hara dengan Rhett Butler. Cinta, bagi Margareth Mitchell, tidak sesederhana hubungan kasih antara dua insan. Ia menyajikan kisah cinta dengan dihadapkan pada situasi-situasi tertentu sehingga menjadikan cinta sebagai suatu hal yang sangat problematis: cinta tidak dapat menjadi suatu pegangan hidup bilamana dunia di sekitarnya sedang bergolak; cinta tidak dapat menjadi suci karena di dalamnya terkandung hasrat purba manusia; cinta tidak dapat menjadi murni karena ada kepentingan-kepentingan manusia yang perlu dipenuhi, dengan cinta sebagai alat pemenuhannya; cinta juga tidak dapat menjadi abadi ketika segala usaha telah dilakukan untuk dapat “menikmatinya”, namun segala usaha itu terus saja menemui kegagalan; pula cinta menjadi sesuatu yang membutakan ketika hanya dilandasi dengan mimpi-mimpi tanpa melihat realitas sebagaimana adanya. Urusan cinta yang kompleks inilah yang dapat menjadi jawaban paling masuk akal—bila menyetujui Gone With The Wind sebagai “kisah cinta”—untuk pertanyaan “kisah cinta macam apa yang dikandung dalam novel ini sehingga menghabiskan 1124 halaman?”

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/resensi/kisah-cinta-dalam-1124-halaman/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featangga.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featangga-150×150.jpgAlangga Dwi KusumaResensiAlangga Dwi Kusuma,Budaya,buku,Cinta,Gone With The Wind,kibul,Margareth Mitchell,Resensi,Roman,Sastra,Sastra Amerika 
     
    “Kisah cinta Scarlett O’Hara dan Rhett Butler yang tak terlupakan sepanjang masa.”
     
    Kutipan kalimat di atas menghiasi sampul novel karya Margareth Mitchell cetakan ketiga dalam versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada April, 2014. Mungkin terkesan sangat terlambat ketika saya menjumpai novel ini baru pada tahun 2017,…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Binatang-Binatang Yang Melawan dengan Tawa

    author = About Venda Pratama
    Mahasiswa semester akhir di antropologi UGM

    View all posts by Venda Pratama →










    Kumpulan Fabel







    Aesop







    Kakatua





    September 2016






    174






    Rp 49.000,00




    Nurul Hanafi



    Ada seratus lima puluh fabel dimuat dalam buku ini. Di antaranya fabel-fabel terkenal seperti: Angsa bertelur emas, Keledai Berbulu Singa, dan Serigala Berbulu Domba. Konon fabel Aesop telah ada sejak abad 6 SM. Bukan sekadar kisah moral, fabel Aesop sesungguhnya adalah alegori politik, yang menggambarkan betapa golongan yang kuat selalu berusaha menguasai, mengendalikan, dan bahkan menghancurkan golongan yang lebih lemah.

     

     

    Buku ini secara iseng saya baca guna menghilangkan penat yang mulai datang di kala mengerjakan skripsi dan membaca novel-novel tebal. Sebagai sebuah bacaan selingan, tentu saya berharap bisa menemukan perspektif baru dari buku ini. Apalagi ini sebuah Kumpulan Fabel. Dengan judul semenarik ini, saya berharap mata dan kepala anak kecil saya hidup lagi. Ya, saya membaca buku ini karena ingin menghidupkan kembali roh anak kecil yang telah lama mati dalam tubuh ini.

     

    Sedari awal, buku ini sudah berhasil menghadirkan roh anak kecil tersebut. Tentu saja roh anak kecil itu harus bertengkar dulu dengan roh orang dewasa yang sudah lebih satu dasawarsa hinggap dalam tubuh saya. Tak heran jika klisenya pesan moral yang diberikan pada 10 cerita pertama sempat membuat saya bosan. Untungnya roh anak kecil tersebut bisa menang dalam 140 cerita tersisa. Setidaknya, 140 cerita dalam buku ini membuat saya teringat tentang khalayan masa kecil yang pernah hinggap di kepala ini. Di masa itu, saya meyakini adanya kerajaan binatang yang beranggotakan hewan-hewan di sekitar rumah saya. Hewan-hewan yang berkumpul tiap malam di kala saya tertidur pulas. Berhasilnya buku ini dalam menghadirkan memori yang sudah terpendam jauh tentu membuat hati puas. Namun, kepuasan yang seperti itu hanya berlangsung sekejap.

     

    Berangsur-angsur saya mencoba merefleksikan berbagai narasi dalam buku ini dengan lebih mendalam. Secara perlahan proses refleksi ini membuat saya sadar bahwa buku ini tak hanya hadir demi tujuan rekreatif belaka. Buku ini dikarang bukan untuk  mengobati kerinduan orang dewasa terhadap jiwa masa kecilnya. Lebih dari itu, buku ini justru menghadirkan berbagai alegori politik ala orang dewasa. Lewat alegori-alegori yang penuh nuansa humor, Aesop sang pengarang, mampu menceritakan luka-luka kehidupan orang kelas bawah yang sering ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa. Kisah tentang singa raja hutan yang mengundang rusa jantan ke rumahnya untuk dimakan dagingnya adalah salah satu contoh alegori dari tipu daya dan penindasan para penguasa terhadap rakyatnya.

     

    Cerita-cerita dalam buku ini tak berhenti pada alegori yang penindasan antar-kelas. Ia juga menyajikan berbagai alegori pengkhianatan dan intrik antar-binatang dalam kelas yang sama. Metafora pengkhianatan sesama rakyat jelata bisa dijumpai pada cerita seekor rubah yang terperosok ke dalam sumur, dan tak bisa keluar. Suatu ketika ada kambing berjalan di dekat sumur tersebut. Mendengar kedatangan kambing, si rubah langsung memintanya untuk ikut terjun ke dalam sumur. “Di tempat ini kita tetap bisa minum walau di musim kering”, kata sang rubah. Sayangnya si kambing tertipu. Setelah kambing turun ke sumur, si rubah langsung meloncat ke atas punggung kambing lantas meloncat lagi ke atas sumur dan meninggalkan kambing sendiri. Kisah tipu-menipu di antara sesama “hewan biasa” ini acap kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dalam kaca mata orang Jawa, tindakan jahat tersebut bisa diwakili melalui peribahasa ambidhung api rowang (orang yang berniat jahat tapi mengaku sebagai kawan baik).  

     

    Hal paling menarik dari buku ini ialah cerita-cerita humor sarkastik. Ada kisah tentang kecerdasan seekor singa yang berhasil menjebak keledai bodoh tanpa otak yang menjadi satu contoh dari beberapa cerita jenaka dalam buku ini. Kisah macam ini tentu tak bisa ditasirkan secara harafiah. Semua binatang tentu memiliki otak. Akan tetapi, kisah ini bisa saja ditafsirkan bahwa kebodohan rakyat jelata mampu membuat penguasa tamak merajalela.

     

    Alegori-alegori sejenaka ini rasanya mustahil ditulis oleh orang yang tidak pernah mengalami kepahitan hidup secara intens. Seorang penulis humor yang baik tidak hadir dengan bantuan buku berton-ton. Penulis humor yang baik hadir dengan mengisahkan pengalaman hidupnya. Oleh karenanya, saya tak terkejut ketika tahu bahwa sang pengarang adalah budak Yunani yang hidup pada abad keenam sebelum masehi. Sebagai seorang budak, Aesop tentu pernah mendalami kepahitan hidup. Luka batin bukanlah hal yang langka bagi budak seperti Aesop. Namun, mengisahkan kegetiran hidup melalui fabel yang jenaka tetaplah sebuah kemewahan tersendiri.

     

    Adalah benar jika cerita-cerita fabel dalam buku ini tak sepenuhnya ditulis oleh Aesop. Sebagian besar fabel pernah diceritakan secara lisan. Beberapa cerita lisan tersebut kemudian digubah dalam bentuk sajak oleh Babrius (Abad Ke-3), dan sisanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Phaedrus (Abad Ke-1) dan Avianus (Abad Ke-4). Akan tetapi, peran Aesop tidak bisa dilupakan sebagai pengarang pertama cerita-cerita dalam fabel ini.

     

    Terus terang saya heran mengapa Aesop memilih fabel yang penuh dengan humor sebagai saluran eskapismenya (sikap menghindar dari kesulitan hidup). Mungkin fabel bernuansa humor adalah cara terbaik bagi Aesop untuk menyembuhkan luka batinnya yang begitu dalam. Dalam terminologi Lacan, luka tersebut disebut sebagai lack, perasaan kehilangan yang tertanam begitu kuat hingga manusia tak mampu mengenalinya lagi. Perasaan tersebut mengendap begitu dalam hingga tersimpan sebagai rahasia yang secara tak sadar ada di batin setiap manusia. Sayangnya luka tetaplah luka. Sadar atau tidak sadar, luka tetap membutuhkan obat guna menghilangkan rasa perih yang ditanggungnya. Oleh karena itu, Aesop mengarang fabel yang begitu lucu. Tiap cerita lucu berangkat dari pembelokkan “logika umum” dengan begitu cepat. Menariknya, “pembelokkan logika” itu seringkali didasari oleh semangat perlawanan. Perlawanan macam itu lebih sering dilakukan oleh orang kelas bawah seperti Aesop. Orang seperti dia tentu tidak memiliki kekuatan politis yang cukup untuk mengkritik realita hidup secara langsung, tanpa menggunakan metafora tertentu. Oleh karenanya ia menggunakan fabel. Barangkali, melalui fabel yang dikarangnya Aesop berupaya mengritik realita masyarakat di sekelilingnya dengan mengangkat ‘cerita dirinya sebagai cerita para hewan, dan cerita para hewan sebagai cerita dirinya.’ Dengan demikian ia mampu mengobati dirinya sekaligus mengobati orang lain yang senasib dengannya.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    https://kibul.in/resensi/binatang-binatang-yang-melawan-dengan-tawa/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/feat-aesop.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/feat-aesop-150×150.jpgVenda PratamaResensiAesop,Budaya,kibul,Kumpulan Fabel,Penerbit Kakaktua,Resensi,Sastra,Seni,Terjemahan,Venda Pratama 
     
    Buku ini secara iseng saya baca guna menghilangkan penat yang mulai datang di kala mengerjakan skripsi dan membaca novel-novel tebal. Sebagai sebuah bacaan selingan, tentu saya berharap bisa menemukan perspektif baru dari buku ini. Apalagi ini sebuah Kumpulan Fabel. Dengan judul semenarik ini, saya berharap mata dan kepala anak…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Ilusi dan Perlawanan Seorang Vegetarian

    author = About Willy Akhdes Agusmayandra
    Lahir di Bunga Pasang, Sumatera Barat. Menulis puisi, cerpen dan esai di beberapa media cetak dan daring. Menetap dan bekerja di Bandung.

    View all posts by Willy Akhdes Agusmayandra →










    Vegetarian







    Han Kang







    Penerbit Baca





    Februari 2017





    Paperback





    222 halaman






    65.000




    채식주의자 (Ch’aesikjuuija)




    Dwita Rizkia



    Novel laris ini mengisahkan jalinan cerita yang kuat, mencekam, sekaligus indah meski menyiratkan kepedihan.

    Kim Yeong Hye, seorang perempuan biasa, berubah perilakunya setelah menjadi vegetarian gara-gara diganggu mimpi buruk berkepanjangan. Obsesi menjadi vegetarian ini membuat hubungannya dengan sang suami bermasalah. Namun, obsesi itu berkembang makin ganjil hingga membuahkan beragam kisah mencekam dalam buku ini dan berujung pada peristiwa-peristiwa tak terduga.

    Lewat novel ini Han Kang menampilkan dirinya sebagai salah satu pengarang terdepan Asia, bahkan dunia, saat ini. Buku ini memang amat layak meraih Man Booker International Prize, penghargaan internasional bergengsi.

     

    Jika Gregor Samsa terbangun suatu pagi dari mimpi buruk dan mendapati dirinya berubah menjadi seekor kecoa yang menakutkan, maka Young Hye terbangun dari mimpi buruknya dan menyambangi kulkas untuk kemudian membuang seluruh daging di dalamnya. Ia, dengan suatu alasan ganjil: mimpi buruk, tiba-tiba memutuskan menjadi seorang vegetarian dalam satu malam yang kelak memunculkan petaka di tengah keluarganya.

    Meski ada beberapa kesamaan nada dan ekspresi dalam novel Vegetarian ini dengan Metamorfosis-nya Franz Kafka, namun novel ini menyajikan kebaruan dan semangat perlawanan atas nilai dan norma yang dianggap mapan dan baku dalam masyarakat. Novel karya penulis Korea Selatan ini, Han Kang, memenangi Man Booker International Prize 2016 dengan menyisihkan penulis terkemuka lainnya seperti dua penerima Nobel Sastra, Orhan Pamuk dan Kenzaburo Oe, serta  novelis tanah air paling bersinar, Eka Kurniawan.

    Young Hye adalah tokoh sentral dalam novel yang pertama kali terbit di Korea Selatan pada 2007. Meski demikian, Han Kang nyaris tidak memberikan suara kepada Young Hye. Novel Vegetarian disajikan dalam tiga bagian penceritaan, masing-masing adalah suami Young Hye, kakak iparnya dan kakak perempuannya. Yeong Hye, seorang perempuan yang digambarkan oleh suaminya sebagai seorang yang biasa yang tampak tak memiliki pesona maupun kekurangan khusus (hal 5), justru tak mendapat kesempatan bersuara. Akan tetapi, melalui kelihaian bernarasi, Han Kang berhasil membenamkan Young Hye ke benak pembaca sejak halaman pertama.

    Pembaca hanya mendengar sedikit tuturan Young Hye pada bagian pertama perihal ketakutan dan kengerian yang dialaminya dalam mimpi absurd nan ganjil. Dalam mimpi, ia mendapati dirinya berlari di tengah hutan antah-berantah yang gelap, dikejar ketakutan tersebab oleh daging bangkai dan darah yang melumuri tubuhnya.

    “Namun, aku ketakutan. Darah masih mengotori bajuku. Saat tak ada yang memperhatikan aku meringkuk bersembunyi di balik pohon. Tanganku berlumur darah. Bibirku berlumur darah. Mungkin aku memakan bongkahan daging yang terjatuh di lumbung itu. Mungkin darah merah dari daging mentah yang empuk melumuri gusi dan langit-langit mulutku.” (hal 15-16).

    Selebihnya, pembaca melihat Young Hye dari perspektif tiga orang pencerita dalam novel sepanjang 222 halaman ini. Di bagian pertama, suami Yeong Hye menuturkan kekesalannya atas pilihan istrinya menjadi vegetarian secara tiba-tiba dan dengan alasan tak masuk akal. Istrinya tersebut telah membuatnya malu di depan rekan kerja dan atasannya di kantor disebabkan tak mau daging di acara pesta makan malam. Padahal makan daging adalah bagian dari tradisi Korea, terutama pada acara-acara penting seperti perjamuan dan pesta tertentu.

     

    Simbolisme dan metafora

    Di bagian kedua, Han Kang memakai perkakas simbolisme dan metafora guna menggambarkan pergolakan batin yang dialami Young Hye atas keputusannya tidak makan daging serta mimpi buruk yang terus menghantui. Sang kakak ipar, narator pada bagian ini, adalah seorang seniman yang terobsesi pada tanda lahir kebiruan (mongolian mark) yang dipunyai Young Hye. Gambar-gambar bunga yang dilukis oleh kakak ipar di tubuh Young Hye seolah menggambarkan apresiasinya atas Young Hye yang mendapatkan kedamaian dan terhindar dari mimpi buruk dari lukisan tersebut.

    Hubungan terlarang pun terjadi antara Young Hye dengan kakak iparnya. Seakan Young Hye menemukan jalan lain memperoleh kebahagian, di luar jalan yang ditawarkan, serta menjadi cara ia untuk berdamai dengan mimpi buruk yang terus menghantui.

    Simbolisme dan metafora yang dipakai Han Kang terasa memuncak di bagian ketiga. Yaitu pada saat Young Hye, dalam perawatan intensif di rumah sakit jiwa karena ia dianggap mengalami gangguan mental, dipaksa untuk makan, namun ia menolak dan mengaku telah berubah menjadi pohon sehingga tak perlu lagi makanan.

    “Aku tidak perlu makan nasi. Aku bisa hidup. Asal ada cahaya dan matahari.”(hal 186)

    Langkah ayah Young Hye yang memaksa anaknya makan dengan menjejalkan daging ke mulutnya adalah representasi bagaimana pemaksaan kehendak justru berujung petaka. Young Hye memilih mencelakai diri dengan menyayat tangannya daripada harus memakan daging.

     

    Ilusi dan Perlawanan

    Han Kang, melalui novel ini, tidak hendak mendakwahkan tentang gaya makan vegetarian, pun bermaksud mendedahkan akibat dari pilihan cara makan tersebut. Vegetarian, dalam keindahan narasi dan keabsurdan kisahnya, dapat dimaknai sebagai usaha mempertahankan jati diri yang berbeda dari konsensus masyarakat.

    Ilusi Young Hye yang menganggap dirinya adalah sebatang pohon dan lukisan bunga pada tubuhnya secara simbolis patut benar untuk ditafsirkan sebagai perlawanan seorang perempuan atas norma dan nilai yang mengukung kebebasan dan ekspresinya. Melalui Young Hye, Han Kang sepertinya hendak menyampaikan bagaimana ketentuan dan cara hidup yang telah baku bisa saja tidak tepat untuk diejawantahkan pada semua orang.

    Di luar semua itu, melalui Vegetarian, pembaca tanah air bakal tercerahkan bahwa Korea ternyata tidak melulu perihal k-pop, drama opera sabun, atau pun gawai keluaran teranyar. Korea pun menawarkan bacaan sastra yang patut dinikmati dan, yang paling penting, memberi kemungkinan pemaknaan yang lain akan nilai-nilai kehidupan.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/resensi/ilusi-dan-perlawanan-seorang-vegetarian/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/feathankang.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/feathankang-150×150.jpgWilly Akhdes AgusmayandraResensiBudaya,buku,Han Kang,kibul,Penerbit Baca,Resensi,Sastra,Sastra Korea Selatan,Vegetarian,Willy Akhdes 
    Jika Gregor Samsa terbangun suatu pagi dari mimpi buruk dan mendapati dirinya berubah menjadi seekor kecoa yang menakutkan, maka Young Hye terbangun dari mimpi buruknya dan menyambangi kulkas untuk kemudian membuang seluruh daging di dalamnya. Ia, dengan suatu alasan ganjil: mimpi buruk, tiba-tiba memutuskan menjadi seorang vegetarian dalam satu…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Berhala: Sebuah “Model” Surealis-Religius Danarto

    author = About Nanda Aziz Rahmawan
    Sejak 2015 didapuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia di salah satu Universitas negeri di Semarang. Meski dilabeli mahasiswa sastra, ia masih males-malesan membaca, apalagi menganalisis karya sastra. Asli kabupaten Brebes, namun mukim sementara di Semarang guna memenuhi amanah orang tua.

    View all posts by Nanda Aziz Rahmawan →










    Berhala







    Danarto






    Kumpulan Cerpen





    DIVA Press







    226 hlm






    60.000



    Semua cerpen dalam buku ini menyiratkan jalan pemikiran Danarto, bahwa realitas yang tak tampak, jalin-menjalin menjadi satu. Seperti dunia dan akhirat.

    Berhala mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa pada tahun 1990 dan Pustaka Firdaus mendapat penghargaan sebagai penerbit Buku Utama jenis fiksi 1987.

    Saat ini, Berhala sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jepang.

    ***

    “Apakah orang ini sudah siap dicabut nyawanya?” nada bertanya Izrail yang entah ditujukan kepada siapa.
    “Belum. Orang ini belum siap untuk dicabut nyawanya,” jawab rambut di atas kening saya. Ruang dan waktu seketika diliputi kehampaan dan saya bergulir persis batang pisang dari tebing ke sungai. Tidak. Sungguh tidak. Ini tidak benar.
    “Orang ini sama sekali belum siap untuk dicabut nyawanya,” seru kaki saya. Tidak. Sungguh tidak. Ini tidak benar.
    Saya merasa diperlakukan tidak adil. Bahkan merasa ditindas. Bagaimana mungkin rambut di atas kening dan kedua kaki saya telah bertindak tanpa seizin saya, menjawab pertanyaan Malaikat Izrail. Ini kelancangan yang keterlaluan. Bagaimana mungkin mulut saya justru terkunci menghadapi saat yang paling genting ini. —“Dinding Anak”

    ***

    Danarto dan cerpen-cerpennya adalah kasus yang istimewa. Mungkin tidak ada penulis cerpen di negeri ini yang sejak semula sudah dengan sangat sadar menciptakan “dunia alternatif” dalam cerita-ceritanya.(Umar Kayam)

     

    Danarto, barangkali adalah satu dari sedikit cerpenis Indonesia yang sedari awal mampu melakukan ‘sihir’ demi menciptakan dunia atau ‘model’ baru dalam mengungkapkan pemahamannya tentang dunia. Dalam cerpen Berhala yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 itu, ia seolah tahu betul bahwa dunia selalu mempunyai kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas, sebab ada Tuhan yang Maha Tak Terduga juga manusia sebagai salah satu makhluk-Nya yang tak terduga pula. Perkara tersebut, agaknya menyadarkan kita yang kerap dikerubuti tameng-tameng konvensi dan pakem yang ada sebelumnya sehingga membuat pemahaman kita seolah dikerangkeng dan menutup segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

    Danarto kemudian menghadirkan model-model yang erat dan kental dengan aura surealis-religius. Dengan tema-tema yang sebenarnnya cukup sederhana, Danarto mengalirkan ‘sungai’ ceritanya menuju arus ‘samudra’ penafsiran yang luas dan kompleks. Hal itu membuat ‘model’ yang ia tawarkan itu tampak berwarna ‘pekat’, sebab segala kemungkinan ia alirkan ke dalam satu wadah saja.

    Kisah-kisah yang dibawakan Danarto cukup unik, meskipun yang ia hadirkan sebenarnya tentang kisah-kisah keseharian, tentang keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan kerja, Danarto selalu menyiasatinya dengan aura surealis sekaligus sinisme, juga kritik terhadap pejabat pemerintah, tentang korupsi, tentang praktik pembunuhan yang terorganisasi, bahkan hingga pembakaran lahan warga yang dilakukan oleh para pemilik modal untuk memenuhi hasrat dan tujuannya melebarkan sayap-sayap bisnisnya. Sebuah hal yang agaknya sangat berani dan cukup cerdas dalam ‘menyembunyikan’ soal-soal itu, mengingat cerpen ini lahir di era orde baru yang notabene cukup sensitif apabila tema-tema tersebut disinggung di era itu.

    Ada satu hal lagi yang cukup unik dan memancing pertanyaan di benak saya ketika selesai membaca kumpulan cerpen ini: mengapa tidak ada cerpen berjudul Berhala, meskipun buku ini berjudul itu? Lazimnya, buku kumpulan cerpen diberi judul salah satu cerpen di dalamnya, tetapi, hemat saya dalam kasus ini, Berhala yang dimaksud dalam judul buku ini murujuk pada tema yang diangkat dalam setiap cerpennya. Meskipun tidak ada aura ‘ceramah’ dan ‘khutbah’, tema yang disampaikan sangat relevan dengan peristiwa-peristiwa di era modernitas –meski setting yang ditampilkan adalah era orde baru, baik secara isi pun kejanggalan masih relevan dengan era sekarang-, yang kerap memberhalakan segala sesuatu yan sifatnya keduniawian, seperti berlebihan mencintai sesuatu: harta, jabatan, orang tua bahkan anak. Itulah yang mungkin saja dalam maksud Danarto adalah berhala-berhala baru atau berhala-berhala modern.

    Tetapi, tentu dengan kompleksitas semacam itu, meski dengan gaya bahasa yang sederhana, mengalir dan tidak terlalu ‘nyastra’, buku ini perlu untuk dibaca lebih dari sekali untuk mencari benang merah dan titik tolak dalam tiap cerpen. Bahkan bila perlu adalah membaca referensi lain atau cerita lain untuk membiasakan mengenal bacaan atau cerita yang cukup berat dan serius untuk benar-benar memahami maksud yang disampaikan Danarto. Namun begitu, tidak mengurangi maksud saya untuk merekomendasikan pembaca membaca buku ini, bahkan buku ini adalah salah satu buku yang wajib dibaca apabila ingin lebih mengenal Sastra Indonesia.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/resensi/berhala-danarto/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featberhala.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featberhala-150×150.jpgNanda Aziz RahmawanResensiBerhala,buku,Danarto,kibul,Kumpulan Cerpen,Resensi,Sastra,Sastra Indonesia 
    Danarto, barangkali adalah satu dari sedikit cerpenis Indonesia yang sedari awal mampu melakukan ‘sihir’ demi menciptakan dunia atau ‘model’ baru dalam mengungkapkan pemahamannya tentang dunia. Dalam cerpen Berhala yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 itu, ia seolah tahu betul bahwa dunia selalu mempunyai kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas, sebab ada…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Aku dan Surabaya dan Silampukau: Absurditas Hidup di Sebuah Kota

    author = Anis Mashlihatin
    Alien










    Aku Dan Surabaya dan Nakamura







    Gerson Poyk







    Penerbit Buku Kompas





    Maret 2016






    202






    Rp 59.000



    Aku dan Surabaya serta Nakamura adalah karya sastrawan besar Gerson Poyk yang belum pernah dipublikasikan, meski bertahun 1989.

    Aku dan Surabaya adalah semacam autobiografi yang merupakan ‘Nostalgia Flobamora’ penulis di masa kecil. Di Surabaya, Gerson memasuki sejarah kesusastraan Indonesia melalui puisi. Karena puisi, Gerson berkenalan dengan teman-teman seniman Surabaya, seperti Muhammad Ali yang menolongnya saat sakit. Yang tak bisa Gerson lupakan adalah Daryono serta Amang Rahman, sahabat sejati yang membantu tanpa pamrih. Seniman Surabaya sangat akrab dan pemaaf. Kehidupan sebagai pelajar dan seniman di Surabaya terangkum jelas di novel ini.

     

    Sebuah kota tak pernah sekadar jadi lokasi geografis, entah bagi orang yang hanya singgah atau terlebih bagi orang yang tinggal dan menetap di dalamnya. Sebuah kota merekam jejak, gejolak emosi, perasaan-perasaan. Ia juga merekam perjumpaan antara diri dan orang-orang lain, ruang-ruang, dan lokasi-lokasi yang baru. Dalam wajahnya yang paling buruk sekalipun, sebuah kota menawarkan keindahan-keindahan personal nan subtil. Setidaknya, itulah yang saya yakini.

    Itu pula harapan yang awalnya saya sandarkan ketika mulai membaca buku Aku dan Surabaya dan Nakamura karya Gerson Poyk ini. Buku ini terdiri dari dua novel yang memiliki perbedaan tema dan latar. Yang pertama Aku dan Surabaya dan yang kedua Nakamura. Yang pertama tentang sepak terjang penulis di Surabaya, sedangkan yang kedua tentang prajurit Jepang yang bersembunyi di hutan Morotai.

    Aku dan Surabaya. Judul itu sedikit sentimentil bagi saya yang belum lama tinggal di kota jancuk ini. Ketika kemudian membaca kalimat demi kalimat dalam novel ini, saya berharap bisa berpapasan di gang-gang sempit Surabaya dengan sang aku. Kemudian kami saling tersenyum mengerti, karena apa yang saya alami, dialami pula olehnya. Di samping itu, kedatangan saya ke Surabaya pada awal 2016 dibekali oleh lagu-lagu Silampukau yang lirik-liriknya menyebut Surabaya dengan intens. Otomatis sedikit banyak gambaran tentang kota ini di kepala saya dipengaruhi oleh lagu-lagu mereka.

    Itulah alasan mengapa ulasan novel Gerson Poyk ini kemudian saya sangkut-pautkan dengan lirik-lirik lagu Silampukau. Apa boleh buat, persinggungan saya dengan Surabaya tak bisa jauh-jauh dari lagu-lagu mereka. Lagu-lagu mereka seolah bisa membuat saya melihat Surabaya melalui telinga, sebelum pada akhirnya melihatnya dengan mata. Meskipun demikian, tulisan ini tidak diniatkan untuk membanding-bandingkan antara cerita dalam novel dan cerita dalam lirik lagu. Bukan pula untuk menilai baik buruk. Saya hanya ingin melihat bagaimana sebuah kota yang sama dilihat dari dua perantara yang berbeda, dan dalam rentang waktu yang berjauhan.

    Novel Gerson Poyk ini memang bukan novel pertama yang membahas tentang Surabaya. Untuk menyebut beberapa, rujukan pertama cerita tentang Surabaya biasanya adalah novel pendek yang ditulis oleh Idrus: Surabaya. Selain itu, Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia juga menyebut-nyebut Surabaya sebagai latar. Surabaya dalam pandangan Gerson Poyk tentu berbeda dengan kedua penulis itu. Dalam novel ini, boleh dibilang, Gerson Poyk sedang membuat otobiografi terkait hubungan personalnya dengan Surabaya. Ia bertungkus-lumus dengan debu dan jelaganya, sedangkan kedua penulis yang lain berdiri pada jarak tertentu.  

    Nah, sebelum kamu melanjutkan membaca tulisan ini, saya sarankan untuk memasang headset di telinga lalu mulai mendengarkan lagu-lagu Silampukau, terutama yang album kedua: Dosa, Kota, dan Kenangan. Biar lebih merasuk.  

    Surabaya: Perjumpaan dan Pergulatan

    Berlatar waktu 1953, cerita diawali dengan kekaguman Gerson terhadap wujud fisik Surabaya. Kekagumannya yang pertama adalah pada Pelabuhan Tanjung Perak ketika dirinya pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya. Perjumpaannya dengan pelabuhan yang ramai seketika menjadikannya tersadar betapa dirinya selama ini tumbuh di suatu daerah yang sepi nun jauh di NTT. Pada titik ini, Surabaya masih indah, hingga pada pertemuannya dengan Jembatan Merah. Berbekal sebuah lagu tentang Jembatan Merah, Gerson yang datang ke Surabaya sebagai siswa Sekolah Guru Atas (SGA) mengharapkan romantika yang indah tentang jembatan yang terkenal itu. Sayangnya, romantika itu seketika runtuh saat ia mengetahui jembatan itu dipenuhi pengemis.

    Setelah insiden Jembatan Merah itu, Gerson tak lagi menyajikan deskripsi yang detail tentang sebuah lokasi di Surabaya. Bukan karena lokasi-lokasi geografis tidak mencipta kesan mendalam baginya, tetapi karena yang lebih menyita perhatian adalah realitas kehidupan kota yang kejam. Tentang kekurangan uang dan makan. Juga tentang kesehatan yang merosot.

    Jika saat ini indra pendengaranmu dikelilingi “Lagu Rantau”, kamu bisa tahu dengan jelas bahwa lagu itu mengisahkan sosok yang datang ke Surabaya karena sebuah mimpi: ingin menjadi kaya. Ia menyandarkan harapan yang tinggi pada Surabaya. Akan tetapi, sama seperti Gerson, sosok itu harus menanggung kecewa karena impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya // Kota menghisapku habis / tubuh makin tipis / dompetku kembang kempis //. Kekaguman dan harapan akan hidup yang indah di sebuah kota pun berakhir sudah.

    Kedatangan Gerson ke Surabaya memang tidak bertujuan mengumpulkan harta, tetapi  tujuan mulia, menambah ilmu. Akan tetapi, kesulitan keuangan kerap menghambatnya dalam menambah ilmu. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Kekecewaan demi kekecewaan ditelannya sendiri. Tapi hampir semua kesulitan itu bersumber dari kekurangan uang. Bagi Gerson dan bagi sosok dalam lagu itu, Surabaya adalah arena pergulatan. Ada hidup yang harus dipertaruhkan.

    Sosok-sosok lain juga mengalami hal serupa. Penjual miras dalam “Sang Juragan” harus berhadapan dengan aparat agar bisnisnya tetap aman. Dalam lagu “Bola Raya”, anak-anak muda pun harus bergulat dengan ruang publik yang semakin menyempit karena ditanam gedung-gedung. Di kota ini, penderitaan tak mengenal usia. Sosok dalam lagu itu pun kembali berteriak: waktu memang jahanam / kota kelewat kejam / dan pekerjaan menyita harapan / hari-hari berulang / diriku kian hilang / himpitan hutang/ tagihan awal bulan/.

    Jika Gerson tak banyak membahas tentang lokasi geografis di Surabaya, lain halnya dengan Silampukau. Secara gamblang, beberapa lokasi di Surabaya disebutkan sehingga gambaran tentang kota ini terasa lebih hidup. Sebagai contoh, kawasan Dolly, Taman Hiburan Remaja, dan jalan Ahmad Yani. Jalan Ahmad Yani memang hanya salah satu jalan utama di Surabaya. Akan tetapi, jalan itu dapat dikatakan sebagai representasi bagaimana gelanggang Surabaya yang secara keseluruhan amat beringas.

    Selanjutnya, perjumpaan Gerson dengan Surabaya lebih banyak dengan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya, baik itu kenalan lama yang berasal dari daerah yang sama dengannya atau orang yang baru dikenalnya. Orang-orang itu, di antaranya, Amang Rahman (pelukis dan penyair), Mohamad Daryono (pelukis), Sudjono Dh, Suwarni Mulyono, hingga pemain teater Tatiek Malyati. Orang-orang itulah yang menciptakan kenangan baginya. Orang-orang itulah yang membantunya ketika ia dalam kesulitan dan kekuarangan uang.

    Absurditas Hidup di Surabaya

    Penderitaan bertubi-tubi yang menghantam seseorang bisa membuatnya merasa bahwa hidup ini tak bermakna. Hidup ini sia-sia dan tak terpahami. Yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan yang datang silih berganti. Rasa-rasanya kebahagiaan hanyalah selingan yang terlalu sebentar. Hidup ini absurd. Absurditas itu muncul karena manusia mempertanyakan hidupnya, tetapi tidak menemukan jawabannya.

    Barangkali kebetulan di telingamu sedang mengalun lagu “Balada Harian”, kamu akan bisa merasakan absurditas itu. Di luar pagar sana, kawanku / kehidupan memanggilmu // Tapi tahun kian kelabu / makna gugur satu-satu / dari pengetahuanku / dari seluruh pandanganku / pendengaranku / penilaianku // Mentari tinggal terik bara tanpa janji // Kota tumbuh kian asing / kian tak peduli / dan kita tersisih di dunia yang ngeri/ dan tak terpahami ini //. Sosok dalam lagu itu tengah menyadari bahwa hidup di dunia ini sungguh absud. Tak terpahami. Makna yang pernah ada, kini telah gugur. Dan betapa tak berkuasanya manusia di hadapan waktu yang terus bergulir. Pagi tak terhindarkan. Waktu memang benar-benar jahanam. Ia pun terpaksa terus berkelindan dalam waktu yang sekedar hitungan / yang melingkar / kekal di kehampaan //.

    Di Surabaya, Gerson pun mengalami absurditas-absurditas yang seringkali sulit diterima dan dipahaminya. Sebagai siswa SGA, Gerson berkeinginan tenggelam dalam dunia sastra sementara di lain pihak ia juga diikat oleh tuntutan belajar karena statusnya sebagai siswa ikatan dinas. Ia pun mengalami saat-saat ketika dirinya merasa sunyi di tengah-tengah massa dan kekuasaan. Namun, ia menyadari bahwa sunyi itu sebagai kenyataan yang paling nyata dalam diri setiap manusia. Ia bahkan mengalaminya sejak hari-hari awalnya di Surabaya.

    Yang ditemui Gerson di Jembatan Merah tak lain adalah absurditas. Di Jembatan Merah yang indah itu, ia melihat begitu banyak manusia yang mengalami kemalangan dan kesengsaraan. Ketika itu ia menghabiskan seluruh uangnya untuk diberikan kepada orang-orang papa itu karena ia percaya bahwa birokrasi sekolah akan memberikannya uang. Akan tetapi, birokrasi itu mengkhianati kepercayaannya. Apa yang bisa menjelaskan kondisi semacam itu? Tidak ada. Jembatan Merah dan birokrasi sama-sama tidak indah. Keduanya cacat belaka. Nilai-nilai keindahan itu percuma saja karena manusia terjebak dalam penderitaan.

    Lihat pula ketimpangan dalam “Bola Raya”. Wajah anak-anak muda harus bermain bola di jalan raya karena lapangan hijau harus disewa dengan harga tak terjangkau. Karena tak punya uang, mereka kalah dalam perebutan ruang. Padahal lapangan adalah ruang publik yang berhak mereka akses. Dalam hal ini, kota tumbuh menjadi ruang yang asing dan tak peduli pada penghuninya. Sementara itu, lagu “Sang Juragan” memperlihatkan mereka yang terpinggirkan, yang kurang makan, tapi ngotot beli miras. Sedang wakil rakyat tak jauh dari sana ongkang-ongkang di kantornya. Dalam nada yang satir, “Doa” menceritakan seorang remaja yang tak habis mengerti mengapa orang tua mereka tersedot dalam mimpi-mimpi palsu televisi. Dalam hidup yang absurd itu, televisi tak memberikan jawaban apa-apa. Ia justru semakin merendahkan nalar dan mengeringkan imajinasi.

    Tak adakah kebahagiaan? Tentu ada. Gerson pun menyadari bahwa di tengah absurditas itu ada kebahagiaan. Ada warna-warna ceria dan indah, misalnya saat-saat tulisannya dimuat di media massa. Kebahagiaan itu juga ada di temaram gang sempit Dolly. Mereka adalah suaka bagi hati yang terluka / oleh cinta oleh seluruh nelangsa / hidup yang celaka //. Kebahagiaan juga ada di botol-botol miras, anggur vodka arak beras, yang lebih hemat jika dicampur potas. Bahkan dalam kebahagiaan yang sebentar itu, mereka harus tetap berhemat. Yang semakin menegaskan bahwa kebahagiaan di kota ini terlalu mahal untuk bisa dibeli. Hanya Taman Remaja Surabayalah yang menyediakan harga terjangkau untuk dapat mencicipi kebahagiaan. Tempat itu sajikan canda tepis gulana.

    Namun, kebahagiaan-kebahagiaan itu hanya singgah sebentar untuk kemudian berhadapan lagi dengan segala kesengsaraan. Dengan jenuh hari yang rutin bergulir. Gerson yang pernah sesumbar sebagai penyair terbesar di Surabaya karena sajak-sajaknya dimuat di media massa pun harus menelan pahit kenyataan. Nama dan sajak tak bisa menolongku (Poyk, 2016: 57). Gerson pun harus berhadapan lagi dengan kekurangan uang dan himpitan utang. Sosok dalam lagu-lagu itu kembali berkutat dengan tagihan awal bulan dan pekerjaan yang menyita harapan.  

    Berdiri di Hadapan Absurditas

    Biar bagaimanapun, mereka tetaplah menghayati absurditas kehidupan di Surabaya. Pada siapa mereka belajar menghayatinya? Gerson tidak memperolehnya dari perpustakaan atau bangku-bangku sekolah. Dari buku-buku ia hanya memiliki pemahaman teoretis. Ia lebih menghayati absurditas pada orang-orang terpinggirkan yang ia temui di Surabaya. Ia belajar pada perempaun “bintang bar” yang kemudian menjadi gila. Juga pada teman-temannya yang bercita-cita menjadi sastrawan tapi gagal. Ia menghayatinya secara nyata, secara eksistensial. Sosok-sosok dalam lagu Silampukau menghayatinya pada gang Dolly. Dolly yang tersembunyi di temaram gang sempit, tetapi “menyala” di puncak kota.

    Lantas, menghadapi absurditas itu, bagaimana mereka menentukan sikap? Seseorang yang merasa hidupnya absurd, tidak ada yang bisa dilakukan selain bergulat dengan hidupnya yang absurd, yang ada di depan matanya. Seabsurd apapun kehidupan di Surabaya yang dipenuhi duka nestapa, sosok dalam lagu “Puan Kelana” tetap memilih untuk tinggal. Tuan memilih melambaikan tangan pada Puan yang hendak meninggalkan Surabaya menuju Paris. Sementara itu, Gerson menganggap bahwa Surabaya pada umumnya, kehidupan nyata di dalam kota ini, adalah guru yang membuka diriku untuk menghayati absurditas itu, sejak masa remajaku (Poyk, 2016: 88-89). Bagi Gerson, Surabaya memberikan hanyak hal yang dapat membuatnya merenung. Sehingga, dalam hal ini, Surabaya menjadi kota yang dibenci sekaligus dicintai.

    Gerson menyadari kodrat dunia yang absurd, tetapi ia menolak hanyut dalam tragedinya. Ia memilih memberontak. Dengan cara apa? Dengan cara menulis terus-menerus. Aku menulis dengan kesadaranku, ia menegaskan demikian. Meski tinggal di Surabaya, yang notabene adalah kota dagang, yang bagi Gerson sukar menjadi seniman, toh ia tetap berupaya. Justru kehidupan yang keras di Surabayalah yang membentuk kepenulisan Gerson. Bersama teman-temannya, ia pun membentuk sebuah peer group yang terdiri dari beberapa suku, agama, dan tingkat pendidikan. Mereka mendiskusikan apapun perihal sastra dan kebudayaan.

    Namun, pemberontakannya tidaklah penuh. Biasanya, seorang yang mengangggap bahwa hidup ini absurd akan meniadakan keberadaan Tuhan. Tidak demikian dengan Gerson. pada titik tertentu, ketika Gerson tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di kepalanya, Gerson mencari jawaban pada Tuhan. Ia menyandarkan diri pada Tuhan seperti seorang religius. Beruntunglah mentalku, jiwaku, jika aku masih mempunyai keyakinan bahwa Tuhanlah yang dapat menyelesaikan absurditas ini. Aku percaya pada Tuhan yang pernah memanusia, turun dalam sejarah, dalam absurditas, berpartisipasi dengan duka dan ajal manusia dan menyelesaikannya dengan kebangkitannya dan kenaikannya ke surga (Poyk, 2016: 123). Kepercayaan kepada Tuhan itu pulalah yang menyelamatkannya dari tindakan bunuh diri.  

    Naun, sosok-sosok dalam lagu Silampukau berpendapat lain. Di mana Tuhan? Dalam pusaran absurditas itu, Tuhan kalah di riuh jalan. Tuhan/Gusti tak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan jiwa yang remuk diteror televisi. Bahkan pada titik tertentu, Tuhan dan setan tak ada bedanya. Lantas, di manakah cinta? Cinta itu buat kapan-kapan, kala hidup tak banyak tuntutan. Di kehidupan yang absurd ini, tak ada Tuhan pun cinta.  

    Apakah saat ini kamu masih mendengarkan lagu-lagu Silampukau? Jika iya, barangkali beberapa menit lagi akan terdengar di telingamu lagu “Duduk Menanti”. Lagu itu adalah lagu penutup untuk album yang tengah kamu nikmati. Sebagai lagu penutup, lagu itu saya nilai sebagai sikap yang mereka ambil dalam menghadapi absurditas. Seperti takdir yang panjang dan pedih / dalam hidup yang muram dan letih / aku masih di sini / ku duduk menanti / hanya menanti / tak bergegas mencari / hanya bersedih / dalam sunyi // Duduk menanti dalam letih mimpi //.

    Suasana yang terasa dalam lagu itu adalah mendung menggelayuti hati. Lagu itu begitu kental dengan kepedihan, kemuraman. Tak ada pemberontakan terhadap takdir. Sikap yang berbeda dengan yang diambil Gerson. Dalam hidup yang tak terpahami, ia hanya duduk menanti. Apa yang dinanti? Ajal?

    ***

    Dilihat dari bagaimana Gerson dan sosok-sosok dalam lagu Silampukau bercerita tentang Surabaya, tentang perasaan-perasaan yang berulang itu, ada satu benang merah yang bisa ditarik. Mungkin seperti kota-kota lainnya, Surabaya berubah, tapi sebenarnya tidak berubah. Surabaya tahun 1950-an dan Surabaya tahun 2000-an tetap menyuguhkan kehidupan yang absurd. Hanya saja sikap manusia terhadap absurditas itu berbeda-beda. Ada yang memberontak. Ada yang berputus asa. Atau perpaduan keduanya.

    Perjumpaan dan pergulatan saya dengan Surabaya ternyata berlainan jalan dengan Gerson. Awalnya, lagu-lagu Silampukau membuat saya melihat Surabaya dengan pandangan murung dan sinis. Yang terlihat saat itu hanyalah Surabaya yang ganas dan beringas. Namun, perlahan, keindahan kota ini mulai tampak. Bukan keindahan yang gemerlap memang. Saya justru menemukan surga-surga kecil di kota sumpek ini pada hal-hal yang terkesan banal. Meskipun demikian, saya sempat berpapasan dengan sang aku di gang-gang sempit Surabaya. Kami pun sempat saling melempar senyum.

    Oh, ya, mungkin kamu bertanya-tanya, kok novel Nakamura tidak dibahas? Nakamura adalah novel amat pendek dengan tema cerita yang berbeda. Saya tidak tahu alasan mengapa Aku dan Surabaya dan Nakamura digabungkan. Jadi, maafkan saya yang tidak membahas Nakamura.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Absurdnya Kehidupan Chairil Anwar

    author = Karim Ilham
    Karim Ilham adalah pemagang di Radio Buku Yogyakarta. Berdomisili di Pandean, Condongcatur, Yogyakarta.







    Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan Book Cover



    Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan







    Arief Budiman







    Wacana Bangsa





    2007 (Pertama diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1976)






    128





    Chairil Anwar – Sebuah Pertemuan, adalah skripsi sarjana [Arief Budiman] tatkala ia menyelesaikan pelajarannya pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, yang mencoba mendekati Chairil Anwar secara filosofis. Bagian pertama merupakan konsep filsafat eksistensialisme dan lain-lain; bagian kedua merupakan pertemuan dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Buku ini merupakan usaha yang pertama-tama dalam mendekati Chairil Anwar secara demikian dan yang paling sistematis, pendekatan dan tafsiran dengan argumentasi-argumentasi yang dapat difahami.

    Ê

    Sebuah pertemuan tidak melulu melibatkan fisik. Begitulah yang dialami Arief Budiman dengan Chairil Anwar. Terhadap sajak-sajak gubahan Chairil, Arief melakukan pertemuan itu. Ia memelajari sajak-sajak itu dengan penuh penghayatan sebagai seorang yang memiliki pengalaman kebudayaan. Hasilnya ialah sebuah buku yang status sebelumnya adalah skripsi.

    Bab pertama menjelaskan proses menulis puisi Chairil yang diawali dan diakhiri oleh perenungannya terhadap kematian. Pada usia 20-an, ia sudah dihadapkan dengan kematian neneknya. Saat itu lahir sebuah karya berjudul Nisan. Pada tahap awal ini, ia sudah sampai menyimpulkan dua hal: manusia yang tidak berdaya terhadap maut, dan maut yang mendatangi siapapun tanpa kenal kompromi. Setelah melewati perenungannya, muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam dirinya tentang tujuan dihidupkannya manusia.

    Di tengah gemuruh pertanyaan itu Chairil bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Ia terpukau dengan semangatnya untuk memperjuangkan kehidupan: mengerahkan hidupnya demi sebuah kemerdekaan. Ketika itu, ia mencipta puisi Diponegoro yang membawa pesan semangat. Namun, di bulan yang sama, ia tahu kematian Diponegoro dalam sebuah penjara di Makasar merupakan kematian dengan tanpa kemerdekaan. Ia mengartikan bahwa kematian Diponegoro bukanlah kegagalan, tetapi bagian dari perjuangan menuju kemerdekaan.

    Chairil pada akhirnya harus memilih jalan hidup sebagai Ahasveros, pengembara yang terlukis dalam puisi Tak Sepadan. Ia hadapi kesepian dan kesedihan yang mengingkari masa kecilnya yang selalu gembira. Demi mengobati kesunyiannya ia melakukan pelarian menuju perempuan-perempuan nakal yang tergambar pada sajak Pelarian. Sebagai mahasiswa psikologi, Arief mengerti bahwa pada keadaan yang dialami Chairil mekanisme-mekanisme itu otomatis berjalan.

    Sampai pada rasa bosan atas pelarian itu, ia terbayang akan kematian sebagai sesuatu yang damai. Arief menggunakan gagasan Albert Camus tentang kematian sebagai “peleburan dalam tiada”. Tidak ada jalan lain bila ia ingin mati selain dengan bunuh diri. Tetapi ia hanya sampai pada tahap membayangkan saja, seperti halnya Camus yang menyatakan bahwa kematian bukan merupakan jawaban terbaik. Perbedaan keduanya hanya Chairil tidak menjelaskan perenungannya secara sistematis seperti Camus.

    Di buku ini bertebaran gagasan dari filosof dunia yang menandai keluasan pengetahuan Arief walau latar belakang pendidikannya adalah psikologi. Ia memakai gagasan Nietzsche “jadilah kuat bersama penderitaan” sebagai gambaran akan Chairil ketika ia mencoba bangkit dari bayang-bayang bunuh diri. Bait-bait paling terkenal Chairil dalam sajak Semangat : “Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang-menerjang/Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih dan perih” diakhiri dengan semangat hidup yang membara dalam : “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” menandai sekali kebangkitan itu.

    Lagi, ia merasa kesepian kembali setelah menulis sajak Semangat. Sajaknya kemudian yang berjudul Hukum memang agak berbeda dengan terdahulunya, Tak Sepadan. Isi sajak itu bagi Arief menjadi tanda kehidupan Chairil yang sudah diidealisirnya. Sampai di sini, menurut Arief, babak pertama dalam hidup Chairil telah berakhir. Kemudian, muncul sajak Taman yang membuat Arief yakin bahwa Chairil mengalami kehidupan yang tenang.

    Pada bab selanjutnya Arief menjelaskan perbedaan terkait soal kematian yang direnungi Chairil pada usia 20-an awal, yakni tahun 1942 dan pada usia 27 pada 1949, tahun ketika ia meninggal. Sesaat menjelang kematiannya, Chairil menampakkan tanda bahwa sebentar kemudian ia akan tiada. Misalnya, menurut pengakuan Jassin, sahabat yang pernah mendukungnya dalam sebuah polemik sastra, Chairil menjadi senang dipotret.

    Ada sajak-sajak yang ditulis sebelum Chairil meninggal untuk mengenang peristiwa-pertiwa mengesankan, misalnya kisah cintanya dengan Mirat pada 1943, terlukis dalam sajak Mirat Muda, Chairil Muda-Di Pegunungan 1943. Ada sebuah bait membahas tentang kematian. Berbeda dengan kematian yang direnungi pada usia 20-an, ia seperti tak terbebani.

    Chairil mencapai pada pemahaman tentang absurdnya kehidupan. Pemahaman itu Chairil sampaikan dalam sajak Buat Nyonya N. Arief mensejajarkan bait terakhir dalam sajak ini dengan bait dalam salah satu sajak : “Sekali berarti, sudah itu mati.” Arief menafsirkan bahwa kematian terbaik ialah kematian ketika sedang berada di puncak. Namun lanjutan bait dalam sajak Buat Nyonya N. menurut Arief menjadi tepisan Chairil bahwa apa yang dianggap besar atau puncak segala sesuatu itu tidak berarti karena setelah itu akan kembali. Inilah absurditas yang dipahami Chairil. Bagian ini berakhir dengan pandangannya bahwa, “ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah,” yakni rahasia hidup.

    Berikutnya Arief membahas tentang dua sajak yang menurut Jassin telah selesai ditulis, namun belum dipublikasi. Namun Arief mengalami kesulitan menentukan itu. Di sini dijelaskan bahwa Chairil kala menulis sajak tidak harus selesai dalam waktu yang singkat. Namun, bilamana sajak sudah masuk redaktur, maka ia berani tanggung jawab, meski setelahnya kadang ia mengubahnya. Yang dibahas kemudian ialah sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang meninggal. Ia menerjemahkan puisi T.S. Elliot dan W.B. Yeats, juga menulis esai Membuat Sajak, Melihat Lukisan.

    Bab ke-3 Arief membahas sajak-sajak Chairil yang mempersoalkan agama. Oleh Arief, awal mula kita disodori pandangan filosof Paul Tilliich yang mengatakan bahwa religi memiliki pengertian lebih luas dari agama. Yang tergambar dalam sajak Di Mesjid adalah Chairil yang berkeinginan tak terikat agama meski sulit dijalani. Sajak selanjutnya berjudul Isa yang menghadirkan rasa iba Chairil terhadap pengorbanan Isa di kayu salib. Meski demikian ia tetap bertahan pada pendiriannya. Dan barulah esok harinya Chairil menulis sajak Doa sebagai tanda pengakuannya terhadap kuasa tuhan.

    Terkait pencarian jawaban persoalan hidup yang dialami Chairil, Arief menyatakan bahwa perosalan itu bukan dialami Chairil semata. Ia mengajak pembaca berefleksi dengan bertamasya menuju gagasan-gagasan para filosof pada bab 4 sampai bab 6. Tokoh-tokoh yang dipungut gagasanya ialah Sartre terkait Eksistensialime-nya, pandangan Nietzsche mengenai manusia sebagai “das nicht festgestellet Tier”, Heidegger, Kierkegard, Erich Fromm, juga Albert Camus. Nah, Arief lebih sering membahas filsafat Absurdita-nya Camus, sehingga ia menyimpulkan bahwa Chairil serasi dengan pandangan Camus tentang filsafatnya. Menurut Arief ini lah bukti keserasian itu : “Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.

    Buku ini waktu itu saya beli dari penjual buku keliling. Sayang sekali, buku sebagus ini sekarang susah ditemui di pasaran. Barangkali ini menjadi panduan bagi mahasiswa sastra dan mungkin ilmu sosio-humaniora lain saat menulis sebuah karya ilmiah, skripsi maupun jurnal dengan telaten serta pentingnya bekal wawasan intelektual yang luas. Dari buku ini kita bisa belajar membaca biografi seseorang tidak melulu dari detil-detil perjalanan hidup, proses kreatif, yang mungkin hanya menghadirkan kedangkalan-kedangkalan. Mungkin dengan mencoba menghayati karya demi karya akan membawa kita sampai pemahaman lebih mendalam. Menurut penulis sendiri dalam pengantarnya yang terpenting bukan benar-salah pengamatan kita, tetapi intens dan tidaknya penghayatan kita. Di akhir halaman dihadirkan sedikit ulasan tentang perjalanan hidup Chairil yang diceritakan oleh orang-orang terdekat Chairil.

    Buku yang sebelumnya diterbitkan Pustaka Jaya ini dihadirkan dengan kemasan yang sangat baik. Dari awal sampai akhir saya membaca, tidak saya temui kecacatan. Arief menyampaikan gagasannya dengan tulisan yang mudah dimengerti, seperti yang disampaikan Ignas Kleden : “sampai sekarang pun saya berpendapat, Arief Budiman merupakan penulis yang paling jelas menyusun dan mengemukakan gagasan-gagasannya.” Dibumbui pula dengan testimoni-testimoni dari kalangan intelektual terpandang, mengisyaratkan bahwa buku ini sangat layak untuk diterbitkan kembali. Juga bisa diniatkan sebagai penghormatan terhadap penulisnya.

    Ê

    Ê

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • 10 Alinea bersama Gaspar

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →










    24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif







    Sabda Armandio







    Buku Mojok





    2017





    Paperback





    228






    60000



    Tiga lelaki, tiga perempuan, dan satu motor berencana merampok toko emas. Semua karena sebuah kotak hitam.

     

     

    “Katanya, dari beberapa novel detektif yang dibacanya, ia menarik kesimpulan: untuk membuat cerita detektif, kau harus mahir membuat orang kebingungan. Dan dengan kesigapan serupa Yesus, tokoh detektifmu datang menjadi juru selamat untuk mengurai kebingungan yang kau buat dan memberikan penjelasan-penjelasan masuk akal yang kadang tidak memuaskan pembacamu, tetapi mereka merasa senang karena telah berhasil keluar dari kebingungan.” (hlm. 125)

     

    Frase “Sebuah Cerita Detektif” yang disematkan di bawah judul 24 Jam Bersama Gaspar menarik perhatian saya untuk membaca novel kedua Sabda Armandio ini—selain embel-embel “Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016”. Cerita detektif merupakan salah satu genre yang saya gemari. Semasa kecil, saya bertualang dan memecahkan misteri bersama Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu dalam karya-karya Enid Blyton. Menginjak remaja, saya menghabiskan waktu bersama Trio Detektif, Conan Edogawa, dan Hajime Kindaichi. Saya terlebih dahulu mengenal duet Kosasih dan Gozali dalam karya-karya S. Mara GD, sebelum akhirnya mengenal dua ikon cerita detektif: Sherlock Holmes dan Hercule Poirot.

     

    “Sebuah Cerita Detektif” menjadi frase yang sangat menarik karena jarang sekali penulis Indonesia yang menggarap genre ini. Hal itu saya anggap wajar karena kisah detektif lokal sangat susah dibawakan secara nyata—peran detektif dibedakan dari peran polisi seperti cerita detektif luar negeri, karena hukum di Indonesia tidak melegalkan profesi detektif. Formula karakter Kosasih, yang seorang Kapten Polisi, dan Gozali, yang merupakan mantan narapidana tapi memiliki kemampuan setara detektif, dalam karya-karya S. Mara GD masih menjadi formulasi yang pas bagi saya untuk narasi detektif klasik berlatar Indonesia. Ruwi Meita, dalam Misteri Patung Garam, menggunakan formula yang sedikit berbeda dengan menempatkan Kiri Lamari sang tokoh utama dalam peran detektif sekaligus polisi. Frase tersebut memancing rasa ingin-tahu saya untuk menjawab apakah Sabda Armandio menggunakan formula yang serupa, atau memodifikasi formula yang sudah ada. Terlepas dari semua itu, saya memiliki ekspektasi untuk memuaskan kerinduan terhadap sebuah cerita detektif berlatar lokal yang sudah cukup lama absen tertelan genre romantis.

     

    Di luar dugaan, ekspektasi saya untuk memuaskan kerinduan terhadap sebuah cerita detektif konvensional justru buyar ketika membaca halaman demi halaman novel ini. Jika kisah Sherlock Holmes dan Hercule Poirot menjadi semacam konvensi tak tertulis untuk model narasi detektif, maka kisah Gaspar melakukan pendobrakan terhadap konvensi tersebut. Lalu, masihkah pantas novel 24 Jam Bersama Gaspar ini disebut sebuah kisah detektif jika ia tidak menaati konvensi kisah detektif?

     

    Umumnya, sebuah cerita detektif memiliki satu tokoh sentral yang berperan sebagai detektif. Namun sampai lebih dari separoh cerita, saya sebenarnya masih bingung, siapa yang memegang peran detektif dalam kisah ini. Gaspar yang merupakan tokoh sentral, sedari awal mengutarakan niatnya untuk merampok toko emas milik Wan Ali dalam waktu 24 jam ke depan tanpa persiapan, dan bahkan ia belum mengumpulkan komplotan untuk melaksanakan niatnya. Tokoh utama sebuah cerita detektif memang terkadang tidak digambarkan sempurna. Sherlock Holmes digambarkan memiliki ketergantungan pada narkotika, Gozali digambarkan memiliki masa lalu kelam sebagai seorang kriminal. Namun baru di novel ini saya menemukan cerita detektif yang tokoh utamanya malah memiliki niat jahat.

     

    Niat jahat ini tidak sekadar diutarakan dari awal. Deskripsi tokoh Gaspar dibentuk untuk membuat pembaca bingung memilih, apakah Gaspar adalah seorang protagonis ataukah antagonis. Sabda Armandio pun meramu deskripsi tokoh Gaspar dengan kalimat-kalimat yang menarik:

    Aku adalah ia yang diceritakan naga-naga dewasa kepada anak-anak mereka agar cepat tidur, “Atau ia akan mendatangimu”. Dulu Kim Il Sung menyebut namaku beserta segala kemampuanku untuk menghentikan rengekan Kim Jong Il kecil.” (hal. 1)

    Garang bukan? Tentu saja, karena Gaspar adalah amunisi utama cerita ini. Karakter Gaspar yang sangat kuat ini diseimbangkan oleh lima orang lain—dan satu motor— yang menjadi komplotan Gaspar dalam rencananya merampok toko emas milik Wan Ali. Karakter Gaspar menjadi tandon bagi sinisme dan sarkasme yang diluapkan oleh Sabda Armandio dengan baik, tidak berlebihan, mengingat karakter Gaspar yang memang dibuat seperti itu.

     

    Dialog dalam novel ini seolah seperti monolog, bergumam tak karuan, penuh dengan humor sarkas namun berbobot dalam membawa gagasan-gagasannya. Kalimat-kalimat sinis dan sarkas dari Gaspar tentang kejahatan dan kebaikan menjadi penggerak berjalannya narasi kisah Gaspar. Baginya, kebaikan yang selalu menang adalah konyol. Karena banyak orang yang memiliki kecenderungan menjadi jahat dan mencari pembenaran-pembenaran akan kejahatan yang dibuatnya.

    “Ingat, Sahabat, tiada yang lebih berbahaya selain cerita yang memaksamu percaya bahwa kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, sebab ia akan membuatmu tumpul dan zalim.” (hal. i)

     

    Kisah Gaspar dilajukan dalam dua alur pararel yang saling melengkapi. Alur pertama menceritakan bagaimana Gaspar membentuk komplotan dadakan yang masih masih meragukan rencana perampokan yang absurd sampai perampokan itu sendiri terjadi. Alur kedua adalah alur wawancara polisi dengan nenek-nenek pikun nan nyinyir. Alih-alih seperti kisah detektif yang dibawakan dengan serius, kedua alur tersebut dibawakan seperti orang yang bermain-main, terkesan tidak matang tapi konsisten. Kedua alur yang sepertinya tidak menyambung ini justru saling melengkapi dan membangun misteri dan ketegangan yang membuatnya tetap pantas disebut sebagai sebuah cerita detektif.

     

    Penulisnya tak mendongengkan kisah detektif yang heroik, yang menyingkap misteri melalui petunjuk-petunjuk yang ditemukannya. Tokoh utamanya malah bercerita tentang dirinya sendiri dan rencana jahatnya. Tidak ada detil-detil penyelidikan seperti halnya cerita detektif klasik. Hal-hal tersebut disamarkan dalam narasi dan baru dibeberkan di akhir cerita. Hal-hal yang biasanya ada di sebuah cerita detektif konvensional nampaknya tidak berlaku bagi Gaspar. Tak heran Dewan Juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2016 menyebut novel kedua Sabda Armandio ini sebagai kritik atas konvensi cerita detektif.

     

    Membaca novel ini seperti saya merasa memainkan game Grand Theft Auto: Vice City. Entah mengapa dari semua game GTA yang pernah saya mainkan, saya merasakan seri keenam dari GTA ini  menjadi yang paling dekat dengan Gaspar. Mungkin karena di game ini pertama kalinya tokoh utama bisa mengendarai sepeda motor. Terlintas di kepala saya, tokoh utama GTA selalu merupakan penjahat, namun karena saya yang memainkannya, semua hal yang ia lakukan di dalam dunianya adalah benar. Saya bahkan mencari pembenaran atas kejahatan yang saya lakukan di dalam sebuah permainan. Aneh, bukan. Jahat ya jahat saja, tidak perlu mencari pembenaran.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/resensi/10-alinea-bersama-gaspar/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featgasp.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featgasp-150×150.jpgAndreas NovaResensi24 Jam Bersama Gaspar,Andreas Nova,Budaya,buku,kibul,Resensi,Sabda Armandio,Sastra,Sastra Indonesia 
     
    ‘Katanya, dari beberapa novel detektif yang dibacanya, ia menarik kesimpulan: untuk membuat cerita detektif, kau harus mahir membuat orang kebingungan. Dan dengan kesigapan serupa Yesus, tokoh detektifmu datang menjadi juru selamat untuk mengurai kebingungan yang kau buat dan memberikan penjelasan-penjelasan masuk akal yang kadang tidak memuaskan pembacamu, tetapi mereka…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya