Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #62] Pendidikan Membenci Bangsanya Sendiri

author = Asef Saeful Anwar

“Ada beberapakah di antara Engku-Engku yang ada di sini, yang sudah bersekolah pemerintah? Tahukah Engku-Engku akan maksud sekolah itu? Supaya anak-anak kita suka kepadanya dan benci kepada bangsanya sendiri.”

 

Perkataan itu keluar dari mulut si antagonis bernama Datuk Meringgih dalam novel Sitti Nurbaya karangan Marah Roesli. Semasa kecil saya mengenal watak si Datuk melalui HIM Damsyik pada sebuah miniseri berjudul sama dengan novelnya di layar Televisi Republik Indonesia. Dulu saya tak paham banyak dialog dalam sinema itu, tapi mengerti bahwa si Datuk adalah si tua bangka jahat mata keranjang yang hendak merebut Sitti Nurbaya dari pelukan asmara Samsul Bahri.

Di bangku sekolah kesan itu kian dikuatkan lewat penuturan guru dan ringkasan novel dalam buku pelajaran. Tak ada ruang bagi saya untuk mengenal lebih karib kepada si Datuk sebab perpustakaan sekolah tak memiliki novel tersebut. Baru ketika kuliah saya menemukan dan membaca utuh novel itu. Saya pun menemukan sejumlah kejanggalan pada bangunan wacana mengenai si Datuk yang selamanya tak buruk-buruk amat.

Kalimat terakhir dalam ucapan yang membuka tulisan ini justru masih relevan menjadi bahan permenungan bagaimana kini pendidikan formal—yang setiap 2 Mei diperingati—makin menjauhkan peserta didik dari lingkungannya. Ucapan si Datuk merupakan perlawanan pada politik etis yang pada dekade 1920-an tengah digalakkan. Bagaimana saat itu anak-anak mulai pergi ke sekolah, untuk duduk menggoyang kaki, dan mulai meninggalkan sawah dan surau. Tak jauh beda dengan kondisi zaman sekarang ketika semakin tinggi pendidikan formal seseorang semakin dijauhkan dari lingkungan asalnya. Rendra pernah menyindir kondisi macam ini pada “Sajak Seonggok Jagung”: apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?

Dalam bagian lain si Datuk berujar: “Di mana ada sekolah di kampung ini? Hamba tidak bersekolah tetapi jadi kaya juga. Jadi apa perlunya sekolah itu kepada kita?….”. Ucapan tersebut adalah antitesis atas asa Sitti Nurbaya yang diceritakan berkali-kali membayangkan bahwa kelak Samsul Bahri akan berpangkat tinggi dan bergaji besar setelah menamatkan pendidikan formalnya di Jawa sebelum kemudian melamarnya. Jadi, di masa itu pendidikan formal ditawarkan sebagai suatu alat untuk meraih derajat sosial yang lebih tinggi dan gaji besar, sesuatu yang ditentang oleh si Datuk, yang mempunyai kedudukan tinggi di masyarakatnya dan horang kaya tanpa melalui pendidikan formal. Bukankah sekarang masih ada juga orang-orang yang bersekolah demi status dan gaji besar?

Silakan berdebat dan teguh pada pendapat bahwa pendidikan formal yang direpresentasikan melalui sekolah dan perguruan tinggi masa kini bukan untuk menjadikan generasi penerus menjadi kaya dalam materi, tetapi kaya ilmu dan pengetahuan. Nyatanya, yang paling laku adalah sekolah atau program studi di perguruan tinggi yang dapat cepat membuat peserta didiknya bekerja, bekerja untuk memperkaya diri, untuk meningkatkan status sosial, bukan untuk membagi ilmu dan pengetahuannya. (Ah bagaimana membagi ilmu dan pengetahuan jika yang dipelajari hanya soal-soal keterampilan belaka?)

Kembali pada persoalan yang dihadapi si Datuk, ucapan bahwa sekolah dapat membuat anak-anak membenci bangsanya sendiri sangat jelas dicerminkan oleh Samsul Bahri, pemuda terpelajar yang kemudian frustrasi dan justru menjadi alat penjajah untuk berperang melawan bangsanya sendiri yang tengah memprotes belasting yang demikian besar yang diberlakukan pemerintah Hindia-Belanda. Sebagian besar pembaca, penonton sinema, dan penyusun bahan ajar sastra di sekolah—semasa saya masih bersekolah—terjebak pada satu persoalan sentimentil dalam novel tersebut: cinta. Sebab Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri telah menjadi sejoli maka si Datuk adalah tua bangka jahat penyuka daun muda bermodal harta yang menjadi raja tega. Benar kemudian Sitti Nurbaya mati diracun Datuk Meringgih setelah si Datuk melakukan beragam usaha kekerasan lainnya demi mendapatkan sang dara, tapi apakah hanya karena salah dalam hal memperjuangkan cinta segala perilakunya menjadi salah?

Tidak hanya dalam novel Sitti Nurbaya, pesimisme pada pendidikan formal ditunjukkan pula oleh sejumlah novel yang terbit semasa Balai Pustaka. Novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis adalah contoh paling representatif. Diceritakan ada seorang ibu, yang sangat memegang teguh adat istiadat, menyekolahkan anaknya hingga tinggi (tamat HBS). Tidak hanya menyekolahkan, tetapi sang ibu juga menempatkan anaknya dalam rumah orang Belanda. Betapa besar harapan sang ibu agar anaknya bisa menjadi manusia modern, yang menurut ukurannya adalah dapat bergaul dengan orang Belanda. Hanafi, si anak, ternyata mengalami shock culture. Pengetahuan dari pendidikan formalnya justru membuatnya menjadi seorang imitator bangsa Eropa. Keputusannya menikahi Corrie de Bussee merupakaan puncak dari usahanya menjadi manusia Eropa. Di akhir hayatnya, ia baru merasakan kesalahan penggunaan pengetahuannya mengenai bangsa Eropa. Ia baru mengerti bahwa “kebanyakan orang lebih suka melihat orang Timur berpelajaran Barat, bila ia tidak keluar dari ketimurannya”.

Hanafi dan Samsul Bahri adalah contoh bagaimana pendidikan formal gagal memberdayakan peserta didiknya. Untungnya itu hanya terjadi dalam novel. Meskipun tak menutup kemungkinan itu merupakan mimesis atas sejumlah kasus gagalnya pendidikan formal ketika mulai diterapkan di Indonesia. Dalam alam nyata, yang banyak kita kenal justru tokoh-tokoh hasil suksesnya pendidikan formal, macam Kartini, Semaun, Mas Marco, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Hamengkubuwana IX. Mereka adalah produk pendidikan formal, tetapi mereka tidak membenci bangsanya, bahkan malah memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Apakah dengan demikian pernyataan Datuk Meringgih salah?

Seseorang yang benci kepada bangsanya sendiri adalah mereka yang tak tahu—apalagi memahami dan mendalami—budayanya sendiri. Ketika mereka mendapatkan pengetahuan di luar budayanya, apalagi pengetahuan yang bias kolonial, mereka cenderung akan membenci bangsanya. Dalam konteks novel, ucapan Meringgih tak dapat disalahkan sebab ia memposisikan pendidkan formal sebagai salah satu usaha melanggengkan penjajahan. Dalam konteks kekinian, ia dapat menjadi pengingat bahwa terlalu percaya pada pendidikan formal adalah salah, apalagi tanpa dibekali oleh pengetahuan budaya bangsanya, maka yang terjadi adalah sebuah proses pendidikan untuk membenci bangsa sendiri.

Kini, kata pendidikan acuannya hampir selalu pada pendidikan formal yang dilangsungkan di sekolah atau kampus. Acuan yang terus-menerus ini membuat pendidikan seolah-olah melulu bangku sekolah atau kursi kuliah. Orang yang tak sekolah atau tak tinggi sekolahnya masih kerap disebut orang tak berpendidikan. Padahal, pendidikan di luar yang formal amat banyak dan sangat penting, tapi malah pelan-pelan pupus. Pendidikan dalam keluarga dan lingkungan sosial tentang budaya, contohnya, adalah yang terpenting dan paling mendasar. Tokoh-tokoh semacam Kartini, Hatta, Hamengku Buwono IX, dan nama-nama lain yang telah disebut di atas telah memiliki pendidikan dasar yang kuat tentang budaya bangsanya sehingga ketika menerima dan menempuh pendidikan formal—bahkan hingga ke negeri asing—mereka tak membenci bangsanya, melainkan justru berjuang memerdekakan bangsanya.

Apakah Datuk Meringgih dulu memperjuangkan bangsanya? Dalam novel diceritakan bahwa si Datuk turut terlibat dalam perang belasting. Sayangnya, novel ini, yang penerbitannya merupakan bagian agenda politik etis di bidang edukasi, memposisikan perlawanan si Datuk sebagai perlawanan yang sifatnya individual; membela kepentingan bisnisnya.

Orang yang memahami budaya tempat ia berasal dan hidup di dalamnya pasti akan menghargai dan memperjuangkan bangsanya, tak terkecuali Datuk Meringgih. Namun, itu modal yang belum cukup untuk keberhasilan sebuah perjuangan. Mereka yang berhasil memperjuangkan bangsanya adalah mereka yang karib dengan budayanya dan belajar tentang budaya asing yang hendak merongrong bangsanya. Mau tak mau, harus diakui bahwa para founding father bangsa ini adalah mereka yang dengan tekun mempelajari budaya para penjajah.***