Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Andreas Nova
Bagi saya dan redaktur Kibul lain, ada kebanggaan tersendiri ketika bisa menayangkan Kibul di layar gawai anda selama kurang lebih setahun ini. Tentu saja pada awalnya sempat ada rasa pesimis, apakah situs web yang pada halaman cara berkontribusi sudah jelas dituliskan “tidak memberikan honorarium berupa uang pada kontributor” akan mendapatkan cukup naskah untuk sekedar menghidupkan situs web yang baru bermula? Ternyata dugaan kami salah. Naskah terus masuk berdatangan melalui surel redaksi Kibul. Baik dari penulis yang sudah moncer di media lain, baik di media daring ataupun media cetak, sampai penulis yang belum kami kenal. Baik dari kota-kota di Pulau Jawa maupun kota-kota yang bahkan saya baru pertama kali mendengar namanya. Naskah yang datang, baik berupa cerpen, puisi, opini, terjemahan cerpen, terjemahan puisi, juga resensi tidak hanya menghidupkan Kibul, tapi juga menyemarakkan pilihan bacaan alternatif yang bisa diakses secara daring melalui gawai. Saya dan redaktur Kibul lainnya juga tidak pernah menduga bahwa Kibul bisa tetap konsisten selama satu tahun lebih ini. Puncaknya adalah ketika kami merayakan Setahun Kibul dengan meluncurkan Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017: Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup di Taman Budaya Yogyakarta, hari Sabtu 28 April 2018. Acara tersebut bekerjasama dengan rekan-rekan dari Studio Pertunjukan Sastra, dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 151 dengan tema Penulis Muda dan Sastra Daring.
Acara itu adalah acara kedua yang menghadirkan Kibul sebagai pembicara. Kebetulan dalam dua acara tersebut saya yang mewakili Kibul. Acara yang pertama adalah TahunBaruDiJBS akhir 2017 lalu. Tema yang diusung dalam kedua acara tersebut hampir sama, menyoal media daring, bagaimana perannya dan sebagainya. Dalam sesi tanya jawab di kedua acara tersebut, saya menyadari ada hal-hal yang sering disalahpahami ketika mengenal Kibul. Tentu saja saya tidak akan membeberkan semuanya secara detil. Nanti tulisan ini menjadi sangat panjang, membosankan dan seolah berisi pembenaran dari saya. Ada tiga poin penting yang akan saya ulas: (1) Apa itu Kibul? (2) Bagaimana Kibul bekerja? (3) Mengapa Kibul menerbitkan buku?
Satu yang sering disalahpahami mengenai Kibul adalah menganggap Kibul sama dengan media daring macam Mojok ataupun Basabasi. Tanpa mengurangi rasa hormat pada situs web sejenis lainnya, kami sering dibandingkan dengan kedua media daring tersebut barangkali karena sama-sama berdomisili di Yogyakarta. Saya sendiri sebenarnya sedikit susah ketika diminta mendefinisikan Kibul itu apa. Mungkin definisi yang sedikit pas itu, Kibul adalah media sastra alternatif kolektif. Sastra yang tidak hanya membahas sastra, tapi juga sekitaran sastra, alternatif dari media cetak, maupun media daring sejenis, dan kolektif karena dihidupkan bersama dengan rekan-rekan kontributor.
Berbeda dari Mojok dan Basabasi yang dikelola secara profesional, Kibul adalah situs web yang dikelola secara amatir. Seperti yang diungkapkan oleh T.S. Pinang dalam acara Bincang-bincang Sastra edisi 151, amatir bukanlah antonim dari profesional, dikelola secara amatir bukan berarti dikelola dengan tidak profesional. Amatir berasal dari kata amator dalam Bahasa Latin, kata dasarnya adalah amor. Sebagian dari kita tentu lebih mengenal kata amor yang berarti cinta, namun mungkin jarang mengenal kata amator yang berarti pencinta. Yang membedakan amatir dan profesional itu bukan masalah keahlian, atau tingkat kedalaman pemahaman terhadap apa yang digelutinya, namun lebih pada motivasinya. Profesional lebih dimotivasi oleh uang, sedangkan amatir motivasinya adalah cinta, kesenangannya terhadap suatu hal.
Mengenai hal amatir dan professional ini saya jadi teringat, alm. Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun) yang tidak begitu suka disebut sebagai penulis profesional. Beliau lebih suka disebut penulis amatir. Karena beliau tidak semata-mata menulis untuk uang, tapi beliau menulis karena mencintai proses menulis dan berbagi melalui tulisan.
Biarpun Kibul dikelola secara amatir, namun dari segi tampilan dan kualitas konten, saya rasa tidak kalah dengan media daring yang dikelola secara professional. Amatir bukan berarti tidak serius dalam melakukan sesuatu. Bagaimanapun, Kibul secara serius diniatkan sebagai ruang alternatif (baik daring ataupun luring) untuk berkarya dan berproses bersama.
Membuat situs web tentunya butuh biaya. Mau tidak mau, tetap ada sejumlah uang yang dibutuhkan untuk setidaknya menyewa domain dan hosting. Seperti yang sudah pernah saya tulis di Ngibul edisi Tahun Baru, para redaktur melakukan patungan untuk biaya-biaya seperti itu. Lalu bagaimana dengan biaya desain, pengelolaan web, pengelolaan media sosial, dan sebagainya? Karena Kibul berawal dari kekancan (pertemanan), rembugan (musyawarah), dan urunan (patungan). Maka seperti pengelolaan web, dipegang oleh saya sendiri yang punya sedikit pengalaman mengelola web dan sedikit bahasa pemrograman, tapi kebetulan saya berteman dengan beberapa rekan yang mendalami pengelolaan web dan mendalami beberapa bahasa pemrograman yang bersedia menjawab pertanyaan saya, bahkan bersedia membantu ketika saya minta tolong untuk mengutak-atik situs web Kibul. Lalu untuk desain grafis, kebetulan salah seorang redaktur kami, Olav iban dianugerahi selera desain visual yang baik, juga punya cukup pengalaman dalam bidang desain. Redaktur-redaktur lain juga punya potensi di hal-hal lain.
Kibul tidak melakukan monetasi pada situs web kibul.in karena selain kami menjaga tampilan situs web tersebut tetap bersih, pengunjung tidak terganggu iklan yang berseliweran, juga karena kami tidak mengeluarkan biaya untuk memberikan honorarium berupa uang kepada kontributor dan redaktur. Rasanya tidak etis kalau kami memonetasi situs web kami sementara kami tidak memberikan apa-apa pada redaktur dan kontributor. Semua digerakkan oleh redaktur dan kontributor yang mencintai dan ingin memperkaya kesusastraan Indonesia.
Kibul yang dikelola secara amatir, swadaya, swadana dan nirlaba ini justru di mata saya menjadi media daring yang lebih independen dibandingkan situs web sejenis. Karena independensi itulah kami juga dengan terbuka menerima kiriman naskah dari rekan-rekan kontributor, juga artikel dari rekan-rekan yang ingin mempublikasikan acara yang dikelola oleh komunitasnya. Komunitas apapun. Mau berdiskusi dengan redaktur juga boleh, baik mau bertemu langsung maupun via surel atau pesan privat. Dengan diskusi kita bisa belajar kepada satu sama lainnya. Bagaimanapun, esensi berdirinya Kibul adalah belajar bersama.
Pertanyaan ini memang baru muncul ketika acara Bincang-bincang Sastra edisi 151. Alasan Kibul menerbitkan buku yang pertama adalah untuk menandai pencapaian satu tahun Kibul. Bagi Redaktur Kibul, mencapai umur satu tahun bagi sebuah media daring yang dikelola secara amatir adalah pencapaian yang luar biasa, dan memacu semangat kami untuk mencapai umur dua tahun, tiga tahun dan seterusnya. Alasan kedua adalah sebagai apresiasi bagi rekan-rekan kontributor atas antusiasme yang luar biasa kepada Kibul, khususnya untuk rubrik Cerpen dan Puisi. Mungkin terkesan remeh ya? Kalau buat kenang-kenangan doang, mending nggak usah bikin. Apa yang salah dengan kenangan? Ada yang salah dengan memberikan apresiasi?
Ada yang menganggap media daring yang malah menerbitkan versi cetak adalah sebuah kemunduran. Sudah online kok masih cetak? Ya, itu kan kalau dilihat dari sisi teknologinya. Media cetak memang muncul lebih dahulu dari media daring, tapi semua media memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Media daring diakses melalui gawai namun hanya dapat diindera oleh mata, sementara buku bisa diindera tidak hanya dengan mata, tapi juga dengan jari untuk meraba lembaran-lembaran kertas buku, hidung untuk mencium aroma nikmat ketika buku baru terbebas dari segel plastiknya, atau barangkali lidah jika mau mencoba. Media daring mudah diakses (jika punya kuota), namun di satu sisi lebih mudah melelahkan mata. Sementara buku lebih nyaman di mata, namun di sisi lain, buku adalah santapan lezat untuk rayap. Tapi tidak bisa kita pungkiri. Saat ini buku adalah media sastra yang paling dekat dengan masyarakat. Itu sejalan dengan visi kibul, mendekatkan sastra dengan masyarakat.
Satu hal lagi yang sering mengusik saya adalah anggapan bahwa, “Tuh kan, ujung-ujungnya jualan buku. Pada akhirnya cari duit juga kan!” Kadang saya bertanya-tanya, apa ada yang salah dari berjualan? Apakah ada yang salah dari menjual buku? Tidak. Yang salah adalah jika melakukan hal-hal yang tidak etis, misalkan memaksa untuk membeli buku yang dijual, menerbitkan buku terjemahan yang tidak “permisi” pada penulisnya atau yang belum memasuki public domain.
Lagipula jualan buku bukan jalan satu-satunya jalan rejeki Kibul. Selama saya dan rekan-rekan redaktur mendirikan, mengelola, dan mengurus Kibul. Ada saja rezeki yang masuk, dan justru bukan dari Kibul. Toh Kibul juga tidak menerima pendapatan dari monetasi situs web. Yang ada malah kami mengeluarkan uang untuk memperpanjang domain dan hosting. Tapi tetap saja ada rezeki, dan tidak hanya materi. Rezeki itu entah berupa karir yang baik, jejaring pertemanan yang semakin luas, Kibul semakin dikenal dan berkesempatan untuk dikenal lebih banyak orang, juga merupakan rezeki yang patut disyukuri. Toh jika ada sedikit keuntungan dari penjualan buku antologi juga kami alokasikan untuk memperpanjang domain dan hosting. Bagaimanapun Kibul harus bisa berdiri sendiri kan ya?
Sedikit hal yang mengulur waktu penerbitan Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017 adalah kami harus minta ijin pada kontributor-kontributor Kibul yang karyanya termuat dalam buku bersampul kuning ini. Kami menunggu pernyataan kesediaan mereka, karena kami menghargai hak cipta atas karya mereka. Kami sadar, Kibul bisa mencapai usia setahun, juga karena andil besar rekan-rekan kontributor. Untuk itu kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada rekan-rekan kontributor, juga rekan-rekan yang membantu proses penerbitan Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017.