Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Olav Iban
Ini adalah penggal kisah tentang potong-potongan ingatan masa kemarin. Dan untuk memulainya, kuambil bagian awal novel À La Recherche du Temps Perdu karya Marcel Proust.
Ada satu sesi yang dikenal sebagai episode madeleine. Madeleine, sebagaimana kamu tahu, adalah sejenis kue sponge kecil dari tepung gandum, gula, dan telur. Teksturnya remah, mudah larut. Proust mengalami gempa waktu karena segigit madeleine hancur di dalam mulutnya. Memori otaknya menghambur kenangan, lalu dimulailah novel tujuh volume À La Recherche du Temps Perdu.
Keterlaluan kalau kamu tak ingat Marcel Proust. Kita pernah berbagi cinta karena bukunya—bukan novelnya, tapi sepersekian detik scene film Up yang sekilas memuat kata Temps Perdu di scrapbook-nya.
Dikisahkan, Proust sedang kedinginan ketika ia pulang ke rumah ibundanya setelah hari yang melelahkan. Ditawarkan kepada Proust oleh ibu secangkir teh hangat dengan kue madeleine, yang mulanya ditolak namun tetap diiyakan tanpa alasan. Proust pun meminumnya, bersama madeleine yang telah basah dicelup teh hangat. Seketika datanglah awal mula kisah panjang yang tak baru tapi baru: ingatan masa kemarin yang telah lama hilang terlupakan oleh lelah dan tua.
Proust mendeskripsikan sengatan madeleine basah itu seperti ini:
Mais à l’instant même où la gorgée mêlée des miettes du gâteau toucha mon palais, je tressaillis, attentif à ce qui se passait d’extraordinaire en moi. Un plaisir délicieux m’avait envahi, isolé, sans la notion de sa cause. Il m’avait aussitôt rendu les vicissitudes de la vie indifférentes, ses désastres inoffensifs, sa brièveté illusoire, de la même façon qu’opère l’amour, en me remplissant d’une essence précieuse: ou plutôt cette essence n’était pas en moi, elle était moi.
Tak lama setelah teh hangat yang bercampur dengan remah-remah itu menyentuh langit-langit mulutku, aku bergidik dan terdiam sejenak, terasa ada hal luar biasa yang terjadi padaku. Suatu kegembiraan yang luar biasa telah menyerbu panca inderaku, sesuatu yang terisolasi, terpisah, tanpa tahu dari mana datangnya. Semua terjadi sekaligus, mengubah hidupku—yang tak mau peduli, yang kekacauannya tak berbahaya, yang ilusif dan sementara—lewat cara yang sama seperti cinta bekerja menuangi hidupku dengan esensi berharga; atau tepatnya, esensi itu bukan ada dalam diriku, tapi akulah esensi itu sendiri.
Proust kebingungan. Sensasi yang dialaminya adalah baru, tapi tidak ‘baru’. Diceritakan kemudian Proust meminumnya dua-tiga kali lagi. Namun, sensasi luar biasa itu malah memudar dan hilang. Akhirnya ia yakin, “La vertu du breuvage semble diminuer. Il est clair que la vérité que je cherche n’est pas en lui, mais en moi.” Ramuan ajaib ini sudah kehilangan magisnya, kata Proust, sudah jelas sekarang bahwa apa yang kucari tidak ada di dalam secangkir teh itu, tetapi ada di dalam diriku sendiri.
Dengan banyak perjuangan, Proust mencari-cari dalam kesadaran ingatannya. Mengobrak-abrik nalarnya, mencoba menjawab apa sensasi ini? Ia sepenuhnya yakin bahwa rasa madeline terbasahi teh hangatlah yang memicu gelora cinta yang meluap-luap di dalam dirinya. Tapi, apa?
Lalu, the memory revealed itself. Rasa itu adalah aroma madeline basah yang disuguhkan Bibi Léonie pada Minggu pagi dulu sekali, ketika Proust kecil tinggal di Combray.
Bila kamu pikir ini sepele dan sekian saja, kamu perlu membaca ulang tujuh volume buku Proust. Rasa madeleine itu mendamaikan Proust—karena kala itu ia mengucapkan selamat pagi kepada Bibinya dengan ceria. Rasa itu suatu rasa religius—karena pagi itu ia akan berangkat mengikuti Misa. Rasa itu adalah rasa cinta—karena Bibinya adalah Bibinya. Rasa itu adalah rasa arsitektural—karena Proust kecil berlarian di jalanan kecil Combray dengan segala rumah-rumahnya. Rasa itu adalah rasa sosiologis—karena Proust kecil bermain dengan anak-anak Combray. Rasa madeleine itu tidak sesepele aroma kue sponge bercampur teh lemon. Rasa madeleine itu kompleks, acak, tapi holistik. Dan lebih dari itu, rasa madeleine (setelah bertahun-tahun hilang dari hidup Proust) adalah katalisator utama perjalanan waktu.
Akibat episode madeleine, novel Proust menjadi tenar. Orang-orang mengutipnya sebagai l’univers dans une tasse de thé, semesta dalam secangkir teh. Para neurolog mengaitkannya dengan involuntary memory, suatu sub-komponen ingatan sehari-hari yang tak sengaja timbul tanpa ada usaha secara sadar untuk membangkitkannya. Seperti tumpukan layer kenangan tentangmu (dengan segala kisah-kisahmu) yang tiba-tiba muncul begitu saja hanya karena nama Marcel Proust bertengger di rak depan toko buku.
Akhir-akhir ini, ada buku Marcel Proust muncul di rak-rak depan toko buku. Cuma buku tipis kisah-kisah awal. Tapi ada keyakinan ketika kamu melihat nama Marcel Proust di sana, ingatanmu akan terbawa pada À La Recherche du Temps Perdu. Pun begitu padaku.
Tentu saja bohong. Kamu tahu tidak ada toko buku di kota ini. Kenangan tentangmu muncul memang karena Proust, tapi Proust hadir bukan karena rak buku, melainkan karena dua film yang baru selesai kutonton. Kenangan tentangmu sudah kutumpuk terlalu dalam sehingga untuk mengelupasnya butuh lebih dari sekadar ketidaksengajaan.
Pertama, serial Breaking Bad. Tidak seluruhnya. Hanya adegan singkat ini yang memicunya, yakni ketika Gus yang baru selesai memasak berkata pada Mr. White, “It always amazes me the way the senses work in connection to my brain. Taken separately, these ingredients alone don’t remind me of anything. But in this precise combination, the smell of this meal instantly brings me back to my childhood. How is that possible?”
Lalu Mr. White menjawab, “Basically it all takes place in the hippocampus. Neural connections are formed. The senses make the neurons express signals that go right back to the same part of the brain as before. Where memory is stored. It’s something called relational memory.”
Sebelum Mr. White menjawab, sudah dahulu kujawab, “Kamu dan Marcel Proust.”
Pemicu kedua adalah Kimi No Na Wa, sebuah film animasi Jepang yang aku temukan secara random karena ratingnya yang terlalu tinggi di IMDb. Sebenarnya film ini tidak harafiah mengungkit episode madeleine, tapi tonton saja, nanti kamu tahu mengapa. Bukannya dulu kamu sering bertanya-tanya, bagaimana bisa kita seperti sudah saling mengenal lama walau nyatanya baru bertemu sekian hari saja?
Begitu kamu menyadari ada episode madeleine dalam hidupmu, secepatnya kamu akan tahu bahwa carpe diem quam minimum credula postero hanya apologi filosofis. Bahwa masa kemarinmu adalah tumpukan peristiwa gigantik yang berpararel denganku, dengannya, dengan ibumu, dengan bom atom Nagasaki.
Tapi jangan sekali-sekali kamu bilang, tanpaku kamu tak mungkin menjadi kamu yang kini. Kalau saja Mary Ann Mantell tidak sedang berjalan-jalan di ladangnya dan menemukan fosil dinosaurus itu, apakah tidak akan ada dinosaurus lain yang ditemukan oleh milyaran manusia? Kepastian masa kinimu hanya perkara waktu hingga kapan ia akan tersingkap.
Telaah besar tentang waktu (dan kumpulan peristiwa yang membentuknya) sudah seumur dengan era manusia pertama. Semua orang dibuat penasaran olehnya. Begitu juga kita—yang ingin berkelindan sampai mati, sambil mengutuki waktu dan menggerutui takdir.
Apapun itu, Proust membuat kita mengerti bahwa keabadian sang waktu terkadang menular kepada golden moments dalam hidup kita. Melipat kisah fana menjadi perahu kertas yang mengalir kekal di arus waktu yang baka.
Merci pour cette belle aventure—
Il est temps pour toi d’en
vivre une nouvelle!