Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Asef Saeful Anwar
“Pada suatu siang yang terik dan panas,” demikian ustaz muda kita memulai ceritanya setelah membuka kultum dengan salam, sapa, syukur, dan selawat, “salah seorang panglima perang Khalifah Bani Umayyah, yaitu Al-Hajjaj bin Yusuf, meminta kepada pengawalnya untuk mengajak seseorang, siapa saja yang ditemuinya yang bukan bawahannya, menghadap kepadanya. Maka, dipanggil-lah seorang penggembala ke hadapannya.”
“Aku mengundangmu untuk makan siang,” ustaz muda kita mencoba mereka-reka suara sang panglima dengan amat berwibawa seolah-olah telah ada seorang penggembala di depannya. Para jamaah kultum jelang berbuka puasa mulai tertarik dengan gaya suara yang diubah itu.
“Maaf, Tuan,” sang ustaz muda mengganti suaranya, dengan nada lemah dan pelan, memerankan seorang penggembala yang rendah hati, “aku telah lebih dulu diundang oleh yang lebih mulia dari Anda dan aku akan memenuhinya.”
“Siapakah yang mengundangmu sementara engkau sudah ada di sini?” sang ustaz kembali mengubah suaranya, kali ini dengan nada tinggi, menirukan sang panglima yang mulai dikuasai emosi, “Dan siapa itu yang lebih mulia dari aku?” Suaranya makin mantap dan keras, sampai-sampai seorang panitia yang tengah menyiapkan menu berbuka di masjid itu kaget mendengarnya dan hampir menjatuhkan nasi kotak.
“Aku tengah memenuhi undangan Tuhan untuk berpuasa,” kali ini suara sang penggembala ditegaskan oleh sang ustaz muda.
“Oh Tuhan, hari begitu terik dan engkau berpuasa. Segeralah berbuka denganku. Esok kamu bisa berpuasa kembali.” Wah pandai benar ustaz muda kita ini menirukan sang panglima yang merayu. Sepertinya ia pernah belajar teater di pesantrennya. Biar tidak bertele-tele, kita langsung simak saja perkataan sang ustaz muda tanpa saya deskripsikan lagi ya.
“Apa Tuan bisa menjamin besok aku masih hidup?” tanya sang penggembala. Begitu mendapatkan pertanyaan tersebut, sang panglima terdiam cukup lama. Coba bayangkan bila Ibu-ibu, eh maksud saya Bapak-bapak atau Mas-masnya yang jadi panglima, apa yang bisa Bapak-bapak atau Mas-mas Jawab?
Tanpa disangka sang panglima Bani Umayah itu malah merayu dengan cara lain. Dia berkata: “Hari ini juru masakku menghidangkan banyak makanan yang amat lezat. Sungguh sayang bila engkau melewatkan kenikmatan menyantapnya.”
“Demi Tuhan,” jawab sang penggembala, “sesungguhnya yang membuat lezat dan nikmatnya masakan bukanlah seorang juru masak, bukan bahan-bahannnya, bukan pula bumbunya, melainkan karena ‘afiat.”
Bu…Pak…Mas…Mbak… sudah sering kan kita berkata; “Alhamdulillah saya sehat wal ‘afiat”? Apa Ibu-ibu dan Bapak-bapak tahu artinya?
‘Afiat itu salah satu artinya “dukungan dari Allah” sederhananya: selezat apa pun masakan yang kita makan, tidak akan dapat kita nikmati kalau tidak ada dukungan dari Allah. Contohnya kita mau makan gulai sapi, meskipun gusi kita sedang tidak sakit, lidah sedang tidak sariawan, tenggorokan juga tidak sedang radang, intinya kondisi tubuh kita sehat, bisa jadi saat tidak ada ‘afiat, saat kita makan gulai sapi tiba-tiba malah ingat bangkai tikus yang terlindas di atas aspal, tiba-tiba ada lalat yang masuk ke dalam gulai, tiba-tiba terjadi hal yang membuat kita tidak bisa menikmatinya meskipun sebenarnya gulai sapi itu amat lezat. Sebaliknya, kalau kita dapat ‘afiat makan mendoan serasa makan rendang meskipun mulut kita sedang sariawan.
Orang yang kerap dapat ‘afiat itu makan bukan untuk kenyang, Bu, Pak, Mas, Mbak, tapi mereka makan agar bisa kuat berdiri untuk beribadah. Apa kita sudah seperti itu? Apa niat berbuka kita untuk kuat tarawih 20 rakaat 1 juz atau sekadar mengenyangkan perut yang lapar seharian? Apa niat minum kita untuk lancar bertadarus sepanjang malam atau sekadar karena dahaga sepanjang siang?
Para jamaah sekalian, puasa itu salah satu cara mencapai ‘afiat. Puasa itu latihan batin, bukan sekadar latihan badan. Plesetan Jawa bilang Ramadhan kuwi udu nggur Ra Madhang, bulan Ramadhan itu bukan sekadar bulan tidak makan. Misalnya, saat berpuasa lidah tidak sekadar dilatih untuk tahan tidak mencecap makanan, tapi dilatih pula untuk tidak banyak berkata demi menjaganya dari perkataan buruk. Mumpung sekarang bulan puasa…..
Tiga menit kemudian waktu berbuka datang. Semua nasi kotak telah ada di hadapan para jamaah. Ketika para jamaah tengah menikmati takjil, yang berupa tiga biji kurma di masing-masing kotak nasi, tiba-tiba ada seorang ibu muda yang berujar di tengah jamaah:
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, Mas-mas, dan Mbak-mbak, dan terutama Pak Ustaz, sebelumnya saya mohon maaf bila nasinya terlalu encer karena saat masak tadi saya ngasih airnya kebanyakan. Selamat berbuka puasa, dan semoga kita dilimpahi banyak ‘afiat.”
Ternyata, selain nasi yang encer, para jamaah yang berbuka puasa di Masjid As-Sabur itu harus pula menghadapi kenyataan lainnya: daging ayam yang ada di nasi kotak itu terlalu alot dan asin. Maka terjadilah drama buka puasa dengan pandang-memandang sambil mengunyah antara ustaz muda kita itu dan para jamaah tanpa ada yang berani mengeluhkan betapa tidak enaknya menu buka puasa magrib itu.