Category: terjemahan

  • Funes Si Pengingat [Jorge Luis Borges]

    author = Maestro Simanjuntak

    Aku “mengingat” pria itu (Aku tidak punya hak mengatakan kata keramat ini, hanya satu orang di dunia ini yang punya hak dan dia telah mati) dengan bunga gelap menyala dalam genggamannya, melihatnya seolah tidak ada orang lain yang pernah melihatnya, seumur hidup. Aku mengingat Dia, dengan wajahnya yang tenang dan mirip Indian serta luar biasa terasing, tersembunyi di balik rokok. Aku mengingat (Aku rasa), jalinan kulit tangannya yang kasar bergerigi. Aku mengingat di dekat tangan-tangan itu minuman mate dengan gelas labu bergambar lambang kebesaran Uruguay; Aku mengingat penyekat ruangan berwarna kuning dengan pemandangan samar-samar danau pada jendela rumahnya. Aku dengan jelas mengingat suaranya: pelan, kasar, suara sengau khas orang pinggiran, tanpa desis-desis khas italia yang kita gunakan saat ini. Aku hanya bertemu tiga kali dengannya: terakhir kalinya pada 1887..Aku merasa sangat lega mengetahui bahwa mereka yang mengenal Dia harus menulis tentang Dia; testimoni ku mungkin akan menjadi yang paling singkat dan tidak diragukan lagi paling buruk, juga yang paling tidak objektif dalam jilid yang akan kau susun. Statusku yang tercela sebagai orang Argentina akan mencegahku berpuas diri dalam bersyair, sebuah genre wajib ketika subjeknya seorang Uruguay. Cendekiawan, orang kota, bung: Funes tidak pernah mengatakan kata-kata tercela tersebut, tapi Aku cukup yakin Aku mewakili kata-kata itu. Pedro Leandro Ipuche telah menuliskan bahwa Funes adalah pelopor dari orang-orang super, “Zarathustra dengan Logat asli dan tidak berpendidikan.” Aku tidak ingin mendebat gagasan ini, tetapi harap jangan dilupakan bahwa Funes juga seorang bocah yang berasal dari Fray Bentos, dengan kekurangan-kekurangan yang manusiawi.  

    Kenangan pertamaku akan Funes sangat jelas. Aku bisa melihatnya pada suatu petang di bulan Maret atau Februari pada tahun 1884. Ayahku pada tahun tersebut, membawaku menghabiskan musim panas di Fray Bentos. Waktu itu Aku baru saja kembali dari peternakan di San Fransisco dengan sepupuku Bernardo Haedo. Kami bernyanyi seraya menunggang kuda bersama, hal ini bukan satu-satunya kegiatan yang membuatku bahagia. Setelah hari yang pengap, badai sehitam papan tulis telah menutupi langit. Didesak angin selatan, pepohonan menjadi liar tidak karuan: Aku ketakutan (dan penuh harap) kekuatan alam hujan akan menerbangkan kami secara tiba-tiba ke alam terbuka. Kami seakan berlomba dengan badai. Kami memasuki jalan gang yang ditutupi dinding bata tinggi di kedua sisi jalan; Aku mendengar langkah kaki yang tergesa dan hampir tidak bersuara dari atas: Aku mendongak dan melihat seorang bocah berlari sepanjang jalan sempit dan rusak bagai tembok yang sempit dan rusak. Aku mengingat terusan koboinya yang panjang dan longgar, sepatu bersol tali, Aku mengingat rokok pada wajahnya yang menegang, berlatarkan awan badai tidak berujung. Bernardo sekonyong-konyong berseru padanya, “Jam berapa sekarang, Ireneo?” tanpa menatap langit, tanpa berhenti, Dia menjawab: “Sekarang jam delapan lewat empat menit, Tuan Bernando Juan Fransisco.” Suaranya melengking, menghina. 

    Aku tidak menghiraukan percakapan mereka, percakapan yang tidak menarik minat ku jika saja sepupuku, yang Aku percaya-terdorong oleh sebuah kebanggaan dan kemauan untuk menunjukkan bahwa Dia acuh terhadap jawaban pihak ketiga, memberitahuku bahwa bocah yang kami temui di jalan gang adalah Ireneo Funes, terkenal dengan ciri khasnya sebagai penyendiri dan selalu mengetahui dengan tepat, waktu, seperti arloji. Sepupuku menambahkan bahwa Funes adalah anak dari tukang setrika di kota, Maria Clementina Funes, dan beberapa orang mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang dokter di pengepakan daging, seorang Inggris bernama O’connor, dan beberapa orang mengatakan Dia adalah pawang kuda dan pemandu jalan dari area Salto. Dia tinggal bersama ibunya, di sekitar sudut perumahan Laureles. 

    Sekitar tahun delapan puluh lima dan delapan puluh enam, kami menghabiskan waktu di Montevideo. Pada tahun delapan tujuh Aku kembali ke Fray Bentos. Aku bertanya, sewajarnya, tentang para kenalan dan akhirnya tentang “Si maha tepat” Funes. Aku diberitahu bahwa Dia dilemparkan oleh kuda yang separuh jinak dan menjadi lumpuh putus asa. Aku mengingat sensasi sihir jahat yang dihasilkan kabar tersebut dalam diriku: terakhir kali Aku melihatnya adalah ketika kami kembali dari San Fransisco menunggangi kuda dan Dia berlari di dataran tinggi; kenyataan ini, diberitahukan oleh sepupuku Bernardo, mirip dengan kualitas mimpi yang terbentuk dari komponen masa lalu. Aku diberitahu bahwa Dia tidak pernah keluar dari ranjangnya, dengan mata terpaku pada pohon ara di belakang rumah atau pada jaring laba-laba. Pada petang hari, Dia akan membiarkan dirinya dibawa ke depan jendela. Dia tetap mengusung kehormatannya seakan kejadian yang membuatnya terpuruk seolah mengandung hikmah… Dua kali Aku melihatnya di belakang jeruji besi jendela, yang secara tidak langsung menggambarkan kondisinya sebagai tahanan seumur hidup: pertama kali, Dia sama sekali tidak bergerak, dengan mata tertutup; di lain waktu, juga sama sekali tidak bergerak, tenggelam merenung dalam semerbak tanaman Santonica.  

    Tidak bermaksud menyombongkan diri, pada saat itu Aku telah memulai penelitian metodikal Latin. Koper ku berisi De viris illustribus oleh Lhomond, Quicherrat’s Thesaurus, the commentaries oleh Julius Caesar, dan sebuah jilid dari Naturalis Historia-nya Pliny. Yang kemudian mengembangkan (sampai saat ini) wawasan ku yang terbatas sebagai pakar Latin. Semua hal segera diketahui umum di kota kecil; Ireneo, di rumahnya pada pinggiran kota, tidak butuh waktu lama untuk mengetahui kedatangan buku-buku aneh tersebut. Dia mengirimiku surat yang berbunga-bunga dan resmi dimana Dia membahas pertemuan kami yang sayangnya cukup singkat, “Pada hari ketujuh bulan Februari pada tahun 1884,” kiranya Tuhan membalas jasa-jasa Paman ku Gregorio Haedo, yang meninggal pada tahun yang sama, “perang terjadi antara kedua negara kita yang gagah berani di Ituzaingo.” Dia meminta untuk meminjamkan beberapa jilid buku ku, bersama sebuah kamus “untuk pengetahuan akan naskah asli, karena Aku seorang Latin yang bodoh.”. Dia berjanji akan memulangkan mereka dalam kondisi yang baik, secepatnya. Tulisan tangannya sempurna, dengan garis-garis yang tajam, pengejaannya, adalah jenis pengejaan yang disenangi Andres Bello: i sebagai y, j untuk g. Pada mulanya Aku mengira ini adalah guyonan. Sepupuku lalu meyakinkan ku, bahwa ini bukan guyonan dan ini salah satu ciri khas Ireneo. Aku tidak tahu apakah Aku harus merasa tersanjung atau terhina, ketidaktahuan dan kebodohan dari gagasan bahwa logat lidah Latin yang sulit membutuhkan instrumen seperti kamus; untuk membuat Dia sepenuhnya kecewa, Aku mengiriminya Gradus and Parnassum of Quicherrat karya Pliny. 

    Pada hari ke empat belas Februari, Aku menerima telegram dari Buenos Aires memberitahukan Aku harus segera kembali, karena ayah ku “kurang sehat.” Semoga Tuhan mengampuni ku; kehormatan sebagai penerima telegram yang mendesak, keinginan untuk berbincang ke seluruh Fray Bentos, kontradiksi antara berita buruk dan keterangan yang memerintah, godaan untuk mendramatisasi penderitaanku, pemikiran Stoic jantan yang mempengaruhi, mungkin telah mengalihkanku dari segala kemungkinan duka yang nyata. Ketika Aku mengemasi koper, Aku melihat bahwa The Gradus dan jilid lainnya hilang. Kapal Saturn akan berlayar keesokan hari, pada pagi hari; malam harint, setelah makan malam, Aku berjalan ke arah Rumah Funes. Aku tercengang menemukan hari belum terlalu gelap dari yang seharusnya. 

    Di rumah kecil bersahaja, Ibu Funes membukakan pintu untukku. Dia memberitahuku Funes ada di ruang belakang dan agar Aku jangan terkejut menemuinya dalam keadaan gelap, karena Funes tahu bagaimana cara melewatkan jam-jam kosong tanpa menyalakan lilin. Aku berjalan melewati taman kecil, sebuah gang kecil, lalu sampai pada taman kecil kedua. Di sana ada punjung anggur; kegelapan tempat itu serasa sempurna buatku. Tiba-tiba Aku mendengar suara Ireneo yang nyaring, suara melengking. Suaranya dalam bahasa Latin; suarant (yang muncul dari dalam kegelapan) menyuarakan sebuah pidato murung atau doa yang bersahaja atau mantra. Suku kata romawi bergema di taman mini dari tanah; rasa takutku membuat mereka menjadi terdengar samar-samar dan tidak berujung; setelah itu, pada perbincangan panjang malam itu, Aku mengetahui bahwa mereka adalah jalinan paragraf pertama dari bab ke dua puluh empat buku ketujuh dari Naturalis Historia. Subjek dari bab tersebut adalah ingatan; kata-kata terakhir adalah: ut nihil non iisdem verbis redderetur auditum. 

    Tanpa sedikit pun perubahan suara, Ireneo memintaku untuk masuk. Dia berada di atas ranjangnt, sedang merokok. Sepertinya, Aku tidak bisa melihat wajahnya hingga fajar tiba; Aku percaya Aku mengenang kembali cahaya sigaretnya yang berkelap-kelip. Ruangan menguarkan bau lembap yang samar-samar. Aku duduk; mengulangi cerita tentang telegram dan penyakit ayahku. 

    Saat ini Aku tiba pada bagian tersulit dalam ceritaku. Cerita ini (sebaiknya para pembaca mengetahuinya saat ini juga) tidak mempunyai alur lain selain perbincangan yang terjadi setengah abad yang lalu. Aku tidak akan mengulang kata-kata yang diucapkan, yang saat ini tidak bisa diutarakan kembali. Aku lebih memilih meringkasnya dengan akurat tentang berbagai hal yang Ireneo katakan padaku. Gaya yang bertele-tele terasa berjarak dan lemah; Aku tahu saat ini Aku mengorbankan keampuhan naratif ku; para pembaca harus membayangkan sendiri jam-jam penuh keraguan yang merundungku malam itu.  

    Ireneo mulai dengan menuturkan, dalam bahasa Latin dan Spanyol, kasus-kasus orang dengan ingatan yang luar biasa mengesankan yang tercatat di Naturalis Historia : Cyrus, Raja Persia, yang mampu menyebut nama-nama setiap pasukannya; Mithridates Eupator, yang membuat peraturan/hukum dalam dua puluh satu bahasa daerah kekaisarannya; Simonides, penemu ilmu pengetahuan mnemonic, Metrodorus, yang melatih seni dalam mengulangi apa yang Dia dengar hanya satu kali. Dengan maksud yang baik, Ireneo terkesan bahwa kasus kasus seperti tersebut Dianggap luar biasa. Dia memberitahuku bahwa pada petang berhujan ketika kuda kelabu-kebiruan melemparkannya, Dia berubah menjadi manusia sesungguhnya: buta, tuli, bodoh, tidak berwawasan. (Aku mencoba untuk mengingatkan Dia tentang persepsi waktunya yang maha tepat, ingatannya akan nama-nama yang selalu benar; Dia menghiraukanku.) selama sembilan belas tahun Dia telah hidup sebagai seseorang dalam mimpi: Dia melihat tanpa memperhatikan, Dia mendengarkan tanpa menyimak, melupakan semuanya, hampir segalanya. Disaat Dia terjatuh, Dia tidak sadarkan diri; ketika sadarkan diri, masa kini yang kaya dan tajam hampir tidak bisa Dia terima, begitu juga dengan kenangannya yang jauh dan paling remeh.

    Beberapa waktu kemudian, Dia sadar Dia telah lumpuh. Kenyataan itu hampir tidak digubris olehnya. Dia beralasan (Dia merasa) bahwa mobilitas adalah harga yang terlalu murah. Saat ini persepsi dan ingatan yang Dia miliki betul-betul sempurna. 

    Kita, hanya dalam satu lirikan, mampu melihat tiga gelas pada sebuah meja; Funes, semua dedaunan, dan tangkai-tangkai serta buah yang berpadu membentuk anggur merambat. Dia tahu dengan mendetail, bentuk-bentuk awan selatan di petang hari pada tanggal 30 april, 1882, dan mampu membandingkan mereka satu dan yang lain dalam ingatan dengan noda belang-belang pada sebuah buku dalam bahasa Spanyol yang hanya pernah Dia lihat satu kali, dengan kontur dari buih-buih yang disebabkan sebuah dayung di Rio Negro malam sebelum pemberontakan Quebracho. Ingatan-ingatan tersebut bukanlah ingatan sembarangan; setiap gambaran visual terhubung dengan sensasi-sensasi otot, sensasi-sensasi suhu, dll. Dia bisa merekonstruksi mimpi-mimpinya, semua setengah-mimpinya, dua atau tiga kali Dia telah merekonstruksi satu hari secara menyeluruh; Dia tidak pernah ragu-ragu, tetapi semua rekonstruksi memakan waktu satu harian. Dia memberitahuku, “Aku sendiri mempunyai mimpi lebih banyak dari seluruh umat manusia sejak dunia tercipta.” Dan menambahkan: “Mimpi-mimpiku seperti jadwal bangun kalian.” Dan lagi menjelang subuh: “Ingatan kepunyaanku, Tuan, bagai setumpuk sampah.” Sebuah lingkaran digambar pada papan tulis hitam, sebuah segitiga siku-siku, sebuah bangun datar segi empat-semua ini adalah bentuk bentuk yang kita pahami dan tangkap dengan baik, Ireneo mampu melakukan hal yang sama dengan surai kuda pony yang bergelebar, dengan kawanan ternak di atas sebuah bukit, dengan api yang menyala-nyala dan abunya yang tidak terhitung, dengan banyak wajah orang-orang mati selama Dia hidup, Aku tidak tahu berapa banyak bintang yang bisa Dia lihat di langit. 

    Semua hal ini, yang Dia beritahukan padaku, tidak satupun dari mereka yang dulu maupun sekarang Aku ragukan. Pada masa itu tidak ada bioskop atau fonograf/perekam suara; bagaimanapun juga, sungguh aneh dan benar-benar mengesankan bahwa tidak ada seorang pun yang melakukan penelitian dan eksperimen pada Funes. Kenyataannya adalah bahwa kita menjalani hidup menunda hal-hal yang bisa ditunda; mungkin saja jauh di lubuk hati kita semua tahu bahwa kita abadi dan cepat atau lambat umat manusia akan melakukan dan mengetahui segala hal. Muncul dari kegelapan, suara Funes terus berbicara padaku. Dia memberitahuku bahwa pada 1886 Dia menemukan sistem penomoran original dan bahwa hanya dalam beberapa hari Dia sudah sampai pada lebih dari dua puluh empat ribu tanda. Dia tidak menuliskan apa-apa, karena apapun yang Dia pikirkan walau hanya sekali, tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Gejala/stimulus pertama yang dialami, menurutku, adalah ketidaknyamanan yang Dia rasakan pada fakta bahwa 33 koboi dalam sejarah Uruguay yang terkenal membutuhkan dua tanda dan dua kata, di tempat dengan kata tunggal dan tanda tunggal. Dia kemudian mengaplikasikan hukum absurd tersebut ke angka-angka lain. Pada angka ke tujuh ribu tiga belas, Dia akan mengatakan (sebagai contoh) Maximo Perez; pada angka tujuh ribu empat belas, Dia akan mengatakan; rel kereta; angka-angka lainnya adalah Luis Melian Lafinur, Olimar, Sulphur, The Reins, The Whale, The gas, The Caldron, Napoleon, Agustin De Vedia. Pada angka lima ratus, Dia akan mengatakan sembilan. Setiap kata mempunyai tanda khusus, pada akhir seri sangatlah rumit…Aku mencoba menjelaskan bahwa komposisi istilah-istilah yang ganjil tersebut adalah persis kebalikan dari sistem angka. Aku memberitahunya bahwa mengucapkan 365 sama dengan tiga ratus,enam puluh, lima-analisis yang tidak bisa ditemukan pada “Numbers” di The Negro Timoteo atau Meat Blanket. Funes tidak memahamiku atau menolak memahamiku. 

    Locke, pada abad ke tujuh belas, mendalilkan (dan menolak) bahasa yang mustahil yang mana setiap benda individu, setiap batu, setiap burung dan tangkai, akan mempunyai nama masing-masing; Funes sekali waktu pernah memproyeksikan bahasa berkiasan, namun membuangnya karena baginya tampak terlalu biasa, terlalu ambigu. Kenyataanya Funes tidak hanya mengingat setiap daun pada setiap pohon, tetapi juga setiap kali Dia membayangkannya. Dia memutuskan untuk memperkecil daftar dari setiap masa lalunya menjadi sekitaran tujuh puluh ribu ingatan, yang kemudian ditentukan dengan sandi. Dia kemudian disusahkan karena dua pertimbangan: kesadaran bahwa pekerjaan ini tidak akan berakhir, kesadaran bahwa ini tidak berguna. Dia berpikir bahwa pada jam-jam kematiannya pun, Dia tidak akan mampu selesai mengklasifikasikan semua ingatan masa kecilnya.  

    Kedua proyek yang Aku sebutkan (kosakata tak terhingga dengan seri angka, katalog tidak berguna dari ingatannya) memang konyol, tetapi mereka memberikan sedikit pencerahan agung. Mereka mengizinkan kita menarik sesuatu dari alam dunia Funes yang memusingkan. Dia, jangan kita lupakan, adalah orang yang hampir tidak memahami gagasan-gagasan umum, secara intelektual. Tidak hanya begitu sulit baginya untuk menangkap bahwa simbol generik untuk “Anjing” mencakup banyak sekali bentuk dengan ukuran dan individu yang berbeda; hal itu mengganggunya bahwa anjing pada angka tiga empat belas (dilihat dari samping) seharusnya mempunyai nama yang sama dari anjing pada angka tiga lima belas (dilihat dari depan). Wajah Funes dalam cermin, tangannya sendiri, mengagetkannya setiap kali melihat mereka. Seolah berkaitan erat, bahwa kaisar para Liliput mampu mencerap pergerakan jarum jam; Funes disisi lain mampu mencerap perkembangan dari korupsi, tipu daya, dan kemunduran. Dia bisa mencatat pergerakan kematian, kelembapan. Dia adalah penonton yang sendirian dan nyata dari dunia yang persis, bermacam-macam, instan dan hampir tak tertahankan. Babilonia, New York, London dijejali dengan imajinasi-imajinasi manusia yang megah dan ganas; tidak satupun dari menara menara mereka yang padat atau jalanan mereka yang berdesakan, pernah merasakan panas dan tekanan dari kenyataan yang tidak kenal lelah seperti siang dan malam yang menghimpit Ireneo yang malang, di pinggiran kota Amerika Selatan. Begitu sulit baginya untuk tidur. Tidur adalah memalingkan pikiran seseorang dari dunia; Funes, berbaring di atas ranjang di balik bayang-bayang, mampu membayangkan setiap celah, setiap retakan, setiap bagian yang di cor, mampu menggambarkan sampai pada hal terkecil rumah yang menaunginya. (Aku ulangi bahwa yang paling kurang berguna dari ingatan-ingatannya adalah menit demi menit yang lebih hidup dari persepsi kita tentang kenikmatan fisik atau siksaan fisik). Di arah timur, sepanjang bentangan yang belum terbagi menjadi blok-blok, terdapat beberapa rumah baru, asing bagi Funes. Dia membayangkan rumah-rumah itu, hitam, padat, terbuat dari kegelapan yang merata; Dia akan memutar wajah ke arah tersebut agar bisa tidur. Dia juga akan membayangkan dirinya berada di dasar sungai, terbenam dan diremukkan arus. 

    Tanpa usaha sama sekali, Dia menguasai bahasa Inggris, Prancis, Portugis dan Latin. Aku menduga, bagaimanapun, bahwa Dia tidak terlalu mampu berpikir. Berpikir berarti melupakan perbedaan-perbedaan, generalisasi, membuat abstraksi-abstraksi (memisahkan, menyusun, menetapkan).  

    Cahaya lemah dari sang fajar memasuki taman kecil yang terbuat dari tanah. Lalu Aku melihat wajah pemilik suara yang telah berbicara sepanjang malam. Ireneo berusia sembilan belas tahun; Dia lahir pada tahun 1868; Dia terlihat bagiku se monumental perunggu, lebih kuno dari Mesir, lebih tua dari nubuatan dan Piramid-piramid. Aku berpikir bahwa setiap kata-kata ku (juga setiap pergerakanku) akan tersimpan dalam ingatan tak bercela miliknya, Aku dilumpuhkan oleh rasa takut akan menambahkan gestur-gestur yang tidak berguna. 

    Ireneo Funes wafat pada tahun 1889, disebabkan penyumbatan paru-paru.

  • Dermaga di Smirna [Ernest Hemingway]

    author = Risen Dhawuh Abdullah

    Hal yang aneh adalah, dia berkata, bagaimana mereka berteriak setiap malam pada tengah malam. Saya tidak tahu mengapa mereka berteriak pada waktu tersebut. Kami berada di pelabuhan dan mereka semua ada di dermaga dan di tengah malam mereka mulai berteriak. Kami menggunakan lampu sorot untuk menenangkan mereka. Trik itu selalu berhasil. Kami telah menjalankan lampu sorot ke atas dan ke bawah kepada mereka dua atau tiga kali dan mereka berhenti. Suatu kali saya menjadi perwira senior di dermaga dan petugas Turki datang kepada saya dalam kemarahan yang menakutkan karena salah satu pelaut kami menghinanya. Jadi saya katakan pada dia orang itu akan dikirim ke kapal dan dihukum berat. Saya meminta kepadanya untuk menunjukkan orang yang dimaksud. Jadi dia menunjukkan rekan penembak, yang paling tidak ofensif. Mengatakan dia yang paling menakutkan dan berulang kali menghina ; berbicara kepada saya melalui penerjemah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rekan penembak cukup tahu bahasa Turki untuk menghina. Saya memanggilnya dan berkata, “Dan hanya kasus Anda seharusnya berbicara dengan petugas Turki.”

    “Saya belum berbicara dengan mereka, Pak.”

    “Saya yakin akan hal itu,” kata saya, “Tapi sebaiknya Anda naik kapal dan tidak datang ke darat lagi untuk hari tersisa.”

    Kemudian saya mengatakan kepada pria Turki itu bahwa orang itu dikirim ke atas kapal dan yang akan paling sering ditangani. Oh paling ketat. Dia merasa sedih karenanya. Kami berteman baik.

    Terburuk, dia berkata, wanita dengan bayi mati. Anda tidak bisa membuat wanita itu menyerahkan bayinya yang mati. Mereka akan dengan bayi mati selama enam hari. Tidak akan menyerah. Tidak ada yang bisa Anda lakukan. Akhirnya harus membawa mereka pergi. Lalu ada seorang wanita tua,  kasus yang paling luar biasa. Saya berkata ke dokter dan dia berkata saya bohong. Kami membersihkan mereka dari dermaga, harus membersihkan yang mati, dan wanita tua ini terbaring di atas semacam sampah. Mereka berkata, “Apakah Anda bisa melihatnya, Pak?” Jadi saya melihatnya dan dia meninggal dan benar-benar kaku. Kakinya terangkat dan keluar dari baju dan menjadi sangat kaku. Persis seperti dia sudah mati semalam. Dia sudah mati dan benar kaku. Saya berkata kepada dokter medis tentang hal itu dan dia berkata itu tidak mungkin.

    Mereka semua di luar dermaga dan sama sekali tidak seperti gempa bumi atau hal semacam itu karena mereka tidak pernah tahu mengenai orang Turki. Mereka tidak pernah tahu apa yang dilakukan si Turki tua itu. Anda ingat kapan mereka memerintahkan kami untuk tidak datang lagi? Saya mendapat angin ketika kami datang di pagi itu. Dia punya sejumlah baterai dan bisa membuat kami kehabisan air. Kami akan segera masuk, berlari di dekat sepanjang telaga, melepas jangkar depan dan belakang dan lalu menembaki seperempat bagian kota orang Turki. Mereka akan menghabisi dari kehabisan air kami tapi kami akan membuat kota itu hancur berantakan. Mereka baru saja melemparkan tuduhan tanpa dasar pada kami saat kami datang. Kemal datang dan memecat komandan Turki itu. Untuk melebihi otoritasnya atau hal semacam itu. Dia dapatkan sedikit atas dirinya sendiri. Itu akan menjadi berantakan.

    Anda ingat pelabuhan. Ada banyak hal bagus di dalamnya. Itulah satu-satunya waktu dalam hidupku saya bermimpi banyak hal. Anda tidak mempermasalahkan para wanita yang memiliki bayi seperti yang Anda lakukan pada mereka yang mati. Mereka baik-baik saja. Kejutan betapa sedikit dari mereka yang mati. Anda hanya menutupi mereka dengan sesuatu dan membiarkan mereka pergi. Mereka akan selalu memilih tempat gelap di ruang tunggu untuk memilikinya. Tidak satupun dari mereka keberatan ketika turun dari dermaga.

    Orang Yunani baik juga. Ketika mereka dievakuasi, mereka memiliki semua hewan bawaan mereka, mereka tidak melepasnya hingga hanya mematahkan kaki depan mereka dan membuang mereka ke air dangkal. Semua bagal itu dengan kaki depan mereka rusak didorong ke dalam air dangkal. Itu semua urusan bisnis menyenangkan. Kata saya bisnis menyenangkan.

    Diterjemahkan dari edisi berbahasa Inggris berjudul, “On the Quai at Smyrna” yang ada pada antologi The Complete Short Story of Ernest Hemingway—The Finca Vigia Edition (SCRIBNER 1230  Avenue of  the Americas New York, NY 10020).

  • Cinta Tak Berbatas [Nizar Qabbani]

    author = Tohir Mustofa

    1
    Wahai Nonaku,
    Engkau wanita paling penting dalam tarikhku
    sebelum tahun berlalu
    Saat ini, engkau adalah wanita paling penting
    setelah tahun ini lahir
    Engkau wanita yang tak kuhitung dengan jam dan hari
    Engkau wanita yang terbuat dari buah puisi
    dan emas mimpi-mimpi
    Engkau adalah wanita yang menempati ragaku
    Semenjak jutaan tahun lalu

    2
    Wahai Nonaku,
    Wahai engkau tenun dari kapas dan awan
    Wahai engkau rintik hujan dari yaqut
    Wahai engkau sungai-sungai dari nahawand[1]Nama sebuah nada musik yang berasal dari Persia
    Wahai engkau lebat hutan dari marmer
    Wahai engkau yang berenang seperti ikan di air hati
    dan tinggal di kedua mata seperti kawanan merpati
    Tak ada yang berubah sedikitpun dari kasihku
    tidak pula dari perasaanku
    juga relung hati dan keyakinanku
    Aku akan tetap teguh dalam islamku

    3
    Wahai Nonaku,
    Jangan kau hiraukan irama waktu dan nama-nama tahun
    Engkau adalah wanita, dan akan tetap seorang wanita, selamanya,
    Aku akan mencintaimu
    Saat memasuki abad ke dua puluh satu,
    saat memasuki abad ke dua puluh lima,
    dan saat memasuki abad ke dua puluh sembilan,
    Aku akan mencintaimu
    Saat kering air laut
    dan terbakar hutan-hutan

    4
    Wahai Nonaku,
    Engkau adalah ringkasan semua puisi,
    mawar segala kebebasan
    Cukup bagiku dengan mengeja namamu
    untuk menjadi raja atas puisi
    dan firaun kata-kata
    Cukup dengan dicintai wanita sepertimu
    agar bisa tercatat dalam buku-buku sejarah
    dan kepadaku
    dikibarkan bendera-bendera

    5
    Wahai Nonaku,
    Jangan kau panik seperti seekor burung di waktu pesta
    Tak akan berubah sedikitpun dariku
    Tak akan berhenti arus sungai cinta
    Tak akan berhenti irama detak jantung
    Tak akan berhenti terbang burung syair
    Saat cinta tumbuh besar
    dan yang dicintai menjelma rembulan
    Tidak akan berubah cinta ini
    menjadi tumpukan jerami yang dilahap api

    6
    Wahai Nonaku,
    Tak ada suatu apapun yang memenuhi mataku
    cahaya-cahaya
    hiasan-hiasan
    lonceng-lonceng hari raya
    tidak pula pohon ulang tahun,
    Tak ada artinya bagiku
    setapak jalan
    Tak ada artinya bagiku
    bar-bar minuman
    Tak ada artinya bagiku
    segala ucapan
    yang tertulis diatas kartu-kartu lebaran

    7
    Wahai Nonaku,
    Tak ada yang kuingat kecuali suaramu
    saat berdentum lonceng-lonceng hari minggu
    Tak ada yang kuingat kecuali wangimu
    saat di atas hamparan rumput kurebahkan badanku
    Tak ada yang kuingat kecuali wajahmu
    saat badai salju menyerang
    dan saat kudengar gemeretak kayu yang sedang menjadi arang

    8
    Bukan hal yang membahagiakanku, wahai Nonaku,
    menghimpun burung-burung yang takut
    di antara taman-taman bulu mata

    9
    Bukan hal yang membuatku terpesona, wahai Nonaku
    Saat kau beri aku sebuah pena tinta
    ku peluknya
    Lalu tidur bahagia seperti bocah-bocah

    10
    Wahai Nonaku,
    Yang membuatku bahagia dalam pengasinganku
    kusuling air puisi
    kuminum anggur dari pendeta
    yang membuatku kuat
    saat menjadi kawan bagi bebebasan
    dan manusia

    11
    Wahai Nonaku,
    Andai saja aku mencintaimu di zaman pencerahan,
    di zaman kamera,
    dan di zaman eksplorasi,
    Andai saja suatu hari kuciummu
    di Florence
    atau Kordoba
    atau Kufah
    atau Aleppo
    atau di sebuah rumah di suatu kampung di Syam[2]Daerah yang meliputi kawasan Suriah, Lebanon, dan Palestina

    12
    Wahai Nonaku
    Andai saja kita berkelana
    ke sebuah negara yang dipimpin oleh sebuah gitar
    di mana cinta tak berbatas
    di mana kata-kata tak berbatas
    di mana mimpi-mimpi tak berbatas

    13
    Wahai Nonaku,
    Jangan kau sibukkan dirimu dengan masa depan,
    Nonaku,
    Kerinduanku akan lebih kuat dari sebelumnya
    Lebih kukuh dari sebelumya
    Engkau adalah wanita yang tak terulang, dalam sejarah mawar,
    dalam sejarah syair,
    juga dalam ingatan bunga lili dan bunga yang semerbak wanginya

    14
    Wahai nona semesta
    Tak ada yang menyibukkanku di hari-hari mendatang kecuali cintamu
    Engkau adalah wanitaku yang pertama
    Ibuku yang pertama
    Rahimku yang pertama
    Cintaku yang pertama
    Gairahku yang pertama
    Tali penyelamatku kala mara bahaya

    15
    Wahai Nonaku,
    nona segala syair
    Ulurkan tangan kananmu
    supaya ku bisa sembunyi di sana
    Ulurkan tangan kirimu
    supaya ku bisa tinggal di sana
    Ucapkanlah kata-kata cinta,
    Agar pesta-pesta
    kembali bergelora

    Diterjemahkan dari bahasa Arab yang berjudul Ḥubb bilā ḥudūd

    Nizar Qabbani adalah seorang sastrawan berkebangsaan Syria. Dia dianggap sebagai salah satu sastrawan Arab terbesar di era kontemporer. Ia banyak menulis puisi dengan tema seputar wanita dan cinta. Pernah dia menulis sebuah puisi dengan judul Aku bersaksi bahwa tiada wanita selain engkau dengan menggunakan struktrur frasa yang digunakan dalam kalimat syahadat (asyhadu an laa imra’atan illa anti). Puisi-puisinya banyak diadaptasi dalam bentuk lagu, salah satunya oleh Kazim Saher, penyanyi kondang berkebangsaan Irak.

    References

    References
    1 Nama sebuah nada musik yang berasal dari Persia
    2 Daerah yang meliputi kawasan Suriah, Lebanon, dan Palestina
  • Buta dan Tuli [Lara Vapnyar]

    author = Andreas Nova

    Lelaki buta dan tuli ini, kekasih teman ibuku, sedang dalam perjalanan untuk menghabiskan malam. Namanya Sasha.

    Nama teman ibuku Olga. Aku dikenalkan pada saat aku masih bayi, jadi aku juga menganggapnya sebagai teman. Dia cantik. Lebih cantik dari ibuku. Dia memiliki tubuh yang bagus dengan rambut hitam pekat sepinggang. Aku dan ibuku juga memiliki rambut hitam, tapi rambut kami berantakan, tipis dan tidak mengesankan, sementara rambut Olga mengundang orang-orang untuk menatapnya. Olga tinggal di sebuah kota di tepi Laut Hitam, tapi dia sering mengunjungi Moskow dan dia selalu membawa hadiah untukku. Pemberiannya yang paling kusukai adalah kalung yang terbuat dari kulit kerang. Aku suka memakainya lalu berdansa, sementara Olga bertepuk tangan dan bernyanyi. “Olga malang, dia sangat baik dengan anak-anak,” komentar ibuku. Aku memang anak kecil, tapi aku sangat dekat dengan ibuku, sangat dekat, sehingga aku tidak dapat mendengar nada sombong dalam suaranya. “Ia dan ibumu saat itu sangat menginginkan anak,” jelas nenek kepadaku, “tapi hanya ibumu yang bisa punya anak.”

    Ibuku dan Olga bertemu saat menjalani perawatan kesuburan eksperimental di salah satu klinik di Moskow. Rawat inap, dua pekan lamanya, dijalankan oleh wanita berkumis bersepatu militer. Pasien harus tidur di ruangan yang sama dan menjalani prosedur bersama. Ada lima di antaranya. Semua wanita berusia tigapuluhan, semuanya (untuk alasan yang gila) bergelar Doktor. Ibuku Doktor di bidang Matematika, sedangkan Olga Doktor di bidang Filsafat. Subjek Olga adalah persepsi, subjek ibuku adalah bilangan negatif. Tempat tidur mereka berhadapan, jadi mereka tidak punya pilihan selain berteman. Mereka berbagi makanan, buku, cerita, lelucon. Ibuku memberitahuku bahwa Olga tidak begitu lucu, tapi dia selalu menertawakan lelucon ibuku. Setelah beberapa hari, mereka mulai berbagi air kencing. Wanita berkumis menuntut supaya semua pasien memberikan sampel urine setiap tiga jam. Mereka diminta untuk buang air kecil sebelum tidur, pukul 11.00 malam, lalu mengatur jam alarm mereka pukul 2 pagi dan 5 pagi. Ibuku mengambil shift pukul 2 pagi. Dia akan bangun dan buang air kecil untuk dirinya sendiri dan untuk Olga. Sementara Olga melakukan hal yang sama untuknya pada pukul 5 pagi. Dengan begitu, mereka berdua bisa tidur nyenyak setengah malam. Tak satu pun dari mereka peduli bahwa ini bisa menghancurkan keabsahan penelitian wanita berkumis. “Olga dan aku adalah saudara seperkencingan!” Ibuku suka mengatakannya. Aku cemburu padanya. Aku berharap untuk memiliki saudara seperkencingan sendiri suatu hari.

    Menjelang akhir program, ibuku dan Olga saling mengaku bahwa pernikahan mereka tidak bahagia. Olga menjelaskan bahwa suaminya tergila-gila padanya, tapi dia tidak pernah merasa lebih dari sekadar sayang dan menghormatinya. Dia ingin tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang “dengan segenap hati,” seperti yang ada dalam buku. Dia yakin dia akan mencintai anaknya seperti itu. Ibuku mengatakan pada Olga bahwa dia mencintai ayahku dengan segenap hati, tapi tidak yakin apakah Ayah juga mencintainya. Dia merasa bosan dengan pernikahan mereka. Dia berharap memiliki seorang anak untuk mempererat pernikahannya.

    Akhirnya mereka sama-sama tidak mendapatkan hasil. Pengobatan Olga gagal. Sedang ibuku berhasil memiliki anak, tapi ayahku meninggalkannya. Waktu itu aku berumur lima tahun. Pada saat aku berusia tujuh tahun, Ayah menikah lagi dan memiliki anak. Bayinya sering sakit. Setiap kali ayahku merencanakan pergi bersamaku, seperti pergi ke teater anak-anak atau kebun binatang, bayinya sakit dan dia harus membatalkannya. Untungnya setiap kali dia membatalkan, dia menjanjikan sesuatu yang lain untuk menggantinya, sesuatu yang jauh lebih menarik daripada sebelumnya. Aku berpikir betapa beruntungnya aku karena ketika tidak bisa pergi ke konser, misalnya, aku dijanjikan untuk menonton teater! Dan saat menonton teater itu dibatalkan aku dijanjikan sirkus. Lalu sirkus juga dibatalkan, dan aku dijanjikan sesuatu yang sangat spesial: bermain ski di luar kota. Kami akan naik kereta ke pedesaan dan menghabiskan sepanjang hari bersama-sama. Kami bermain ski melewati hutan dengan ransel yang penuh dengan makanan, dan kami mungkin akan melihat beberapa binatang musim dingin. Aku sangat beruntung karena adik bayiku sakit saat aku dijanjikan konser dan sirkus dan teater! Dan kami akan segera pergi. Ayah bilang akhir pekan depan. “Akhir pekan depan” ternyata menjadi kerangka waktu yang sulit dipahami. Akhir pekan setelah berikutnya secara teknis “akhir pekan depan,” juga, dan akhir pekan setelah itu, dan akhir pekan setelah itu. “Kau membuatnya sedih!” Aku mendengar Ibu berteriak di telepon. Bagaimanapun, dia salah. aku sendiri tidak masalah dengan menunggu. Aku tahu bahwa akhir pekan depan adalah “akhir pekan depannya lagi.” Aku tidak meragukan Ayah bahkan ketika musim dingin hampir berakhir. “Semua orang tahu salju bulan Maret adalah yang terbaik,” kata ayahku, dan aku mengulanginya tanpa henti. “Ayahku dan aku akan bermain ski di luar kota secepatnya. Kami hanya menunggu salju terbaik”. Sementara itu, salju di Moskow mencair cepat. “Masih banyak salju di negeri ini,” kata ayahku. Di pertengahan bulan Maret, seekor anjing tetangga sakit, meninggal. Aku bertanya kepada ibuku, “Mengapa adik bayiku tidak meninggal juga? Itu akan membuat semua hal lebih mudah.” Dia memarahiku, tapi aku mendengarnya menceritakan percakapan itu kepada nenekku dan tertawa.

    Aku dan ayahku akhirnya melakukan perjalanan ski itu. Saat itu tanggal 31 Maret, waktu yang sempurna untuk bermain ski. Semua pemain ski tahu itu. “Lihat, ada salju!” Kata ayahku saat turun dari kereta. Aku bisa mendengar bahwa dia sama-sama terkejut dan lega. Kami memasang ski kami dan masuk ke hutan. Kami tidak bisa lama bermain ski, karena salju—meski cerah cemerlang—terlalu lengket. Setelah beberapa menit, lapisan salju setebal kurang lebih dua inci itu melekat lengket pada ski kami, jadi kami tidak bisa meluncur; Kami harus berjalan di salju seolah-olah kami memakai sepatu platform. Kami juga tidak melihat binatang apa pun. Tapi hari itu masih merupakan hari yang indah. Ayah menunjukkan kepadaku bagaimana membuat api unggun di salju, dan kami membuat teh dengan menggunakan salju, bukan air. Kami minum teh, meringkuk di dekat api dan tertawa seperti orang gila setiap kali salah satu dari kami kehilangan keseimbangan dan terjengkang ke salju. Dalam perjalanan pulang, ayahku mengatakan bahwa kami akan melakukannya lagi setiap tahun pada tanggal 31 Maret, tanggal munculnya salju terbaik. Dia juga mengatakan kepadaku bahwa aku tidak boleh memakai ranselku di kereta, karena aku dapat secara tidak sengaja memukul orang lain dengan ski. Yang perlu kulakukan adalah melepas ransel sebelum naik kereta dan membawanya di depan, atau menyeretnya dengan salah satu tali jika terlalu berat. Sampai saat ini aku masih melakukannya. Aku selalu membawa ranselku sebelum naik kereta, bahkan jika itu adalah ransel kecil. Aku tidak ingat pelajaran hidup lainnya dari ayahku.

    Ketika sampai di rumah malam itu, aku mengatakan kepada Ibu bahwa aku lebih mencintai Ayah daripada Ibu. Itu benar, tapi aku tidak tahu setan apa yang membujukku mengatakan itu. Mungkin aku menyalahkan Ibu karena tidak mampu membuat Ayah tinggal bersama kami lagi. Mungkin aku merasa bahwa dia menyalahkanku untuk hal yang sama. Bagaimanapun, jika dia menyesali perawatan kesuburannya malam itu, pasti aku memahami perasaannya.

    Olga kebetulan berada di Moskow pada tanggal 31 Maret tahun depan. Dia berharap bisa menghabiskan waktu bersama kami dan memberitahu ibuku tentang Sasha. Malah dia terjebak dalam situasi yang kacau. Aku duduk di lantai, terjepit di antara lemari besar dan tempat tidur ibuku, menangis dan menolak untuk keluar. Ibu, nenek, dan kakekku bergantian mencoba untuk membujukku, menggunakan taktik yang berbeda mulai dari sogokan sampai ancaman, juga menyakinkanku bahwa Ayah sangat mencintaiku.

    Olga tidak melakukan pendekatan seperti keluargaku. Dia mengamati situasinya, lalu berjalan ke kamar tidur seolah tidak ada apa-apa, seolah-olah aku tidak gemetar di pojokan, bermuka merah dan beringus. Dia mengatakan bahwa dia dan aku akan membuat es krim jeruk. Dia memegang seikat tas berisi jeruk di satu tangan dan sekotak es krim Moskow terbaik di tangan yang lain. Tawaran yang tidak bisa ditolak. Aku tidak memiliki kekuatan atau keinginan untuk mendebatnya. Ditambah lagi, aku tidak pernah membuat atau makan es krim jeruk dan tidak mungkin mengatakan tidak untuk itu. Aku merangkak keluar dari tempat persembunyianku, dan kemudian Olga berkata, “Pergi dan cuci muka, Sayang. Kami tidak ingin ada ingus menetes di es krim. “

    Seperti inilah cara membuat es krim jeruk: bagi dua jeruk, dengan hati-hati pisahkan semua daging jeruk dari kulitnya. Kemudian campur es krim dengan daging jeruk yang telah dibersihkan, sendoklah campuran tersebut ke dalam bagian jeruk kosong, taburi sedikit parutan coklat di atasnya, dan masukkan semuanya ke dalam freezer. Freezer kecil kami tidak memiliki cukup tempat, jadi sementara kami harus menyingkirkan daging ayam utuh dan satu kotak lemak babi. Olga mengatakan butuh paling sedikit satu jam agar es krim bisa membeku dengan baik, dan cara terbaik bagiku untuk membunuh waktu adalah dengan membaca buku. Kakekku sedang tidur siang di sofa, nenekku sedang memasak makan malam, sementara Olga dan ibuku masuk ke kamar tidur untuk berbicara. Aku mengambil sebuah buku dan duduk di karpet ruang tamu untuk membaca, tapi setelah sepuluh menit aku mengetuk pintu kamar tidur, menanyakan apakah sudah lewat satu jam. “Belum!” Teriak ibuku. “Pergilah!” Aku mengulangi hal itu sampai empat kali sebelum akhirnya berhasil. Kulihat Olga menangis dan ibuku tampak terguncang, tapi aku tidak peduli. Aku terlalu bersemangat dengan es krim jeruk.

    Hasilnya tidak mengecewakan, es krim jeruk dengan warna gemerlap di cangkir bundar sangat dingin sehingga membuat jariku sakit. Aku mencoba membuatnya lagi berkali-kali saat dewasa, tapi setiap kali jadi, hasilnya hambar dan berair dan terlihat buruk. Aku pikir waktu itu adalah sebuah keajaiban. Aku memproklamirkannya sebagai makanan terbaik yang pernah kurasakan dan memeluk Olga semampuku. Aku memang menginginkan seorang ibu seperti Olga, cantik, dan beraroma jeruk, tidak seperti ibuku yang sering marah dan rambutnya mulai rontok. Tapi saat aku berusia delapan tahun galaknya telah berkurang, jadi aku memutuskan untuk berkata seperti itu kepada ibu.

    “Aku harus memberitahu sesuatu,” kata ibuku kepada kakek dan nenekku begitu Olga pergi. “Dan sebaiknya kamu duduk saja.” Kakek dan nenekku meletakkan piringnya, dan aku berjongkok di lantai, mencoba membangun sebuah kastil dengan cangkir es krim jeruk yang sudah kosong.

    “Olga punya kekasih,” kata ibuku. Hal tersebut menarik perhatian kami.

    Nenek terkesiap dan kakekku terdiam dengan gelas anggur di masing-masing tangan.

    “Namanya Sasha.”

    Nenekku menunjukku untuk mengingatkan ibuku akan kehadiranku, tapi ibuku hanya mengangkat bahu. Dia tidak masalah, aku dapat membaca apa pun yang aku mau atau menonton film dewasa dengannya atau mendengarkan gosip. Meski aku tidak tahu apa-apa tentang seks, aku mengerti apa yang harus dipahami tentang pasangan kekasih. Orang jatuh cinta pada orang lain saat sudah menikah. Ketika itu terjadi, mereka ingin mencium orang lain, bukan pasangan mereka, tapi mereka harus berbohong tentangnya sehingga pasangan mereka tidak akan terluka perasaannya. Sebagian besar film yang kami tonton dan sebagian besar buku di rak buku kami memiliki alur cerita ini, jadi aku berasumsi bahwa situasinya cukup umum. Itu jelas menjengkelkan, karena orang-orang yang terlibat sering menangis atau menjerit atau bahkan terlibat baku hantam, tapi tidak ada yang aneh. Sebenarnya, sekarang aku mengumpulkan cukup petunjuk untuk menduga bahwa inilah yang terjadi pada Ayah sebelum dia meninggalkan aku dan Ibu.

    Dan sekarang hal itu terjadi pada Olga. Aku bertanya-tanya apakah dia dan pria itu sudah berciuman.

    “O.K.,” kata ibuku. “Masalahnya bukan itu saja. Kekasih Olga buta dan tuli.”

    Sekarang nenekku memang harus duduk.

    “Bagaimana bisa buta dan tuli?” tanya kakek.

    “Mudah,” kata ibuku. “Tidak bisa mendengar, dan tidak bisa melihat.”

    Inilah saat aku mulai tertawa. Aku tertawa dan tertawa dan tertawa, sampai ibuku harus menamparku.

    Ada lebih banyak pertanyaan.

    Kakekku ingin tahu apakah Sasha sehat secara mental. “Ya, lebih dari segalanya – dia bergelar Doktor dalam bidang filsafat,” kata ibuku.

    Nenekku ingin tahu kapan dan di mana Olga bertemu dengannya. Sebulan sebelumnya. Pada sebuah konferensi di St. Petersburg tentang Filsafat persepsi. Sasha menjadi pembicara utama.

    “Pembicara? Kok bisa?” tanya kakek.

    “Dia menggunakan bahasa isyarat!” kata ibuku.

    “Bahasa isyarat bagaimana?”

    Ibuku tampak seperti ingin menampar kakekku dengan cara yang sama seperti ia menamparku, tapi dia menjawabnya. “Ia memegang tangan seseorang dan menyentuhnya dengan cara tertentu. Gerakan yang berbeda berarti huruf yang berbeda. “

    Kakekku menggelengkan kepalanya. “Kasihan suaminya,” katanya, “diselingkuhi istri sendiri saja sudah cukup sial, apalagi selingkuh dengan orang buta dan tuli!”

    “Kita tidak bisa memilih siapa yang kita cintai,” bisik nenekku.

    “Barangkali cuma sementara,” kata ibuku. “Aku bilang beri waktu sebulan.”

    Tapi, tentu saja, itu tidak berakhir dalam sebulan. Atau dalam enam bulan. Atau sebelas bulan lagi.

    Kami tidak melihat Olga sepanjang waktu itu. Dia tidak sering datang ke Moskow, dan saat dia menghabiskan waktu luangnya bersama Sasha. Tapi sekarang dia menelepon ibuku, dan mereka sudah lama berbicara di telepon untuk waktu yang lama. Kakek dan nenekku dan aku akan terus menunggu ibuku selesai sehingga dia bisa menceritakan pembicaraan mereka. Ibuku selalu memulai dengan mengatakan, “Rupanya, ini masih berlangsung.”

    Kapan pun dia bisa, Olga akan memohon atasannya untuk mengirimnya dalam perjalanan bisnis ke Moskow. Dia tidak mungkin melakukan ini tanpa sogokan. Suatu saat dia memberinya tiket teater, satu botol cognac mahal, dan kemudian meminta agar memberinya tempat di daftar tunggu untuk membeli sebuah ruang makan impor. Dia tidak peduli dengan meja dan kursi? Dia hanya peduli pada Sasha. Apa dia juga tidak peduli dengan suaminya? Tentu saja dia peduli! Dia merasakan kasih sayang dan rasa hormat padanya! Sangat menyakitkan untuk membohongi suaminya. Ada kalanya dia kembali dari Moskow menggunakan kereta malam, dan suaminya akan berada di sana, menunggunya di stasiun dengan seikat bunga kecil. Hal ini membuatnya merasa sangat mengerikan!

    “‘Orang itu meremukkan saya dengan kemurahan hati,’” kata ibuku kepada kami sambil tersenyum mengejek. Dia mengutip The Grasshopper-nya Chekhov, saat itu aku tidak tahu.

    Tidak, suami Olga sama sekali tidak curiga. Olga tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Istrinya tergila-gila pada pria lain dan dia tidak melihat tanda-tandanya? Terkadang hal ini membuatnya marah. Karena bukankah itu berarti dia tidak benar-benar mengenal atau memahaminya? Jika dia benar-benar mencintainya, dia akan menyadari ada yang tidak beres! Kadang Olga sangat marah padanya sehingga dia merasa menyakitinya secara fisik, seperti menampar wajahnya dengan rangkaian bunga yang menyedihkan itu.

    Suatu ketika, ibuku mengatakan bahwa dia punya teori, sebuah teori tentang mengapa Olga memilih orang yang buta dan tuli. Itu bukan cinta. Sama sekali bukan. Olga selalu menginginkan anak kecil, jadi dia pergi dan menemukan pria yang sepenuhnya bergantung padanya. Seperti anak kecil, kan? Ibuku terdengar jahat saat dia mengatakan ini, dan aku bisa melihat bahwa kakek dan nenekku tidak percaya pada teorinya.

    Selama tahun itu, aku sering merenungkan bagaimana rasanya mencintai orang buta dan tuli, atau, setidaknya bagaimana rasanya menjadi buta dan tuli. Aku menutup mataku, meletakkan tanganku di telingaku, dan mencoba berjalan. Ternyata lebih mudah daripada yang kubayangkan, tapi mau tidak mau aku terantuk rak buku atau sudut meja makan. Aku menangis kesakitan dan membuka mataku dan duniaku akan aman dan normal lagi. Tapi Sasha tidak bisa melakukan itu. Dia tidak bisa hanya membuka matanya dan telinganya lalu bisa melihat dan mendengar, tidak ada yang peduli betapa takutnya dia dalam dunianya yang gelap dan sunyi. Aku pikir orang buta dan tuli harus sangat berani.

    “Aku tidak tahan lagi,” kata Olga pada ibuku suatu hari di awal bulan Maret. Yang benar-benar membuatnya kalut adalah betapa sulitnya berkomunikasi dengan Sasha saat mereka berpisah. Sasha tidak bisa menelepon Olga, karena ada suaminya, tapi Olga sering meneleponnya. Biasanya, mereka dibantu oleh Andrei, teman sekamar Sasha yang alkoholik, seorang buta namun tidak sepenuhnya tuli, yang akan membantu dengan bahasa isyarat untuk Sasha dan kemudian menerjemahkannya di telepon ke Olga. Tapi ia hanya bisa menyampaikan informasi tertentu, bukan perasaannya! Dia mesum, kasar, dan sering mabuk! Dia mengolok-olok Olga saat dia memintanya untuk menerjemahkan betapa dia merindukan dan mencintai Sasha, dan dia tidak pernah mengatakan bahwa Sasha juga merindukannya. Olga tidak yakin apakah Andrei memilih untuk tidak menyampaikan bagian itu, atau bisa jadi Sasha tidak mengatakan bahwa dia mencintainya karena kehadiran Andrei membuatnya malu. Di akhir panggilan telepon, Olga akan meminta Andrei untuk meneruskan telepon ke Sasha agar dia bisa mendengarkan hembusan napasnya. Kadang Olga akan bernyanyi untuknya. Sasha mengatakan bahwa, meski dia tidak bisa mendengarnya, dia bisa merasakan getarannya. Olga tahu banyak lagu balada mengharukan, dan dia akan menyanyikannya sekeras yang dia bisa. Hal ini sering lebih berguna dari terjemahan Andrei yang bodoh. Namun hanya saat koneksi telepon sedang baik. Ada kalanya panggilan terputus di pertengahan lagu. Olga akan kembali mendapati diri sendirian, ratusan mil dari Sasha, duduk di bangku kayu di aula apartemennya yang suram dengan telepon kabel yang berminyak mendenging seperti bunyi sirine, membuatnya semakin kalut.

    “Ini akan berakhir,” kata ibuku setelah memberi tahu kami tentang hal itu. Tapi hal tersebut belum berakhir.

    Beberapa pekan kemudian, Olga menelepon ibuku lagi, kali ini dari Moskow, dan memberitahukan bahwa dia telah berhenti dari pekerjaannya dan meninggalkan suaminya dan datang ke sini untuk tinggal bersama Sasha.

    “Kalian akan menemuinya dua pekan lagi,” kata ibuku, suaranya bernada tinggi dan gemetar. “Olga mengajaknya makan malam di sini.”

    “Orang buta dan tuli! Orang buta dan tuli! Orang buta dan tuli akan datang untuk makan malam!” Aku mulai menjerit.

    Secara kebetulan, Ayah menelepon untuk mengatakan bahwa dia ingin mengajakku bermain ski pada tanggal 7 April, hari ketika Olga dan Sasha datang berkunjung. Aku berkata tidak. Siapa yang ingin bermain ski? Seorang buta dan tuli akan datang untuk makan malam!

    Aku  tidak bisa dan dengan senang hati mengatakan “tidak.” Untuk itu saja, aku akan berterima kasih kepada Olga selamanya.

    Pada hari kunjungan mereka, seluruh apartemen kami dipenuhi suara gedebuk. Itu suara ibuku yang memukul filet daging sapi dengan pemukul daging. Untuk Sasha dan Olga kami memutuskan menyajikan hidangan paling mewah yang kami tahu: salad olivier dan daging ala Prancis. Dagingnya perlu ditumbuk berkali-kali untuk dimasak ala Prancis. Aku sangat ingin menumbuk daging juga, tapi tugasku adalah memotong kentang dan telur rebus untuk salad.

    Nenekku memoles alat makan dari perak dan gelas cognac sampai berkilau.

    “Apakah tidak apa-apa menggunakan gelas yang bagus?” Dia ingin tahu. Tapi ibuku hanya mengerang dan menumbuk daging lagi.

    “Apakah dia bisa menggunakan toilet dengan bersih?” itu adalah pertanyaan nenek selanjutnya.

    “Sudah deh!” Ibuku memohon padanya. Tapi kakek menganggap ini adalah masalah yang serius. Dia mengatakan bahwa setelah dia menggunakan toilet, nenekku sering bertanya kepadanya apakah dia buta. Dan orang itu benar-benar buta!

    Tapi masalah toilet sama sekali tidak mengganggu kakekku. “Bagaimana kita berbicara dengannya?” tanyanya.

    “Olga tahu bahasa isyarat,” kata ibuku. “Jadi kupikir dia akan menerjemahkan apa yang kita katakan kepada Sasha dengan bahasa isyarat, dan menerjemahkan balik jawabannya kepada kita.”

    Kakekku rasanya tidak puas dengan jawaban itu. Ia selalu ingin membuat kesan baik kepada orang yang baru dikenalnya. Dia tidak tahu secara mendalam mengenai politik atau budaya, tapi dia suka mengungkapkan pendapatnya tentang hal itu dengan suara yang berat dan dengan menggerakan alis kanan yang tajam menuntut perhatian dan rasa hormat. Kakekku benar-benar khawatir bahwa, tanpa tambahan gerakan alis dan suaranya, dia tidak akan bisa membuat Sasha terkesan dengan isi opininya. Dia akhirnya duduk santai sembari membaca beberapa edisi terbaru Pravda, dengan harapan bisa membangun opini dengan baik.

    Lalu giliranku untuk mengajukan pertanyaan, dan aku menggunakan wajah bocah untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benak mereka. “Apakah dia menakutkan?”

    “Tidak! Tentu saja tidak!” Nenek berkata tanpa basa-basi.

    Dan ibuku berkata, “Kamu seharusnya malu pada dirimu sendiri!”

    Aku merasa malu. Kuputuskan, meski Sasha sangat menyeramkan, aku pura-pura tidak takut, demi Olga.

    Pernahkah kamu membenci penantian yang seolah tak berujung antara waktu tamumu seharusnya tiba dan saat mereka benar-benar membunyikan bel pintu rumahmu? Para perempuan di keluargaku terkenal karena selalu tepat waktu, jadi semua persiapan telah dilakukan. Daging ala Prancis sudah siap di dalam oven yang hangat. Salad telah dicampur dan dihias dengan irisan wortel rebus. Potongannya disusun dengan hati-hati dan sesuai warna. Semua sudah mandi, berhias dan mengenakan pakaian terbaik mereka. Yang harus kami lakukan hanyalah menunggu.

    Sekarang ini, aku memiliki media sosial untuk mengisi saat-saat seperti itu. Aku bisa berkali-kali me-refresh media sosialku lagi dan lagi, membunuh menit demi menit. Tapi saat itu, apa yang harus kulakukan? Aku terus berputar-putar di antara jendela dapur, tempat aku bisa melihat sekilas lokasi Olga dan Sasha akan turun dari bus, dan pintu depan apartemen, tempat yang jika kamu menempelkan telinga ke bingkai jendela, kamu bisa mendengar suara lift apartemen bergerak naik. Inilah yang selalu kulakukan saat Ayah seharusnya datang dan menjemputku. “Hentikan! Kau terlihat menyedihkan,” kata ibuku, tapi ia sendiri yang menyedihkan. Mencoba baju yang berbeda sebelum ayahku datang, menyisir rambutnya dengan cara ini dan itu, memoles dan memoles kembali riasannya, dan kemudian berlari untuk bersembunyi di kamar tidur begitu dia mendengarku berteriak, “Ayah datang!”

    Aku kehilangan momen pertama untuk menyambut Sasha dan Olga. Bel pintu berbunyi ketika aku, duduk di toilet, dengan celana dalam tersangkut di lutut. “Tidak!” Teriakku. “Jangan buka sampai aku keluar!” Beberapa hal lebih memalukan bagiku daripada terjebak di toilet ketika tamu kami datang. Terutama oleh tamu seistimewa mereka. Tapi, tentu saja, ibuku tetap membuka pintu. Siapa yang akan mendengarkan seorang anak yang meminta hal tak penting dari toilet?

    Aku di belakang nenek dan keluar dari kamar mandi yang tersembunyi di baliknya. Saat kami sampai di pintu masuk, Sasha dan Olga telah melepaskan mantel mereka dan dengan penuh semangat menyeka kaki mereka di atas keset. Sasha lebih pendek dan lebih besar dari Olga, dengan wajah persegi yang empuk. Matanya setengah tertutup; Sepertinya dia menyipitkan mata. Olga memegang tangan kirinya. Semua orang bergantian bersalaman dengan tangan kanannya, dan dia menyebut nama semua orang dengan tegang dan menyebalkan. Aku melangkah maju. Olga mencondongkan tubuh untuk menciumku dan mengatakan bahwa dia telah memberi tahu Sasha bahwa aku adalah anak kecil favoritnya dari seluruh anak kecil di dunia dan sangat ingin bertemu denganku. Aku melihat bahwa dia tidak hanya memegang tangan Sasha, tapi bermain dengan jarinya. Kemudian aku sadar bahwa itu adalah bahasa isyarat. Olga telah berbicara dengan Sasha sepanjang waktu.

    Sasha menjulurkan tangan kanannya ke depanku, dan aku menjabat tangannya. Dia menutup telapak tangannya di atas jariku dan tersenyum pada sesuatu di belakang punggungku. Aku berbalik, tapi tidak ada apa-apa di sana, kecuali kulkas kami yang mendengung dengan tumpukan kotak kosong di atasnya. Olga meraih tangan kirinya dan meletakkannya di atas kepalaku, dan dia menunduk dan hampir menatap mataku. Ada ungkapan yang digunakan orang saat seseorang menghalangi pandangan mereka: “Hei, kamu tidak terbuat dari kaca!” Tapi Sasha melihat melaluiku dan melampauiku seolah-olah aku benar-benar terbuat dari kaca. Aku takut dan ingin bersembunyi, tapi aku melihat Olga menatapku, jadi aku tersenyum dan meremas tangan Sasha. Dia menyebutkan namaku dan menggunakan bahasa isyarat untuk Olga. Dia menerjemahkan bahwa Sasha benar-benar senang bertemu denganku. Aku tahu ia jujur, karena dia berseri-seri saat mengatakannya. Atau mungkin dia sudah berseri-seri sejak awal.

    “Kamu terlihat berseri-seri, Olga!” kata kakekku dengan suara menggelegar. Nenek setuju dengannya. Dan ibuku meminta semua orang mengikutinya ke meja.

    Salad Olivier ternyata bukan makanan ideal untuk orang buta. Semua potongan kubus dari sayuran dan daging, terpental dari garpu, berserakan di piring. Sasha harus mengejar  potongan kubus itu di sekelilingnya, mengetuk garpu di permukaan piring seperti menggunakan tongkat ke trotoar. Kapan pun dia berhasil memburu sebuah kubus, dia akan menyesap cognac-nya, seolah-olah merayakannya. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya, meskipun aku tahu ini tidak sopan. “Kamu harus tahu diri!” kataku pada diriku sendiri.

    Awalnya, Olga membiarkan Sasha fokus pada makanannya sementara dia terus berbicara.

    Tidak, Sasha tidak terlahir tuli dan buta. Dia kehilangan penglihatan dan pendengarannya pada usia empat tahun, setelah pertempuran panjang dengan penyakit meningitis. Orangtuanya menolak untuk memperlakukannya sebagai orang difabel. Mereka mengajarinya untuk mandiri. Kemudian mereka mengirimnya ke sekolah khusus untuk anak-anak tuna rungu dan tuna netra. Sekolah itu adalah sekolah yang bagus, dan terbukti, Sasha menjadi siswa yang brilian. Dia adalah satu dari hanya empat lulusan yang diundang untuk belajar di Universitas Negeri Moskow. Olga mengatakan ini dengan ungkapan bangga, sama persis dengan yang diungkapkan ibuku saat dia memberi tahu orang tentang prestasiku. Keempat siswa tersebut melanjutkan pendidikan doktor di bidang Filsafat, namun prestasi Sasha sangat luar biasa, karena dia adalah satu-satunya orang yang benar-benar buta dan tuli dalam kelompok tersebut. Teman sekamar Sasha, Andrei, misalnya, bisa mendengar dengan baik dengan bantuan alat bantu dengar. Bayangkan, betapa mudahnya belajar baginya! Tidak adil membandingkan kariernya dengan Sasha.

    “Tentu saja, ini tidak adil,” kata kakekku dengan alis kanannya yang mengesankan. “Sebenarnya, saya baru saja membaca di Pravda. . . “

    Tapi saat itulah Sasha, yang tidak tahu bahwa kakekku sedang berbicara, memotongnya. Dia membuat serangkaian gerakan cepat dengan jari-jarinya, dan Olga mengatakan bahwa dia ingin mengucapkan terima kasih atas makanannya. Semuanya lezat, tapi terutama dagingnya. Dia ingin tahu resep rahasia masakan itu.

    “Resep rahasianya itu sangat banyak,” kata ibuku.

    Olga menerjemahkan ini untuk Sasha dan bahkan meninju tangannya beberapa kali. Saat itulah dia tertawa untuk pertama kalinya. Tawanya terdengar seperti deru erangan, tapi kami sangat senang karena dia menghargai makanan dan humor ibuku. (Tidak semua orang melakukannya.)

    Menjelang akhir makan, Sasha sudah mulai berbicara lebih banyak. Jika alkohol melonggarkan lidahmu, mungkin juga bisa mengendurkan jarimu. Dia menggerakan jari-jarinya ke telapak tangan Olga dengan kecepatan luar biasa, dan Olga menerjemahkan untuk kami. Dia berbicara tentang bau dan betapa pentingnya hal itu baginya, betapa dia tahu bahwa kami adalah orang baik hanya dengan aroma apartemen kami yang hangat dan nyaman. “Ini bau dagingnya,” bisik ibuku, tapi kulihat dia senang. Dia berbicara tentang hutan yang dulu digunakan ibunya saat dia masih kecil. Ibunya akan menuntunnya ke pohon atau semak-semak dan memintanya menyentuhnya, dan dia mengajari Sasha cara memetik buah beri. Dia tahu bagaimana menemukan stroberi liar hanya dengan tangannya. Olga sebelumnya belum pernah mencoba memetik stroberi liar. Juli lalu, ketika Olga mengunjunginya di Moskow, Sasha membawanya ke hutan dan mengajarkan kepadanya cara menemukannya.

    Kemudian dia mengatakan sesuatu yang lain, dan aku ingin Olga menerjemahkannya, tapi dia mengatakan bahwa dia tidak dapat, bahwa terlalu banyak dan sebagian besar bersifat pribadi. Ada air mata di matanya. Tiba-tiba dia meraih tangan Sasha dan menciumnya.

    Pada saat itu, semua merasakan adanya sesuatu di dalam ruangan. Yah, aku tidak bisa memastikan tentang perasaan kakek-nenekku, tapi aku merasakannya, dan aku tahu bahwa Ibu juga merasakannya. Seolah ada sesuatu yang besar dan besar tumbuh dari meja makan kami, mengulurkan tangan naik-turun, seperti sebuah katedral yang tinggi menembus langit.

    Tidak seperti hal lain dalam hidupku sampai saat itu.

    Aku berharap bisa mengatakan bahwa aku tahu apa itu, tapi ternyata tidak. Apa yang aku rasakan benar-benar menakjubkan dan tidak terdefinisikan.

    “Cinta itu memang buta,” kata nenekku setelah mereka pergi.

    “Buta dan tuli,” sindir kakekku.

    Tapi ibuku tidak mengatakan apa-apa. Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu di belakangnya. Aku mengejarnya. Dia tidak menyalakan lampu, jadi aku tidak dapat melihatnya, tapi aku bisa mendengar bahwa Ibu sedang menangis. Aku berjalan ke tempat tidurnya dan mengulurkan tanganku sambil berharap bisa menemukan dan menyentuh bibirnya. Apa yang aku temukan adalah wajahnya, basah dan licin karena air mata.

    “Sini,” bisiknya. Aku naik ke tempat tidur dan memeluknya dari belakang sekuat yang aku bisa. Aku menangis di bahunya, yang terasa hangat dan gemetar. Aku mencoba meremasnya bahkan lebih kencang untuk menghentikan tubuhnya yang gemetar, untuk menghiburnya.

    Aku mengasihani dia. Tapi aku mencintainya lebih dari aku mengasihani dia. Aku sangat mencintainya sampai sulit bernapas. Dan satu hal lagi: pada saat itu, aku merasa dekat dengan ibuku dengan cara yang sama sekali baru. Bukan sebagai anak tapi sebagai sesama perempuan, yang setara.

    Sasha dan Olga menikah akhir tahun itu, setelah perceraian Olga terjadi. Sejauh yang aku tahu, mereka hidup bahagia selamanya sampai kematian memisahkan mereka. Olga yang meninggal terlebih dahulu. Umurnya baru empatpuluh dua. Kanker. Biasanya kanker yang menyebabkan perempuan meninggal di usia muda. Sasha menikah kembali setahun kemudian. Anehnya, istri keduanya juga menceraikan suaminya untuk bersama Sasha.

    Tapi ibuku, ibuku tidak pernah menikah lagi.

     

     

    Naskah asli ada di http://www.newyorker.com/magazine/2017/04/24/deaf-and-blind

    Lara Vapnyar adalah seorang penulis Rusia-Amerika kelahiran 1976 yang saat ini tinggal di Amerika Serikat.

    Vapnyar telah menerbitkan tiga novel dan dua koleksi cerita pendek. Karyanya juga pernah muncul di The New Yorker, Majalah Harper, Open City (majalah), dan Zoetrope: All Story.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Bunga-Bunga [Alice Walker]

    author = Oxandro Pratama
    Muhammad Oxandro Pratama, penulis. Belajar di Sastra Inggris, Universitas Andalas, Padang. Bergiat di Children’s Literature Reading Club dan Minang membaca. Menulis cerpen, puisi, dan kritik terhadap: film, musik, dan budaya. Kadang-kadang menerjemahkan cerpen untuk kebutuhan akademik di universitas.

    Kebahagiaan begitu terlihat di saat Myop dengan riangnya melompat ke sana dan kemari: dari kandang ayam ke rumah babi, lalu ke rumah asap, dan  baginya hari-hari sebelumnya belum pernah seindah seperti saat ini. Udara membawa aroma yang begitu tajam sehingga membuat hidungnya berkedut. Panen jagung dan kapas, kacang dan labu, membuat hari-harinya terasa penuh dengan keberuntungan dan saat itulah terbentuk semangat yang berlebihan yang muncul pada segi-segi rahangnya ketika tersenyum.

    Myop menenteng sebuah tongkat knobby pendek. Ia memukul ayam-ayam dengan tongkat itu secara acak berdasarkan keinginannya, lalu membuat ketukan lagu dengan memukulkan tongkat itu pada pagar di sekitar kandang babi. Ia merasa ringan dan tenang oleh hangatnya pancaran sinar matahari pagi. Umurnya sepuluh tahun, dan baginya tidak ada yang paling penting kecuali lagunya, yang selalu ia bunyikan dengan menggunakan stick yang tak pernah lepas dari genggamannya. Tat-de-ta-ta-ta, begitulah bunyi iringannya.

    Setelah usai mengambil papan yang penuh karat dari pondok milik keluarganya, Myop berjalan di sepanjang pagar hingga berlari si sepanjang tepian aliran sungai yang disebabkan oleh musim semi. Musim semi, saat para keluarga biasanya minum-mium dan mabuk, saat tanaman pakis perak dan bunga liar sedang tumbuh. Dan di sepanjang tepian sungai yang dangkal, di sanalah babi-babi akan berkerumun. Myop memperhatikan gelembung putih kecil yang muncul pada permukaan tanah hitam yang subur lalu secara perlahan air genangan menyapu gelembung itu.

    Ia amat kerap memperhatikan pohon-pohon di sekitar rumahnya. Sering kali pada akhir-akhir musim gugur, ketika ibunya mengajaknya untuk mengumpulkan kacang-kacang di antara dedaunan yang jatuh. Namun, hari ini ia melakukannya sendiri, melompat ke sana dan kemari, dan sesekali ia juga tetap berjaga-jaga akan keberadaan ular di sekitarnya. Ia menemukan sesuatu, di antara tumbuhan paku dan berbagai macam tumbuhan-tumbuhan biasa itu terselip setangkai bunga berwarna biru yang sangat cantik. Setangkai bunga biru yang dilapisi bulu-bulu beludru dan setangkai bunga cantik yang bertunas coklat, kuncupnya sangat harum.

    Pada sekitar pukul dua belas, ia merasa tangannya dibebani oleh tangkai-tangkai bunga yang ia temukan, dan jaraknya dari rumah lumayan jauh atau mungkin sangat jauh. Ia sebenarnya sudah sering melanglang buana jauh dari rumahnya, tetapi keanehan daerah yang ia tempati itulah kini yang membuat perjalanannya tak menyenangkan seperti tempat-tempat yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Daerah di mana tempat yang ia kunjungi saat ini terlihat sedikit suram. Udaranya juga lembab dan keheningan juga terasa sangat dekat, nyata, dan begitu dalam.

    Myop pun akhirnya memutuskan berbalik menuju arah jalan yang akan membawanya pulang, kembali ke tempat yang penuh kenyamanan yang baru saja ia rasakan pagi tadi. Di saat itulah ia melangkah dan menginjak sebuah kepala. Kakinya terjepit di tengah-tenagh tengkorak kepala pria itu, tepat di antara alis dan hidung, dan dengan cepat ia segera membungkuk untuk melepaskan tengkorak kepala seorang laki-laki yang menjebak kakinya itu, tanpa takut. Hanya saja ia sedikit berteriak ketika melihat rupa muka tengkorak itu.

    Pria itu sangat tinggi. Panjang dari kaki hingga lehernya saja benar-benar memakan banyak tempat. Ketika ia menyibakkan daun-daun dan pung-puing di sekitar mayat itu, Myop melihat bahwa pria itu mempunyai deretan gigi putih nan besar, dan semuanya telah patah dan hancur. Jari-jarinya begitu panjang dan tulangnya juga tampak besar. Seluruh pakaiannya telah hancur dan tercabik-cabik, terkecuali pakaian kerjanya yang masih menyisakan helai-helai benang. Gesper dari pakaian kerjanya tampak sudah berwarna hijau kumal.

    Myop memperhatikan semua tempat itu dengan penuh ketertarikan. Di dekat kepala yang remuk oleh pijakkannya itu ada setangkai bunga mawar merah muda liar. Di saat ia memungut bunga itu untuk digabungkan dengan bunga-bunga lain yang berada di genggamannya, ia menyadari bahwa segumpal gundukan tanah juga ikut terangkat, di sana ada sebuah tali jeratan, tali jeratan itu tersangkut pada akar bunga itu. Jeratan itu berada di antara sisa-sisa bagian tubuh yang membusuk, terbuat dari tali kekang kuda yang sengaja dipotong, yang kini telah menyatu abadi dengan tanah. Di sekitarnya banyak batang pohon oak yang cabangnya dipenuhi bagian tubuh dan potongan pakaian pria itu. Compang-camping, membusuk, pucat, dan tercabik-cabik—hampir tidak sanggup ia melihatnya—kecuali berputar-putar dengan gelisah. Myop pun akhirnya meletakkan seluruh bunga yang ada dalam genggamannya. Musim panas pun telah berakhir.

     

     

    Informasi:
    The Flowers adalah cerita pendek yang sangat pendek yang ditulis oleh penulis Afro-Amerika, Alice Walker, dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1973. Karena kuatnya pengaruh yang disebabkan oleh cerpen ini di kalangan masyarakat, cerpen ini pun terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik amerika yang pernah ditulis, dan terangkum dalam buku American Short Stories: 1920 to the Present yang diterbitkan pada tahun 2003. cerpen ini diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya, yaitu bahasa Inggris dari buku American Short Stories: 1920 to the Present.
    Selain menulis cerpen, Alice Walker juga menulis novel dan puisi. Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah The Colour Purple, yang mana berhasil memenangkan penghargaan Pulitzer Prize pada tahun 1983. selain menulis, Alice Walker juga dikenal sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak masyarakat kulit hitam di seluruh dunia, khususnya di Amerika Serikat. Hal-hal itu dapat dilihat dari karya-karyanya yang sarat akan isu-isu diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam.

    Pendapat Anda:

  • Bagaimana Cara Berbicara dengan Gadis-gadis di Pesta [Neil Gaiman]

    author = Miguel Angelo Jonathan

    “Ayolah,” kata Vic. “Ini akan hebat.”

    “Tidak, tidak akan,” kataku, meski aku telah kalah dalam perdebatan ini berjam-jam lalu, dan aku tahu itu.

    “Ini akan cemerlang,” kata Vic, untuk yang keseratus kalinya. “Gadis! Gadis! Gadis!” Dia menyeringai dengan gigi putih.

    Kami berdua memasuki sekolah khusus laki-laki di London selatan. Walaupun akan menjadi suatu kebohongan bila mengatakan kami tak memiliki pengalaman dengan perempuan-Vic tampaknya memiliki banyak pacar, sementara aku pernah mencium tiga teman saudara perempuanku-itu akan, pikirku, sangatlah tepat untuk mengatakan kalau kami berdua lebih banyak berbicara, berinteraksi, dan hanya benar-benar memahami anak lelaki lain. Ya, aku begitu, bagaimanapun. Sulit untuk berbicara dengan orang lain, dan aku sudah tidak melihat Vic selama tiga puluh tahun. Aku tidak yakin aku akan tahu apa yang hendak kukatakan padanya sekarang jika aku menemuinya.

    Kami berjalan di jalan belakang yang dulu berkelok-kelok dalam labirin kotor di belakang stasiun East Croydon-seorang teman memberi tahu Vic tentang sebuah pesta, dan Vic bertekad untuk pergi entah aku suka atau tidak, dan aku tidak. Tetapi minggu itu orang tuaku sedang pergi ke sebuah konferensi, dan aku adalah tamu Vic di rumahnya, jadi aku mengikut saja di sampingnya.

    “Ini akan berakhir sama sebagaimana yang selalu terjadi,” kataku. “Setelah satu jam kamu akan pergi ke suatu tempat mencumbu gadis tercantik di pesta, dan aku akan berada di dapur mendengarkan ibu seseorang berceloteh tentang politik atau puisi atau suatu hal lainnya.”

    “Kamu hanya perlu berbicara dengan mereka,” katanya. “Kupikir itu mungkin jalan di ujung sini.” Dia memberi isyarat riang, mengayunkan tas dengan botol di dalamnya.

    “Bukannya kamu tahu?”

    “Alison memberikanku arahan dan aku menuliskannya di secarik kertas, tapi aku meninggalkannya di meja aula. Santai. Aku bisa menemukannya”

    “Caranya?” Harapan mengalir perlahan di dalam diriku.

    “Kita telusuri jalan,” katanya, seolah-olah berbicara kepada anak idiot. “Dan kita cari pestanya. Gampang.”

    Aku mengamati, tetapi tidak menemukan satupun pesta: hanya rumah-rumah sempit dengan mobil berkarat atau sepeda di taman depan berbeton mereka; dan kaca berdebu bagian depan lapak koran, yang berbau seperti bumbu-bumbu asing dan menjual segala sesuatu mulai dari kartu ulang tahun dan komik bekas hingga jenis majalah yang begitu porno sehingga mereka dijual sudah disegel dalam kantong plastik. Aku pernah ke sana ketika Vic menyelipkan salah satu majalah itu ke balik sweaternya, tetapi pemiliknya menangkapnya di trotoar luar dan membuatnya mengembalikannya.

    Kami sampai di ujung jalan dan berbelok ke jalan sempit rumah-rumah bertingkat. Semuanya tampak sunyi dan kosong di malam musim panas. “Tidak ada masalah untukmu,” kataku. “Mereka menyukaimu. Kamu sebenarnya tidak perlu berbicara dengan mereka.” Memang benar: satu senyum keparat dari Vic dan dia bisa mendapatkan pilihan untuk kamarnya.

    “Ah. Gak begitu. Kamu hanya perlu berbicara.”

    Pada waktu ketika aku mencium teman saudara perempuanku aku tidak berbicara dengan mereka. Mereka telah ada saat saudara perempuanku pergi melakukan sesuatu di tempat lain, dan mereka telah melintas ke dekatku, dan dengan begitu aku telah mencium mereka. Aku tidak ingat pembicaraan apa pun. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada gadis-gadis, dan aku mengatakan demikian padanya.

    “Mereka hanya perempuan,” kata Vic. “Mereka tidak berasal dari planet lain.”

    Ketika kami mengikuti belokan di sekitar jalan, harapanku kalau pesta itu akan terbukti tidak dapat ditemukan mulai memudar: suara berdenyut rendah, musik teredam oleh dinding dan pintu, bisa terdengar dari sebuah rumah di depan. Saat itu jam delapan malam, tidak terlalu awal jika kamu belum enam belas, dan kami belum. Tidak terlalu.

    Aku memiliki orang tua yang ingin mengetahui keberadaanku, tetapi menurutku orang tua Vic tidak sepeduli itu. Dia anak bungsu dari lima bersaudara. Itu sendiri tampak ajaib bagiku: aku hanya memiliki dua saudara perempuan, keduanya lebih muda dariku, dan aku merasa unik dan kesepian. Aku menginginkan saudara laki-laki sejauh yang bisa aku ingat. Ketika aku berusia tiga belas tahun, aku berhenti berharap pada bintang jatuh atau bintang pertama, tetapi ketika aku masih melakukannya, seorang saudara laki-laki adalah apa yang aku harapkan.

    Kami mengikuti jalan taman, ubin keras menuntun kami melewati pagar dan semak mawar terpencil menuju rumah berdinding kerikil-kerikil kecil. Kami membunyikan bel pintu, dan pintu dibukakan oleh seorang gadis. Aku tak dapat memberitahumu berapa usianya, yang mana merupakan salah satu hal tentang perempuan yang mulai kubenci: saat kamu memulai sebagai anak-anak, kamu hanyalah lelaki dan perempuan, melewati waktu dengan kecepatan yang sama, dan kamu semua lima, atau tujuh, atau sebelas, bersama-sama. Lalu kemudian suatu hari ada keganjilan mendadak dan perempuan-perempuan seperti berlari kencang ke masa depan jauh di depanmu, dan mereka tahu tentang segalanya, dan mereka memiliki menstruasi dan buah dada dan alat rias, dan hanya-Tuhan-yang-tahu-apalagi—sebab tentu saja aku tidak tahu. Gambar-gambar dalam buku biologi bukanlah pengganti untuk makhluk hidup, dalam arti yang sebenarnya, anak-anak muda. Dan gadis-gadis seusia kami.

    Vic dan aku bukanlah anak-anak muda, dan aku mulai curiga kalau bahkan meski aku mulai perlu bercukur setiap hari, alih-alih sekali setiap beberapa minggu, aku masih tertinggal jauh di belakang.

    Gadis itu berkata, “Halo?”

    Vic mengatakan, “Kami teman-teman Alison.” Kami telah bertemu dengan Alison, berbintik-bintik dan berambut oranye dengan senyum licik, di Hamburg, pada pertukaran Jerman. Penyelenggara pertukaran mengirim beberapa gadis bersama kami, dari sekolah gadis lokal, untuk menyeimbangkan gender. Para gadis, seusia kami, lebih atau kurang, serak dan lucu, dan memiliki pacar yang kurang lebih dewasa dengan mobil, pekerjaan, sepeda motor, dan—dalam kasus seorang gadis dengan gigi bengkok dan mantel rakun, yang berbicara denganku tentang kesedihannya di akhir pesta Hamburg, tentu saja, di dapur—seorang istri dan anak-anak.

    “Dia tidak di sini,” kata gadis di depan pintu. “Tidak ada Alison.”

    “Tak perlu khawatir,” ucap Vic, dengan senyum luwesnya. “Aku Vic. Ini Enn.” Sebuah getaran, dan si gadis tersenyum balik padanya. Vic membawa sebotol anggur putih di tas plastik, diambil dari lemari dapur orang tuanya. “Kalau begitu, di mana aku harus menaruh ini?”

    Dia menyingkir dari jalan, dan membiarkan kami masuk. “Ada dapur di belakang,” katanya. “Taruh di meja sana, dengan botol-botol lainnya.” Dia memiliki rambut emas bergelombang, dan dia sangat cantik. Aula itu redup dalam keremangan, tetapi aku bisa melihat bahwa dia cantik.

    “Jadi, siapa namamu?” tanya Vic.

    Dia memberitahu kalau namanya Stella, dan Vic menyeringai dengan senyum lebar lalu memberitahu kalau itu adalah nama tercantik yang pernah didengarnya. Bajingan yang mulus. Dan yang lebih buruk, dia mengatakan itu seperti dia bersungguh-sungguh.

    Vic kembali pergi untuk menaruh anggur di dapur, dan aku menatap ke ruang depan, tempat musik berasal. Ada orang-orang yang menari di sana. Stella bergabung dan dia mulai menari, bergoyang mengikuti musik sendirian, dan aku memperhatikannya.

    Ini terjadi pada masa-masa awal punk. Di pemutar rekaman milik kami, kami akan memainkan The Advert, The Jam, The Stranglers, The Clash dan Sex Pistols. Di pesta orang lain, kamu akan mendengar ELO atau 10cc atau bahkan Roxy Music. Beberapa mungkin Bowie, kalau kamu beruntung. Selama pertukaran Jerman, satu-satunya LP yang bisa kami semua sepakati adalah Harvest-nya Neil Young, dan lagunya “Heart of Gold” mengalun selama perjalanan seperti dalam lirik: I crossed the ocean for a heart of gold

    Musik yang dimainkan di ruang depan itu bukanlah sesuatu yang aku kenali.

    Kedengarannya seperti grup musik elektronik Jerman bernama Kraftwerk, dan sedikit mirip sebuah LP yang diberikan untuk ulang tahun terakhirku, dari suara aneh yang dibuat oleh BBC Radiophonic Workshop. Namun, musiknya memiliki irama, dan setengah lusin gadis yang ada di ruangan itu bergerak pelan mengikuti musik, meski aku hanya memperhatikan Stella. Dia bersinar.

    Vic mendorong melewatiku, menuju ruangan. Dia memegang sekaleng bir. “Ada minuman keras di dapur,” dia memberitahuku. Dia berjalan menghampiri Stella dan mulai berbicara kepadanya. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan karena bising musik, tapi aku tahu tidak ada ruang bagiku dalam pembicaraan itu.

    Aku tidak suka bir, tidak pada saat itu. Aku pergi untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa aku minum. Di atas meja dapur berdiri sebotol Coca-Cola, dan aku menuangkan segelas plastik penuh untuk diriku sendiri, tidak berani mengatakan apapun kepada sepasang gadis yang mengobrol di dapur remang-remang. Mereka sangat bergairah dan menawan. Masing-masing memiliki kulit legam hitam dan rambut berkilau serta pakaian layaknya bintang film. Aksen mereka asing, dan masing-masing berada di luar jangkauanku.

    Aku berkeliling, minuman bersoda di tangan.

    Rumah itu lebih luas dari yang terlihat, lebih besar dan kompleks dari model rumah two-up two-down yang kubayangkan. Ruangannya remang-remang-aku ragu ada bohlam lebih dari 40 watt di dalam bangunan-dan tiap ruang yang aku hampiri berpenghuni: seingatku, diisi hanya oleh perempuan. Aku tidak pergi ke lantai atas.

    Satu-satunya penghuni konservatori adalah seorang gadis. Rambutnya sangat menarik dan berwarna putih, panjang dan lurus. Dia duduk di meja berlapis kaca, tangan saling menggenggam, menatap taman di luar dan senja yang meredup. Dia tampak murung.

    “Apa kamu keberatan jika aku duduk di sini?” Tanyaku, memberi isyarat dengan gelasku. Dia menggoyangkan kepalanya, diikuti dengan sebuah angkatan bahu, menandakan kalau itu semua sama saja baginya. Aku duduk.

    Vic berjalan melewati pintu konservatori. Dia berbicara dengan Stella, tapi dia melihat ke arahku, duduk di meja, dipenuhi rasa malu dan canggung, dan dia membuka dan menutup tangannya sebagai tiruan sebuah mulut yang berbicara. Bicara. Benar.

    “Apa kamu berasal dari sekitar sini?” Aku bertanya kepada si gadis.

    Dia menggelengkan kepala. Dia mengenakan atasan keperakan berpotongan rendah, dan aku berusaha untuk tidak menatap dadanya yang menyembul.

    Aku bilang, “Siapa namamu? Aku Enn.”

    “Wain Wain,” ucapnya, atau sesuatu yang terdengar seperti itu. “Aku kedua.”

    “Itu, uh. Nama yang asing.”

    Dia menatapku dengan mata besar berair. “Itu menandakan kalau leluhurku juga Wain, dan aku diwajibkan melapor balik kepadanya. Aku tidak boleh berkembang biak.”

    “Ah. Oke. Terlalu awal untuk itu juga, kan?”

    Dia melepas genggamannya, mengangkatnya ke atas meja, merentangkan jari-jarinya. “Kamu lihat?” Jari kelingking di tangan kirinya bengkok, dan atasnya bercabang dua, terbelah menjadi dua ujung jari yang lebih kecil. Sebuah kelainan kecil. “Ketika aku selesai, sebuah keputusan diperlukan. Apakah aku akan dipertahankan, atau disingkirkan? Aku beruntung karena keputusan ada di tanganku. Sekarang, aku berpergian, sementara saudara perempuanku yang lebih sempurna berada di rumah dalam keadaan statis. Mereka yang pertama, aku kedua.

    “Sebentar lagi aku harus kembali ke Wain, dan memberitahunya apa yang telah kulihat. Seluruh kesanku terhadap tempatmu ini.”

    “Aku sebenarnya tidak tinggal di Croydon,” kataku. “Aku tidak berasal dari sini.” Aku bertanya-tanya apakah dia orang Amerika. Aku tidak tahu sama sekali apa yang dia bicarakan.

    “Baiklah kalau begitu,” dia setuju, “tidak satu pun dari kita berasal dari sini.” Dia melipat tangan kirinya yang berjari enam di bawah tangan kanannya, seolah menyembunyikannya dari pandangan. “Tadinya aku berharap itu lebih besar, bersih, dan berwarna. Tapi tetap, itu adalah permata.”

    Dia menguap, menutup mulutnya dengan tangan kiri, hanya untuk sejenak, sebelum tangannya kembali ke meja lagi. “Aku mulai bosan melakukan perjalanan, dan terkadang berharap itu akan berakhir. Di sebuah jalan di Rio pada saat karnaval, aku melihat mereka di jembatan, keemasaan, tinggi, bermata serangga dan bersayap. Aku gembira dan menyambut mereka, sebelum akhirnya tersadar mereka hanya orang-orang dengan kostum. Aku berkata pada Hola Colt, ‘kenapa mereka berusaha keras terlihat seperti kita?’ dan Hola Colt menjawab, ‘Karena mereka membenci diri mereka sendiri, semua bercorak merah muda dan coklat, dan begitu kecil.’ Itulah yang aku alami, bahkan aku, dan aku belum dewasa. Ini seperti dunia anak-anak, atau peri.” Kemudian dia tersenyum, dan berkata, “Adalah hal yang menguntungkan tidak satupun dari mereka bisa melihat Hola Colt.”

    “Um,” kataku, “apa kamu ingin menari?”

    Dia lekas menggelengkan kepalanya. “Itu tidak diizinkan,” ucapnya. “Aku tidak boleh melakukan sesuatu yang mungkin dapat menghasilkan kerusakan properti. Aku seorang Wain.”

    “Kalau begitu, apakah kamu ingin minum sesuatu?”

    “Air,” balasnya.

    Aku kembali menuju dapur dan menuangkan lagi minuman bersoda untukku, lalu mengisi gelas dengan air dari keran. Dari dapur kembali ke aula, dan dari sana ke konservatori, tapi sekarang ruangan itu cukup kosong.

    Aku bertanya-tanya apakah gadis itu pergi ke toilet, dan apakah mungkin dia mengubah pikirannya tentang menari nanti. Aku berjalan kembali ke ruang depan dan menatap ke dalam. Tempat itu semakin ramai. Ada lebih banyak gadis menari, dan beberapa pemuda yang tidak kukenal, yang terlihat lebih tua beberapa tahun dariku dan Vic. Para pemuda dan gadis semuanya menjaga jarak, tetapi Vic menggandeng tangan Stella sambil menari berdua, dan ketika lagu selesai dia merangkulnya, dengan santai, hampir seperti dia adalah miliknya, untuk memastikan tidak ada orang lain yang menyerobot.

    Aku berpikir apa mungkin gadis yang aku ajak bicara di konservatori sekarang berada di atas, karena dia tidak terlihat di lantai bawah.

    Aku berjalan menuju ruang tamu, yang berada di seberang aula dari ruangan tempat orang-orang menari, dan aku duduk di sofa. Ada seorang gadis yang sudah duduk di sana. Dia memiliki rambut hitam, dipotong pendek dan runcing, dan kelihatan gugup.

    Bicaralah, pikirku. “Um, segelas air ini akan kuberikan untukmu,” kataku padanya, “jika kamu menginginkannya?”

    Dia mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas, dengan sangat berhati-hati. Seakan-akan ia tidak terbiasa mengambil sesuatu, seolah-olah ia tidak dapat mempercayai pandangannya atau tangannya sendiri.

    “Aku senang menjadi turis,” ucapnya, dan tersenyum ragu-ragu. Dia memiliki celah di antara dua gigi depannya, dan dia menyesap air keran seperti orang dewasa yang menyesap anggur nikmat. “Pada tur terakhir, kami pergi menuju matahari dan berenang di kolam api matahari bersama ikan paus. Kami mendengar sejarah mereka dan kami menggigil dalam balutan dingin tempat-tempat luar, lalu kami berenang lebih dalam di mana panas bergelolak dan menyamankan kami.

    Aku ingin kembali. Kali ini, aku menginginkannya. Ada begitu banyak yang belum kulihat. Tetapi kami malah pergi ke bumi. Apa kamu suka?”

    “Suka apa?”

    Dia menunjuk secara samar ke ruangan—sofa, kursi berlengan, tirai, api gas yang tak terpakai.

    “Oke saja, menurutku.”

    “Aku mengatakan pada mereka aku tidak ingin mengunjungi bumi,” katanya. “orang tua-guruku tidak terkesan. ‘Kamu akan punya banyak hal untuk dipelajari,’ dia memberitahuku. Aku bilang, ‘aku bisa belajar lebih banyak di matahari, lagi. Atau di kedalaman. Jessa membuat jaring-jaring di antara galaksi. Aku ingin melakukannya.

    “Tapi tidak bisa beralasan dengannya, dan aku pun datang ke bumi. Orang tua-guru menelanku, dan di sinilah aku, terwujud dalam gumpalan membusuk yang tergantung pada kerangka kalsium. Saat aku menjelma aku merasakan banyak hal jauh di dalam diriku, menggelepar dan memompa dan meremas. Itu adalah pengalaman pertamaku mendorong udara melalui mulut, menggetarkan pita suara di perjalanan, dan aku menggunakannya untuk memberi tahu orang tua-guruku kalau aku berharap aku mati, yang diakui olehnya sebagai jalan keluar tak terelakkan dari bumi.

    Ada komboloi hitam melilit pergelangan tangannya, dan dia memainkannya sambil berbicara. “Tapi pengetahuan ada di sana, di dalam daging,” ujarnya, “dan aku bertekad belajar darinya.”

    Kami duduk berdekatan di tengah sofa sekarang. Aku memutuskan aku harus merangkulnya, tapi dengan santai. Aku akan mengulurkan tanganku di sepanjang bagian belakang sofa dan akhirnya merayapkan tanganku ke bawah, hampir tanpa terasa, sampai tanganku menyentuh dia. Dia berkata, “Benda dengan cairan di mata, ketika dunia memudar. Tidak ada yang memberitahuku, dan aku masih belum mengerti. Aku telah menyentuh lipatan Bisikan dan berdenyut dan terbang dengan tachyon swans, dan aku masih belum paham.”

    Dia bukan gadis tercantik di sini, tapi dia terlihat cukup baik, dan lagipula, dia seorang perempuan. Aku membiarkan lenganku turun sedikit, untuk sementara, sehingga lenganku bersentuhan dengan punggungnya, dan dia tidak menyuruhku untuk menariknya kembali.

    Vic kemudian memanggilku, dari arah pintu. Dia berdiri sambil merangkul Stella, menjaganya, melambai ke arahku. Aku berusaha memberitahukannya, dengan menggelengkan kepalaku, kalau aku sedang mencapai sesuatu, tetapi dia memanggil namaku dan, dengan enggan, aku bangkit dari sofa dan berjalan ke pintu. “Apa?”

    “Ehm. Begini. Pestanya,” ucap Vic, merasa bersalah. “Ini bukanlah pesta seperti yang kukira. Aku telah berbicara dengan Stella dan menyadarinya. Ya, singkatnya dia menjelaskannya kepadaku. Kita di pesta yang berbeda.”

    “Astaga. Apa kita dalam masalah? Perlukah kita pergi?”

    Stella menggelengkan kepalanya. Vic membungkuk dan menciumnya dengan lembut, di bibir. “Kamu kebetulan senang memilikiku di sini, benarkan, sayang?”

    “Kamu tahu aku begitu,” balasnya pada Vic.

    Vic memandang dari punggung Stella ke arahku, dan dia menyunggingkan senyum putihnya: nakal, memikat, sedikit Artful Dodger, sedikit Pangeran Tampan. “Jangan khawatir. Lagian mereka semua turis di sini. Ini seperti pertukaran mancanegara, ya kan? Seperti saat kita semua pergi ke Jerman.”

    “Begitu?”

    “Enn. Kamu harus berbicara dengan mereka. Dan itu berarti kamu harus mendengarkan mereka juga. Kamu mengerti?”

    “Sudah. Aku telah berbicara dengan beberapa dari mereka.”

    “Kamu mencapai sesuatu?”

    “Iya, sampai akhirnya kamu memanggilku.”

    “Maaf tentang itu. Dengar, aku hanya ingin memberimu informasi. Oke?”

    Dan dia menepuk lenganku lalu pergi dengan Stella. Kemudian, bersama-sama, mereka berdua menaiki tangga.

    Pahamilah aku, semua gadis di pesta itu, dalam remang-remang, sangat cantik; mereka semua memiliki wajah yang sempurna tetapi, yang lebih penting daripada itu, mereka memiliki keganjilan apa pun dalam proporsi, keanehan, atau kemanusiaan yang membuat kecantikan menjadi lebih dari sekadar boneka pajangan jendela toko.

    Stella yang tercantik di antara mereka, tapi dia, tentu saja, milik Vic. Dan mereka pergi ke atas bersama, dan begitulah yang akan selalu terjadi.

    Ada beberapa orang yang sekarang duduk di sofa, berbicara dengan gadis gigi bercelah. Seseorang melontarkan lelucon, dan mereka semua tertawa. Aku harus menerobos masuk ke sana untuk duduk di sampingnya lagi, dan sepertinya dia tidak mengharapkanku kembali, atau peduli kalau aku sudah pergi, jadi aku berjalan ke aula. Aku melirik ke arah orang-orang yang menari, dan mendapati diriku penasaran dari mana musik itu berasal. Aku tidak bisa melihat pemutar rekaman atau pengeras suara.

    Dari aula aku berjalan kembali ke dapur.

    Dapur bagus untuk pesta. Kamu tak perlu alasan untuk berada di sana, dan sisi baiknya, di pesta ini aku tidak melihat adanya tanda-tanda ibu seseorang. Aku memeriksa berbagai botol dan kaleng di meja dapur, lalu aku menuangkan setengah inci Pernod ke bagian bawah gelas plastikku, dan aku mengisi atasnya dengan minuman bersoda. Aku memasukkan beberapa es batu dan menyesapnya, menikmati bau tajam manis minuman itu. 

    “Apa itu yang kau minum?” Suara seorang gadis.

    “Ini Pernod,” aku memberitahunya. “Rasanya seperti adas manis, hanya saja beralkohol.” Aku tidak mengatakan kalau aku hanya mencobanya karena aku mendengar seseorang di antara kerumunan meminta Pernod di acara langsung LP Velvet Underground.

    “Bisakah aku minta satu?” Aku menuangkan Pernod lagi, mengisi bagian atas dengan minuman bersoda, memberikannya padanya. Rambutnya pirang seperti tembaga, dan terjulur keikalan di sekitar kepalanya. Ini bukan gaya rambut yang banyak kamu lihat sekarang, tetapi kamu sering melihatnya saat itu.

    “Siapa namamu?” Tanyaku.

    “Triolet,” katanya.

    “Nama yang cantik,” aku memberitahunya, meski aku tak tahu apakah benar begitu. Tapi, dia cantik.

    “Itu sebuah bentuk sajak,” katanya bangga. “Sepertiku.”

    “Kamu sebuah puisi?”

    Dia tersenyum, melihat ke bawah dan menjauh, mungkin dengan malu-malu. Tampangnya hampir datar—hidung Yunani sempurna yang turun dari dahinya dalam garis lurus. Kami memainkan Antigone di teater sekolah tahun sebelumnya. Akulah pembawa pesan yang menyampaikan berita kematian Antigone kepada Creon. Kami memakai topeng setengah yang membuat kami terlihat seperti itu. Aku memikirkan drama itu, menatapi wajahnya, di dapur, dan aku memikirkan gambar wanita Barry Smith dalam komik Conan: lima tahun kemudian aku pastinya akan memikirkan Pra-Raphaelite, dari Jane Morris dan Lizzie Siddall. Tapi aku baru berumur lima belas tahun waktu itu.

    “Kamu sebuah puisi?” Aku mengulangi.

    Dia menggigit bibir bawahnya. “Kalau kamu mau. Aku adalah puisi, atau aku sebuah pola, atau aku ras masyarakat yang dunianya telah ditelan lautan.”

    “Bukankah sulit untuk menjadi tiga hal sekaligus?”

    “Siapa namamu?”

    “Enn.”

    “Jadi kamu seorang Enn,” katanya. “Dan kamu adalah laki-laki. Dan kamu berkaki dua. Bukankah sulit untuk menjadi tiga hal sekaligus?”

    “Tapi mereka bukanlah hal yang berbeda. Maksudku, mereka tidak berkontradiksi.” Itu adalah kata yang telah kubaca berkali-kali tapi tidak pernah kuucapkan begitu lantang malam itu, dan aku meletakkan tekanan di tempat yang salah. Kontradiksi.

    Dia mengenakan gaun tipis yang terbuat dari kain sutra putih. Matanya hijau pucat, warna yang sekarang membuatku berpikir tentang lensa kontak berwarna; tapi ini tiga puluh tahun yang lalu; segalanya berbeda saat itu. Aku ingat penasaran tentang Vic dan Stella, di lantai atas. Sekarang, aku yakin mereka ada di salah satu kamar tidur, dan aku sangat iri pada Vic sampai hampir membuat sakit.

    Tetap saja, aku berbincang dengan gadis ini, bahkan meski kami membicarakan omong kosong, bahkan meski namanya bukan benar-benar Triolet (generasiku belum diberi nama hippie:  semua Pelangi dan Matahari dan Bulan, mereka hanya enam, tujuh, delapan tahun waktu itu). Dia bilang, “Kami tahu bahwa ini akan segera berakhir, jadi kami memasukkan semuanya ke dalam puisi, untuk memberitahukan kepada alam semesta siapa kami, dan mengapa kami di sini, dan apa yang kami katakan dan lakukan dan pikirkan dan mimpikan dan rindukan. Kami membungkus mimpi kami dalam kata-kata dan memulai kata-kata itu sehingga mereka hidup selamanya, tak terlupakan. Kemudian kami mengirim puisi sebagai pola flux, untuk menunggu di pusat bintang, memancarkan pesannya dalam denyut nadi dan menyembur dan memudarkan melintasi spektrum elektromagnetik, sampai suatu saat di mana, di dunia yang jaraknya seribu sistem matahari, polanya akan diterjemahkan dan dibaca, dan itu akan menjadi puisi sekali lagi.”

    “Lalu apa yang terjadi?”

    Dia menatapku dengan mata hijaunya, dan seolah-olah dia menatapku dari topeng setengah Antigonenya sendiri; tapi seolah-olah mata hijaunya yang pucat hanyalah bagian dari topeng yang berbeda, lebih dalam. “Kamu tak dapat mendengar puisi tanpa puisi itu mengubahmu,” katanya padaku. “Mereka mendengarnya, dan puisi menjajah mereka. Ia mewarisi mereka dan mendiami mereka, ritmenya menjadi bagian dari cara berpikir mereka, gambarannya secara permanen mengubah metafora mereka, syairnya, tampilannya, aspirasinya menjadi kehidupan mereka. Dalam satu generasi anak-anak mereka akan terlahir dengan telah mengetahui puisi itu, dan, lebih cepat daripada nanti, seiring berjalannya hal-hal ini, tidak akan ada lagi anak yang lahir. Mereka tidak diperlukan, tidak lagi. Hanya akan ada puisi, yang menjadi daging dan berjalan dan menyebarkan diri mereka sendiri melintasi luasnya yang diketahui.”

    Perlahan-lahan aku mendekatinya, supaya aku bisa merasakan kakiku menyentuh kakinya.

    Dia tampak menyambutnya: dia meletakkan tangannya di lenganku, dengan mesra, dan aku merasakan senyuman melebar di wajahku.

    “Ada tempat di mana kami disambut,” kata Triolet, “dan ada tempat di mana kami dianggap sebagai tanaman liar berbahaya, atau penyakit mematikan, sesuatu yang harus dikarantina dan dilenyapkan. Tapi di mana penularan berakhir dan seni dimulai?”

    “Aku tidak tahu,” kataku, sambil tersenyum. Aku dapat mendengar musik asing yang berdenyut dan bergemuruh di ruang depan.

    Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku dan—kupikir itu sebuah ciuman… aku rasa. Bagaimanapun, dia menempelkan bibirnya ke bibirku, dan kemudian, setelah puas, dia menarik ke belakang, seakan-akan dia telah menandaiku sebagai miliknya.

    “Apakah kamu ingin mendengarnya?” tanyanya, dan aku mengangguk, tidak yakin apa yang dia tawarkan padaku, tapi yakin aku membutuhkan apapun yang dia bersedia berikan padaku.

    Dia mulai membisikkan sesuatu di telingaku. Itu adalah hal yang paling aneh dari puisi—kamu bisa mengetahui kalau itu puisi, meski kamu tidak berbicara bahasanya. Kamu dapat mendengar puisi Yunani Homer tanpa mengetahui sepatah kata pun, dan kamu masih tetap tahu itu puisi. Aku telah mendengar puisi Polandia, puisi Inuit, dan aku tahu apa itu tanpa mengetahuinya. Bisikannya sama seperti itu. Aku tidak tahu bahasanya, tapi kata-katanya merasuki diriku, sempurna, dan dalam benakku aku melihat menara-menara kaca dan berlian, dan orang-orang dengan mata hijau tepucat; dan, tak terbendung, di bawah setiap suku kata, aku dapat merasakan gelombang laut yang tanpa henti.

    Mungkin aku menciumnya dengan pantas. Aku tidak ingat. Aku tahu aku ingin.

    Dan kemudian Vic mengguncangku dengan keras. “Ayo lah!” dia berteriak. “Cepat lah. Ayo!”

    Di kepalaku aku mulai kembali dari jarak ribuan mil.

    “Idiot. Ayo. Pergi saja.” katanya, dan dia mengumpat kepadaku. Ada kemarahan dalam suaranya.

    Untuk pertama kalinya pada malam itu aku mengenali salah satu lagu yang diputar di ruang depan. Sebuah ratapan sedih saksofon diikuti oleh aliran nada cair, suara seorang pria menyanyikan lirik yang terpotong tentang anak-anak zaman sunyi. Aku ingin tinggal dan mendengarkan lagunya.

    Triolet berkata, “Aku belum selesai. Masih ada lebih banyak lagi dariku.”

    “Maaf sayang,” ujar Vic, tapi dia tidak lagi tersenyum. “Akan ada waktu lain,” dan dia mencengkeram sikuku dan memutar dan menarik, memaksaku keluar dari ruangan. Aku tidak melawan. Aku tahu dari pengalaman kalau Vic bisa mengalahkanku dengan mudah jika di kepalanya dia memutuskan untuk melakukan seperti itu. Dia tidak akan melakukannya kecuali dia kesal atau marah, tapi dia marah saat ini.

    Keluar ke aula depan. Saat Vic membuka pintu, aku melihat ke belakang untuk terakhir kalinya, melewati bahuku, berharap mendapati Triolet di ambang pintu dapur, tapi dia tidak ada di sana. Namun, aku melihat Stella di puncak tangga. Dia sedang menatap Vic, dan aku melihat wajahnya.

    Ini semua terjadi tiga puluh tahun yang lalu. Aku telah melupakan banyak hal, dan aku akan melupakan lebih banyak lagi, dan pada akhirnya aku akan melupakan segalanya; meski, jika aku memiliki kepastian tentang kehidupan setelah kematian, itu semua tidak terbungkus dalam mazmur atau himne, tetapi pada satu hal ini saja: aku tidak percaya aku dapat melupakan momen itu, atau melupakan ekspresi wajah Stella saat dia menyaksikan Vic bergegas menjauhi dirinya. Bahkan dalam kematian aku akan mengingatnya.

    Pakaiannya berantakan, ada riasan tercoreng di wajahnya, dan matanya…

    Kamu tidak ingin membuat alam semesta marah. Aku yakin alam semesta yang marah akan melihatmu dengan mata seperti itu.

    Kami kemudian berlari, aku dan Vic, menjauh dari pesta dan turis-tuis dan aram temaram, berlari seolah-olah badai petir berada di belakang kami, lari pontang-panting karena jalanan yang membingungkan, menerobos labirin, dan kami tidak melihat ke belakang, tidak berhenti sampai kami tidak bisa bernapas; dan kemudian kami berhenti dan terengah-engah, tak mampu berlari lagi. Kami kesakitan. Aku berpegangan pada dinding, dan Vic muntah, keras dan lama, ke selokan.

    Dia menyeka mulutnya.

    “Dia bukan seo—” Dia berhenti.

    Dia menggelengkan kepalanya.

    Kemudian dia berkata, “Kamu tahu… kupikir ada sesuatu. Ketika kamu telah bertindak sejauh yang kamu berani. Dan jika kamu melangkah lebih jauh, kamu tidak akan menjadi dirimu lagi. Kamu akan menjadi seseorang yang telah melakukan itu. Sebuah tempat yang tidak bisa kau datangi… kupikir itu terjadi padaku malam ini.”

    Kupikir aku tahu apa yang dia katakan. “Persetan dengannya, maksudmu?” Kataku.

    Dia menghantamkan buku jarinya dengan keras ke pelipisku, dan memutarnya dengan kasar. Aku bertanya-tanya apakah aku harus melawannya—dan kalah—tapi sejurus kemudian dia menurunkan tangannya dan menjauh dariku, membuat suara pelan, yang tertelan.

    Aku menatapnya dengan penasaran, dan tersadar kalau dia menangis: wajahnya merah padam, ingus dan air mata membasahi pipinya. Vic terisak-isak di jalanan, tanpa disadari dan memilukan seperti anak kecil.

    Dia lalu berjalan menjauhiku, bahu terangkat, dan dia bergegas menyusuri jalan sehingga dia berada di depanku dan aku tidak bisa melihat lagi wajahnya. Aku penasaran apa yang telah terjadi di ruangan lantai atas itu sampai-sampai dia bersikap demikian, menakutinya seperti itu, dan aku bahkan tidak bisa menebak.

    Lampu jalan menyala, satu per satu; Vic tersandung di depan, sementara aku berjalan tertatih-tatih di belakangnya di balik temaram senja. Kakiku memijaki sebuah irama puisi yang, kucoba sekuat tenaga, tak dapat kuingat dengan baik dan takkan pernah bisa kuulangi.

    How To Talk To Girls at Parties oleh Neil Gaiman terbit pertama kali tahun 2007, diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah asli.

  • Bintang itu Kakak Perempuanku [Alain Mabanckou]

    author = Bagus Panuntun

    Saat itu usiaku masih 10 tahun. Di tengah musim kemarau, aku keluar diam-diam dari kamar. Kubuka pelan-pelan pintu menuju muka rumah. Aku tak lagi takut pada hantu atau roh jahat apapun yang keluar di tengah malam untuk menakuti anak-anak.

    Aku duduk di teras dan mendongakkan kepalaku untuk memandangi langit. Emak bilang kalau kakak perempuanku tinggal di sana bersama para malaikat.

    Lalu tiba-tiba, muncul satu bintang, bintang yang sangat kecil tapi paling terang di antara yang lain. Aku menatapnya penuh perhatian. Ia bergerak, berkedip, dan tersenyum padaku sebelum bersembunyi di antara dua awan, lalu muncul kembali. Ia membuatku sangat bahagia dan aku membalas senyumnya. Aku tahu, bintang itu kakak perempuanku yang meninggal dua tahun sebelum kelahiranku. Aku memanggilnya: “Mbak Bintang”.

    Duduk di teras, aku mulai bicara padanya, pada Mbakku. Aku menceritakan banyak hal karena aku khawatir dia tak lagi tahu apa yang terjadi di sekitar sini sejak ia tinggal di atas.

    Mbak Bintang selalu mendengarkanku dengan saksama. Aku bilang kalau Bapak sudah membeli motor baru dan masih bekerja pada orang kulit putih di hotel Istana Jaya. Ia sering pulang membawa buku-buku yang dibuang oleh orang-orang kulit putih setelah mereka selesai membacanya. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau terakhir kali, Bapak membawakan buku aneh yang membuatku hampir terisak saat membacanya: Pangeran Cilik, buku kecil yang ditulis seorang pilot bernama Antoine de Saint-Exupéry.

    Buku yang sudah kubaca lebih dari sepuluh kali ini menceritakan seseorang yang hilang di tempat yang jauh, sangat jauh dari tempat manapun yang ditinggali manusia. Di sana, tiba-tiba ia bertemu seorang bocah yang menyuruhnya menggambar seekor domba. Aku kasihan pada bocah yang entah dari mana itu, yang sepertinya belum pernah melihat domba.

    Suatu malam, aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku sedang merasa seperti bocah itu. Aku juga ingin seseorang menggambarkanku seekor hewan yang ramah, seperti hewan lucu yang ada di buku Antoine de Saint-Exupéry…

    Lalu satu minggu berikutnya, di tengah malam seperti biasanya, aku kembali melihat angkasa. Meski malam itu semua bintang sedang beristirahat di kasur awan empuknya, aku melihat Mbak Bintang tetap bersinar terang. Ia berkedip-kedip lalu membolak-balikkan badannya seolah sedang sangat sibuk dan agak gugup. Aku memperhatikannya dengan antusias dan gembira dan aku segera menyadari kalau ia sedang menggambarkanku seekor domba. Seekor domba yang cantik di atas langit.

    Aku menjaga rahasia ini. Aku tidak pernah bilang ke Bapak, Emak, apalagi teman-teman satu kelas. Aku ingin bilang ke Mbak Bintang kalau aku sudah sering melihat domba di kampung dan aku ingin agar ia menggambarkanku hewan baik lainnya. Tapi Mbak Bintang lebih suka menggambar domba Saint-Exupéry. Dan aku tidak ingin menolaknya. Sebab, domba yang ia gambar terlihat seperti hewan paling baik yang pernah ada di dunia.

    Aku menceritakan banyak hal lain ke Mbak Bintang. Suatu hari, aku bahkan bercerita tentang Paman René yang baru membeli rumah di Kompleks Trisata, dekat kafe Kredit Bablas. Rumah Paman mewah dan kokoh. Halamannya sangat luas dan teman-temannya sering berkunjung karena senang melihat rumahnya yang luar biasa. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku ingin sekali tinggal bersama Paman René karena rumah kami tidak sekokoh rumahnya. Rumah kami lebih kelihatan seperti gubuk dari papan rapuh dengan atap yang bocor-bocor. Hujan sering membanjiri ruang tengah bahkan sampai masuk kamarku. Dan setiap kali hujan, Bapak dan Emak harus bangun karena takut rumah kami terseret banjir. Aku sering tidur sambil memakai jas hujan. Bapak sering berjanji untuk menambal atap rumah keesokan harinya, tapi ia selalu lupa dan baru ingat setelah hujan datang lagi.

    “Kan situ udah janji mau benerin genteng!” teriak Emak saat hujan mengguyur.

    “Iya, besok…”, jawab Bapak.

    “2 minggu lalu situ juga ngomong gitu!”

    “Iya, iya besok ah. Janji”

    Dan Bapak tak pernah memenuhi janjinya. Ia lebih memilih membelikanku jas hujan baru dan sepasang sepatu bot. Air hujan sering jatuh ke badanku, tapi aku sudah terbiasa. Bahkan, saat itulah aku justru merasa lebih ngantuk.

    Sebenarnya, Paman René juga ingin aku tinggal di rumahnya, tapi Bapak dan Emak menolaknya. Mereka tak mau kesepian di rumah papan tuanya. Aku bisa membayangkan bagaimana misalnya aku tinggal di rumah Paman René. Aku akan bermain dengan sepupu-sepupuku dan aku akan tidur di kamar yang atapnya rapat. Tapi Bapak orang yang sangat memikirkan harga dirinya. Oleh karena itu, ia memintaku berhenti bermimpi untuk tinggal di sana, dan dengan tegas berkata:

    “Bapak nggak mau kamu tinggal di rumah René. Bapak tau Bapak miskin dan kamu pingin tinggal di rumah Pamanmu yang banyak duit dan rumahnya gede ! Tapi hidup tuh harus banyak syukur sama apa yang kita punya. Tinggal di rumah reyot bukan berarti hati ikutan melarat. Nanti kamu bakal ngerti kalau udah gede…”

    Setelah satu jam lebih melihat langit, aku mulai merasa mataku berat. Aku mengantuk, tapi cahaya Mbak Bintang membuatku tetap terjaga. Aku baru sadar kalau sudah cukup lama berada di teras. Aku ingin tidur tapi aku tak bisa tidur sebelum bercerita tentang Emak ke Mbak Bintang.

    Jadi, aku bercerita tentang kelereng yang Emak belikan untuk kado ulang tahunku. Emak memberiku 12 kelereng tapi semuanya hilang. Anak-anak kampung yang lebih tua meminta kelerengku sambil mengancam. Dan aku tak mungkin melawan mereka karena tubuhku kurus kering seperti biting. Emak jengkel dan berjanji akan membawaku ke dukun kampung yang bisa memberiku jimat supaya aku lebih kuat jika kelerengku diminta lagi. Dukun itu bernama Mak Malonga. Kami menyambanginya suatu malam. Ia menyuruhku makan akar pedas dan memberiku gelang dari taring ular berbisa. Saat anak-anak nakal itu melihatku, mereka akan kabur karena tahu bahwa mereka tak akan menang melawan seseorang yang memakai jimat.

    Sejak hari itulah, aku tak pernah lagi kehilangan kelereng-kelerengku.

    Emak sering memikirkan almarhum Mbak. Ia selalu membawa foto Mbak kemanapun ia pergi. Mbak cuma hidup selama satu minggu setelah kelahirannya. Roh jahat di desa kami nampaknya iri akan kecantikannya. Dan karena roh-roh jahat itu mendatangi Mbak setiap malam, mereka akhirnya bisa melempar kutukan jahat pada rumah kami. Oleh karena itulah, leluhur-leluhur kami ingin agar Mbak tinggal di langit bersama para Dewa dan di samping para malaikat untuk melindungi keluarga kami. Sejak kematian Mbak, Bapak dan Emak meninggalkan desa kami di Mouyondzi untuk tinggal di kota Pointe-Noire.

    Aku lahir dua tahun setelah kemalangan itu. Tapi penyihir jahat dari Mouyondzi tetap menyimpan dendamnya. Mereka bahkan mengirim kutukan jahat ke perut Emak sehingga aku tak bisa lagi punya adik hingga sekarang.

    Aku tak bisa lagi merahasiakan obrolan tengah malamku dengan Mbak Bintang. Aku ingin menunjukkan ke teman-temanku kalau aku bukan anak tunggal dan aku punya kakak perempuan yang tinggal di antara bintang-bintang. Aku menceritakan ini ke salah satu teman laki-laki di kelasku, namanya Nestor. Dan karena Nestor enggan percaya, aku mengeluh pada Mbak Bintang malam harinya. Aku bilang padanya:

    “Nestor nakal banget”

    Lalu Mbak Bintang bertanya:

    “Kenapa kamu bilang kalau dia nakal?”

    Dan aku menjawab:

    “Soalnya dia suka duduk paling belakang buat gangguin murid cewek. Terus dia suka jahilin aku padahal aku nggak ngapa-ngapain”.

    “Oh.. jadi karena itu kamu bilang dia nakal?”

    “Dia juga bilang kalau aku miskin dan menyedihkan karena aku nggak punya saudara laki-laki atau perempuan. Padahal aku sudah bilang ke dia kalau aku punya Mbak yang tinggal di langit”

    “Terus, Nestor jawab apa?”

    “Dia nggak percaya. Dia bilang kalau ceritaku bodoh dan aku pembohong. Nestor juga bilang kalau Mbak nggak ada, karena suatu malam, dia pergi ke teras dan melihat langit, tapi dia nggak melihat Mbak seperti aku sekarang. Dia bilang cuma ada bintang-bintang biasa, yang bisa dilihat semua orang”

    “Terus kamu jawab gimana?”

    “Aku bilang, kalau malam itu Mbak Bintang sedang kelelahan dan tidur sama para malaikat”

    “Terus apa kata Nestor?”

    “Dia bilang kalau aku harus berhenti cerita bohong. Kalau nggak, dia bakal menjewerku dan bocorin rahasia ini ke satu sekolah saat istirahat”.

    “Terus, kamu mau Mbak nunjukkin ke Nestor kalau Mbak memang ada?”

    “Aku mau Mbak ketemu langsung dengan Nestor, Mbak muncul di langit, dan Mbak bicara seperti Mbak ngobrol sama aku sekarang…”

    “Baik, besok kamu bilang ke Nestor kalau Mbak akan ada di langit pada Minggu malam. Dia harus mendongak ke langit dan melihat Mbak bergerak. Bilang juga ke dia kalau Mbak mau gambarin domba kecil seperti di bukunya Saint-Exupéry”.

    Nestor tak percaya padaku saat aku bilang tentang obrolanku semalam dengan Mbak Bintang. Dia tertawa keras dan bilang:

    “Kamu pasti sudah gila! Kamu nggak punya kakak perempuan. Mbakmu sudah meninggal. Mbakmu sudah lama meninggal!”

    “Nggak! Dia belum meninggal, aku nggak bohong. Kamu lihat sendiri hari Minggu malam. Lihat langit dan dia akan menggambar domba buatmu, seekor domba seperti di bukunya Saint-Exupéry”.

    Minggu malam, Nestor keluar dari kamar. Ia menatap langit. Tapi hanya ada gelap. Tak ada satupun bintang. Tapi saat ia semakin mendongakkan kepala, awan-awan mendung mulai menipis dan semakin berjarak. Satu bintang kecil berkedip. Bintang itu sendirian, seolah tak mau diganggu bintang lainnya. Ini saat terbaik untuk membuat Nestor percaya. Bintang itu bergerak dan membolak-balikkan badannya. Dari rumah, aku juga melihatnya.

    Nestor menatap langit dengan sangat saksama. Dan ia melihat seekor domba yang digambar oleh Mbak Bintang. Domba itu bahkan lebih bagus daripada domba milikku. Ia menggoyang-goyangkan ekor dan telinganyanya. Ia lalu melompat-lompat selama beberapa menit sebelum bersembunyi di balik bulan yang baru saja muncul bersama bintang-bintang lain yang merasa iri dengan Mbakku.

    Esok harinya di sekolah, Nestor duduk di sebelahku dan berbisik:

    “Aku lihat Mbakmu semalam… Dia menggambarkanku domba putih”.

    Aku tersenyum karena mulai sekarang Nestor menjadi sahabat terbaikku.

    Beberapa hari kemudian, Nestor datang kembali padaku dengan wajah sedih.  Ia mengajakku pergi ke taman.

    “Ada apa Nestor?”

    Ia mengusap air matanya sebelum memberitahuku:

    “Aku juga sedang mencari adik laki-lakiku. Dia meninggal tahun lalu, tapi aku nggak melihat dia di langit sama bintang-bintang. Ini nggak adil !”

    Aku merangkul bahunya untuk menenangkannya. Aku bilang kepadanya:

    “Kamu harus sedikit bersabar. Adikmu akan muncul suatu hari. Sekarang dia masih belajar tentang bagaimana hidup di sana. Tapi aku janji, besok aku akan bilang ke Mbak Bintang untuk mencarikan adikmu. Nanti, mereka akan muncul berdua di depan kita”.

    TAMAT

    Profil Penulis:

    Alain Mabanckou adalah penulis asal Kongo-Brazzaville dan menjadi salah satu penulis francophone paling terkenal dan produktif saat ini. Penulis kelahiran 24 Februari 1966 ini dikenal berkat karya-karyanya yang banyak bercerita tentang realitas sosial di Afrika dan pengalaman para diaspora kulit hitam di Prancis dan Amerika. Novelnya Black Bazar (2009) masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2017, sementara novelnya yang lain Mémoires de porc-épic (2006) memenangkan Prix Renaudot 2006 dan masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2015. Saat ini, ia menjadi dosen pengajar sastra francophone di University of California, Los Angeles (UCLA).

    Sumber buku: 

    Judul asli dari cerpen ini adalah Ma Soeur-Étoile yang termuat dalam buku Enfances, Nouvelles recueillies par Alain Mabanckou (2005), terbitan Ndzé. Enfances adalah kumpulan cerpen bertema anak-anak yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan francophone asal Afrika. Beberapa penulis besar yang berkontribusi di buku ini di antaranya Alain Mabanckou, Ananda Devi, Raharimana, Sami Tchak, dll

  • Anjing Pemburu dari Tindalos [Frank Belknap Long, Jr.]

    author = Devi Santi Ariani

    “Saya senang akhirnya kau datang,” ucap Chalmers. Ia duduk di depan jendela dengan wajah pucat. Dua lilin tinggi hampir terbakar habis di dekat sikunya, memancarkan cahaya ambar yang pucat di sepanjang hidung bangir dan dagunya yang menjorok ke dalam. Chalmers tidak ingin memiliki benda modern apapun di apartemennya. Jiwanya adalah jiwa seorang petapa abad pertengahan yang lebih memilih patung gargoyle yang melotot daripada radio atau mesin-penghitung, lebih suka membaca naskah tua di bawah cahaya lilin daripada mengendarai otomobil.

    Sementara menyeberangi ruangan menuju sofa yang ia siapkan, aku melirik meja kerjanya dan terkejut ketika mendapati ia sedang mempelajari formula matematika dari seorang fisikawan kontemporer yang tersohor, dan telah memenuhi begitu banyak kertas-kertas berwarna kuning dengan desain bangun geometris yang sulit dimengerti. 

    “Bukankah Einstein dan John Dee sedikit aneh untuk dijadikan teman tidur,” ucapku selagi mengalihkan tatapan dari grafik-grafik menuju enam puluh atau tujuh puluh buku aneh yang berkompromis dengan keanehan perpustakaan kecilnya. Plotinus dan Emanuel Moscopulus, St. Thomas Aquinas dan Frenicle de Bessy berdiri berdesakan dalam rak buku kayu ebony yang muram. Pamflet-pamflet tentang sihir medis, ilmu gaib, ilmu hitam dan hal-hal glamor lain yang ditolak dunia modern memenuhi semua meja, kursi dan meja tulis. 

    Chalmers tersenyum bersemangat dan mengulurkan padaku sebatang sigaret Rusia di atas sebuah baki berukiran aneh. “Sekarang ini, kita baru saja menyadari,” ujarnya, “bahwa sang alkemis tua dan para penyihir-penyihir itu dua pertiga benar, dan ilmu biologis dan materialis modern milikmu adalah sembilan persepuluh salah.”

    “Kau memang selalu mencemooh sains modern,” tukasku, sedikit tak sabar.

    “Hanya pada dogma saintifiknya,” jawab Chalmers. “Saya memang selalu melawan, seorang juara originalitas tanpa harapan; itulah kenapa saya memutuskan untuk menolak  kesimpulan dari biologi kontemporer.”

    “Dan Einstein?” tanyaku.

    “Seorang pendeta matematikal transenden!” gumamnya dengan hormat. “Seorang mistikus dan penjelajah rasa ingin tahu yang luar biasa.”

    “Jadi kau tidak benar-benar membenci sains.”

    “Tentu tidak,” Chalmers menekankan. “Saya hanya tidak mempercayai positivisme sains selama lima puluh tahun terakhir, positivisme Heckel dan Darwin serta Mr. Bertrand Russel. Saya percaya bahwa biologi telah dengan menyedihkan gagal untuk menjelaskan misteri asal mula manusia dan takdir.”

    “Beri mereka sedikit waktu,” balasku.

    Sepasang mata Chalmers berpendar, “Sahabatku,” gumamnya, “permainan kata-katamu sungguh indah. Berikan mereka waktu. Tepat seperti apa yang akan kulakukan. Tetapi ahli biologis modern-mu telah menolak waktu. Mereka punya kuncinya, tapi menolak menggunakannya. Apa sebetulnya yang kita tahu tentang waktu? Einstein percaya bahwa waktu bersifat relatif, bisa diinterpretasikan sebagai ruang, ruang yang melengkung. Namun, apakah kita perlu berhenti sampai di situ? Ketika matematika mengecewakan kita, tidak bisakah kita tetap maju dengan—wawasan?”

    “Kau menginjak dasar yang berbahaya,” jawabku. “Jebakan yang dihindari jiwa penyelidikmu. Itulah kenapa sains modern memilih berkembang dengan sangat lambat; menolak apapun yang tidak bisa buktikan. Tapi kau—”

    “Saya akan mengonsumsi ganja, opium, semua narkotika. Saya kan meniru orang-orang bijak dari Timur. Saya akan menguasai—”

    “Apa?”

    “Dimensi keempat.”

    “Teori gila!”

    “Mungkin. Tapi saya percaya kalau narkotika mampu memperluas kesadaran manusia. William James setuju, dan saya telah menemukan satu yang baru.”

    “Narkotika baru?”

    “Digunakan ratusan tahun yang lalu oleh alkemis Cina, tetapi belum dikenal di Barat. Daya yang dihasilkan luar biasa. Dengan bantuan benda ini, dan pengetahuan matematikal, saya yakin mampu kembali ke masa lalu.”

    “Aku tidak mengerti.”

    “Waktu hanyalah persepsi kita yang tidak sempurna atas ruang dimensi baru. Waktu dan gerak adalah ilusi. Semuanya yang ada sejak awal terbentuknya dunia, tetap ada sekarang. Kejadian yang terjadi ratusan tahun yang lalu, tetap berlanjut dalam ruang dimensi yang lain. Kejadian yang akan terjadi ratusan tahun di masa depan, saat ini telah terjadi. Kita tidak bisa memahami keberadaannya karena kita tidak bisa memasuki ruang dimensi yang memuat kejadian-kejadian itu. Manusia seperti yang kita tahu, hanya pecahan kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Setiap manusia terhubung dengan semua kehidupan yang telah mendahului mereka sebelumnya. Semua leluhur mereka adalah bagian dari dirinya. Hanya waktu yang memisahkannya dengan kakek-kakek buyutnya, dan waktu pula sebuah ilusi yang membuatnya tidak nyata.”

    “Kurasa aku paham maksudmu,” gumamku.

    “Pengetahuan ini cukup untuk tujuan saya jika kau bisa membentuk gagasan samar tentang apa yang ingin saya capai. Saya ingin menanggalkan tudung ilusi yang menutupi pandangan dan melihat awal dan akhir.”

    “Dan kau pikir narkotika baru ini akan membantumu?”

    “Saya yakin dan saya ingin kau membantu. Saya berencana menggunakannya segera. Saya tidak bisa menunggu. Saya harus melihat.” Tatapannya bersinar aneh. “Saya akan pergi, kembali ke masa lalu, melalui waktu.”

    Chalmers bangkit dan berjalan menuju perapian. Ketika ia berbalik menghadap padaku, ia memegang sebuah kotak kecil di tangan. “Di dalam sini, ada lima butir obat Liao. Obat ini yang digunakan alkemis Lai Tze, dan dengan pengaruhnya ia melihat Tao. Tao adalah gaya paling misterius di dunia; mengelili dan meresap pada semua hal; mengandung seluruh alam semesta dan semua yang kita sebut realita. Ia yang menangkap misteri Tao mampu melihat dengan jelas semua hal yang lalu dan akan datang.”

    “Omong kosong!” seruku.

    “Tao menyerupai binatang, terbaring, tidak bergerak. Dalam tubuhnya yang luar biasa besar ia mengandung semua dunia di alam semesta kita, masa lalu dan masa depan. Kita melihat bagian-bagian dari monster ini melalui celah-celah yang kita sebut waktu. Dengan bantuan obat ini, Saya akan memperbesar celah itu. Saya akan melihat figur kehidupan, seluruh bagian tubuh binatang itu.”

    “Dan apa yang kau ingin aku lakukan?”

    “Mengamati, temanku. Mengamati dan mencatat. Dan jika saya pergi terlalu jauh, kau harus memanggil saya kembali. Kau bisa memanggil saya dengan menggoncangkan tubuh saya dengan keras. Jika saya terlihat kesakitan, kau harus menyadarkan saya segera.”

    “Chalmers,” ucapku, “Aku berharap kau tidak melakukan eksperimen ini. Resikonya terlalu besar. Aku tidak percaya ada dimensi keempat dan sungguh tidak percaya pada Tao. Aku tidak setuju kau bereksperimen dengan narkotika yang tidak dikenal.”

    “Saya mengenal obat ini,” jawabnya. “Saya tahu betul bagaimana obat ini mempengaruhi manusia atau binatang, maupun bahayanya. Resikonya tidak berasal dari obat itu sendiri. Satu-satunya ketakutan saya hanya jika tersesat dalam waktu. Kau lihat, saya harus membantu obatnya. Sebelum mengonsumsinya, saya harus memusatkan perhatian pada simbol-simbol aljabar dan geometri yang ada di kertas ini.” Ia mengangkat grafik matematis yang sejak tadi berdiam di atas lututnya. “Saya harus mempersiapkan pikiran untuk bertamasya ke dalam waktu. Saya akan mendekati dimensi keempat dengan kesadaran pikiran penuh sebelum meminum obat ini yang akan membuat saya mampu menggunakan kekuatan persepsi gaib. Sebelum saya memasuki dunia mimpi dari mistik Timur, saya harus mendapatkan semua bantuan matematikal yang mampu diberikan sains modern. Pengetahuan matematikal ini, pendekatan kesadaran pada pemahaman dimensi keempat dari waktu. Obat ini akan membuka pemandangan baru yang menakjubkan—persiapan matematikal akan membuat saya mampu memahami pemandangan itu secara intelektual. Saya sudah sering menghadapi dimensi keempat itu dalam mimpi, dengan emosional dan intuitif tetapi saya belum pernah mampu mengingat kembali, ketika terjaga, kemegahan mistis yang sesaat terbuka pada saya.

    “Tetapi, dengan bantuanmu, saya yakin mampu mengingatnya kali ini. Kau akan mencatat semua yang saya katakan sementara saya berada di bawah pengaruh obat itu. Tidak peduli seberapa aneh atau kacaunya ucapan saya, kau harus mencatat semuanya. Ketika terbangun, saya mungkin bisa memberikan kunci tentang apapun yang aneh  maupun tidak masuk akal dari catatanmu. Saya tidak yakin bisa berhasil, tapi jika memang berhasil,” kedua matanya tiba-tiba bersinar, “waktu tidak akan berpihak pada saya lagi.”

    Chalmers terduduk seketika, “Saya harus melakukan eksperimen ini segera. Tolong berdirilah di sana dan perhatikan. Apa kau punya pena?”

    Aku mengangguk muram dan mengeluarkan Watermann berwarna hijau pucat dari saku atas rompiku.

    “Dan buku catatan, Frank?”

    Aku mengerang dan mengeluarkan buku memorandum. “Aku sungguh menentang eksperimen ini,” gumamku. “Kau menghadapi resiko yang sangat berbahaya.”

    “Jangan seperti wanita tua bodoh begitu!” tergurnya. “Ucapanmu tidak akan bisa menghentikan saya sekarang. Tolong diamlah selagi saya mempelajari grafik-grafik ini.”

    Chalmers mengangkat grafik-grafiknya dan mempelajari kertas itu dengan tekun. Aku menatap jam di atas perapian berdetik habis sementara rasa ingin tahu yang mengerikan meremas hatiku hingga aku terbatuk.

    Tiba-tiba, jam berhenti berdetak dan tepat saat itu Chalmers menelan obatnya.

    Aku bangkit secepat mungkin untuk mendekatinya tetapi matanya memohon padaku untuk tidak mengganggu. “Jamnya sudah berhenti,” gumamnya. “Gaya yang mengontrol jam itu membuktikan eksperimen ini. Waktu telah berhenti, dan saya menelan obatnya. Saya berdoa pada Tuhan agar tidak kehilangan jalan.”

    Ia menutup matanya dan bersandar pada sofa. Darah surut dari wajahnya, nafasnya terdengar sangat berat. Jelas obat itu telah bereaksi sangat cepat. 

    “Hari mulai gelap,” gumamnya. “Tulislah.. hari mulai gelap dan benda-benda familiar di ruangan ini perlahan memudar. Saya bisa melihat semuanya dengan samar melalui kelopak mata saya, tetapi semuanya memudar perlahan.”

    Aku mengguncang penaku untuk mengeluarkan tintanya dan menulis dengan cepat selagi Chalmers terus mendikte. 

    “Saya meninggalkan ruangan. Dinding-dindingnya menghilang dan saya tidak bisa melihat objek familiar lagi. Tetapi wajahmu masih terlihat. Saya harap kau tetap menulis. Sepertinya sebentar lagi saya akan melakukan lompatan besar—sebuah lompatan melintasi ruang. Atau mungkin saya akan melompat melintasi waktu. Saya tidak tahu. Semuanya gelap, kabur.”

    Ia duduk sebentar, dengan kepada tenggelam di dada. Lalu tiba-tiba tubuhnya kaku dan kelopak matanya membelalak terbuka. “Tuhan di surga!” teriak Chalmers, “Saya melihat!”

    Tubuh Chalmers menegang maju dari kursi, berhadapan dengan dinding. Tapi aku tahu ia melihat melewati dinding itu dan objek di dalam ruangan ini tidak ada lagi baginya. “Chalmers,” seruku, “Chalmers, apa aku perlu membangunkanmu?”

    “Jangan!” pekiknya. “Saya melihat semuanya! Semua milyaran kehidupan yang mendahului saya di planet ini muncul di hadapan saya sekarang. Saya melihat laki-laki dari segala usia, segala ras, segala warna. Mereka bertarung, membunuh, membangun, menari, bernyanyi. Mereka duduk mengitari api di tengah gurun sepi dan terbang membelah angkasa dengan monoplanes. Mereka mengendarai lautan dengan sampan dan kapal uap yang sangat besar; mereka melukis bison dan mammoth pada dinding gua dan menutup kanvas itu dengan desain futuristik yang sulit dimengerti. Saya melihat migrasi dari Atlantis. Saya melihat migrasi dari Lemuria. Saya melihat ras paling tua—gerombolan kurcaci hitam menguasai Asia dan para Neanderthal bongkok dan lutut menekuk mengamuk di seluruh Eropa. Saya melihat suku Achaeans menuju kepulauan Yunani dan awal terbentuknya budaya Hellenic. Saya berada di Athens dan Pericles masih sangat muda. Saya berdiri di tanah Italy. Saya bergabung dalam pemerkosaan wanita-wanita Sabine; saya berderap bersama Imperial Legions. Saya gemetar karena kagum dan rasa ingin tahu sementara moral yang luar biasa berlalu dan bumi bergejolak dengan tapak kaki berjaya hastati. Seribu budak telanjang bersujud saat saya lewat dengan tandu emas dan gading yang ditarik lembu sehitam malam dari Thebes dan para gadis-gadis pembawa bunga berteriak ‘Ave Caesar‘ saat saya mengangguk dan tersenyum. Saya sendiri seorang budak dalam galeri Moorish. Saya menyaksikan pendirian katedral agung. Batu demi batu berdiri, melewati bulan demi bulan dan tahun-tahun saya berdiri dan menyaksikan setiap batu disusun. Saya dibakar pada salib dengan kepala menghadap ke bawah di dalam taman berbau tyme di Nero dan dengan kegirangan dan hina, saya menyaksikan para penyiksa bekerja di ruang penyelidikan. 

    “Saya memasuki suaka paling suci; kuil Venus. Saya berlutut mengagumi Magna Mater, dan saya melempar koin ke lutut telanjang para gundik yang duduk dengan wajah bercadar di hutan Babylon. Saya menyusup ke dalam teater masa Elizabeth dengan bau rakyat jelata mengerubungiku lalu bertepuk tangan untuk The Merchant of Venice. Saya berjalan bersama Dante melalui jalanan sempit kota Florence. Saya bertemu dengan Beatrice muda dan tepian pakaiannya menyapu sandal saya sementara saya terpesona memandangnya. Saya adalah pendeta Isis, dan sihir yang saya miliki memesona seluruh negeri. Simon Magnus berlutut di hadapan saya, memohon bantuan dan Pharaoh gemetar ketika saya mendekatinya. Di India saya berbicara dengan pada Master dan berlari sambil berteriak menjauhi mereka karena wahyu yang mereka berikan seperti garam ditaburkan pada luka penuh berdarah.

    “Saya merasakan semuanya serentak. Saya merasakan semuanya dari segala sisi; saya adalah bagian dari padatnya milyaran kejadian di sekitar saya. Saya ada di semua laki-laki dan semua laki-laki ada di dalam diri saya. Saya melihat seluruh sejarah manusia dalam sekejap, masa lalu dan masa kini.

    “Dengan menyaring saya bisa melihat jauh dan lebih jauh ke belakang. Sekarang saya kembali melewati kurva dan sudut-sudut yang membingungkan. Kurva dan sudut-sudut yang membiak di sekitar saya. Saya melihat segmen-segmen waktu yang luar biasa melalui kurva-kurva itu. Waktu melengkung dan waktu bersudut. Makhluk yang berdiam di waktu bersudut tidak bisa memasuki waktu melengkung. Sungguh aneh.

    “Saya terus kembali ke masa lalu. Manusia telah menghilang dari bumi. Reptil-reptil raksasa mendekam di bawah tanaman raksasa dan berenang dalam danau berair hitam yang muram. Tidak ada binatang tersisa di atas tanah, tetapi di bawah air terlihat jelas, figur-figur hitam bergerak perlahan mengitari vegetasi yang telah membusuk. 

    “Figur-figur itu berubah menjadi lebih sederhana dan lebih sederhana. Kini mereka hanya sebuah sel tunggal. Semuanya tentang saya merupakan sudut—sudut aneh yang tidak memiliki pasangan di bumi. Saya sungguh ketakutan.

    “Sebuah jurang neraka yang tidak bisa dipahami manusia.”

    Aku menatapnya. Chalmers bangkit dan menggerakkan tangannya tanpa daya. “Saya melewati sudut yang tidak wajar; saya mendekati—oh sesuatu yang membakar dengan mengerikan!”

    “Chalmers!” teriakku. “Apa kau ingin aku membangunkanmu?”

    Ia mengangkat tangan kanannya dengan cepat ke wajah, seolah ingin meredam pemandangan yang mengerikan. “Belum!” teriaknya, “Saya akan melanjutkan. Saya akan melihat—apa—yang ada—di atas—”

    Keringat dingin muncul di dahinya dan bahunya tersentak berkali-kali. “Di atas kehidupan,” wajahnya memucat penuh kengerian, “ada hal-hal yang tidak bisa saya kenali. Mereka bergerak perlahan melewati sudut-sudut. Mereka tidak bertubuh, dan mereka bergerak dengan sangat pelan melewati sudut-sudut yang mustahil.”

    Saat itulah aku menyadari bau yang muncul di dalam ruangan. Bau tajam yang tidak bisa dijelaskan, sangat memuakkan hingga aku tidak bisa menahannya. Aku bergerak dengan cepat mendekati jendela dan membukanya lebar-lebar. Saat aku berbalik pada Chalmers dan menatap matanya, aku hampir pingsan. 

    “Saya rasa mereka telah mengendus saya!” jeritnya. “Mereka perlahan berbelok ke arah saya.”

    Tubuh Chalmers gemetar hebat. Untuk sesaat ia mencakar udara dengan kedua tangannya. Lalu kakinya melemas dan ia terperosok jatuh menghantamkan wajahnya ke lantai, kejang dan mengerang. 

    Aku melihatnya dalam diam sementara Chalmers menyeret tubuhnya di lantai. Ia bukan lagi manusia. Giginya telanjang dan ludah menetes dari ujung bibirnya.

    “Chalmers!” seruku, “Chalmers, berhenti! Berhenti! Apa kau mendengarku?”

    Seolah menjawab pertanyaanku, ia mengeluarkan suara erangan parau yang tidak menyerupai apapun selain gonggongan anjing, dan menggeliat membentuk lingkaran. Aku berlutut dan mencengkram bahunya. Dengan kasar dan putus asa, aku menggoncangkan tubuhnya. Chalmers memutar kepalanya dan mencaplok pergelangan tanganku. Meskipun begitu ketakutan, aku tidak melepaskan cengkeramanku pada bahunya karena khawatir ia akan menghancurkan dirinya sendiri dalam kemarahan yang meledak-ledak.

    “Chalmers,” gumamku, “kau harus berhenti. Tidak ada apapun di ruangan ini yang bisa melukaimu. Kau mengerti?” 

    Aku terus mengguncang tubuhnya dan perlahan kegilaan itu surut dari wajahnya. Gemetar, ia mendekam di atas karpet. 

    Aku membawanya ke sofa dan mendudukkannya di sana. Wajahnya kesakitan dan aku tahu ia masih kesakitan dan kesulitan untuk keluar dari memori mengerikan itu.

    “Wiski,” gumamnya. “Ada botol dalam kabinet di sebelah jendela—laci kiri atas.”

    Aku mengulurkan wiski, jemarinya mencengkram botol itu hingga buku-buku jarinya berwarna biru. “Mereka hampir mendapatkanku,” ujarnya, terkesiap. Wiski itu tandas dengan beberapa tegukan saja dan perlahan wajahnya kembali berwarna. 

    “Obat itu sangat buruk!” gumamku.

    “Bukan obatnya,” erang Chalmers. 

    Matanya tidak lagi membelalak, tapi wajahnya masih tampak seolah jiwanya belum kembali. 

    “Mereka mengendusku di dalam waktu,” ucapnya. “Aku pergi terlalu jauh.”

    “Seperti apa mereka?” tanyaku, untuk menanggapinya.

    Chalmers mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencengkram tanganku. Ia gemetar hebat. “Tidak ada kata-kata dalam bahasa kita yang bisa mendeskripsikan mereka!” Ia bicara dengan suara berbisik yang parau. “Mereka tersimbolisasi dengan samar dalam mitos Kejatuhan, dan dalam bentuk saru yang terkadang ditemukan terukir pada tablet-tablet kuno. Orang Yunani menamai mereka, menutupi sifat keji mereka. Pohon, Ular dan Apel—simbol-simbol ini adalah simbol paling samar dari hampir semua misteri.”

    Suaranya meninggi menjadi teriakan. “Frank, Frank, perbuatan amat buruk telah dilakukan di awal waktu. Sebelum waktu, perbuatan itu, dan dari perbuatan itu—”

    Chalmers bangkit dan mondar-mandir di dalam ruangan. “Benih dari perbuatan itu bergerak melewati sudut dalam ceruk-ceruk gelap dari waktu. Mereka lapar dan haus!”

    “Chalmers,” panggilku untuk menenangkannya. “Kita hidup di dekade ketiga dari abad kedua puluh.”

    “Mereka kurus dan haus!” jeritnya. “Anjing-anjing pemburu dari Tindalos!”

    “Chalmers, perlukah aku menghubungi doktermu?”

    “Seorang dokter tidak bisa membantu sekarang. Mereka sangat mengerikan, dan lagi—” Chalmers menyembunyikan wajahnya di telapak tangan dan mengerang— “mereka nyata, Frank. Saya melihat mereka untuk sesaat yang mengerikan. Untuk sesaat saya berdiri di sisi lain. Saya berdiri di pantai muram di batas ruang dan waktu. Dalam cahaya mengerikan yang sebenarnya bukan cahaya, dalam kesunyian yang menjerit, saya melihat mereka.”

    “Seluruh kekejian di dunia ini berkumpul dalam tubuh mereka yang kurus dan kelaparan. Apakah mereka punya tubuh? Saya melihat mereka hanya sekejap; saya tidak yakin. Tapi saya mendengar mereka bernapas. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, untuk sesaat saya merasakan nafas mereka di wajah saya. Mereka menoleh dan saya lari. Dalam satu momen saya berlari sambil berteriak melewati waktu. Saya berlari menembus satu milyar tahun. 

    “Tapi mereka sudah mengendus saya. Manusia yang membangunkan mereka dalam kelaparan kosmik. Kita berhasil melarikan diri, untuk sementara, dari kekejian yang mengitari mereka. Mereka haus akan sesuatu dari kita yang masih bersih, yang muncul dari perbuatan tanpa noda. Ada bagian dari diri kita yang tidak ambil bagian dalam perbuatan keji itu dan mereka membencinya. Tapi, jangan membayangkan kalau mereka benar-benar keji. Mereka lebih di atas baik dan buruk yang kita pahami. Mereka adalah sesuatu yang, saat awal mula, jatuh dari kesucian. Tapi mereka tidak jahat dalam pengertian kita karena dalam dunia mereka tidak ada pemikiran, tidak ada moral, tidak ada salah dan benar seperti yang kita pahami. Hanya ada suci dan kotor. Yang kotor, jahat dan keji muncul melalui sudut-sudut; sedangkan yang suci muncul melalui kurva. Manusia, bagian suci darinya, diwarisi dari kurva. Jangan tertawa, aku bersungguh-sungguh.”

    Aku bangkit berdiri dan mencari topiku. “Oh maafkan aku, Chalmers,” ucapku, selagi berjalan menuju pintu. “Tapi aku tidak bisa tinggal dan mendengarkan omong kosong ini. Akan kukirimkan dokter untuk memeriksamu. Dia sudah tua dan tidak akan tersinggung jika kau mengusirnya. Tapi aku berharap aku akan mendengarkan sarannya. Satu minggu di sanatorium akan baik untukmu.”

    Aku mendengarnya tertawa sementara melangkah menuju pintu, tapi suara tawanya begitu suram hingga membawaku merasa suram. 

    2

    Ketika Chalmers menelponku keesokan harinya, impuls pertamaku adalah untuk menutup teleponnya segera. Permintaannya begitu aneh dan suaranya terdengar histeris hingga aku merasa interaksi lebih lanjut dengannya akan membuatku gila. Tetapi aku tidak bisa meragukan ketulusan atas penderitaannya, dan ketika ia roboh sepenuhnya dan aku mendengar isak tangisnya dari seberang telepon, aku memutuskan untuk memenuhi permintaannya.

    “Baiklah,” ucapku. “Aku akan segera ke sana dan membawa semen.”

    Dalam perjalanan menuju kediaman Chalmers, Aku berhenti sebentar di toko bangunan dan membeli dua puluh kemasan sepuluh kilogram semen gipsum. Ketika aku memasuki kamar kawanku, ia tengah merunduk di depan jendela memandang ke seberang ruangan dengan mata ketakutan. Ketika ia melihatku masuk, Chalmers bangkit dan merebut bungkusan semen dengan gerakan yang mengejutkan dan mengerikan. Chalmers telah menyingkirkan semua perabot dan ruangan itu tampak begitu sunyi.

    “Kita mungkin bisa menghalangi mereka!” serunya. “Tapi kita harus cepat. Frank, ada tangga di lorong. Bawa kemari, cepat. Lalu ambilkan seember air.”

    “Untuk apa?” gumamku.

    Chalmers menengok cepak padaku dan wajahnya tampak merah padam. “Untuk dicampur dengan semen, bodoh!” teriaknya. “Untuk mencampur semen yang akan menyelamatkan hidup kita dari kontaminasi. Untuk mencampur semen yang akan menyelamatkan dunia dari—Frank, kita harus menghalangi mereka masuk!”

    “Siapa?” gumamku.

    “Anjing-anjing Tindalos!” jawabnya. “Mereka hanya bisa mencapai kita dari sudut. Kita harus menyingkirkan semua sudut dari ruangan ini. Saya akan menutup sudut ruangan ini dengan semen, semua celah. Kita harus membuat ruangan ini menyerupai  bola.”

    Aku tahu tidak ada gunanya berdebat dengannya. Jadi aku mengambil tangga, Chalmers mencampur semen dan selama tiga jam kami bekerja. Kami menutup tiga sudut dinding, titik temu lantai dengan dinding, dinding dengan langit-langit, dan kami melengkungkan sudut tajam dari kusen jendela.

    “Aku akan tinggal di ruangan ini sampai mereka kembali ke dalam waktu,” ujarnya ketika kami selesai. “Ketika mereka menyadari bahwa aroma bisa melewati lengkungan, mereka akan kembali. Mereka akan kembali kelaparan, mendesis, marah akibat perbuatan buruk yang terjadi di awal, sebelum waktu, di atas ruang.”

    Chalmers mengangguk dan menyalakan sigaret. “Kau sangat baik telah membantu,” ucapnya.

    “Kau tidak akan bertemu dokter, Chalmers?” pintaku.

    “Mungkin—besok,” gumamnya. “Tapi sekarang, saya harus menunggu dan waspada.”

    “Menunggu apa?” selaku.

    Chalmers tersenyum lemah. “Kau pikir saya gila,” ucapnya. “Pikiranmu sangat prosaik, dan kau tidak bisa menerima sebuah entitas yang keberadaannya tidak bergantung pada gaya dan materi. Tapi tidakkah terpikir olehmu, kawanku, bahwa gaya dan materi hanya membatasi persepsi yang ditanamkan waktu dan ruang? Ketika satu orang tahu, seperti saya, bahwa waktu dan ruang itu identik dan juga menipu karena keduanya tidak lebih dari manifestasi tidak sempurna dari realitas yang lebih tinggi, manusia tidak lagi mencari penjelasan tentang makhluk misteri dan teror di dunia ini.”

    Aku bangkit dan berjalan menuju pintu.

    “Maafkan saya,” serunya. “Saya tidak bermaksud menyinggungmu. Kau memiliki kecerdasan superfisial, tapi saya—saya punya kecerdasan superhuman. Wajar jika saya sadar keterbatasanmu.”

    “Telpon aku jika kau butuh sesuatu,” ucapku lalu menuruni tangga dua langkah sekaligus. “Akan kukirim dokter segera,” gumamku, pada diriku sendiri. “Dia maniak, dan hanya surga yang tahu apa yang akan terjadi jika seseorang tidak memeriksa Chalmers segera.”

    3

    Berikut ini adalah kumpulan dua pengumuman yang muncul di koran The Partridgevill Gazette edisi 3 Juli 1928:

    Gempa Bumi  Mengguncang Daerah Keuangan

    Pada pukul 2 dini hari sebuah gempa bumi mengguncang beberapa jendela kaca di Central Square, mengacaukan sistem listrik dan jalur kereta. Guncangan itu berasal dari distrik terpencil dan menara Gereja The First Baptist di bukit Angle Hill (didesain oleh Christopher Wren pada 1717) runtuh karenanya. Pemadam kebakaran mencoba memadamkan api yang mengancam bengkel Partridgeville. Walikota menjanjikan investigasi menyeluruh dan perbaikan segera akibat bencana ini.

    PENULIS OKULTISME DIBUNUH OLEH TAMU TAK DIKENAL

    Kejahatan Mengerikan di Central Square

    Misteri Mengelilingi Kematian Halpin Chalmers

    Pukul 9 pagi ini, jasad Halpin Chalmers, penulis dan jurnalis, ditemukan di sebuah ruang kosong di atas toko perhiasan, Smithwick and Isaacs, blok 24 Central Square. Investigasi koroner mendapati ruangan itu telah disewa lengkap dengan perabotnya oleh Mr. Chalmers pada 1 Mei, dan dia sendiri telah menyingkirkan perabotan itu malam sebelumnya. Chalmers adalah penulis dari beberapa buku tentang okultisme dan anggota Bibliographic Guild. Sebelumnya, ia tinggal di Brooklyn, New York.

    Pada pukul 7 pagi, Mr. L. E. Hancock, yang menempati apartemen di seberang unit Chalmers di gedung yang sama, mencium bau aneh ketika ia membuka pintu untuk membiarkan kucingnya masuk dan mengambil koran. Menurutnya, bau itu asam dan sangat memuakkan, dan ia yakin bahwa baunya berasal dari kamar Chalmers hingga ia harus menutup hidungnya ketika menuju lorong.

    Ketika hendak kembali ke apartemennya, terpikir olehnya mungkinkan Chalmers lupa mematikan gas di dapur. Sangat khawatir karena pemikiran itu, ia memutuskan untuk memeriksa dan ketika berkali-kali mengetuk pintu tetapi tidak ada respon, ia melapor pada pengawas gedung. Petugas kemudian membuka pintu dengan kunci cadangan, dan keduanya segera masuk. Ruangan itu kosong tanpa perabot sama sekali, dan ketika Hancock mengamati lantai, hatinya tiba-tiba terasa dingin. Tanpa bicara satu kata pun, si pengawas membuka jendela dan menatap gedung di seberang selama lima menit penuh. 

    Chalmers terbaring di lantai, di tengah ruangan dalam keadaan telanjang. Dada dan lengannya dipenuhi nanah kebiruan. Kepalanya terbaring dengan posisi aneh dengan kondisi remuk terputus dari tubuhnya. Tidak ada jejak darah sama sekali.

    Ruangan itu tidak kalah aneh. Sudut pertemuan antara dinding, lantai dan langit-langit telah ditutupi dengan semen tebal. Tetapi di antara sudut-sudut itu, bongkahan semen telah remuk dan terjatuh ke lantai. Tampaknya seseorang mengumpulkan bongkahan itu di sekitar jasad Chalmers dan menyusunnya membentuk segitiga. 

    Di sebelah jasad Chalmers, beberapa lembar kertas catatan kuning berserakan di sana-sini. Kertas-kertas itu berisi desain geometris, simbol dan kalimat-kalimat yang ditulis tergesa-gesa. Kalimat-kalimat itu hampir tidak dapat dibaca dengan konteks tidak masuk akal sehingga mustahil menunjukkan pelaku. “Saya menunggu dan memperhatikan.” Tulis Chalmers. “Saya duduk di depan jendela dan memperhatikan dinding dan langit-langit. Saya yakin mereka tidak bisa menyentuh saya, tapi saya harus waspada pada the Doels. Mungkin mereka bisa membantu mereka lepas. Para satir akan membantu, dna mereka bisa maju melewati lingkaran merah. Orang-orang Yunani tahu cara mencegahnya. Sungguh disayangkan kita telah melupakan semuanya.”

    Pada lembar yang lain, lembar yang paling rusak menjadi tujuh atau delapan bagian yang ditemukan Detektif Douglas, tertulis:

    “Tuhan yang maha baik, semennya jatuh! Sebuah gempa bumi meruntuhkan semen dan bongkahannya jatuh. Gempa bumi! Saya tidak pernah mengantisipasi hal ini. Ruangan ini mulai gelap. Saya harus menelpon Frank. Tapi, bisakah ia datang tepat waktu? Saya akan mencoba. Saya akan membacakan formula Einstein. Saya akan—Tuhanku! Mereka datang! Mereka menembus! Asap mengalir dari sudut dinding. Lidah mereka—Aaaa—”

    Menurut pendapat Detektif Douglas, Chalmers telah diracun dengan semacam bahan kimia. Ia telah mengirim nanah kebiruan di tubuh Chalmers ke Laboratorium Kimia Partridgevile; dan berharap hasilnya akan memberikan titik terang pada salah satu dari kejahatan paling misterius abad itu. Bahwa Chalmers menerima tamu pada malam sebelum gempa bumi, adalah hal pasti, karena tetangganya mendengar suara gumam percakapan di ruangan itu ketika ia lewat menuju tangga. Kecurigaan kuat ditujukan pada tamu tak dikenal ini dan polisi berusaha keras mengungkap identitasnya.

    4

    Laporan dari James Morton, ahli kimia dan bakteriologi:

    Kepada Mr. Douglas:

    Cairan yang Anda kirimkan untuk dianalisa merupakan hal paling aneh yang pernah saya teliti. Cairan itu menyerupai protoplasma hidup, tetapi cairan itu tidak memiliki zat khusus bernama enzim. Enzim merupakan katalis untuk reaksi kimia yang terjadi pada sel hidup, dan ketika sel mati, zat itu akan hancur karena hidrolisasi. Tanpa enzim, protoplasma seharusnya memiliki vitalitas untuk bertahan cukup lama, dengan kata lain, immortal. Bisa dikatakan, enzim adalah komponen negatif dari organisme seluler, yang merupakan dasar semua kehidupan. Bahwa makluk hidup dapat terbentuk tanpa enzim adalah mustahil bagi ahli biologi. Belum lagi zat yang Anda kirim pada saya masih hidup dan tidak memiliki enzim. Demi Tuhan, tuan, apa Anda sadar kemungkinan baru yang kini terbuka?

    5

    Kutipan dari The Scarlet Watcher karya mendiang Halpin Chalmers:

    Bagaimana jika, paralel dengan kehidupan yang kita tahu, ada kehidupan lain yang tidak pernah mati, tidak memiliki elemen yang menghancurkan kehidupan kita? Mungkin, di dimensi lain terdapat kekuatan berbeda yang darinya kehidupan kita tercipta. Mungkin kekuatan ini memancarkan energi yang melewati dimensi tak dikenal ini menuju dimensi kita dan menciptakan sebentuk sel kehidupan baru. Tidak ada yang tahu bahwa sel baru itu hidup dalam dimensi kita. Ah, tapi Saya telah bicara dengan the Doels. Dan dalam mimpi, saya melihat pertanda dari mereka. Saya telah berdiri di atas pantai muram di batas ruang dan waktu dan telah melihat-nya. Sel itu bergerak melalui kurva dan sudut aneh. Suatu hari, saya akan bepergian dalam waktu dan menemui-nya sekali lagi, empat mata.

  • 2 B R 0 2 B [Kurt Vonnegut]

    author = Devi Santi Ariani

    Semuanya benar-benar sempurna.

    Tidak ada penjara, gelandangan, rumah sakit jiwa, orang-orang cacat, kemiskinan, atau pun perang. Semua penyakit telah ditaklukan, begitu juga dengan masa tua. Populasi masyarakat Amerika stabil di angka empat puluh milyar jiwa.

    Suatu pagi yang cerah, di sebuah Rumah Sakit Chicago Lying-in, seorang pria bernama Edward K. Wehling, Jr., menunggui istrinya yang tengah bersalin. Ia satu-satunya yang menunggu. Tidak lagi banyak bayi yang lahir dalam sehari.

    Wehling berusia enam puluh enam tahun, masih tergolong sangat muda dalam populasi dimana semua orang rata-rata berumur seratus dua puluh sembilan tahun. Hasil X-ray menunjukkan bahwa istrinya akan melahirkan bayi kembar tiga. Tiga bayi itu adalah anak pertamanya. 

    Wehling muda duduk membungkuk di kursi, kepalanya ditumpukan pada kedua telapak tangan. Ia sangat kusut, tidak banyak bergerak dan pucat hampir tembus pandang. Kamuflase yang sempurna melihat suasana ruang tunggu juga sesuram dirinya. Kursi-kursi dan asbak telah disingkirkan, lantai ditutupi tumpukan lap penuh percikan cat. Ruangan itu sedang didekorasi ulang. Didekorasi sebagai memperingati seorang pria yang telah meninggal dengan suka rela. 

    Seorang pria getir berusia sekitar dua ratus tahun, duduk di atas tangga, melukis sebuah mural yang tidak ia suka. Dulu, pada hari-hari dimana penuaan dapat dilihat dengan mata telanjang, orang-orang akan mengira ia berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Ia telah menua selama itu sebelum obat anti penuaan ditemukan. 

    Mural yang sedang ia kerjakan menggambarkan sebuah kebun yang sangat rapi. Pria dan wanita berpakaian putih, dokter-dokter dan suster-suster, mengolah tanah, menanam benih, menyiangi serangga dan menaburkan pupuk.

    Pria dan wanita dalam pakaian serba ungu mencabuti rumput, menebang tumbuhan yang sudah tua dan rapuh, menyapu dedaunan dan membawanya ke pembakar sampah. Tidak pernah ada satu kebun pun—bahkan tidak di Belanda pada abad pertengah atau Jepang, yang begitu dirawat seperti kebun pada lukisan itu. Setiap tanaman mendapatkan semua hal yang mereka butuhkan; cahaya, air, udara dan nutrisi.

    Seorang perawat berjalan menyusuri koridor sambil menyenandungkan sebuah lagu populer:

    Jika kau tak suka ciumanku, sayang,

    Ini yang akan kulakukan:

    Akan kutemui gadis berbaju ungu,

    Dan ucapkan selamat tinggal pada dunia yang sendu,

    Jika kau tak inginkan cinta ini,

    Kenapa juga dunia harus ku isi?

    Kan kutinggalkan planet tua ini,

    Oleh bayi manis, biar tempatku diganti.

    Perawat itu menatap si Pelukis dan muralnya. “Terlihat sangat nyata,” ucapnya, “Sampai-sampai bisa ku banyangkan diriku berdiri di dalamnya.”

    “Apa yang membuatmu berpikir kau tidak berada di dalamnya?” ucap si Pelukis. Ia tersenyum satir, “Kau tahu, mural ini berjudul ‘Kebun Kehidupan yang Bahagia’.”

    “Itu lukisan Dr. Hitz yang sangat bagus,” ucap si Perawat. 

    ___

    Ia menunjuk saah satu figur berpakaian putih, yang kepalanya diisi potret Dr. Benjamin Hitz, kepala obstetri rumah sakit itu. Ketampanannya Hitz begitu membutakan.

    “Masih banyak wajah yang harus diisi,” ujar si Perawat. Maksud ucapannya adalah banyak wajah dari figur-figur dalam mural itu masih kosong. Wajah-wajah kosong itu akan diisi dengan potret dari orang-orang penting dari staff rumah sakit atau Kantor Biro Penghentian Federal Kota Chicago.

    “Pasti luar biasa rasanya bisa menggambar sesuatu semirip aslinya,” ujar si Perawat.

    Wajah si Pelukis membeku dalam ekspresi mencemooh, “Kau pikir aku bisa bangga dengan lukisan dangkal semacam ini?” ucapnya. “Kau pikir seperti ini menurutku kehidupan seharusnya?”

    “Memang bagaimana menurutmu kehidupan seharusnya?” tanya si Perawat.

    Si Pelukis melambaikan tangannya pada kain lap kotor. “Ini perumpamaan yang bagus,” ucapnya. “Bingkailah, dengan begitu kau bisa bayangkan gambaran yang jauh lebih jujur daripada yang ada di dinding ini.”

    “Kau ini bebek tua yang sangat murung, bukan begitu Pak Tua?”

    “Apa itu salah?” ucap si Pelukis.

    Si Perawat mengangkat bahu. “Kalau kau tak suka di sini, Kakek Tua—” ucap si Perawat, dan ia menyelesaikan kalimatnya dengan pengucapan nomor telepon untuk orang-orang yang sudah tak mau hidup lagi. Angka nol dalam rangkaian nomor telepon itu dibaca “naught”, kosong.

    Nomornya adalah “2BR02B.”

    Itu adalah nomor telepon sebuah institusi yang punya banyak julukan termasuk : “otomat,” “Pulau Burung,” “Pabrik Pengalengan,” “Easy Go,” “Selamat tinggal, Ibu,” “Happy Hooligan,” “Sheepdip,” “Tak-Ada-Tangis-Lagi,” dan “Kenapa khawatir?”

    2BR02B, to be or not to be adalah nomor telepon Ruang Eksekusi Kota milik Biro Penghentian Federal.

    Si Pelukis menjempol hidungnya di depan perawat. “Ketika aku memutuskan untuk mati,” ujarnya, “aku tak akan mati di tempat itu.”

    “Kau lebih suka melakukannya sendiri, ya?” timpal si Perawat. “Itu perkara kacau dan merepotkan, Kakek Tua. Kenapa kau tidak memikirkan orang-orang yang harus membersihkan sisa-sisa mu?”

    Si Pelukis memperlihatkan dengan seksama, ketidakpeduliannya atas kerepotan orang-orang yang harus melakukan pembersihan.

    “Dunia ini butuh lebih banyak kekacauan, kalau kau tanya padaku,” ucapnya.

    Si Perawat tertawa dan berlalu pergi. Wehling, si Calon Ayah, menggumamkan sesuatu tanpa mengangkat kepala. Dan kemudian, ia kembali terdiam. 

    Seorang wanita yang nampak tangguh melangkah kasar dengan sepatu hak tinggi. Sepatunya, stoking, jubah, tas dan topi; semuanya ungu. Warna ungu yang dideskripsikan si Pelukis sebagai ‘warna anggur saat Hari Penghakiman’.

    Medali pada tas musette ungunya adalah tanda dari Divisi Pelayanan, Biro Penghentian Federal; seekor elang bertengger di atas pintu putar.

    Si Wanita punya banyak sekali bulu wajahnya, sebuah kumis. Itu bukan lagi hal aneh tentang penjaga kamar eksekusi, tidak peduli seberapa cantik dan feminim mereka saat direkrut, semuanya akan berkumis dalam waktu lima tahun. 

    “Apakah ini tempat yang seharusnya saya kunjungi?” ujarnya pada si Pelukis.

    “Tergantung apa keperluanmu,” timpalnya. “Kau tidak akan melahirkan, bukan?”

    “Mereka bilang saya harus berpose untuk mural,” jawabnya. “Nama saya Leora Duncan.” 

    Ia berhenti, menunggu.

    “Dan kau mendorong orang-orang?” ucapnya.

    “Apa?” jawab Leora.

    “Lupakan,” ucap si Pelukis.

    “Itu lukisan yang sangat menawan,” ujar Leora kemudian. “Terlihat seperti surga atau semacamnya.”

    “Atau semacamnya,” ujar si Pelukis. Ia mengambil daftar nama dari saku. “Duncan, Duncan, Duncan,” ujarnya, memindai daftar. “Ya—ini dia. Kau harus dilukis. Kau lihat tubuh-tubuh tanpa wajah ini, pilihlah. Putuskan dimana kau ingin aku menempelkan wajahmu. Kita punya beberapa pilihan saja yang tersisa.”

    Si Wanita mempelajari mural dengan suram, “Wah,” ujarnya, “semuanya keliatan sama bagiku. Aku tidak tahu apa-apa soal seni.”

    “Tubuh ya cuma tubuh, ya?” ucap si Pelukis. “Baiklah, sebagai ahli seni rupa, aku merekomendasikan yang satu ini.” Ia menunjuk lukisan tubuh tanpa wajah seorang wanita yang membawa tongkat pembakar sampah.

    “Umm..” gumam Duncan, “yang itu lebih cocok untuk bagian pembuangan, kan? Pekerjaanku lebih melayani, bukan membuang.”

    Si Pelukis menangkupkan telapak tangannya dengan gaya mengejek. “Tadi kau bilang tak tahu apa-apa soal seni, lalu kau membuktikan kau tahu lebih banyak dari yang aku tahu! Tentu saja yang itu tidak pantas untuk penyambut tamu sepertimu kan. Kau lebih seperti penembak jitu, pemotong—ya lebih cocok untukmu.” Ia menunjuk figur berbaju ungu yang tengah memotong ranting mati dari dahan pohon apel. “Bagiamana dengan yang ini?” ucapnya. “Kau suka?”

    “Ya ampun—” ucap Duncan, bersemu malu—“Itu, kalau yang itu, aku akan akan berdiri di samping Dr. Hitz.”

    “Itu mengganggumu?” tanya si Pelukis.

    “Tentu tidak!” jawabnya. “Hanya—hanya saja, itu sebuah kehormatan.”

    “Ah, kau.. kau mengaguminya, ha?” ujar si Pelukis.

    “Siapa yang tidak mengagumi Dr. Hitz?” ucap Duncan, tatapannya memuja lukisan Hitz. Potretnya bak Zeus, berkulit coklat, berambut putih, pria berumur dua ratus empat puluh tahun yang maha kuasa. 

    “Siapa yang tidak mengaguminya?” ulang Duncan. “Ia bertanggung jawab membangun kamar eksekusi pertama di Chicago.”

    “Tak ada yang lebih menggembirakanku,” ucap si Pelukis, “daripada menempatkanmu di samping Dr. Hitz selamanya. Menggergaji ranting— yang menurutmu tepat?”

    “Itu hampir seperti apa yang aku lakukan,” ucapnya. Tentang pekerjaannya, cara bicaranya seketika melembut. Yang dia lakukan adalah membuat orang-orang merasa nyaman selagi ia membunuh mereka.

    Dan, sementara Leora Duncan berpose untuk mural, ke dalam ruang tunggu masuklah Dr. Hitz.

    Ia setinggi tujuh kaki, auranya menguarkan rasa penting, prestasi dan kesenangan hidup.

    “Wah, Nona Duncan! Nona Duncan!” ucapnya, disusul sebuah lelucon, “Apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan tempat orang-orang ingin pergi, ini tempat orang-orang akan datang!”

    “Kita akan berada dalam sebuah lukisan yang sama,” ucapnya malu-malu.

    “Bagus!” ucap Dr. Hitz sepenuh hati. “Dan, oh, lihatnya.. bukankah lukisannya menakjubkan?”

    “Saya merasa sangat terhormat bisa ada di dalamnya bersama Anda,” ucap Duncan.

    “Biar kuberi tahu sesuatu,” ucap Dr. Hitz, “Aku lebih merasa terhormat berada dalam lukisan yang sama denganmu. Tanpa wanita sepertimu, dunia kita yang mengagumkan ini tidak akan mungkin ada.”

    Ia memberi hormat, dan berlalu menuju ruang bersalin. “Tebak siapa yang baru saja lahir,” ucapnya.

    “Aku tidak tahu,” jawab Duncan.

    “Kembar tiga!” ujarnya.

    “Kembar tiga!” seru Duncan. Ia berseru karena teringat implikasi hukum tentang bayi kembar tiga. Hukum menetapkan bahwa tidak ada bayi yang bisa lahir kecuali orang tuanya menemukan seseorang yang rela mati untuk memberikan tempat pada bayi itu. Kembar tiga, dan jika semuanya hidup itu artinya tiga sukarelawan untuk bunuh diri.

    “Apakah orang tuanya sudah menemukan sukarelawan?” tanya Leora Duncan.

    “Kabar terakhir,” ujar Dr. Hitz, “mereka hanya punya satu, dan sedang berusaha mencari dua lagi.”

    “Aku tidak yakin,” ucap Leora Duncan. “Tidak ada yang membuat janji untuk tiga orang dengan divisi kami. Hari ini hanya ada janji tunggal, kecuali ada yang menelpon setelah aku pergi. Siapa namanya?”

    “Wehling,” jawab si Calon Ayah. Berdiri; matanya merah, rambutnya acak-acakan. “Namanya Edward K. Wehling, Jr. Saya, calon Ayah yang berbahagia.” Wehling mengangkat tangan kanannya, menatap sebuah noda di dinding dan tertawa serak. “Hadir,” ujarnya.

    “Oh, Tuan Wehling,” ucap Dr. Hitz, “Aku tidak melihatmu di sana.”

    “Si Pria Tak Tampak,” ucap Wehling.

    “Mereka baru saja memberi kabar, ketiga bayimu telah lahir,” ucap Dr. Hitz. “Semuanya sehat, begitu juga dengan ibunya. Aku dalam perjalanan menemui mereka.”

    “Hore,” seru Wehling dengan hampa.

    “Kau tidak terlihat bahagia,” ucap Dr. Hitz.

    “Pria mana yang tidak bahagia, jika berada di posisiku saat ini?” tanya Wehling. Ia mengayunkan tangannya seolah tidak peduli, “Yang harus aku lakukan hanya memilih satu dari ketiga anak kembarku untuk bisa hidup dan mengantar kakek kandungku untuk dieksekusi lalu kembali ke sini membawa sebuah surat keterangan.”

    Dr. Hitz menatap Wehling dengan tajam. Ia menegakkan tubuhnya yang menjulang di atas Wehling, “Anda tidak setuju dengan usaha pengontrolan populasi, Tuan Wehling?” ucapnya.

    “Saya kira usaha itu sudah sangat sempurna,” jawab Wehling tegang.

    “Apa kau lebih suka kita kembali ke masa lalu, ketika populasi bumi masih dua puluh milyar—menuju empat puluh milyar, lalu delapan puluh milyar, lalu seratus enam puluh milyar? Apa kau tahu apa itu drupelet, Tuan Wehlin?” ujar Hitz.

    “Tidak,” ucap Wehling bersungut.

    Drupelet,” Tuan Wehling, “adalah sebuah ranting kecil pada sebonggol buat beri hitam,” ucap Hitz. “Tanpa kontrol populasi, saat ini, manusia akan berdesakan di Bumi kita yang tua ini seperti sebonggol buah beri! Pikirlah!”

    Wehling kembali menatap noda pada dinding rumah sakit.

    “Di tahun 2000,” ucap Dr. Hitz, “sebelum ilmuwan ikut campur dan menetapkan undang-undangan, kita tidak punya cukup air minum untuk semua orang, dan tidak ada yang bisa dimakan selain rumput laut—dan meskipun begitu, orang-orang tetap menuntut hak untuk bereproduksi seperti kelinci. Dan juga hak, jika mungkin, untuk hidup abadi.”

    “Aku menginginkan anak-anakku,” ucap Wehling pelan, “Ketiganya.”

    “Tentu saja,” ucap Dr. Hitz, “Itu normal.”

    “Aku juga tidak ingin Kakekku mati,” ucap Wehling.

    “Tidak ada orang yang suka memasukkan saudara kandung mereka ke Kotak Kucing,” ucap Hitz dengan simpati.

    “Aku harap orang-orang tidak menyebutnya begitu,” ujar Leora Duncan.

    “Apa?” tanya Dr. Hitz.

    “Aku berharap orang-orang tidak menyebutnya ‘Kotak Kucing’, atau semacamnya,” ucap Duncan. “Sebutan itu memberi kesan yang salah.” 

    “Kau benar,” ucap Dr. Hitz. “Maafkan aku,” ia mengkoreksi dirinya sendiri, lalu menyebut Ruang Eksekusi Kota dengan nama resminya, sebutan yang tidak pernah digunakan orang dalam percakapan mana pun. “Seharusnya aku sebut dengan Studio Bunuh Diri Etis,” ucapnya.

    “Terdengar lebih baik,” ucap Leora Duncan.

    “Anakmu—yang mana pun yang kau putuskan untuk bisa hidup, Tuan Wehling,” ucap Dr. Hitz. “Ia akan hidup bahagia di planet yang lapang, bersih, dan kaya—semua berkat kontrol populasi yang kami lakukan. Persis seperti lukisan taman itu.” Ia menggeleng. “Dua abad lalu, ketika aku masih muda, tempat ini seperti neraka yang kelihatannya tidak akan bertahan hingga dua puluh tahun. Abad ini, adalah abad yang damai. Tempat ini seluas imaginasi kita sanggup berkelana.”

    Senyumnya tersimpul. 

    Namun senyum itu hilang ketika ia melihat Wehling mengeluarkan sebuah revolver.

    Wehling menembak mati Dr. Hitz. “Nah, itu satu ruang kosong—ruang yang besar.”

    Dan kemudian ia menembak Leora Duncan, “Jangan khawatir, ini cuma mati,” ujarnya ketika Duncan jatuh ke lantai. “Nah, ruang kedua sudah kosong.” Kemudian, ia menembak dirinya sendiri, memberikan kesempatan hidup untuk ketiga bayi kembarnya. 

    Tidak ada orang yang datang. Tidak ada, tampaknya, tidak ada yang mendengar suara tembakan. Si Pelukis duduk di puncak tangga, termenung melihat ke bawah; pemandangan yang menyedihkan.

    Si Pelukis merenungkan teka-teki penuh duka dari kehidupan yang menuntut kelahiran, dan ketika lahir, menuntut untuk subur.. berkembang biak dan hidup selama mungkin—dan melakukan semuanya di planet kecil yang harus bertahan selamanya.

    Jawaban yang bisa ia pikirkan, semuanya suram. Bahkan lebih suram daripada sebuah Kotak Kucing, Happy Hooligan, atau Easy Go. Ia memikirkan tentang perang, wabah, dan kelaparan.

    Seketika ia sadar, ia tak akan pernah melukis lagi. Ia membiarkan kuasnya jatuh. Kemudian, memutuskan ia sudah cukup hidup dalam Kebun Kehidupan yang Bahagia ini. Perlahan, ia turuni anak tangga demi anak tangga.

    Ia mengambil pistol Wehling, bermaksud menembak dirinya sendiri. Tapi, tak punya keberanian untuk itu. Si Pelukis kemudian melihat telepon di sudut ruangan. Ia mendekat dan menekan nomor yang sangat diingatnya, “2BR02B.”

    “Biro Eksekusi Federal,” jawab suara hangat di ujung telepon.

    “Seberapa cepat aku bisa membuat janji?” tanyanya hati-hati.

    “Kami dapat memasukkan Anda dalam daftar siang ini, Tuan,” jawabnya. “Mungkin bisa lebih awal, jika ada pembatalan.”

    “Baiklah,” ucap si Pelukis. “Tolong masukkan aku dalam daftar.” Ia memberikan namanya, mengeja hufur per huruf.

    “Terima kasih, Tuan,” ucap si Penerima Telepon. “Kota ini berterima kasih kepada Anda, negara ini berterima kasih kepada Anda, planet ini berterima kasih kepada Anda. Tapi rasa syukur kepada Anda yang paling dalam berasal dari generasi yang akan datang.”

  • 60/40: Rokok, Biji Pelir, dan Bangsat-Bangsat yang Beruntung [Julian Barnes]

    author = A. Nabil Wibisana

    Kami berkumpul beberapa hari setelah Hillary Clinton mengaku kalah. Meja dipenuhi botol dan gelas; dan meskipun rasa lapar telah terpuaskan, tangan kami sesekali masih mencomot buah anggur, mencuil lelehan keju, atau meraih cokelat dari kotak. Kami berbincang tentang peluang Obama melawan McCain, dan penasaran apakah dalam minggu-minggu mendatang Hillary akan memperlihatkan ketegaran atau sekadar penipuan-diri. Kami pun mendiskusikan apakah kini Partai Buruh tak lagi bisa dibedakan dengan Partai Konservatif, tentang betapa semarak jalan-jalan di London karena bus gandeng, seberapa besar kemungkinan serangan Al Qaida pada Olimpiade 2012, dan bagaimana efek pemanasan global pada perkebunan anggur di Inggris. Joanna, yang membisu sepanjang dua topik terakhir, akhirnya angkat suara dengan nada mendesah.

    “Kalian tahu, rasanya nikmat sekali kalau bisa merokok.”

    “Semua orang tampak mengembuskan napas dengan perlahan.

    “Karena suasananya sangat cocok, ya?”

    “Hidangannya lezat. Daging domba itu…”

    “Terima kasih. Butuh enam jam. Cara terbaik untuk mengolahnya. Dan bunga lawang.”

    “Dan anggurnya…”

    “Jangan lupa tamu-tamunya.”

    “Saat aku memutuskan berhenti, celaan orang-oranglah yang paling kubenci, lebih dari hal lain. Kau bertanya apakah orang-orang keberatan, dan mereka semua menjawab tidak, tapi kau bisa merasakan orang-orang itu berpaling dan seakan-akan enggan bernapas. Kalau bukan mengasihanimu, yang terasa sangat merendahkan, mereka sebenarnya muak padamu.”

    “Dan tak ada asbak di rumah mereka, lalu mereka akan pergi lama sekali, berdalih mencari cawan usang yang telah hilang tutupnya.”

    “Dan tahap selanjutnya, kau mesti pergi keluar ruangan dan kedinginan setengah mati.”

    “Dan jika kau mematikan rokokmu di sembarang pot tanaman, mereka akan menatapmu seolah-olah kau baru saja menularkan kanker pada geranium.”  

    “Aku biasanya mengumpulkan puntung rokokku. Dalam sebuah kantong plastik.”

    “Seperti kotoran anjing. Omong-omong, kapan mereka mulai melakukannya? Dalam masa yang hampir sama? Orang-orang berkeliaran membawa plastik-terbalik di tangan, menunggu anjing-anjing mereka buang kotoran.”

    “Kupikir itu mestinya hangat, kan? Merasakan tahi anjing hangat di balik plastik.”

    “Dick, jijik tahu!”  

    “Tapi aku tak pernah melihat mereka menunggu sampai tahi itu mendingin, betul?”

    “Cokelat-cokelat ini, mari ganti topik pembicaraan, mengapa gambarnya tak pernah persis sama dengan apa yang ada di dalam kotak?”

    “Atau sebaliknya?”

    “Sebaliknya pun sama saja. Mereka tetap tidak sama persis.”

    “Gambar itu hanya taksiran. Ibarat cita-cita komunisme. Kondisi dalam dunia ideal. Anggaplah sebagai metafora.” 

    “Cokelatnya?”

    “Bukan, gambar cokelat.”

    “Aku dulu suka sekali cerutu. Tak perlu sebatang utuh. Setengah pun cukup.”

    “Mereka memberimu jenis kanker yang berbeda, bukan?”

    “Mereka maksudnya?”

    “Rokok, tembakau pipa, cerutu. Bukankah tembakau pipa menyebabkan kanker bibir?”

    “Jenis kanker apa yang disebabkan cerutu?”

    “Oh, jenis yang paling keren.”

    “Apa pula maksudnya kanker keren? Bukankah istilah itu kontradiktif?” 

    “Kanker dubur pastilah ada di bagian dasar lapisan.”

    “Dick, ayolah.”  

    “Apa aku salah?”

    “Kanker kalbu—apakah mungkin terjadi?”

    “Hanya sebagai metafora, kurasa.”

    “Raja George VI—apa kena kanker paru-paru?”

    “Atau tenggorokan?”

    “Bagaimanapun, fakta itu membuktikan dia terlalu biasa, bukan? Tinggal di Istana Buckingham dan dihujani bom, lalu berkeliling di East End dengan tangan gemetar di antara puing-puing?”

    “Jadi, mengidap kanker jenis biasa berhubungan dengan karakternya—apakah itu yang ingin kausimpulkan?”

    “Aku tak tahu apa yang ingin kusimpulkan.”

    “Aku tak yakin tangannya gemetar. Raja tetaplah raja.”

    “Ini pertanyaan serius, Obama, McCain, Clinton: siapa di antara ketiganya yang terakhir merokok?”

    “Bill atau Hillary?”

    “Hillary, tentu saja.”

    “Karena kita semua ingat Bill suka cerutu.”

    “Ya, tapi tidakkah dia merokok setelahnya?”

    “Atau menyimpannya di kotak khusus sebagaimana Hillary menyimpan pakaiannya?”

    “Dia bisa saja melelang kotak itu untuk membayar utang-utang kampanye Hillary.”

    “McCain mestinya merokok saat dia menjadi tawanan perang.”

    “Obama mestinya pernah mengisap satu-dua linting ganja.”

    “Aku bertaruh Hillary tak pernah menelan asap rokok.”

    “Dari cara merokok, kau bisa tahu karakter sejati seseorang.”

    “Sebenarnya—sebagai bagian dari warga Amerika—bisa kupastikan Obama dulunya perokok berat. Beralih ke Niccorate saat memutuskan untuk mencalonkan diri. Tapi—akhirnya kembali merokok setelah sekian lama berhenti, begitulah yang kudengar.”

    “Wah, dia pahlawanku.”

    “Apa orang-orang peduli jika salah satu dari mereka ketahuan merokok? Dan difoto?”

    “Itu tergantung dari bagaimana kualitas dan corak penyesalan mereka.” 

    “Seperti Hugh Grant tepergok sedang asyik dikulum di mobilnya.”

    “Nah, perempuan itu betul menelan.”

    Dick, hentikan. Jauhkan botol itu dari hadapannya.”

    “Kualitas dan corak penyesalan—aku suka istilah ini.”

    “Bukannya Bush yang harus menyesal karena telah menjadi pemadat?”

    “Yah, tapi dia tidak membahayakan orang lain.”

    “Tentu saja dia membahayakan orang lain.”

    “Maksudmu, seperti perokok pasif? Tak ada yang namanya pemadat pasif, bukan?”

    “Tidak, kecuali kau bersin.”

    “Jadi tak ada efek buruk bagi orang lain?”

    “Tak ada, selain rasa bosan karena mesti mendengarkan omongan seseorang yang hanya menyenangkan diri sendiri.”

    Sebenarnya…

    “Ya?”

    “Jika Bush, seperti yang mereka bilang, seorang alkoholik dan pemadat di kehidupannya yang lalu, maka itu akan menjelaskan langgam pemerintahannya.”

    “Maksudmu, kerusakan otak?”

    “Bukan, absolutisme pemadat yang mencoba bersih.”

    “Kau punya banyak istilah keren malam ini.”

    “Yah, itu barang jualanku.”

    “Absolutisme pemadat yang mencoba bersih. Maafkan soal itu, Baghdad.”

    “Jadi apa yang sedang kita utarakan adalah memang berpengaruh apa yang kita isap.”

    “Cerutu kerap membuatku kalem.”

    “Rokok kadang membuatku bersemangat, kakiku sampai bergetar.”

    “Oh, aku ingat soal itu.”

    “Aku ingat seseorang yang mengatur alarm supaya dia bisa terjaga pada tengah malam dan bisa mengisap sebatang rokok.”

    “Siapa orang itu, sayang?”

    “Adalah. Sebelum aku kenal dirimu.”

    “Sungguh kuharap begitu.”

    “Ada yang baca sesuatu di koran tentang Macmillan?”

    “Lembaga amal kanker?”

    “Bukan, perdana menteri. Dulu sewaktu dia menjabat Chancellor of the Exchequer, tahun ’55, ’56, atau sekitar itulah. Sebuah laporan mengaitkan antara kebiasaan merokok dan kanker. Sial, pikirnya, dari mana uang akan datang jika pemerintah mesti melarang rokok? Tiga sampai enam poundsterling tambahan pajak per bungkus, entah berapa persisnya. Lantas dia mencermati angka-angkanya. Maksudku, angka mortalitas. Harapan hidup bagi seorang perokok adalah tujuh puluh tiga tahun. Harapan hidup bagi non-perokok: tujuh puluh empat.”  

    “Benarkah?”

    “Begitulah bunyi laporannya. Jadi Macmillan merespon laporan itu: ‘Kementerian Keuangan memutuskan bahwa pendapatan pajak mengalahkan risiko kesehatan.’”

    “Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”

    “Apakah Macmillan merokok?”

    “Pipa tembakau dan rokok.”

    “Satu tahun. Selisih satu tahun. Betapa menakjubkan jika kau memikirkannya.”

    “Barangkali kita mesti merokok lagi. Saat kumpul-kumpul makan malam saja. Semacam pemberontakan rahasia di dunia komputer masa kini.”

    “Mengapa orang-orang tak boleh merokok sampai mati? Kalau hanya kehilangan satu tahun.”

    “Jangan lupakan rasa sakit hebat dan penderitaan yang harus kaualami menjelang sekarat pada usia tujuh puluh tiga tahun.”  

    “Reagan menjadi bintang iklan Chesterfields, kan? Atau, Lucky Strike?”

    “Apa hubungannya dengan soal itu?”

    “Pasti ada hubungannya.” 

    “Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”

    “Kau ulang-ulang omong itu.”

    “Lho, memang beralasan. Itulah poinnya. Pemerintah memberitahu warga bahwa rokok berakibat buruk bagi kesehatan sembari tetap menarik pajak dari rokok. Perusahan rokok tahu bahwa produknya berbahaya bagi masyarakat lalu menjualnya besar-besaran ke negara Dunia Ketiga lantaran khawatir mendapatkan tuntutan hukum di sini.” 

    “Negara Berkembang, bukan negara Dunia Ketiga. Kita tak menyebut mereka begitu lagi.”

    “Negara Perkembangan-Kanker.”

    “Belum lagi perkara Humphrey Bogart itu. Ingat saat mereka ingin mengabadikannya dalam perangko dan dia terlihat sedang merokok di foto itu, jadi mereka mengaburkan gambarnya? Seolah-olah akan terjadi insiden sewaktu orang-orang menempelkan perangko di amplop surat, ketika mereka melihat bagaimana Bogart merokok dan tiba-tiba bepikir: wah, merokok tampaknya ide yang keren.”

    “Mereka mungkin akan menemukan cara untuk memotong adegan merokok di film-film. Seperti teknologi mewarnai pada film hitam-putih.”

    “Saat aku menjalani masa remaja di Afrika Selatan, badan sensor memotong film apa pun yang memperlihatkan kontak normal antara orang kulit hitam dan kulit putih. Mereka memangkas Island in the Sun sampai tinggal sekitar dua puluh empat menit saja.”

    “Yah, kebanyakan film memang terlalu panjang.”

    “Aku tak tahu kau tumbuh besar di Afrika Selatan.”

    “Dan kebiasaan lain, semua orang merokok di gedung bioskop. Ingat soal itu? Kau menatap layar melalui lekak-lekuk asap rokok.”

    “Abu rokok di sandaran kursi.”

    “Persis.” 

    “Tapi perkara Bogey yang merokok itu… Kadangkala, saat aku menonton film lawas, dan ada adegan sepasang karib tengah minum-minum dan merokok dan saling bertukar kalimat cerdas di sebuah kelab malam, bangsat, kupikir adegan itu sangatlah glamor. Lantas aku berpikir: sebentar, bisakah aku mendapat rokok dan segelas minuman sekarang juga?”

    “Itu glamor, dulu.”

    “Terlepas dari kanker.”

    “Terlepas dari kanker.”

    “Dan kemunafikan.”

    “Baiklah, jangan telan.”

    “Kemunafikan pasif?”

    “Bisa saja terjadi. Setiap saat.”

    “Omong-omong, apakah ‘mewarnai’ kata kerja yang tepat?”

    “Dan apakah ada yang ingin kopi?”

    “Hanya jika kau ambilkan rokok sekalian.”

    “Selalu berpasangan begitu, ya? Rokok dan kopi.”

    “Kurasa tak ada rokok di rumah ini. Jim meninggalkan beberapa bungkus Gauloises sewaktu dia menginap di sini, tapi rokok itu terlalu keras jadi kami membuangnya.” 

    “Dan temanmu pernah meninggalkan beberapa batang Silk Cut, tapi sebaliknya rokok itu terlalu hambar.”

    “Kami berkunjung ke Brasil tahun lalu dan peringatan bahaya merokok di sana sangat apokaliptik. Gambar-gambar berwarna di bungkusnya mengerikan: bayi-bayi cacat, paru-paru hancur, dan semacamnya. Dan kalimat peringatannya pun tegas sekali, bukan jenis yang sopan seperti peringatan kesehatan dari “Pemerintahan Yang Mulia” kita. Atau, sesuatu seperti “Ahli-ahli kedokteran bedah telah menetapkan bla-bla-bla”. Mereka langsung mengancam apa yang kaupertaruhkan. Ada seorang pria masuk ke toko dan membeli sebungkus… aku lupa apa mereknya. Lantas dia keluar toko, mencermati peringatan kesehatannya, masuk kembali, menyerahkan sebungkus rokok itu dan berujar, ”Yang ini menyebabkan impoten. Bisa tukar dengan yang menyebabkan kanker saja?” 

    “Ya.”

    “Yah, kupikir itu lucu.”

    “Barangkali kau pernah bercerita kepada mereka sebelumnya, sayang.”

    “Bangsat-bangsat ini toh masih bisa tertawa. Ingat, mereka minum anggurku.” 

    “Lebih karena caramu bercerita, Phil. Perlu diperketat narasinya.”

    “Anjing.”

    “Kupikir kami punya ganja yang ditinggalkan seseorang.”

    “Benarkah?”

    “Ya, di pintu kulkas.”

    “Di pintu kulkas sebelah mana?”

    “Di rak dekat keju parmesan dan saus tomat.”

    “Siapa yang meninggalkannya?”

    “Tak ingat. Sudah lama. Mungkin juga sudah hilang sengatannya sekarang.”

    “Apa ganja bisa hilang sengatannya?”

    “Segalanya bisa kehilangan sengatan.”

    “Kandidat presiden?”

    “Lebih dari yang lain.”

    “Aku menawarkan ganja itu kepada Doreena.”

    “Siapa Doreena?”

    “Petugas kebersihan kami.”

    “Doreena si Pembersih. Apa kalian sedang menggoda kami?”

    “Kau tawarkan itu kepada Doreena?”

    “Ya. Memangnya kenapa, melanggar aturan ketenagakerjaan atau bagaimana? Omong-omong, dia tidak tertarik. Dia bilang dia tidak pakai barang semacam itu lagi.”

    “Yesus, dunia macam apa yang akan kita hadapi kalau seorang petugas kebersihan saja menolak narkotika gratis?” 

    “Tentu saja, kita tahu rokok lebih menimbulkan ketergantungan daripada apa pun. Alkohol, obat penenang, obat keras. Lebih adiktif daripada heroin.”

    “Apa kita bisa memastikan hal itu?”

    “Pasti, aku membacanya di koran. Rokok urutan teratas.”

    “Kalau begitu kita bisa memastikannya.”

    “Lebih adiktif daripada kekuasaan?”

    “Nah, itu baru pertanyaan sulit.”

    “Kita juga tahu—bukan dari koran—semua perokok adalah pendusta.”

    “Jadi kau menyebut kami semua mantan pendusta?”

    “Yup. Aku pun salah satunya.”

    “Apa kau bisa lebih spesifik?”

    “Kau berdusta pada orang tuamu saat kau mulai merokok. Kau berdusta berapa batang yang kauisap—bilang lebih sedikit atau lebih banyak. Oh, empat bungkus per hari, macam membual punya kontol paling besar. Atau, hanya sebatang sesekali. Pasti itu artinya tiga batang sehari, minimal. Lantas kau berdusta soal niat berhenti merokok. Dan kau berdusta kepada doktermu ketika kau kena kanker. Oh, aku tak pernah merokok sebanyak itu.

    “Pembual-garis-keras.”

    “Tapi benar juga sih. Sue dan aku pernah serong satu sama lain.” 

    “Dav-id.”

    “Maksudku, hanya berbohong soal merokok, sayang. ‘Aku hanya merokok satu batang saat makan siang.’ Dan ‘Tidak, kawanku yang merokok, aku hanya terpapar baunya.’ Kita berdua melakukannya, berdalih satu sama lain.”

    “Jadi, pilihlah kandidat non-perokok. Pilih Hillary.”

    “Telat. Bagaimanapun, kupikir perokok hanya berbohong soal merokok sebagaimana halnya pemabuk berbohong soal minum-minum.”

    “Itu tidak benar. Aku kenal para pemabuk. Pemabuk berat berdusta tentang segalanya. Supaya mereka bisa minum-minum. Dan aku pun pernah berdusta tentang hal lain supaya aku bisa merokok. Kalian tahu, ‘Aku keluar dulu, cari angin segar’, atau ‘Tidak bisa, aku harus kembali menemui anak-anak.’”

    “OK, jadi kita menyimpulkan perokok dan pemabuk adalah pendusta umum.”

    “Pilih Hillary.”

    “Kita hanya berargumen, semua pembohong menurutkan kehendak berbohong.”

    “Itu terlalu filosofis untuk malam seperti sekarang.”

    “Penipuan-diri, di sisi lain. Teman kami Jerry perokok berat—sebagaimana kawan-kawan segenerasinya. Saat melakukan pemeriksaan kesehatan umum pada usia tujuh puluhan, dia divonis mengidap kanker prostat. Dia memilih opsi bedah radikal. Mereka mengambil biji pelirnya.”

    “Mereka mengambil biji pelirnya?”

    “Yup.”

    “Lalu—lalu dia cuma punya batangnya?”

    “Yah, mereka memberinya biji prostetik.”

    “Terbuat dari apa?”

    “Aku tak tahu—plastik, kukira. Nah, biji itu punya berat yang sama dengan aslinya, supaya kau tidak akan menyadarinya.”

    “Supaya kau tidak menyadarinya?”

    “Apa mereka bisa berputar seperti aslinya?”

    “Apa kita bisa ganti topik pembicaraan?”

    “Kalian tahu apa istilah slang Prancis untuk biji pelir? Les valseuses. Penari waltz. Sebab mereka berputar.”

    “Apa kata itu perempuan? Maksudku feminin. Valseuses.”

    “Ya.”

    “Kenapa sih testis berbentuk feminin dalam bahasa Prancis?

    “Kita memang benar-benar harus ganti topik pembicaraan.”

    Testicules bukan feminin. Tapi valseuses feminin.

    “Testis perempuan. Percayalah pada orang Prancis.”

    “Tak mengherankan mereka tidak mendukung Perang Irak.”

    “Tidak semua orang di meja ini mendukung Perang Irak.”

    “Aku sekira 60/40.”

    “Bagaimana kau bisa bilang 60/40 tentang sesuatu seperti Irak? Itu seperti 60/40 tentang teori bumi datar.”

    “Aku juga 60/40 tentang hal itu.”

    “Omong-omong, alasan mengapa aku menyebut Jerry adalah karena dia merasa lega ketika mereka memberitahunya soal kanker prostat itu. Dia bilang kalau dia mengidap kanker paru-paru, dia mesti berhenti merokok.”

    “Jadi dia tetap lanjut merokok?”

    “Yup.”

    “Lalu?”

    “Yah, dia baik-baik saja selama beberapa tahun. Cukup lama juga. Kemudian kankernya kembali.”

    “Apa dia akhirnya berhenti merokok?”

    “Tidak. Dia bilang tak ada gunanya berhenti pada tahap itu—dia lebih memilih kenikmatan merokok. Aku ingat saat kami terakhir mengunjunginya di rumah sakit. Dia sedang duduk di kasur, menonton pertandingan kriket di televisi, dengan asbak besar yang dipenuhi puntung rokok di hadapannya.”

    “Pihak rumah sakit memperbolehkannya merokok?”

    “Itu kamar pribadi. Rumah sakit swasta pula. Dan peristiwanya terjadi bertahun-tahun lalu. Dia membayar—itu kamarnya. Begitulah kebiasaan masa lalu.”

    “Mengapa kau bercerita kepada kami tentang pria ini?”

    “Aku tak bisa mengingatnya sekarang. Kau mengalihkan perhatianku.”

    “Penipuan-diri.”

    “Benar—penipuan-diri.”

    “Terdengar berkebalikan menurutku—tampaknya dia tahu apa yang dia lakukan. Mungkin dia memutuskan merokok memang berharga.”

    “Persis itulah yang kumaksud dengan penipuan-diri.”

    “Dalam kasus mana menjadi perokok adalah pelatihan wajib untuk seorang presiden?”

    “Kupikir Obama cocok. Hanya pendapatku, sebagai seorang warga Amerika.”

    “Setuju. Yah, 60/40 soal itu.”

    “Kau seorang liberal—kau 60/40 tentang apa pun.”

    “Aku tak yakin aku setuju soal itu.”

    “Nah, kalian lihat, dia bahkan 60/40 tentang apakah dia benar-benar 60/40 atau tidak.”

    “Omong-omong, kau keliru tentang Reagan.”

    “Dia tak menjadi bintang iklan Chesterfields?”

    “Bukan. Maksudku, dia tidak meninggal karena kanker paru-paru.”

    “Aku tidak berkata begitu.”

    “Benarkah?”

    “Tidak. Dia mengidap Alzheimer.”

    “Menurut statistik, perokok lebih sedikit mengidap Alzheimer daripada non-perokok.”

    “Itu karena mereka sudah keburu mampus pada saat Alzheimer biasanya menyerang.” 

    “Peringatan kesehatan terbaru dari pemerintah Brasil: ‘Rokok ini membantu Anda menghindari Alzheimer.’”

    “Kami sempat membaca New York Times minggu lalu. Dalam suatu penerbangan. Ada laporan tentang kajian harapan hidup warga dan biaya komparatif yang harus ditanggung pemerintah, atau negara lebih tepatnya, berdasarkan kategori penyebab kematian. Sebentar, statistik yang diberikan kepada Macmillan tadi itu—dirilis tahun berapa?”

    “1955, 1956, kurasa.”

    “Nah, statistiknya sesuai. Jangan-jangan kita hidup di masa yang serupa. Jika kau perokok, kau cenderung mati pada usia pertengahan tujuh puluhan. Jika kau mengalami obesitas, kau cenderung mati pada usia sekitar delapan puluh. Dan jika kau menjalani pola hidup sehat, non-perokok, tidak kelebihan berat badan, kau cenderung mati pada usia rata-rata delapan puluh empat.”

    “Mereka memerlukan kajian untuk memberitahu kita hal semacam itu?”

    “Tidak. Mereka perlu kajian untuk memberitahu kita hal ini: biaya perawatan kesehatan yang harus ditanggung negara. Dan inilah faktanya. Para perokok adalah golongan yang paling murah. Berikutnya para penderita obesitas. Dan mereka semua yang sehat, tidak kelebihan berat badan, non-perokok itu ternyata merupakan golongan yang menguras biaya terbesar.”

    “Luar biasa. Fakta itu adalah hal terpenting dari semua percakapan kita malam ini.”

    “Terlepas dari betapa lezatnya daging domba itu.”

    “Menempelkan stigma pada perokok, menarik pajak dari mereka tanpa ampun, mengucilkan mereka sampai harus berdiri di pojok jalan di tengah hujan, alih-alih berterima kasih kepada mereka karena telah menjadi beban paling ringan.”

    “Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”

    “Lagi pula, perokok lebih ramah daripada non-perokok.”

    “Terlepas dari mereka menghadiahkan kanker kepada non-perokok.”

    “Kupikir tak ada landasan medis untuk teori perokok pasif.”

    “Aku pun tak yakin. Bukannya aku bermaksud menjadi seorang dokter. Sama seperti dirimu.”

    “Kupikir itu lebih merupakan sebuah metafora. Misalnya, untuk mengatakan jangan menginvasi wilayahku.”

    “Metafora untuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Apa kita kembali ke Irak?”

    “Apa yang kumaksud adalah, bagaimana ya, menurut pengamatanku saat semua orang merokok, orang-orang non-perokok lebih ramah. Kini sebaliknya.”

    “Minoritas yang dipersekusi selalu lebih ramah? Itukah yang Joanna maksudkan?”

    “Maksudku, dulu ada spirit persahabatan. Jika kau menghampiri seseorang di trotoar di luar sebuah pub atau restoran dan berkata ingin membeli sebatang rokok, orang itu akan selalu memberikannya kepadamu.”

    “Kupikir kau tidak merokok.”

    “Tidak, tapi kalaupun aku merokok, orang itu tetap akan memberikannya.”

    “Aku mengendus perubahan kasip menjadi kalimat kondisional.”

    “Sudah kuberitahu kalian, para perokok adalah pendusta.”

    “Kedengarannya seperti topik yang harus didiskusikan setelah kita semua bubar.”

    “Apa yang Dick tertawakan?”

    “Oh, biji prostetik. Gagasannya. Atau frasanya. Keduanya. Politik luar negeri Prancis. Hillary Clinton.”

    Dick.”

    “Maaf. Aku hanyalah pria ketinggalan zaman.”

    “Kau kanak-kanak ketinggalan zaman.”

    “Ouch. Tapi Mami, ketika aku dewasa, bolehkan aku merokok?” 

    “Segala macam tuntutan tentang politisi harus bernyali. Itu cuma ah… biji pelir.”

    “Cerdas.”

    “Kalian tahu, aku heran mengapa kawan kalian itu tidak kembali ke dokter, atau dokter bedah, dan bertanya, ‘Bisakah aku mengganti jenis kanker, apa pun selain kanker yang mengharuskan kau memotong biji pelirku?’”

    “Bukan seperti itu kasusnya. Dia punya pilihan beberapa tindakan medis. Dia memilih opsi paling radikal.”

    “Kau bisa mengatakannya tanpa keraguan. Tak ada 60/40 tentang hal itu.”

    “Bagaimana kau berpikir 60/40 ketika kau hanya punya dua biji pelir?”

    “60/40 hanyalah metafora.”

    “Segala sesuatu adalah metafora pada malam ini.”

    “Dengan catatan, bisakah kalian panggilkan taksi harfiah untuk kami?”

    “Apa kalian ingat pagi setelah kita kebanyakan merokok? Rasa pening karena rokok?”

    “Aku ingat sebagian besar pagi semacam itu. Tenggorokan. Hidung kering. Dada.”

    “Dan rasa pening itu jelas bisa dibedakan dari rasa pening akibat minuman keras yang sering kita konsumsi pada waktu yang sama.”

    “Minuman keras membuatmu lunglai, rokok membuatmu kaku.”

    “Eh?”

    “Merokok mempersempit pembuluh darah. Itulah sebabnya mengapa kau tak pernah bisa memulai hari baik dengan buang air secara wajar.”

    “Apa benar itu penyebabnya?”

    “Bicara bukan sebagai dokter, itu masalahmu sendiri.”

    “Jadi kita kembali pada topik awal?”

    “Topik apa itu?”

    “Plastik terbalik untuk membungkus tahi dan—”

    “Dick, sekarang kami akan benar-benar pergi.”

    Tapi kami tak bubar. Kami tetap tinggal dan berbincang tentang pelbagai hal lain. Kami memperkirakan bahwa Obama akan mengalahkan McCain, bahwa Partai Konservatif hanya sementara saja tak bisa dibedakan dengan Partai Buruh, bahwa Al Qaida nyata-nyata akan melakukan serangan pada Olimpiade 2012, bahwa dalam tahun-tahun mendatang warga London akan merasa rindu pada bus gandeng, bahwa dalam beberapa dekade mendatang kebun anggur akan kembali marak di sepanjang Tembok Hadrian sebagaimana pada masa Romawi Kuno, dan bahwa, dalam berbagai besaran probabilitas, sepanjang sisa masa kehidupan di planet ini, sejumlah orang di berbagai tempat akan selalu merokok, bangsat-bangsat yang sungguh beruntung.

    Julian Barnes menulis tiga belas novel, tiga kumpulan cerita pendek, serta sembilan esai dan laporan jurnalistik. Memenangkan Man Booker Prize untuk novel The Sense of an Ending (2011). Tiga buku lainnya, Flaubert’s Parrot (1984), England, England (1998), dan Arthur & George (2005), masuk daftar pendek ajang penghargaan yang sama. Penghargaan lain yang pernah diraih di antaranya Siegfried Lenz Prize (2016), Austrian State Prize for European Literature (2004), Prix Femina Etranger (1992), E.M. Foster Award dari American Academy and Institute of Arts and Letters (1986), dan Sommerset Maugham Award (1981)