Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Bagaimana Cara Berbicara dengan Gadis-gadis di Pesta [Neil Gaiman]

author = Miguel Angelo Jonathan

“Ayolah,” kata Vic. “Ini akan hebat.”

“Tidak, tidak akan,” kataku, meski aku telah kalah dalam perdebatan ini berjam-jam lalu, dan aku tahu itu.

“Ini akan cemerlang,” kata Vic, untuk yang keseratus kalinya. “Gadis! Gadis! Gadis!” Dia menyeringai dengan gigi putih.

Kami berdua memasuki sekolah khusus laki-laki di London selatan. Walaupun akan menjadi suatu kebohongan bila mengatakan kami tak memiliki pengalaman dengan perempuan-Vic tampaknya memiliki banyak pacar, sementara aku pernah mencium tiga teman saudara perempuanku-itu akan, pikirku, sangatlah tepat untuk mengatakan kalau kami berdua lebih banyak berbicara, berinteraksi, dan hanya benar-benar memahami anak lelaki lain. Ya, aku begitu, bagaimanapun. Sulit untuk berbicara dengan orang lain, dan aku sudah tidak melihat Vic selama tiga puluh tahun. Aku tidak yakin aku akan tahu apa yang hendak kukatakan padanya sekarang jika aku menemuinya.

Kami berjalan di jalan belakang yang dulu berkelok-kelok dalam labirin kotor di belakang stasiun East Croydon-seorang teman memberi tahu Vic tentang sebuah pesta, dan Vic bertekad untuk pergi entah aku suka atau tidak, dan aku tidak. Tetapi minggu itu orang tuaku sedang pergi ke sebuah konferensi, dan aku adalah tamu Vic di rumahnya, jadi aku mengikut saja di sampingnya.

“Ini akan berakhir sama sebagaimana yang selalu terjadi,” kataku. “Setelah satu jam kamu akan pergi ke suatu tempat mencumbu gadis tercantik di pesta, dan aku akan berada di dapur mendengarkan ibu seseorang berceloteh tentang politik atau puisi atau suatu hal lainnya.”

“Kamu hanya perlu berbicara dengan mereka,” katanya. “Kupikir itu mungkin jalan di ujung sini.” Dia memberi isyarat riang, mengayunkan tas dengan botol di dalamnya.

“Bukannya kamu tahu?”

“Alison memberikanku arahan dan aku menuliskannya di secarik kertas, tapi aku meninggalkannya di meja aula. Santai. Aku bisa menemukannya”

“Caranya?” Harapan mengalir perlahan di dalam diriku.

“Kita telusuri jalan,” katanya, seolah-olah berbicara kepada anak idiot. “Dan kita cari pestanya. Gampang.”

Aku mengamati, tetapi tidak menemukan satupun pesta: hanya rumah-rumah sempit dengan mobil berkarat atau sepeda di taman depan berbeton mereka; dan kaca berdebu bagian depan lapak koran, yang berbau seperti bumbu-bumbu asing dan menjual segala sesuatu mulai dari kartu ulang tahun dan komik bekas hingga jenis majalah yang begitu porno sehingga mereka dijual sudah disegel dalam kantong plastik. Aku pernah ke sana ketika Vic menyelipkan salah satu majalah itu ke balik sweaternya, tetapi pemiliknya menangkapnya di trotoar luar dan membuatnya mengembalikannya.

Kami sampai di ujung jalan dan berbelok ke jalan sempit rumah-rumah bertingkat. Semuanya tampak sunyi dan kosong di malam musim panas. “Tidak ada masalah untukmu,” kataku. “Mereka menyukaimu. Kamu sebenarnya tidak perlu berbicara dengan mereka.” Memang benar: satu senyum keparat dari Vic dan dia bisa mendapatkan pilihan untuk kamarnya.

“Ah. Gak begitu. Kamu hanya perlu berbicara.”

Pada waktu ketika aku mencium teman saudara perempuanku aku tidak berbicara dengan mereka. Mereka telah ada saat saudara perempuanku pergi melakukan sesuatu di tempat lain, dan mereka telah melintas ke dekatku, dan dengan begitu aku telah mencium mereka. Aku tidak ingat pembicaraan apa pun. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada gadis-gadis, dan aku mengatakan demikian padanya.

“Mereka hanya perempuan,” kata Vic. “Mereka tidak berasal dari planet lain.”

Ketika kami mengikuti belokan di sekitar jalan, harapanku kalau pesta itu akan terbukti tidak dapat ditemukan mulai memudar: suara berdenyut rendah, musik teredam oleh dinding dan pintu, bisa terdengar dari sebuah rumah di depan. Saat itu jam delapan malam, tidak terlalu awal jika kamu belum enam belas, dan kami belum. Tidak terlalu.

Aku memiliki orang tua yang ingin mengetahui keberadaanku, tetapi menurutku orang tua Vic tidak sepeduli itu. Dia anak bungsu dari lima bersaudara. Itu sendiri tampak ajaib bagiku: aku hanya memiliki dua saudara perempuan, keduanya lebih muda dariku, dan aku merasa unik dan kesepian. Aku menginginkan saudara laki-laki sejauh yang bisa aku ingat. Ketika aku berusia tiga belas tahun, aku berhenti berharap pada bintang jatuh atau bintang pertama, tetapi ketika aku masih melakukannya, seorang saudara laki-laki adalah apa yang aku harapkan.

Kami mengikuti jalan taman, ubin keras menuntun kami melewati pagar dan semak mawar terpencil menuju rumah berdinding kerikil-kerikil kecil. Kami membunyikan bel pintu, dan pintu dibukakan oleh seorang gadis. Aku tak dapat memberitahumu berapa usianya, yang mana merupakan salah satu hal tentang perempuan yang mulai kubenci: saat kamu memulai sebagai anak-anak, kamu hanyalah lelaki dan perempuan, melewati waktu dengan kecepatan yang sama, dan kamu semua lima, atau tujuh, atau sebelas, bersama-sama. Lalu kemudian suatu hari ada keganjilan mendadak dan perempuan-perempuan seperti berlari kencang ke masa depan jauh di depanmu, dan mereka tahu tentang segalanya, dan mereka memiliki menstruasi dan buah dada dan alat rias, dan hanya-Tuhan-yang-tahu-apalagi—sebab tentu saja aku tidak tahu. Gambar-gambar dalam buku biologi bukanlah pengganti untuk makhluk hidup, dalam arti yang sebenarnya, anak-anak muda. Dan gadis-gadis seusia kami.

Vic dan aku bukanlah anak-anak muda, dan aku mulai curiga kalau bahkan meski aku mulai perlu bercukur setiap hari, alih-alih sekali setiap beberapa minggu, aku masih tertinggal jauh di belakang.

Gadis itu berkata, “Halo?”

Vic mengatakan, “Kami teman-teman Alison.” Kami telah bertemu dengan Alison, berbintik-bintik dan berambut oranye dengan senyum licik, di Hamburg, pada pertukaran Jerman. Penyelenggara pertukaran mengirim beberapa gadis bersama kami, dari sekolah gadis lokal, untuk menyeimbangkan gender. Para gadis, seusia kami, lebih atau kurang, serak dan lucu, dan memiliki pacar yang kurang lebih dewasa dengan mobil, pekerjaan, sepeda motor, dan—dalam kasus seorang gadis dengan gigi bengkok dan mantel rakun, yang berbicara denganku tentang kesedihannya di akhir pesta Hamburg, tentu saja, di dapur—seorang istri dan anak-anak.

“Dia tidak di sini,” kata gadis di depan pintu. “Tidak ada Alison.”

“Tak perlu khawatir,” ucap Vic, dengan senyum luwesnya. “Aku Vic. Ini Enn.” Sebuah getaran, dan si gadis tersenyum balik padanya. Vic membawa sebotol anggur putih di tas plastik, diambil dari lemari dapur orang tuanya. “Kalau begitu, di mana aku harus menaruh ini?”

Dia menyingkir dari jalan, dan membiarkan kami masuk. “Ada dapur di belakang,” katanya. “Taruh di meja sana, dengan botol-botol lainnya.” Dia memiliki rambut emas bergelombang, dan dia sangat cantik. Aula itu redup dalam keremangan, tetapi aku bisa melihat bahwa dia cantik.

“Jadi, siapa namamu?” tanya Vic.

Dia memberitahu kalau namanya Stella, dan Vic menyeringai dengan senyum lebar lalu memberitahu kalau itu adalah nama tercantik yang pernah didengarnya. Bajingan yang mulus. Dan yang lebih buruk, dia mengatakan itu seperti dia bersungguh-sungguh.

Vic kembali pergi untuk menaruh anggur di dapur, dan aku menatap ke ruang depan, tempat musik berasal. Ada orang-orang yang menari di sana. Stella bergabung dan dia mulai menari, bergoyang mengikuti musik sendirian, dan aku memperhatikannya.

Ini terjadi pada masa-masa awal punk. Di pemutar rekaman milik kami, kami akan memainkan The Advert, The Jam, The Stranglers, The Clash dan Sex Pistols. Di pesta orang lain, kamu akan mendengar ELO atau 10cc atau bahkan Roxy Music. Beberapa mungkin Bowie, kalau kamu beruntung. Selama pertukaran Jerman, satu-satunya LP yang bisa kami semua sepakati adalah Harvest-nya Neil Young, dan lagunya “Heart of Gold” mengalun selama perjalanan seperti dalam lirik: I crossed the ocean for a heart of gold

Musik yang dimainkan di ruang depan itu bukanlah sesuatu yang aku kenali.

Kedengarannya seperti grup musik elektronik Jerman bernama Kraftwerk, dan sedikit mirip sebuah LP yang diberikan untuk ulang tahun terakhirku, dari suara aneh yang dibuat oleh BBC Radiophonic Workshop. Namun, musiknya memiliki irama, dan setengah lusin gadis yang ada di ruangan itu bergerak pelan mengikuti musik, meski aku hanya memperhatikan Stella. Dia bersinar.

Vic mendorong melewatiku, menuju ruangan. Dia memegang sekaleng bir. “Ada minuman keras di dapur,” dia memberitahuku. Dia berjalan menghampiri Stella dan mulai berbicara kepadanya. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan karena bising musik, tapi aku tahu tidak ada ruang bagiku dalam pembicaraan itu.

Aku tidak suka bir, tidak pada saat itu. Aku pergi untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa aku minum. Di atas meja dapur berdiri sebotol Coca-Cola, dan aku menuangkan segelas plastik penuh untuk diriku sendiri, tidak berani mengatakan apapun kepada sepasang gadis yang mengobrol di dapur remang-remang. Mereka sangat bergairah dan menawan. Masing-masing memiliki kulit legam hitam dan rambut berkilau serta pakaian layaknya bintang film. Aksen mereka asing, dan masing-masing berada di luar jangkauanku.

Aku berkeliling, minuman bersoda di tangan.

Rumah itu lebih luas dari yang terlihat, lebih besar dan kompleks dari model rumah two-up two-down yang kubayangkan. Ruangannya remang-remang-aku ragu ada bohlam lebih dari 40 watt di dalam bangunan-dan tiap ruang yang aku hampiri berpenghuni: seingatku, diisi hanya oleh perempuan. Aku tidak pergi ke lantai atas.

Satu-satunya penghuni konservatori adalah seorang gadis. Rambutnya sangat menarik dan berwarna putih, panjang dan lurus. Dia duduk di meja berlapis kaca, tangan saling menggenggam, menatap taman di luar dan senja yang meredup. Dia tampak murung.

“Apa kamu keberatan jika aku duduk di sini?” Tanyaku, memberi isyarat dengan gelasku. Dia menggoyangkan kepalanya, diikuti dengan sebuah angkatan bahu, menandakan kalau itu semua sama saja baginya. Aku duduk.

Vic berjalan melewati pintu konservatori. Dia berbicara dengan Stella, tapi dia melihat ke arahku, duduk di meja, dipenuhi rasa malu dan canggung, dan dia membuka dan menutup tangannya sebagai tiruan sebuah mulut yang berbicara. Bicara. Benar.

“Apa kamu berasal dari sekitar sini?” Aku bertanya kepada si gadis.

Dia menggelengkan kepala. Dia mengenakan atasan keperakan berpotongan rendah, dan aku berusaha untuk tidak menatap dadanya yang menyembul.

Aku bilang, “Siapa namamu? Aku Enn.”

“Wain Wain,” ucapnya, atau sesuatu yang terdengar seperti itu. “Aku kedua.”

“Itu, uh. Nama yang asing.”

Dia menatapku dengan mata besar berair. “Itu menandakan kalau leluhurku juga Wain, dan aku diwajibkan melapor balik kepadanya. Aku tidak boleh berkembang biak.”

“Ah. Oke. Terlalu awal untuk itu juga, kan?”

Dia melepas genggamannya, mengangkatnya ke atas meja, merentangkan jari-jarinya. “Kamu lihat?” Jari kelingking di tangan kirinya bengkok, dan atasnya bercabang dua, terbelah menjadi dua ujung jari yang lebih kecil. Sebuah kelainan kecil. “Ketika aku selesai, sebuah keputusan diperlukan. Apakah aku akan dipertahankan, atau disingkirkan? Aku beruntung karena keputusan ada di tanganku. Sekarang, aku berpergian, sementara saudara perempuanku yang lebih sempurna berada di rumah dalam keadaan statis. Mereka yang pertama, aku kedua.

“Sebentar lagi aku harus kembali ke Wain, dan memberitahunya apa yang telah kulihat. Seluruh kesanku terhadap tempatmu ini.”

“Aku sebenarnya tidak tinggal di Croydon,” kataku. “Aku tidak berasal dari sini.” Aku bertanya-tanya apakah dia orang Amerika. Aku tidak tahu sama sekali apa yang dia bicarakan.

“Baiklah kalau begitu,” dia setuju, “tidak satu pun dari kita berasal dari sini.” Dia melipat tangan kirinya yang berjari enam di bawah tangan kanannya, seolah menyembunyikannya dari pandangan. “Tadinya aku berharap itu lebih besar, bersih, dan berwarna. Tapi tetap, itu adalah permata.”

Dia menguap, menutup mulutnya dengan tangan kiri, hanya untuk sejenak, sebelum tangannya kembali ke meja lagi. “Aku mulai bosan melakukan perjalanan, dan terkadang berharap itu akan berakhir. Di sebuah jalan di Rio pada saat karnaval, aku melihat mereka di jembatan, keemasaan, tinggi, bermata serangga dan bersayap. Aku gembira dan menyambut mereka, sebelum akhirnya tersadar mereka hanya orang-orang dengan kostum. Aku berkata pada Hola Colt, ‘kenapa mereka berusaha keras terlihat seperti kita?’ dan Hola Colt menjawab, ‘Karena mereka membenci diri mereka sendiri, semua bercorak merah muda dan coklat, dan begitu kecil.’ Itulah yang aku alami, bahkan aku, dan aku belum dewasa. Ini seperti dunia anak-anak, atau peri.” Kemudian dia tersenyum, dan berkata, “Adalah hal yang menguntungkan tidak satupun dari mereka bisa melihat Hola Colt.”

“Um,” kataku, “apa kamu ingin menari?”

Dia lekas menggelengkan kepalanya. “Itu tidak diizinkan,” ucapnya. “Aku tidak boleh melakukan sesuatu yang mungkin dapat menghasilkan kerusakan properti. Aku seorang Wain.”

“Kalau begitu, apakah kamu ingin minum sesuatu?”

“Air,” balasnya.

Aku kembali menuju dapur dan menuangkan lagi minuman bersoda untukku, lalu mengisi gelas dengan air dari keran. Dari dapur kembali ke aula, dan dari sana ke konservatori, tapi sekarang ruangan itu cukup kosong.

Aku bertanya-tanya apakah gadis itu pergi ke toilet, dan apakah mungkin dia mengubah pikirannya tentang menari nanti. Aku berjalan kembali ke ruang depan dan menatap ke dalam. Tempat itu semakin ramai. Ada lebih banyak gadis menari, dan beberapa pemuda yang tidak kukenal, yang terlihat lebih tua beberapa tahun dariku dan Vic. Para pemuda dan gadis semuanya menjaga jarak, tetapi Vic menggandeng tangan Stella sambil menari berdua, dan ketika lagu selesai dia merangkulnya, dengan santai, hampir seperti dia adalah miliknya, untuk memastikan tidak ada orang lain yang menyerobot.

Aku berpikir apa mungkin gadis yang aku ajak bicara di konservatori sekarang berada di atas, karena dia tidak terlihat di lantai bawah.

Aku berjalan menuju ruang tamu, yang berada di seberang aula dari ruangan tempat orang-orang menari, dan aku duduk di sofa. Ada seorang gadis yang sudah duduk di sana. Dia memiliki rambut hitam, dipotong pendek dan runcing, dan kelihatan gugup.

Bicaralah, pikirku. “Um, segelas air ini akan kuberikan untukmu,” kataku padanya, “jika kamu menginginkannya?”

Dia mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas, dengan sangat berhati-hati. Seakan-akan ia tidak terbiasa mengambil sesuatu, seolah-olah ia tidak dapat mempercayai pandangannya atau tangannya sendiri.

“Aku senang menjadi turis,” ucapnya, dan tersenyum ragu-ragu. Dia memiliki celah di antara dua gigi depannya, dan dia menyesap air keran seperti orang dewasa yang menyesap anggur nikmat. “Pada tur terakhir, kami pergi menuju matahari dan berenang di kolam api matahari bersama ikan paus. Kami mendengar sejarah mereka dan kami menggigil dalam balutan dingin tempat-tempat luar, lalu kami berenang lebih dalam di mana panas bergelolak dan menyamankan kami.

Aku ingin kembali. Kali ini, aku menginginkannya. Ada begitu banyak yang belum kulihat. Tetapi kami malah pergi ke bumi. Apa kamu suka?”

“Suka apa?”

Dia menunjuk secara samar ke ruangan—sofa, kursi berlengan, tirai, api gas yang tak terpakai.

“Oke saja, menurutku.”

“Aku mengatakan pada mereka aku tidak ingin mengunjungi bumi,” katanya. “orang tua-guruku tidak terkesan. ‘Kamu akan punya banyak hal untuk dipelajari,’ dia memberitahuku. Aku bilang, ‘aku bisa belajar lebih banyak di matahari, lagi. Atau di kedalaman. Jessa membuat jaring-jaring di antara galaksi. Aku ingin melakukannya.

“Tapi tidak bisa beralasan dengannya, dan aku pun datang ke bumi. Orang tua-guru menelanku, dan di sinilah aku, terwujud dalam gumpalan membusuk yang tergantung pada kerangka kalsium. Saat aku menjelma aku merasakan banyak hal jauh di dalam diriku, menggelepar dan memompa dan meremas. Itu adalah pengalaman pertamaku mendorong udara melalui mulut, menggetarkan pita suara di perjalanan, dan aku menggunakannya untuk memberi tahu orang tua-guruku kalau aku berharap aku mati, yang diakui olehnya sebagai jalan keluar tak terelakkan dari bumi.

Ada komboloi hitam melilit pergelangan tangannya, dan dia memainkannya sambil berbicara. “Tapi pengetahuan ada di sana, di dalam daging,” ujarnya, “dan aku bertekad belajar darinya.”

Kami duduk berdekatan di tengah sofa sekarang. Aku memutuskan aku harus merangkulnya, tapi dengan santai. Aku akan mengulurkan tanganku di sepanjang bagian belakang sofa dan akhirnya merayapkan tanganku ke bawah, hampir tanpa terasa, sampai tanganku menyentuh dia. Dia berkata, “Benda dengan cairan di mata, ketika dunia memudar. Tidak ada yang memberitahuku, dan aku masih belum mengerti. Aku telah menyentuh lipatan Bisikan dan berdenyut dan terbang dengan tachyon swans, dan aku masih belum paham.”

Dia bukan gadis tercantik di sini, tapi dia terlihat cukup baik, dan lagipula, dia seorang perempuan. Aku membiarkan lenganku turun sedikit, untuk sementara, sehingga lenganku bersentuhan dengan punggungnya, dan dia tidak menyuruhku untuk menariknya kembali.

Vic kemudian memanggilku, dari arah pintu. Dia berdiri sambil merangkul Stella, menjaganya, melambai ke arahku. Aku berusaha memberitahukannya, dengan menggelengkan kepalaku, kalau aku sedang mencapai sesuatu, tetapi dia memanggil namaku dan, dengan enggan, aku bangkit dari sofa dan berjalan ke pintu. “Apa?”

“Ehm. Begini. Pestanya,” ucap Vic, merasa bersalah. “Ini bukanlah pesta seperti yang kukira. Aku telah berbicara dengan Stella dan menyadarinya. Ya, singkatnya dia menjelaskannya kepadaku. Kita di pesta yang berbeda.”

“Astaga. Apa kita dalam masalah? Perlukah kita pergi?”

Stella menggelengkan kepalanya. Vic membungkuk dan menciumnya dengan lembut, di bibir. “Kamu kebetulan senang memilikiku di sini, benarkan, sayang?”

“Kamu tahu aku begitu,” balasnya pada Vic.

Vic memandang dari punggung Stella ke arahku, dan dia menyunggingkan senyum putihnya: nakal, memikat, sedikit Artful Dodger, sedikit Pangeran Tampan. “Jangan khawatir. Lagian mereka semua turis di sini. Ini seperti pertukaran mancanegara, ya kan? Seperti saat kita semua pergi ke Jerman.”

“Begitu?”

“Enn. Kamu harus berbicara dengan mereka. Dan itu berarti kamu harus mendengarkan mereka juga. Kamu mengerti?”

“Sudah. Aku telah berbicara dengan beberapa dari mereka.”

“Kamu mencapai sesuatu?”

“Iya, sampai akhirnya kamu memanggilku.”

“Maaf tentang itu. Dengar, aku hanya ingin memberimu informasi. Oke?”

Dan dia menepuk lenganku lalu pergi dengan Stella. Kemudian, bersama-sama, mereka berdua menaiki tangga.

Pahamilah aku, semua gadis di pesta itu, dalam remang-remang, sangat cantik; mereka semua memiliki wajah yang sempurna tetapi, yang lebih penting daripada itu, mereka memiliki keganjilan apa pun dalam proporsi, keanehan, atau kemanusiaan yang membuat kecantikan menjadi lebih dari sekadar boneka pajangan jendela toko.

Stella yang tercantik di antara mereka, tapi dia, tentu saja, milik Vic. Dan mereka pergi ke atas bersama, dan begitulah yang akan selalu terjadi.

Ada beberapa orang yang sekarang duduk di sofa, berbicara dengan gadis gigi bercelah. Seseorang melontarkan lelucon, dan mereka semua tertawa. Aku harus menerobos masuk ke sana untuk duduk di sampingnya lagi, dan sepertinya dia tidak mengharapkanku kembali, atau peduli kalau aku sudah pergi, jadi aku berjalan ke aula. Aku melirik ke arah orang-orang yang menari, dan mendapati diriku penasaran dari mana musik itu berasal. Aku tidak bisa melihat pemutar rekaman atau pengeras suara.

Dari aula aku berjalan kembali ke dapur.

Dapur bagus untuk pesta. Kamu tak perlu alasan untuk berada di sana, dan sisi baiknya, di pesta ini aku tidak melihat adanya tanda-tanda ibu seseorang. Aku memeriksa berbagai botol dan kaleng di meja dapur, lalu aku menuangkan setengah inci Pernod ke bagian bawah gelas plastikku, dan aku mengisi atasnya dengan minuman bersoda. Aku memasukkan beberapa es batu dan menyesapnya, menikmati bau tajam manis minuman itu. 

“Apa itu yang kau minum?” Suara seorang gadis.

“Ini Pernod,” aku memberitahunya. “Rasanya seperti adas manis, hanya saja beralkohol.” Aku tidak mengatakan kalau aku hanya mencobanya karena aku mendengar seseorang di antara kerumunan meminta Pernod di acara langsung LP Velvet Underground.

“Bisakah aku minta satu?” Aku menuangkan Pernod lagi, mengisi bagian atas dengan minuman bersoda, memberikannya padanya. Rambutnya pirang seperti tembaga, dan terjulur keikalan di sekitar kepalanya. Ini bukan gaya rambut yang banyak kamu lihat sekarang, tetapi kamu sering melihatnya saat itu.

“Siapa namamu?” Tanyaku.

“Triolet,” katanya.

“Nama yang cantik,” aku memberitahunya, meski aku tak tahu apakah benar begitu. Tapi, dia cantik.

“Itu sebuah bentuk sajak,” katanya bangga. “Sepertiku.”

“Kamu sebuah puisi?”

Dia tersenyum, melihat ke bawah dan menjauh, mungkin dengan malu-malu. Tampangnya hampir datar—hidung Yunani sempurna yang turun dari dahinya dalam garis lurus. Kami memainkan Antigone di teater sekolah tahun sebelumnya. Akulah pembawa pesan yang menyampaikan berita kematian Antigone kepada Creon. Kami memakai topeng setengah yang membuat kami terlihat seperti itu. Aku memikirkan drama itu, menatapi wajahnya, di dapur, dan aku memikirkan gambar wanita Barry Smith dalam komik Conan: lima tahun kemudian aku pastinya akan memikirkan Pra-Raphaelite, dari Jane Morris dan Lizzie Siddall. Tapi aku baru berumur lima belas tahun waktu itu.

“Kamu sebuah puisi?” Aku mengulangi.

Dia menggigit bibir bawahnya. “Kalau kamu mau. Aku adalah puisi, atau aku sebuah pola, atau aku ras masyarakat yang dunianya telah ditelan lautan.”

“Bukankah sulit untuk menjadi tiga hal sekaligus?”

“Siapa namamu?”

“Enn.”

“Jadi kamu seorang Enn,” katanya. “Dan kamu adalah laki-laki. Dan kamu berkaki dua. Bukankah sulit untuk menjadi tiga hal sekaligus?”

“Tapi mereka bukanlah hal yang berbeda. Maksudku, mereka tidak berkontradiksi.” Itu adalah kata yang telah kubaca berkali-kali tapi tidak pernah kuucapkan begitu lantang malam itu, dan aku meletakkan tekanan di tempat yang salah. Kontradiksi.

Dia mengenakan gaun tipis yang terbuat dari kain sutra putih. Matanya hijau pucat, warna yang sekarang membuatku berpikir tentang lensa kontak berwarna; tapi ini tiga puluh tahun yang lalu; segalanya berbeda saat itu. Aku ingat penasaran tentang Vic dan Stella, di lantai atas. Sekarang, aku yakin mereka ada di salah satu kamar tidur, dan aku sangat iri pada Vic sampai hampir membuat sakit.

Tetap saja, aku berbincang dengan gadis ini, bahkan meski kami membicarakan omong kosong, bahkan meski namanya bukan benar-benar Triolet (generasiku belum diberi nama hippie:  semua Pelangi dan Matahari dan Bulan, mereka hanya enam, tujuh, delapan tahun waktu itu). Dia bilang, “Kami tahu bahwa ini akan segera berakhir, jadi kami memasukkan semuanya ke dalam puisi, untuk memberitahukan kepada alam semesta siapa kami, dan mengapa kami di sini, dan apa yang kami katakan dan lakukan dan pikirkan dan mimpikan dan rindukan. Kami membungkus mimpi kami dalam kata-kata dan memulai kata-kata itu sehingga mereka hidup selamanya, tak terlupakan. Kemudian kami mengirim puisi sebagai pola flux, untuk menunggu di pusat bintang, memancarkan pesannya dalam denyut nadi dan menyembur dan memudarkan melintasi spektrum elektromagnetik, sampai suatu saat di mana, di dunia yang jaraknya seribu sistem matahari, polanya akan diterjemahkan dan dibaca, dan itu akan menjadi puisi sekali lagi.”

“Lalu apa yang terjadi?”

Dia menatapku dengan mata hijaunya, dan seolah-olah dia menatapku dari topeng setengah Antigonenya sendiri; tapi seolah-olah mata hijaunya yang pucat hanyalah bagian dari topeng yang berbeda, lebih dalam. “Kamu tak dapat mendengar puisi tanpa puisi itu mengubahmu,” katanya padaku. “Mereka mendengarnya, dan puisi menjajah mereka. Ia mewarisi mereka dan mendiami mereka, ritmenya menjadi bagian dari cara berpikir mereka, gambarannya secara permanen mengubah metafora mereka, syairnya, tampilannya, aspirasinya menjadi kehidupan mereka. Dalam satu generasi anak-anak mereka akan terlahir dengan telah mengetahui puisi itu, dan, lebih cepat daripada nanti, seiring berjalannya hal-hal ini, tidak akan ada lagi anak yang lahir. Mereka tidak diperlukan, tidak lagi. Hanya akan ada puisi, yang menjadi daging dan berjalan dan menyebarkan diri mereka sendiri melintasi luasnya yang diketahui.”

Perlahan-lahan aku mendekatinya, supaya aku bisa merasakan kakiku menyentuh kakinya.

Dia tampak menyambutnya: dia meletakkan tangannya di lenganku, dengan mesra, dan aku merasakan senyuman melebar di wajahku.

“Ada tempat di mana kami disambut,” kata Triolet, “dan ada tempat di mana kami dianggap sebagai tanaman liar berbahaya, atau penyakit mematikan, sesuatu yang harus dikarantina dan dilenyapkan. Tapi di mana penularan berakhir dan seni dimulai?”

“Aku tidak tahu,” kataku, sambil tersenyum. Aku dapat mendengar musik asing yang berdenyut dan bergemuruh di ruang depan.

Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku dan—kupikir itu sebuah ciuman… aku rasa. Bagaimanapun, dia menempelkan bibirnya ke bibirku, dan kemudian, setelah puas, dia menarik ke belakang, seakan-akan dia telah menandaiku sebagai miliknya.

“Apakah kamu ingin mendengarnya?” tanyanya, dan aku mengangguk, tidak yakin apa yang dia tawarkan padaku, tapi yakin aku membutuhkan apapun yang dia bersedia berikan padaku.

Dia mulai membisikkan sesuatu di telingaku. Itu adalah hal yang paling aneh dari puisi—kamu bisa mengetahui kalau itu puisi, meski kamu tidak berbicara bahasanya. Kamu dapat mendengar puisi Yunani Homer tanpa mengetahui sepatah kata pun, dan kamu masih tetap tahu itu puisi. Aku telah mendengar puisi Polandia, puisi Inuit, dan aku tahu apa itu tanpa mengetahuinya. Bisikannya sama seperti itu. Aku tidak tahu bahasanya, tapi kata-katanya merasuki diriku, sempurna, dan dalam benakku aku melihat menara-menara kaca dan berlian, dan orang-orang dengan mata hijau tepucat; dan, tak terbendung, di bawah setiap suku kata, aku dapat merasakan gelombang laut yang tanpa henti.

Mungkin aku menciumnya dengan pantas. Aku tidak ingat. Aku tahu aku ingin.

Dan kemudian Vic mengguncangku dengan keras. “Ayo lah!” dia berteriak. “Cepat lah. Ayo!”

Di kepalaku aku mulai kembali dari jarak ribuan mil.

“Idiot. Ayo. Pergi saja.” katanya, dan dia mengumpat kepadaku. Ada kemarahan dalam suaranya.

Untuk pertama kalinya pada malam itu aku mengenali salah satu lagu yang diputar di ruang depan. Sebuah ratapan sedih saksofon diikuti oleh aliran nada cair, suara seorang pria menyanyikan lirik yang terpotong tentang anak-anak zaman sunyi. Aku ingin tinggal dan mendengarkan lagunya.

Triolet berkata, “Aku belum selesai. Masih ada lebih banyak lagi dariku.”

“Maaf sayang,” ujar Vic, tapi dia tidak lagi tersenyum. “Akan ada waktu lain,” dan dia mencengkeram sikuku dan memutar dan menarik, memaksaku keluar dari ruangan. Aku tidak melawan. Aku tahu dari pengalaman kalau Vic bisa mengalahkanku dengan mudah jika di kepalanya dia memutuskan untuk melakukan seperti itu. Dia tidak akan melakukannya kecuali dia kesal atau marah, tapi dia marah saat ini.

Keluar ke aula depan. Saat Vic membuka pintu, aku melihat ke belakang untuk terakhir kalinya, melewati bahuku, berharap mendapati Triolet di ambang pintu dapur, tapi dia tidak ada di sana. Namun, aku melihat Stella di puncak tangga. Dia sedang menatap Vic, dan aku melihat wajahnya.

Ini semua terjadi tiga puluh tahun yang lalu. Aku telah melupakan banyak hal, dan aku akan melupakan lebih banyak lagi, dan pada akhirnya aku akan melupakan segalanya; meski, jika aku memiliki kepastian tentang kehidupan setelah kematian, itu semua tidak terbungkus dalam mazmur atau himne, tetapi pada satu hal ini saja: aku tidak percaya aku dapat melupakan momen itu, atau melupakan ekspresi wajah Stella saat dia menyaksikan Vic bergegas menjauhi dirinya. Bahkan dalam kematian aku akan mengingatnya.

Pakaiannya berantakan, ada riasan tercoreng di wajahnya, dan matanya…

Kamu tidak ingin membuat alam semesta marah. Aku yakin alam semesta yang marah akan melihatmu dengan mata seperti itu.

Kami kemudian berlari, aku dan Vic, menjauh dari pesta dan turis-tuis dan aram temaram, berlari seolah-olah badai petir berada di belakang kami, lari pontang-panting karena jalanan yang membingungkan, menerobos labirin, dan kami tidak melihat ke belakang, tidak berhenti sampai kami tidak bisa bernapas; dan kemudian kami berhenti dan terengah-engah, tak mampu berlari lagi. Kami kesakitan. Aku berpegangan pada dinding, dan Vic muntah, keras dan lama, ke selokan.

Dia menyeka mulutnya.

“Dia bukan seo—” Dia berhenti.

Dia menggelengkan kepalanya.

Kemudian dia berkata, “Kamu tahu… kupikir ada sesuatu. Ketika kamu telah bertindak sejauh yang kamu berani. Dan jika kamu melangkah lebih jauh, kamu tidak akan menjadi dirimu lagi. Kamu akan menjadi seseorang yang telah melakukan itu. Sebuah tempat yang tidak bisa kau datangi… kupikir itu terjadi padaku malam ini.”

Kupikir aku tahu apa yang dia katakan. “Persetan dengannya, maksudmu?” Kataku.

Dia menghantamkan buku jarinya dengan keras ke pelipisku, dan memutarnya dengan kasar. Aku bertanya-tanya apakah aku harus melawannya—dan kalah—tapi sejurus kemudian dia menurunkan tangannya dan menjauh dariku, membuat suara pelan, yang tertelan.

Aku menatapnya dengan penasaran, dan tersadar kalau dia menangis: wajahnya merah padam, ingus dan air mata membasahi pipinya. Vic terisak-isak di jalanan, tanpa disadari dan memilukan seperti anak kecil.

Dia lalu berjalan menjauhiku, bahu terangkat, dan dia bergegas menyusuri jalan sehingga dia berada di depanku dan aku tidak bisa melihat lagi wajahnya. Aku penasaran apa yang telah terjadi di ruangan lantai atas itu sampai-sampai dia bersikap demikian, menakutinya seperti itu, dan aku bahkan tidak bisa menebak.

Lampu jalan menyala, satu per satu; Vic tersandung di depan, sementara aku berjalan tertatih-tatih di belakangnya di balik temaram senja. Kakiku memijaki sebuah irama puisi yang, kucoba sekuat tenaga, tak dapat kuingat dengan baik dan takkan pernah bisa kuulangi.

How To Talk To Girls at Parties oleh Neil Gaiman terbit pertama kali tahun 2007, diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah asli.