Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
William Burns, dari Ventura, California, menceritakan kisah ini kepada temanku Pancho Monge, seorang polisi di Santa Teresa, Sonora, yang menyampaikannya kepadaku. Menurut Monge, orang Amerika Utara itu adalah orang yang santai, yang tidak pernah kehilangan ketenangannya, sebuah deskripsi yang tampaknya bertentangan dengan kisah kejadian berikut. Dengan kata-katanya sendiri Burns menceritakan:
Itu adalah saat yang suram dalam hidupku. Aku sedang mengalami masalah di tempat kerja. Aku sangat bosan, meski sampai saat itu aku selalu kebal terhadap kebosanan. Aku hendak keluar dengan dua orang perempuan.
Aku ingat dengan jelas. Salah satu dari mereka kukenali sedikit—dia pastilah seumuranku—dan yang lainnya tidak lebih dari seorang gadis. Pada beberapa hari mereka tampak seperti dua perempuan tua yang sakit dan canggung, dan hari-hari yang lain mereka seperti dua gadis kecil yang hanya ingin bermain.
Perbedaan usia mereka tidak begitu besar sehingga kamu salah jika mengira mereka itu ibu dan anak perempuannya, tapi memang hampir seperti itu sih. Meskipun itu adalah soal yang hanya bisa ditebak oleh kaum pria; kamu tidak pernah benar-benar tahu pasti.
Bagaimanapun, kedua perempuan ini memiliki dua anjing, satu besar dan kecil. Dan aku tidak pernah tahu anjing mana yang menjadi milik masing-masing perempuan itu. Mereka berbagi rumah di pinggiran kota di pegunungan tempat orang pergi berlibur musim panas.
Ketika aku mengatakan pada seseorang, dari beberapa teman atau kenalan, bahwa aku akan pergi ke sana selama musim panas, dia mengatakan bahwa aku harus membawa pancingku. Tapi aku tidak punya pancing.
Seorang yang lain yang memberitahuku tentang beberapa toko dan kabin, bersantai-santai, dan menjernihkan pikiran.
Tapi aku tidak pergi ke sana untuk berlibur. Aku akan menjaga kedua perempuan itu. Mengapa mereka memintaku untuk menjaga mereka?
Mereka mengatakan kepadaku bahwa ada orang yang hendak mencelakai mereka. Mereka memanggilnya si pembunuh. Ketika aku bertanya apa motifnya, mereka tidak punya jawaban, atau mungkin mereka lebih suka membiarkan aku dalam ketidaktahuan.
Jadi, aku mencoba mencari tahu sendiri. Mereka takut, mereka percaya bahwa sedang berada dalam bahaya, meski mungkin itu adalah kekhawatiran yang salah.
Tapi, mengapa aku harus memberi tahu orang lain apa yang harus dipikirkan, apalagi ketika mereka mempekerjakan aku? Bagaimanapun, aku hitung-hitung sekitar seminggu kemudian mereka mengerti pandanganku.
Jadi, aku naik ke pegunungan bersama mereka dan anjing mereka, dan kami pindah ke sebuah rumah kecil berbahan batu dan kayu yang penuh dengan jendela, aku kira lebih banyak jendela daripada yang pernah aku lihat di sebuah rumah, semua ukurannya berbeda dan tersebar serampangan.
Dari luar, jendela-jendela itu memberi kesan bahwa rumah itu memiliki tiga lantai, tapi sebenarnya hanya ada dua lantai. Di dalam, terutama di ruang tamu dan beberapa kamar tidur di lantai pertama, jendela-jendela itu menghasilkan efek yang memusingkan, menggembirakan, dan menjengkelkan.
Di kamar tidur aku mendapati dua jendela, keduanya cukup kecil, satu di atas yang lain, yang paling atas hampir sampai ke langit-langit, yang lebih rendah posisinya lebih dari satu kaki dari lantai. Bagaimanapun, hidup di sana menyenangkan.
Perempuan yang lebih tua itu menulis setiap pagi, tapi dia tidak menutup diri, sebagaimana yang dikatakan orang-orang; dia memasang laptopnya di meja ruang tamu. Perempuan yang lebih muda menghabiskan waktunya berkebun atau bermain dengan anjing atau mengobrol denganku.
Sebagian besar aku yang memasak, dan walaupun aku bukan ahli, kedua perempuan itu memuji makanan yang telah kusiapkan. Aku bisa saja hidup seperti itu selama sisa hidupku.
Tapi suatu hari anjing-anjing itu melarikan diri dan aku keluar untuk mencarinya. Aku ingat pernah mencari-cari melewati kayu di dekatnya, hanya dipersenjatai dengan senter, dan mengintip ke halaman rumah kosong. Aku tidak bisa menemukannya di mana pun.
Ketika aku kembali ke rumah, kedua perempuan itu menatapku penaka aku harus disalahkan atas hilangnya anjing-anjing itu. Kemudian mereka menyebutkan sebuah nama, nama si pembunuh. Sejak awal mereka telah memanggilnya si pembunuh. Aku tidak mempercayainya, tapi aku mendengarkan apa yang harus mereka katakan.
Mereka membicarakan roman sekolah menengah atas, masalah uang, dendam. Aku tidak dapat memahami bagaimana keduanya bisa memiliki hubungan dengan orang yang sama di sekolah menengah atas, mengingat perbedaan usia di antara mereka.
Tapi mereka tidak mau mengatakannya lagi. Malam itu, meski dicela, salah satu dari mereka datang ke kamarku. Aku tidak menyalakan lampu, aku setengah tertidur, dan aku tidak pernah tahu perempuan yang mana itu. Ketika terbangun, dengan cahaya fajar yang pertama, aku sendirian.
Aku memutuskan untuk pergi ke kota dan berkunjung ke orang yang mereka takuti. Aku meminta alamat pada mereka dan menyuruh mereka untuk menutup diri di rumah dan tidak bergerak sampai aku kembali. Aku melaju di atas pickup perempuan tua itu.
Tepat sebelum sampai di kota, aku melihat anjing-anjing itu di halaman pabrik pengalengan tua. Mereka menghampiriku, tampak malu dan mengibas-ngibaskan ekornya. Aku memasukkan mereka ke dalam bak pickup dan berkeliling kota untuk sementara waktu, menertawakan betapa khawatirnya aku pada malam sebelumnya.
Aku menemukan diriku telah mendekati alamat yang diberikan kedua perempuan itu. Katakanlah pria itu bernama Bedloe. Dia memiliki sebuah toko di pusat kota, sebuah toko untuk berlibur, tempat dia menjual segala sesuatu mulai dari pancing hingga kemeja dan cokelat. Untuk beberapa saat aku hanya melihat-lihat rak. Pria itu tampak seperti aktor film; umurnya tidak lebih dari tigapuluh lima tahun.
Dia terlihat kuat, berambut gelap, dan sedang membaca koran yang tersebar di meja kasir. Dia memakai celana kanvas dan kaus. Toko itu pasti sudah melakukan bisnis yang baik; terletak di salah satu jalan utama, yang memiliki trem yang melintas di dalamnya dan juga mobil. Barang-barang Bedloe mahal—aku memeriksa harganya. Saat aku pergi, entah mengapa aku mendapat kesan bahwa orang malang itu hilang.
Aku tidak pergi lebih dari sepuluh yard ketika menyadari bahwa anjingnya mengikutiku. Aku bahkan belum melihatnya di toko: seekor anjing hitam besar, mungkin seekor anjing gembala Jerman yang disilangkan dengan jenis lain. Aku tidak pernah memiliki seekor anjing, aku tidak tahu apa yang membuat mereka berkutu, tapi, entah mengapa, anjing Bedloe mengikutiku. Aku mencoba mendapatkannya kembali ke toko, tentu saja, tapi tidak ada perhatian.
Jadi aku terus berjalan menuju pickup, dengan anjing di sisiku, dan kemudian aku mendengar sebuah siulan. Pemilik toko bersiul, anjingnya kembali. Aku tidak berbalik, tapi tahu bahwa dia telah keluar mencari kami. Reaksiku otomatis dan tidak berpikir: aku mencoba memastikan dia tidak melihatku atau kami. Aku ingat bersembunyi di balik trem berwarna merah tua, warna darah kering, dengan anjing yang menempel di kakiku. Saat aku merasa aman, trem itu berhenti dan penjaga toko melihatku dari trotoar yang berlawanan dan menggerakkan tangannya dengan gerakan yang bisa berarti “Ambil anjing itu!” atau “Tangkap anjing itu!” atau “Tetaplah di sana sampai aku datang!” Itulah yang tidak aku lakukan. Aku berbalik dan menghilang ke kerumunan, sementara dia meneriakkan sesuatu seperti “Berhenti, Anjingku!! Hei sobat, anjingku!”.
Mengapa aku melakukannya? Aku tidak tahu. Bagaimanapun, anjing pemilik toko itu mengikutiku ke tempat aku memarkir mobil pickup, dan segera setelah aku membuka pintu, sebelum sempat bereaksi, ia melompat masuk dan menolak untuk bergerak. Ketika kedua perempuan itu melihatku tiba dengan tiga anjing, mereka tidak mengatakan apa pun dan mulai bermain dengan mereka semua. Anjing pemilik toko sepertinya mengenal mereka jauh hari sebelumnya. Siang itu, kami membicarakan segala macam hal. Aku mulai dengan mengatakan kepada mereka apa yang telah terjadi padaku sewaktu di kota, lalu mereka membicarakan kehidupan masa lalu dan pekerjaan mereka: seseorang pernah menjadi guru, seorang yang lain menjadi penata rambut, dan keduanya telah berhenti dari pekerjaan mereka, walaupun dari waktu ke waktu, mereka berkata, mereka merawat anak-anak yang bermasalah. Pada suatu kesempatan, aku mendapati diriku berbicara tentang bagaimana rumah harus dijaga sepanjang waktu.
Kedua perempuan itu menatapku dan setuju, sambil tersenyum. Aku menyesal telah mengatakannya seperti itu. Lalu kami makan. Aku belum menyiapkan makanan malam itu. Percakapan itu berakhir dalam keheningan, selesai hanya karena suara rahang dan gigi kami bekerja dan jeratan anjing di luar saat mereka berlari mengelilingi rumah. Kemudian, kami mulai minum. Salah satu perempuan, aku tidak ingat yang mana, berbicara tentang kebulatan bumi dan perlindungan dan suara dokter. Pikiranku ada di tempat lain; aku tidak mengikutinya. Kurasa dia mengacu pada orang Indian yang pernah mendiami lereng gunung itu. Setelah beberapa saat aku tidak tahan lagi, maka aku bangkit, membersihkan meja, dan menutup diri di dapur untuk mencuci piring, tapi aku bisa mendengarnya bahkan di sana.
Ketika aku kembali ke ruang tamu, perempuan yang lebih muda terbaring di sofa, setengah tertutup selimut, dan yang satunya lagi berbicara tentang sebuah kota besar; seolah-olah dia sedang berbicara di kota besar, mengatakan betapa hebatnya kehidupan ini, namun kenyataannya dia menjalaninya. Aku tahu, karena sesekali keduanya akan mulai cengeng. Sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan dengan kedua orang itu adalah humor mereka. Aku mengerti mereka menarik, aku menyukai mereka, tapi tentang selera humor mereka selalu tampak salah dan dipaksakan. Botol wiski yang kubuka setelah makan malam sudah setengah kosong.
Itu menggangguku; aku tidak berniat mabuk, dan tidak ingin mereka mabuk dan meninggalkanku. Jadi, aku duduk bersama mereka dan mengatakan bahwa kami harus membicarakan beberapa hal. “Tentang apa?” tanya mereka, pura-pura terkejut, atau mungkin mereka tidak berpura-pura. “Rumah ini memiliki terlalu banyak titik lemah,” kataku. “Kita harus melakukan sesuatu untuk itu.” “Ada apa?” tanya salah seorang perempuan. “O.K.,” kataku, dan aku mulai dengan mengingatkan mereka seberapa jauh dari kota, betapa terbukanya, tapi aku segera menyadari bahwa mereka tidak mendengarkan.
Jika aku seekor anjing, aku berpikir dengan sedih, perempuan-perempuan ini pasti akan menunjukkan sedikit pertimbangan. Kemudian, selepas aku menyadari bahwa tak seorang pun dari kami merasa mengantuk, mereka mulai berbicara tentang anak-anak, dan suara mereka membuat hatiku mengkerut.
Aku pernah melihat hal-hal mengerikan dan jahat, pemandangan yang dapat membuat orang yang kuat sekalipun tersentak, tapi, saat mendengarkan perkataan si perempuan di malam itu, jantungku terasa sangat keras berpacu hingga hampir copot. Aku mencoba untuk membungkam, aku mencoba untuk mencari tahu apakah mereka mengingat kembali adegan dari masa kanak-kanak atau berbicara tentang anak-anak yang nyata di masa sekarang, tapi aku tidak bisa.
Tenggorokanku terasa seperti diikat dengan perban dan kapas. Tiba-tiba, di tengah percakapan atau monolog ganda itu, aku mendapat firasat dan aku mulai bergerak diam-diam menuju salah satu jendela di ruang tamu, jendela mata banteng kecil yang konyol, di sudut, terlalu dekat dengan jendela utama yang memiliki banyak fungsi. Aku tahu bahwa pada saat terakhir kedua perempuan itu menatapku dan menyadari ada sesuatu yang terjadi.
Yang harus kulakukan hanyalah meletakkan jariku di bibirku sebelum menarik kembali tirai dan melihat kepala Bedloe, kepala si pembunuh, ada di luar. Apa yang terjadi selanjutnya adalah kabur. Dan kabur terjadi karena panik itu menular. Pembunuh itu, aku langsung sadar, sudah mulai berlari mengelilingi bagian luar rumah. Kedua perempuan itu dan aku mulai berkeliaran di dalam.
Dua putaran dia mencari jalan masuk, mencoba menemukan sebuah jendela yang terbuka, sementara kedua perempuan dan aku berkeliling memeriksa pintu dan menutup jendela. Aku tahu aku tidak melakukan apa yang seharusnya kulakukan: pergi ke kamarku, mengambil pistolku, pergi keluar, dan membuatnya menyerah.
Sebagai gantinya aku mendapati diriku berpikir bahwa anjing-anjing itu masih di luar sana dan berharap tidak ada yang buruk terjadi pada mereka; salah satu anjing itu hamil, kurasa, aku tidak yakin—ada beberapa pembicaraan tentang hal itu.
Bagaimanapun, tepat pada saat itu, saat aku masih berkeliaran, aku mendengar salah satu perempuan berkata, “Yesus, si jalang, jalang,” dan aku memikirkan telepati, aku memikirkan kebahagiaan, dan aku takut perempuan itu, yang telah berbicara, yang mana pun, akan pergi mencari anjing itu.
Untung, tak satu pun dari mereka bergerak untuk meninggalkan rumah. Sebaiknya memang begitu. Sebaiknya memang begitu, pikirku. Dan kemudian (aku tidak akan pernah melupakan ini) aku pergi ke sebuah ruangan di lantai pertama di mana aku tidak pernah berada sebelumnya.
Ruangannya panjang, sempit dan gelap, hanya diterangi oleh bulan dan cahaya samar yang datang dari lampu teras. Dan pada saat itu aku tahu, dengan kepastian yang tidak jelas dari teror, takdir (atau malapetaka itu—hal yang sama dalam kasus ini) telah membawaku ke ruangan itu.
Di ujung jauh, di luar jendela, aku melihat siluet pemilik toko. Aku berjongkok, nyaris tidak bisa menahan getaran tubuhku (seluruh tubuhku gemetar, keringat menetes dariku), dan menunggu.
Pembunuh itu membuka jendela dengan menurunkannya pelan-pelan dan menyelinap diam-diam ke dalam ruangan. Ada tiga tempat tidur kayu yang sempit, masing-masing dengan meja di samping tempat tidur. Di dinding, beberapa inci di atas tempat tidur, aku bisa melihat tiga cetakan berbingkai. Si pembunuh berhenti sejenak. Aku merasakan napasnya; suara napas yang sehat terdengar saat udara masuk ke paru-parunya.
Lalu dia meraba-raba jalan ke depan, di antara dinding dan ujung tempat tidur, langsung ke tempatku berjongkok, menunggu. Meski sulit dipercaya, aku tahu dia tidak melihatku: Aku mengucapkan terima kasih kepada bintang keberuntunganku, dan ketika dia cukup dekat, aku mencengkram kakinya dan menariknya ke bawah. Begitu dia berada di lantai, aku mulai menendangnya untuk membuat luka sebanyak mungkin.
“Dia ada di sini, dia ada di sini!” Teriakku, tapi perempuan-perempuan itu tidak mendengarku (aku juga tidak bisa mendengar mereka berlarian), dan ruangan yang tidak biasa itu seperti proyeksi otakku, satu-satunya rumah, satu-satunya tempat penampungan.
Aku tidak tahu berapa lama berada di sana, menendang tubuh yang jatuh; Aku hanya ingat seseorang membuka pintu di belakangku, kata-kata yang tak bisa kupahami, sebuah tangan di pundakku. Lalu aku sendirian lagi dan berhenti menendangnya.
Untuk beberapa saat aku tidak tahu harus berbuat apa; Aku merasa linglung dan lelah. Akhirnya, aku melepaskannya dan menyeret mayat itu ke ruang tamu. Di sana aku menemukan kedua perempuan itu, duduk saling berdekatan di sofa, hampir saling berpelukan.
Sesuatu tentang kejadian itu membuatku memikirkan pesta ulang tahun. Aku bisa melihat kegelisahan di mata mereka, dan percikan rasa takut yang tersisa tidak begitu disebabkan oleh apa yang terjadi, seperti keadaan Bedloe setelah pukulan yang kuberikan padanya. Dan itu adalah tampilan di mata mereka yang membuatku kehilangan cengkeramanku dan membiarkan tubuhnya terjatuh ke karpet.
Wajah Bedloe seperti topeng bercahaya darah, berkilau di bawah ruang tamu. Tempat dimana hidungnya menjadi bubur darah. Aku memeriksa apakah jantungnya berdegup kencang. Para perempuan memperhatikanku tanpa melakukan gerakan sekecil apa pun. “Dia sudah mati,” kataku. Sebelum pergi ke teras, aku mendengar salah satu dari mereka mendesah.
Aku merokok sembari melihat bintang-bintang, memikirkan bagaimana aku akan menjelaskannya kepada pihak berwenang di kota. Ketika aku masuk kembali, para perempuan itu turun dengan keempat kakinya, dan aku tidak bisa menahan tangis. Mereka bahkan tidak menatapku.
Aku minum segelas wiski dan kemudian keluar lagi, mengambil botol itu, kurasa. Aku tidak tahu berapa lama berada di luar sana, merokok dan minum, memberi waktu para perempuan itu untuk menyelesaikan tugas mereka.
Aku kembali mengingat kejadian itu, mengumpulkan mereka berdua. Aku teringat pria yang melihat melalui jendela, aku teringat tatapan matanya, dan sekarang aku mengenali ketakutan itu, aku ingat saat dia kehilangan anjingnya, dan akhirnya aku ingat dia sedang membaca koran di bagian belakang toko.
Aku juga teringat akan cahaya di hari sebelumnya, cahaya di dalam toko dan cahaya teras terlihat dari ruangan tempat aku membunuhnya. Lalu aku mulai melihat anjing-anjing itu, yang juga tidak tidur, tapi berlari dari satu ujung halaman ke ujung halaman yang lain.
Pagar kayu pecah di tempat; seseorang harus memperbaikinya suatu hari nanti, tapi itu tidak akan menjadi pekerjaanku. Hari mulai fajar di sisi lain pegunungan. Anjing-anjing itu datang ke teras mencari tepukan, mungkin lelah bermain selepas malam yang panjang. Hanya dua yang biasa. Aku bersiul untuk yang satunya lagi, tapi tidak datang. Tiba-tiba kesadaran itu membuat bulu kudukku berdiri. Orang mati itu bukan pembunuh.
Kami telah ditipu oleh pembunuh sebenarnya, yang bersembunyi di suatu tempat yang jauh, atau, lebih mungkin, dengan takdir. Bedloe tidak ingin membunuh siapa pun—dia hanya mencari anjingnya.
Bajingan malang, pikirku. Anjing-anjing itu kembali berkejaran di sekitar halaman. Aku membuka pintu dan menatap para perempuan, aku tidak mampu memaksa diriku masuk ke ruang tamu. Tubuh Bedloe berpakaian lagi. Berpakaian lebih baik daripada sebelumnya. Aku akan mengatakan sesuatu, tapi tidak ada gunanya, jadi aku kembali ke teras.
Salah satu perempuan mengikutiku keluar. “Sekarang kita harus menyingkirkan mayatnya,” katanya di belakangku. “Ya,” kataku. Kemudian, aku membantu menempatkan Bedloe ke bagian belakang pickup. Kami melaju ke pegunungan. “Hidup itu tidak ada artinya,” kata perempuan yang lebih tua. Aku tidak menjawab; aku menggali kuburan.
.Ketika kami kembali, saat mereka mandi, aku mencuci pickup dan mengumpulkan barang-barangku.
“Apa yang akan Anda lakukan sekarang?” tanya mereka saat kami sarapan di teras, mengamati awan. “Aku akan kembali ke kota,” kataku, “dan aku akan menyelidikinya dari saat aku salah menduga”
Dan akhir ceritanya adalah, seperti yang dikatakan Pancho Monge, enam bulan kemudian William Burns dibunuh oleh penyerang tak dikenal.
Roberto Bolaño Ávalos (28 April 1953 – 15 Juli 2003) adalah seorang novelis berkebangsaan Chili, penulis cerita pendek, penyair dan esais. Pada tahun 1999, Bolaño memenangkan Rómulo Gallegos International Novel Prize untuk novelnya Los detectives salvajes (The Savage Detectives), dan pada tahun 2008 dia dianugerahi penghargaan National Book Critics Circle Award, kategori Fiksi untuk novelnya 2666. The New York Times menggambarkannya sebagai “suara sastra Amerika Latin yang paling signifikan dari generasinya”
Naskah asli: http://www.newyorker.com/magazine/2010/02/08/william-burns
*Gambar karya Bill Traylor; Untitled (Two Dogs Fighting)
Asef Saeful Anwar