Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Tiga Kisah Pendek [Sherman Alexie]

author = A. Nabil Wibisana

Penghasilan Tetap

Saat mulai bekerja di McDonald, aku terkejut mengetahui aku adalah satu-satunya remaja di sana. Kupikir hanya di bisnis restoran cepat saji para remaja punya kesempatan memperoleh pekerjaan. Tapi sebagian besar pekerja ternyata para mahasiswa atau sarjana pukimak. Salah satu juru masak memiliki ijazah Teknik Elektro. Dan ia mendayagunakan semua pengetahuan sains yang dipelajarinya di universitas untuk memastikan ada dua acar, dan benar-benar hanya ada dua acar, di hamburger.

Aku tak bermaksud mengolok-olok kolegaku. Sebagian besar mereka asyiklah. Aku marah pada negara keparat ini karena memaksa orang-orang dewasa bekerja di McDonald. Perempuan empat puluh lima tahun yang bertugas di bagian lantatur adalah orang tua tunggal yang memiliki tiga anak. Bagaimana ia bisa menghidupi mereka dengan upah McDonald?

Dan kupikir bukan kebetulan jika 99% rekan kerjaku adalah orang kulit hitam dan Latin. Aku sendiri keturunan penduduk asli Amerika dan kulitku cukup gelap untuk seorang bocah kota blasteran Indian. Satu-satunya yang 100% putih di restoran tempat aku bekerja adalah susu kocok vanila sialan itu.

Kadang kala, aku merasa bersalah karena aku berhasil menyabet pekerjaan ini. Barangkali ada seorang ibu atau ayah lain yang membutuhkannya. Tapi orang tuaku pun bukanlah milarder. Ibuku, perempuan Indian asli, bekerja sebagai Penasihat Akademik di Universitas Washington, dan punya penghasilan yang layak, tapi ayahku, lelaki kulit putih, di-PHK dari Boeing dua tahun lalu dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Cepat atau lambat, ia mungkin akan membuat kentang goreng bersamaku.

Aku menabung upahku untuk biaya kuliah. Aku mengacaukan dua tahun pertama sekolah menengahku seperti kebanyakan anak Indian lain sehingga nilai-nilaiku remuk. Tapi Seattle punya beberapa kampus lokal yang keren. Aku bisa memperbaiki nilaiku di sana dan meneruskan pendidikan lebih tinggi ke universitas yang dekat dengan rumah.

Sekarang memang masa-masa sulit, dan barangkali aku tidak seputus asa seperti kebanyakan orang lain, tapi aku cukup putus asa sampai-sampai membutuhkan pekerjaan ini.

Ada seorang lelaki kulit putih tua yang bekerja di sini. Gerak-geriknya lambat sehingga ia dianggap tak mampu menggunakan peralatan apa pun. Ia hanya bertugas menyapa orang di pintu depan serta merapikan dan membersihkan meja.

Tapi pikirannya tajam bukan main. Aku selalu suka apa yang ia katakan. Kami menghabiskan waktu istirahat bersama-sama. Kami mengenakan jaket untuk menutupi seragam kemeja polo McDonald, berjalan satu blok, melangkah ke lorong, dan merokok sepuasnya.

Istrinya meninggal sepuluh tahun lalu.

“Menua bersama, suami tidak semestinya hidup lebih lama dari istri,” ujarnya. “Istriku seharusnya menjadi janda, duduk berkerumun dengan janda tua lain sembari mengejek mendiang suami mereka.”

Tapi lelaki tua itu punya pacar. Beberapa pacar, lebih tepatnya.

“Saat kau hidup sendirian di sebuah rumah tua,” ucapnya, “Kau mesti menghabiskan banyak waktu dengan berdansa bersama perempuan yang berbeda.”

“Jadi kakek tua seperti dirimu menyebutnya berdansa?” sahutku. “Kurasa kau lelaki hidung belang paling tua sedunia.”

Setelah beberapa bulan menjalin persahabatan via merokok bersama, ia memintaku memanggilnya dengan sebutan Datuk, dengan huruf kapital D.

“Bukankah begitu cara orang Indian menyebut tetua terhormat?” tanyanya. “Bukan eyang atau embah atau aki atau opa. Datuk bisa jadi gelar bangsawan bagiku.”

Keempat kakek-nenekku, dua Indian dan dua kulit putih, meninggal sebelum aku lahir, jadi bisa dibilang aku tidak memiliki tetua menurut tradisi. Aku memerlukan seorang datuk. Aku lapar figur datuk.

“Datuk,” kataku. “Sudah waktunya kembali bekerja.”

Ia tersenyum lebar, lebih dari biasanya. Ia menyukai rasa hormat. Aku suka menghormatinya. Di negara yang mengenaskan ini, rasa hormat adalah satu-satunya hal yang bisa diberikan oleh orang kebanyakan semacam kami.

***

Masyarakat Terhormat

Pagi hari setelah pesta, aku mengumpulkan kaleng bir—kosong, setengah kosong, atau tiga perempat penuh—lalu menuangkan sisa bir ke bak cuci, meremas kaleng sampai gepeng, dan melemparkannya ke bak belakang truk nenekku.

Nenekku meninggal tiga tahun lalu tapi truk itu tetaplah miliknya. Aku hanya meminjam dari arwahnya. Odometer truk itu menunjukkan angka lebih dari tiga ratus ribu mil tapi aku tetap bisa membuatnya berjalan dengan berbagai pergantian suku cadang, macam-macam doa, dan lagu drum-tangan.

Way-ya-hey-ya, hidup, hiduplah mesin! Way-ya-hey-ya, jangan patahkan hatiku!

Saat bak belakang truk terisi penuh, aku menutupinya dengan selembar kain agar kaleng-kaleng yang telah terkumpul itu tidak berhamburan, dan kemudian aku pergi dari kawasan reservasi ke Spokane, Washington.

Aku berusia tujuh belas tahun tapi tidak punya SIM atau bahkan kartu-belajar mengemudi. Keluargaku miskin dan kami tidak mampu membayar kursus mengemudi formal. Dan aku tidak bisa mengikuti tes mengemudi jika belum lulus kursus mengemudi. Tapi aku tidak perlu persetujuan resmi untuk bisa mengemudi dengan aman. Aku mematuhi batas kecepatan, teratur mengecek kaca spion, dan meletakkan kedua tangan tetap di kemudi.

Way-ya-hey-hey, jalan, jalanlah, truk kecil, cepat melaju dengan mulus dan mujur, way-ya-hey-hey.

Begitu tiba di Spokane, aku meluncur ke pusat daur ulang dekat bekas bangunan East Sprague Drive-In dan menjual kaleng-kaleng aluminium itu dengan harga lima puluh lima sen per pon. Aku sudah berhitung:

  1. Aku perlu menjual 818 pon untuk menghasilkan $450.
  2. Aku perlu $450 untuk membayar bimbingan belajar SAT yang menjamin bisa menaikkan nilai tesku sebesar 20%.
  3. Dalam kompetisi untuk meraih beasiswa dan masuk ke perguruan tinggi unggulan, skor SAT yang bagus adalah kunci.

Orang tuaku hidup dari jaminan sosial pemerintah dan dana amal suku. Pekerjaan penuh-waktu mereka adalah bersedih. Tak satu pun dari mereka lulus SMA dan mereka belum pernah tinggal di mana pun kecuali dalam kawasan reservasi. Namun, saat sadar ataupun mabuk, mereka selalu memainkan drum-tangan serta menyanyikan lagu-lagu purba dan baru:

Way-yay-hey-hey, aku tak bisa menang atau kalah, aku punya blues res-res-reservasi, Ya-ya-hey-hey.

Mereka mengajariku menyanyi dan menepuk drum. Dan meskipun aku tak percaya pada Tuhan, aku percaya lagu yang indah kurang lebih adalah Tuhan. Jadi begitulah, aku bernyanyi dan bernyanyi dengan ibu dan ayahku. Aku bernyanyi bersama seluruh suku.

Dan aku berkeliling di kawasan reservasi, menyetir mobil atau hanya berjalan kaki, untuk mengumpulkan kaleng aluminium. Pon demi pon, dolar demi dolar, aku mesti mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, menjawab pertanyaan paling penting dalam hidupku:

Lengkapilah kalimat berikut: Ketika bocah Indian miskin danmemutuskan ia haruskawasan reservasi, ia merasa

  1. depresi berat … melarikan diri dari … seperti sedang berusaha menyelamatkan hidupnya
  2. setia … tetap tinggal di … ia tidak punya pilihan lain
  3. sangat cerdas … menolong … pendidikan tinggi mutlak diraih
  4. berbakti … meninggalkan orang tuanya di … seperti pengkhianat
  5. ambisius … melihat dunia di luar … amat riang dan gamang

Saat aku menempuh ujian SAT itu, aku akan bernyanyi, hanya dalam imajinasi tentu saja, karena aku tak bisa membawa drum sungguhan. Aku akan bernyanyi untuk mengikis rasa takut. Aku akan bernyanyi tentang kehidupan yang gila ini:

Ya-ya-hey-hey, kau tak bisa pergi dan kau tak bisa tinggal, way-ya-hey-hey.

Ya-ya-hey-hey, kau punya terlalu banyak pertanyaan setiap hari, way-ya-hey-hey.

Ya-ya-hey-hey. Mestikah kau membenci? Atau mestikah kau mencintai? Way-ya-hey-hey.

Ya-ya-hey-hey. Jawabannya adalah Semua Benar. Way-ya-hey-hey.

***

Selamat Berpisah

Setiap hari selama tiga tahun, setelah latihan sepak bola sepulang sekolah, John dan aku berjalan ke toko kelontong di kota kecil kami dan membeli permen, keripik kentang, serta minuman soda. Sebuah ritual bersama. Kami menyapa pasangan tua pemilik toko, berjalan menghampiri lemari pendingin, mengambil minuman soda, membayar minuman dan makanan ringan lainnya, lantas berlalu entah menuju rumahku atau rumah John, tergantung pada apa yang akan dimasak oleh orang tua kami sebagai menu makan malam.

Kehidupan normal dari dua anak yang normal pula.

Namun, suatu hari, pada bulan November di tahun terakhir sekolah, John dan aku, seperti biasa, menghampiri lemari pendingin di toko kelontong itu dan meraih kaleng minuman soda favorit kami. Tapi sejenak kemudian kami saling memandang, kami memikirkan gagasan yang sama. Aku tak tahu mengapa itu terjadi. Tanpa bicara sepatah kata pun, John dan aku mengambil tiga pak minuman soda dan memasukkannya ke dalam tas tebal kami. Menyembunyikan hasil curian itu, kami membayar makanan ringan yang biasa kami beli, berjalan ke rumah John, berlomba masuk ke kamarnya dan merayakan sukses hari itu. Kami sikat habis semua minuman soda itu sampai kami mabuk gula dan kafein. Kami bisa saja mencuri bir, tapi kami adalah atlet. Dan olahragawan tidak boleh teler di sekolah.

Pagi berikutnya, kami bertemu sebelum jam sekolah, dan bersumpah tak akan melakukannya lagi. Sekali mungkin kenakalan semata, tapi lebih dari sekali jelas tindak kriminal.

Tapi selepas latihan malam itu, kami melakukannya lagi. Lantas kembali melakukannya pada hari berikutnya. Kami mengutil selama seminggu penuh.

Sensasi dan rasa bersalah bertambah besar setiap waktu.

Kami bergurau dan tertawa bersama pasangan tua pemilik toko. Kami membayar lima dolar untuk makanan ringan, sementara kami mencuri barang lain seharga dua puluh dolar.

Kemudian aku tak bisa melakukannya lagi.

“John,” kataku. “Kita harus berhenti. Kita akan tertangkap. Mereka akan mengusir kita dari tim. Mereka bisa saja mengeluarkan kita dari sekolah.”

“Sekali lagi saja,” sahutnya. “Ayolah, Pete. Mereka terlalu tua untuk menangkap kita.”

“Aku tak bisa melakukannya, kawan.”

“Ah, kau pengecut.”

Aku berjalan pulang sendirian sementara John pergi menuju toko. Kupikir ia akan mengirim sms atau menelepon setelah ia meninggalkan toko. Aku tak mendengar kabar apa pun darinya.

Saat aku tiba di sekolah keesokan paginya, aku langsung mendengar kabar buruk itu. John tepergok mengutil. Aku tahu mereka curiga bahwa aku pun terlibat. John dan aku selalu pergi ke mana-mana bersama.

Waktu istirahat pertama, aku dipanggil menghadap kepala sekolah. Ia ada di ruangannya bersama pengawas sekolah, penasihat sekolah, dan pelatih sepak bola. Mirip situasi interogasi.

“Peter,” kata kepala sekolah. “Aku yakin kau tahu mengapa kau dipanggil kemari.”

“Karena John,” kataku.

“Ya,” katanya. “Apa kau tahu apa yang ia lakukan? Apa kau terlibat?”

Aku ingin bicara yang sebenarnya. Aku tahu aku harus mengaku. Tapi rasanya aku akan menghancurkan hidupku kalau mengakui kejahatan itu. Aku bertanya-tanya apakah John sudah mengatakan kepada mereka bahwa aku pun telah mencuri hampir sesering yang ia lakukan. Apakah ia melakukan hal yang benar?

“Pete,” kepala sekolah kembali bertanya. “Apa kau terlibat?”

“Tidak, Pak,” jawabku.

Mereka semua mengamati wajahku. Mereka tahu aku berdusta. Mereka tidak akan membiarkanku lolos begitu saja.

“Baiklah, Pete,” kata kepala sekolah. “John telah memberi tahu kami bahwa ia melakukannya sendirian.”

Aku tahu mereka pun tidak percaya padanya. Tapi tak ada yang bisa mereka perbuat. Aku tidak mengaku dan John telah menyangkal keterlibatanku. Ia diusir dari tim sepak bola, dijatuhi hukuman pelayanan masyarakat dengan memungut sampah di sekitar kota, dan diskors dari sekolah selama sebulan.

Selama bulan itu, kami tak pernah berjumpa. Kami tak menelepon atau mengirim pesan. Kami telah melakukan berbagai hal bersama selama bertahun-tahun tapi keadaan telah berubah. Aku tak tahu mengapa ia tidak menghubungiku. Tapi aku pun terlalu malu untuk bicara dengannya. Aku membiarkannya menanggung semua hukuman. Aku masih terus bermain sepak bola. Aku tak perlu menyerok tahi anjing sementara teman-teman sekelas menonton. Aku tidak diskors. Dan reputasiku tidak hancur. Aku tidak dicap sebagai anak baik yang berubah nakal. Bahkan, beberapa orang menganggap John telah mengkhianatiku dengan kejahatan mengutil itu dan hampir saja membuatku terseret masalah.

Sewaktu John kembali ke sekolah, ia tak menatapku. Dan aku tak memandangnya pula. Keheningan ini berlangsung sepanjang sisa tahun itu. Kami mengabaikan satu sama lain pada upacara wisuda. Orang tua kami pun saling menjauh.

Larut malam itu, di sebuah pesta di tepi sungai, kami berdiri di sekitar api unggun yang berbeda. Aku tak minum apa pun. Tapi ia benar-benar mabuk. Aku sungguh-sungguh mengkhawatirkannya. Ia memergokiku menatapnya. Ia melemparkan birnya ke dalam api dan melangkah terhuyung-huyung ke arahku.

Ia menarik kemejaku dan mengguncang tubuhku.

“Kau tidak seperti yang kupikirkan,” katanya.

“Kau pun tidak,” kataku.

Diterjemahkan dari cerpen Sherman Alexie yang berjudul Three Short Stories, disiarkan pada 19 November 2016 di laman The Rumpus

Sherman Alexie adalah penyair, penulis cerita pendek, novelis, dan pembuat film terkenal. Seorang Indian Spokane/Coeur d’Alene, ia dibesarkan di Wellpinit, Washington, di Kawasan Reservasi Indian Spokane. Ia telah menerbitkan 25 buku, antara lain The Business of Fancydancing: Stories and Poems (1992), The Lone Ranger and Tonto Fistfight in Heaven (1993), Reservation Blues (1995), One Stick Song (2000), The Absolutely True Diary of a Part-Time Indian (2007), War Dance (2010), dan Blasphemy: New and Selected Stories (2012).  Smoke Signals, film yang ditulisnya dan diproduksi bersama Chris Eyre, memenangkan Audience Award dan Filmmakers Trophy di Sundance Film Festival 1998. Penghargaan sastra yang pernah diraihnya antara lain PEN/Faulkner Award, PEN/Malamud Award, PEN/Hemingway Award, National Book Award, dan National Endowment for the Arts.