Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Bagus Panuntun
Saat itu usiaku masih 10 tahun. Di tengah musim kemarau, aku keluar diam-diam dari kamar. Kubuka pelan-pelan pintu menuju muka rumah. Aku tak lagi takut pada hantu atau roh jahat apapun yang keluar di tengah malam untuk menakuti anak-anak.
Aku duduk di teras dan mendongakkan kepalaku untuk memandangi langit. Emak bilang kalau kakak perempuanku tinggal di sana bersama para malaikat.
Lalu tiba-tiba, muncul satu bintang, bintang yang sangat kecil tapi paling terang di antara yang lain. Aku menatapnya penuh perhatian. Ia bergerak, berkedip, dan tersenyum padaku sebelum bersembunyi di antara dua awan, lalu muncul kembali. Ia membuatku sangat bahagia dan aku membalas senyumnya. Aku tahu, bintang itu kakak perempuanku yang meninggal dua tahun sebelum kelahiranku. Aku memanggilnya: “Mbak Bintang”.
Duduk di teras, aku mulai bicara padanya, pada Mbakku. Aku menceritakan banyak hal karena aku khawatir dia tak lagi tahu apa yang terjadi di sekitar sini sejak ia tinggal di atas.
Mbak Bintang selalu mendengarkanku dengan saksama. Aku bilang kalau Bapak sudah membeli motor baru dan masih bekerja pada orang kulit putih di hotel Istana Jaya. Ia sering pulang membawa buku-buku yang dibuang oleh orang-orang kulit putih setelah mereka selesai membacanya. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau terakhir kali, Bapak membawakan buku aneh yang membuatku hampir terisak saat membacanya: Pangeran Cilik, buku kecil yang ditulis seorang pilot bernama Antoine de Saint-Exupéry.
Buku yang sudah kubaca lebih dari sepuluh kali ini menceritakan seseorang yang hilang di tempat yang jauh, sangat jauh dari tempat manapun yang ditinggali manusia. Di sana, tiba-tiba ia bertemu seorang bocah yang menyuruhnya menggambar seekor domba. Aku kasihan pada bocah yang entah dari mana itu, yang sepertinya belum pernah melihat domba.
Suatu malam, aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku sedang merasa seperti bocah itu. Aku juga ingin seseorang menggambarkanku seekor hewan yang ramah, seperti hewan lucu yang ada di buku Antoine de Saint-Exupéry…
Lalu satu minggu berikutnya, di tengah malam seperti biasanya, aku kembali melihat angkasa. Meski malam itu semua bintang sedang beristirahat di kasur awan empuknya, aku melihat Mbak Bintang tetap bersinar terang. Ia berkedip-kedip lalu membolak-balikkan badannya seolah sedang sangat sibuk dan agak gugup. Aku memperhatikannya dengan antusias dan gembira dan aku segera menyadari kalau ia sedang menggambarkanku seekor domba. Seekor domba yang cantik di atas langit.
Aku menjaga rahasia ini. Aku tidak pernah bilang ke Bapak, Emak, apalagi teman-teman satu kelas. Aku ingin bilang ke Mbak Bintang kalau aku sudah sering melihat domba di kampung dan aku ingin agar ia menggambarkanku hewan baik lainnya. Tapi Mbak Bintang lebih suka menggambar domba Saint-Exupéry. Dan aku tidak ingin menolaknya. Sebab, domba yang ia gambar terlihat seperti hewan paling baik yang pernah ada di dunia.
Aku menceritakan banyak hal lain ke Mbak Bintang. Suatu hari, aku bahkan bercerita tentang Paman René yang baru membeli rumah di Kompleks Trisata, dekat kafe Kredit Bablas. Rumah Paman mewah dan kokoh. Halamannya sangat luas dan teman-temannya sering berkunjung karena senang melihat rumahnya yang luar biasa. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku ingin sekali tinggal bersama Paman René karena rumah kami tidak sekokoh rumahnya. Rumah kami lebih kelihatan seperti gubuk dari papan rapuh dengan atap yang bocor-bocor. Hujan sering membanjiri ruang tengah bahkan sampai masuk kamarku. Dan setiap kali hujan, Bapak dan Emak harus bangun karena takut rumah kami terseret banjir. Aku sering tidur sambil memakai jas hujan. Bapak sering berjanji untuk menambal atap rumah keesokan harinya, tapi ia selalu lupa dan baru ingat setelah hujan datang lagi.
“Kan situ udah janji mau benerin genteng!” teriak Emak saat hujan mengguyur.
“Iya, besok…”, jawab Bapak.
“2 minggu lalu situ juga ngomong gitu!”
“Iya, iya besok ah. Janji”
Dan Bapak tak pernah memenuhi janjinya. Ia lebih memilih membelikanku jas hujan baru dan sepasang sepatu bot. Air hujan sering jatuh ke badanku, tapi aku sudah terbiasa. Bahkan, saat itulah aku justru merasa lebih ngantuk.
Sebenarnya, Paman René juga ingin aku tinggal di rumahnya, tapi Bapak dan Emak menolaknya. Mereka tak mau kesepian di rumah papan tuanya. Aku bisa membayangkan bagaimana misalnya aku tinggal di rumah Paman René. Aku akan bermain dengan sepupu-sepupuku dan aku akan tidur di kamar yang atapnya rapat. Tapi Bapak orang yang sangat memikirkan harga dirinya. Oleh karena itu, ia memintaku berhenti bermimpi untuk tinggal di sana, dan dengan tegas berkata:
“Bapak nggak mau kamu tinggal di rumah René. Bapak tau Bapak miskin dan kamu pingin tinggal di rumah Pamanmu yang banyak duit dan rumahnya gede ! Tapi hidup tuh harus banyak syukur sama apa yang kita punya. Tinggal di rumah reyot bukan berarti hati ikutan melarat. Nanti kamu bakal ngerti kalau udah gede…”
Setelah satu jam lebih melihat langit, aku mulai merasa mataku berat. Aku mengantuk, tapi cahaya Mbak Bintang membuatku tetap terjaga. Aku baru sadar kalau sudah cukup lama berada di teras. Aku ingin tidur tapi aku tak bisa tidur sebelum bercerita tentang Emak ke Mbak Bintang.
Jadi, aku bercerita tentang kelereng yang Emak belikan untuk kado ulang tahunku. Emak memberiku 12 kelereng tapi semuanya hilang. Anak-anak kampung yang lebih tua meminta kelerengku sambil mengancam. Dan aku tak mungkin melawan mereka karena tubuhku kurus kering seperti biting. Emak jengkel dan berjanji akan membawaku ke dukun kampung yang bisa memberiku jimat supaya aku lebih kuat jika kelerengku diminta lagi. Dukun itu bernama Mak Malonga. Kami menyambanginya suatu malam. Ia menyuruhku makan akar pedas dan memberiku gelang dari taring ular berbisa. Saat anak-anak nakal itu melihatku, mereka akan kabur karena tahu bahwa mereka tak akan menang melawan seseorang yang memakai jimat.
Sejak hari itulah, aku tak pernah lagi kehilangan kelereng-kelerengku.
Emak sering memikirkan almarhum Mbak. Ia selalu membawa foto Mbak kemanapun ia pergi. Mbak cuma hidup selama satu minggu setelah kelahirannya. Roh jahat di desa kami nampaknya iri akan kecantikannya. Dan karena roh-roh jahat itu mendatangi Mbak setiap malam, mereka akhirnya bisa melempar kutukan jahat pada rumah kami. Oleh karena itulah, leluhur-leluhur kami ingin agar Mbak tinggal di langit bersama para Dewa dan di samping para malaikat untuk melindungi keluarga kami. Sejak kematian Mbak, Bapak dan Emak meninggalkan desa kami di Mouyondzi untuk tinggal di kota Pointe-Noire.
Aku lahir dua tahun setelah kemalangan itu. Tapi penyihir jahat dari Mouyondzi tetap menyimpan dendamnya. Mereka bahkan mengirim kutukan jahat ke perut Emak sehingga aku tak bisa lagi punya adik hingga sekarang.
Aku tak bisa lagi merahasiakan obrolan tengah malamku dengan Mbak Bintang. Aku ingin menunjukkan ke teman-temanku kalau aku bukan anak tunggal dan aku punya kakak perempuan yang tinggal di antara bintang-bintang. Aku menceritakan ini ke salah satu teman laki-laki di kelasku, namanya Nestor. Dan karena Nestor enggan percaya, aku mengeluh pada Mbak Bintang malam harinya. Aku bilang padanya:
“Nestor nakal banget”
Lalu Mbak Bintang bertanya:
“Kenapa kamu bilang kalau dia nakal?”
Dan aku menjawab:
“Soalnya dia suka duduk paling belakang buat gangguin murid cewek. Terus dia suka jahilin aku padahal aku nggak ngapa-ngapain”.
“Oh.. jadi karena itu kamu bilang dia nakal?”
“Dia juga bilang kalau aku miskin dan menyedihkan karena aku nggak punya saudara laki-laki atau perempuan. Padahal aku sudah bilang ke dia kalau aku punya Mbak yang tinggal di langit”
“Terus, Nestor jawab apa?”
“Dia nggak percaya. Dia bilang kalau ceritaku bodoh dan aku pembohong. Nestor juga bilang kalau Mbak nggak ada, karena suatu malam, dia pergi ke teras dan melihat langit, tapi dia nggak melihat Mbak seperti aku sekarang. Dia bilang cuma ada bintang-bintang biasa, yang bisa dilihat semua orang”
“Terus kamu jawab gimana?”
“Aku bilang, kalau malam itu Mbak Bintang sedang kelelahan dan tidur sama para malaikat”
“Terus apa kata Nestor?”
“Dia bilang kalau aku harus berhenti cerita bohong. Kalau nggak, dia bakal menjewerku dan bocorin rahasia ini ke satu sekolah saat istirahat”.
“Terus, kamu mau Mbak nunjukkin ke Nestor kalau Mbak memang ada?”
“Aku mau Mbak ketemu langsung dengan Nestor, Mbak muncul di langit, dan Mbak bicara seperti Mbak ngobrol sama aku sekarang…”
“Baik, besok kamu bilang ke Nestor kalau Mbak akan ada di langit pada Minggu malam. Dia harus mendongak ke langit dan melihat Mbak bergerak. Bilang juga ke dia kalau Mbak mau gambarin domba kecil seperti di bukunya Saint-Exupéry”.
Nestor tak percaya padaku saat aku bilang tentang obrolanku semalam dengan Mbak Bintang. Dia tertawa keras dan bilang:
“Kamu pasti sudah gila! Kamu nggak punya kakak perempuan. Mbakmu sudah meninggal. Mbakmu sudah lama meninggal!”
“Nggak! Dia belum meninggal, aku nggak bohong. Kamu lihat sendiri hari Minggu malam. Lihat langit dan dia akan menggambar domba buatmu, seekor domba seperti di bukunya Saint-Exupéry”.
Minggu malam, Nestor keluar dari kamar. Ia menatap langit. Tapi hanya ada gelap. Tak ada satupun bintang. Tapi saat ia semakin mendongakkan kepala, awan-awan mendung mulai menipis dan semakin berjarak. Satu bintang kecil berkedip. Bintang itu sendirian, seolah tak mau diganggu bintang lainnya. Ini saat terbaik untuk membuat Nestor percaya. Bintang itu bergerak dan membolak-balikkan badannya. Dari rumah, aku juga melihatnya.
Nestor menatap langit dengan sangat saksama. Dan ia melihat seekor domba yang digambar oleh Mbak Bintang. Domba itu bahkan lebih bagus daripada domba milikku. Ia menggoyang-goyangkan ekor dan telinganyanya. Ia lalu melompat-lompat selama beberapa menit sebelum bersembunyi di balik bulan yang baru saja muncul bersama bintang-bintang lain yang merasa iri dengan Mbakku.
Esok harinya di sekolah, Nestor duduk di sebelahku dan berbisik:
“Aku lihat Mbakmu semalam… Dia menggambarkanku domba putih”.
Aku tersenyum karena mulai sekarang Nestor menjadi sahabat terbaikku.
Beberapa hari kemudian, Nestor datang kembali padaku dengan wajah sedih. Ia mengajakku pergi ke taman.
“Ada apa Nestor?”
Ia mengusap air matanya sebelum memberitahuku:
“Aku juga sedang mencari adik laki-lakiku. Dia meninggal tahun lalu, tapi aku nggak melihat dia di langit sama bintang-bintang. Ini nggak adil !”
Aku merangkul bahunya untuk menenangkannya. Aku bilang kepadanya:
“Kamu harus sedikit bersabar. Adikmu akan muncul suatu hari. Sekarang dia masih belajar tentang bagaimana hidup di sana. Tapi aku janji, besok aku akan bilang ke Mbak Bintang untuk mencarikan adikmu. Nanti, mereka akan muncul berdua di depan kita”.
TAMAT
Profil Penulis:
Alain Mabanckou adalah penulis asal Kongo-Brazzaville dan menjadi salah satu penulis francophone paling terkenal dan produktif saat ini. Penulis kelahiran 24 Februari 1966 ini dikenal berkat karya-karyanya yang banyak bercerita tentang realitas sosial di Afrika dan pengalaman para diaspora kulit hitam di Prancis dan Amerika. Novelnya Black Bazar (2009) masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2017, sementara novelnya yang lain Mémoires de porc-épic (2006) memenangkan Prix Renaudot 2006 dan masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2015. Saat ini, ia menjadi dosen pengajar sastra francophone di University of California, Los Angeles (UCLA).
Sumber buku:
Judul asli dari cerpen ini adalah Ma Soeur-Étoile yang termuat dalam buku Enfances, Nouvelles recueillies par Alain Mabanckou (2005), terbitan Ndzé. Enfances adalah kumpulan cerpen bertema anak-anak yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan francophone asal Afrika. Beberapa penulis besar yang berkontribusi di buku ini di antaranya Alain Mabanckou, Ananda Devi, Raharimana, Sami Tchak, dll