Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = A. Nabil Wibisana
Kami berkumpul beberapa hari setelah Hillary Clinton mengaku kalah. Meja dipenuhi botol dan gelas; dan meskipun rasa lapar telah terpuaskan, tangan kami sesekali masih mencomot buah anggur, mencuil lelehan keju, atau meraih cokelat dari kotak. Kami berbincang tentang peluang Obama melawan McCain, dan penasaran apakah dalam minggu-minggu mendatang Hillary akan memperlihatkan ketegaran atau sekadar penipuan-diri. Kami pun mendiskusikan apakah kini Partai Buruh tak lagi bisa dibedakan dengan Partai Konservatif, tentang betapa semarak jalan-jalan di London karena bus gandeng, seberapa besar kemungkinan serangan Al Qaida pada Olimpiade 2012, dan bagaimana efek pemanasan global pada perkebunan anggur di Inggris. Joanna, yang membisu sepanjang dua topik terakhir, akhirnya angkat suara dengan nada mendesah.
“Kalian tahu, rasanya nikmat sekali kalau bisa merokok.”
“Semua orang tampak mengembuskan napas dengan perlahan.
“Karena suasananya sangat cocok, ya?”
“Hidangannya lezat. Daging domba itu…”
“Terima kasih. Butuh enam jam. Cara terbaik untuk mengolahnya. Dan bunga lawang.”
“Dan anggurnya…”
“Jangan lupa tamu-tamunya.”
“Saat aku memutuskan berhenti, celaan orang-oranglah yang paling kubenci, lebih dari hal lain. Kau bertanya apakah orang-orang keberatan, dan mereka semua menjawab tidak, tapi kau bisa merasakan orang-orang itu berpaling dan seakan-akan enggan bernapas. Kalau bukan mengasihanimu, yang terasa sangat merendahkan, mereka sebenarnya muak padamu.”
“Dan tak ada asbak di rumah mereka, lalu mereka akan pergi lama sekali, berdalih mencari cawan usang yang telah hilang tutupnya.”
“Dan tahap selanjutnya, kau mesti pergi keluar ruangan dan kedinginan setengah mati.”
“Dan jika kau mematikan rokokmu di sembarang pot tanaman, mereka akan menatapmu seolah-olah kau baru saja menularkan kanker pada geranium.”
“Aku biasanya mengumpulkan puntung rokokku. Dalam sebuah kantong plastik.”
“Seperti kotoran anjing. Omong-omong, kapan mereka mulai melakukannya? Dalam masa yang hampir sama? Orang-orang berkeliaran membawa plastik-terbalik di tangan, menunggu anjing-anjing mereka buang kotoran.”
“Kupikir itu mestinya hangat, kan? Merasakan tahi anjing hangat di balik plastik.”
“Dick, jijik tahu!”
“Tapi aku tak pernah melihat mereka menunggu sampai tahi itu mendingin, betul?”
“Cokelat-cokelat ini, mari ganti topik pembicaraan, mengapa gambarnya tak pernah persis sama dengan apa yang ada di dalam kotak?”
“Atau sebaliknya?”
“Sebaliknya pun sama saja. Mereka tetap tidak sama persis.”
“Gambar itu hanya taksiran. Ibarat cita-cita komunisme. Kondisi dalam dunia ideal. Anggaplah sebagai metafora.”
“Cokelatnya?”
“Bukan, gambar cokelat.”
“Aku dulu suka sekali cerutu. Tak perlu sebatang utuh. Setengah pun cukup.”
“Mereka memberimu jenis kanker yang berbeda, bukan?”
“Mereka maksudnya?”
“Rokok, tembakau pipa, cerutu. Bukankah tembakau pipa menyebabkan kanker bibir?”
“Jenis kanker apa yang disebabkan cerutu?”
“Oh, jenis yang paling keren.”
“Apa pula maksudnya kanker keren? Bukankah istilah itu kontradiktif?”
“Kanker dubur pastilah ada di bagian dasar lapisan.”
“Dick, ayolah.”
“Apa aku salah?”
“Kanker kalbu—apakah mungkin terjadi?”
“Hanya sebagai metafora, kurasa.”
“Raja George VI—apa kena kanker paru-paru?”
“Atau tenggorokan?”
“Bagaimanapun, fakta itu membuktikan dia terlalu biasa, bukan? Tinggal di Istana Buckingham dan dihujani bom, lalu berkeliling di East End dengan tangan gemetar di antara puing-puing?”
“Jadi, mengidap kanker jenis biasa berhubungan dengan karakternya—apakah itu yang ingin kausimpulkan?”
“Aku tak tahu apa yang ingin kusimpulkan.”
“Aku tak yakin tangannya gemetar. Raja tetaplah raja.”
“Ini pertanyaan serius, Obama, McCain, Clinton: siapa di antara ketiganya yang terakhir merokok?”
“Bill atau Hillary?”
“Hillary, tentu saja.”
“Karena kita semua ingat Bill suka cerutu.”
“Ya, tapi tidakkah dia merokok setelahnya?”
“Atau menyimpannya di kotak khusus sebagaimana Hillary menyimpan pakaiannya?”
“Dia bisa saja melelang kotak itu untuk membayar utang-utang kampanye Hillary.”
“McCain mestinya merokok saat dia menjadi tawanan perang.”
“Obama mestinya pernah mengisap satu-dua linting ganja.”
“Aku bertaruh Hillary tak pernah menelan asap rokok.”
“Dari cara merokok, kau bisa tahu karakter sejati seseorang.”
“Sebenarnya—sebagai bagian dari warga Amerika—bisa kupastikan Obama dulunya perokok berat. Beralih ke Niccorate saat memutuskan untuk mencalonkan diri. Tapi—akhirnya kembali merokok setelah sekian lama berhenti, begitulah yang kudengar.”
“Wah, dia pahlawanku.”
“Apa orang-orang peduli jika salah satu dari mereka ketahuan merokok? Dan difoto?”
“Itu tergantung dari bagaimana kualitas dan corak penyesalan mereka.”
“Seperti Hugh Grant tepergok sedang asyik dikulum di mobilnya.”
“Nah, perempuan itu betul menelan.”
“Dick, hentikan. Jauhkan botol itu dari hadapannya.”
“Kualitas dan corak penyesalan—aku suka istilah ini.”
“Bukannya Bush yang harus menyesal karena telah menjadi pemadat?”
“Yah, tapi dia tidak membahayakan orang lain.”
“Tentu saja dia membahayakan orang lain.”
“Maksudmu, seperti perokok pasif? Tak ada yang namanya pemadat pasif, bukan?”
“Tidak, kecuali kau bersin.”
“Jadi tak ada efek buruk bagi orang lain?”
“Tak ada, selain rasa bosan karena mesti mendengarkan omongan seseorang yang hanya menyenangkan diri sendiri.”
“Sebenarnya…”
“Ya?”
“Jika Bush, seperti yang mereka bilang, seorang alkoholik dan pemadat di kehidupannya yang lalu, maka itu akan menjelaskan langgam pemerintahannya.”
“Maksudmu, kerusakan otak?”
“Bukan, absolutisme pemadat yang mencoba bersih.”
“Kau punya banyak istilah keren malam ini.”
“Yah, itu barang jualanku.”
“Absolutisme pemadat yang mencoba bersih. Maafkan soal itu, Baghdad.”
“Jadi apa yang sedang kita utarakan adalah memang berpengaruh apa yang kita isap.”
“Cerutu kerap membuatku kalem.”
“Rokok kadang membuatku bersemangat, kakiku sampai bergetar.”
“Oh, aku ingat soal itu.”
“Aku ingat seseorang yang mengatur alarm supaya dia bisa terjaga pada tengah malam dan bisa mengisap sebatang rokok.”
“Siapa orang itu, sayang?”
“Adalah. Sebelum aku kenal dirimu.”
“Sungguh kuharap begitu.”
“Ada yang baca sesuatu di koran tentang Macmillan?”
“Lembaga amal kanker?”
“Bukan, perdana menteri. Dulu sewaktu dia menjabat Chancellor of the Exchequer, tahun ’55, ’56, atau sekitar itulah. Sebuah laporan mengaitkan antara kebiasaan merokok dan kanker. Sial, pikirnya, dari mana uang akan datang jika pemerintah mesti melarang rokok? Tiga sampai enam poundsterling tambahan pajak per bungkus, entah berapa persisnya. Lantas dia mencermati angka-angkanya. Maksudku, angka mortalitas. Harapan hidup bagi seorang perokok adalah tujuh puluh tiga tahun. Harapan hidup bagi non-perokok: tujuh puluh empat.”
“Benarkah?”
“Begitulah bunyi laporannya. Jadi Macmillan merespon laporan itu: ‘Kementerian Keuangan memutuskan bahwa pendapatan pajak mengalahkan risiko kesehatan.’”
“Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”
“Apakah Macmillan merokok?”
“Pipa tembakau dan rokok.”
“Satu tahun. Selisih satu tahun. Betapa menakjubkan jika kau memikirkannya.”
“Barangkali kita mesti merokok lagi. Saat kumpul-kumpul makan malam saja. Semacam pemberontakan rahasia di dunia komputer masa kini.”
“Mengapa orang-orang tak boleh merokok sampai mati? Kalau hanya kehilangan satu tahun.”
“Jangan lupakan rasa sakit hebat dan penderitaan yang harus kaualami menjelang sekarat pada usia tujuh puluh tiga tahun.”
“Reagan menjadi bintang iklan Chesterfields, kan? Atau, Lucky Strike?”
“Apa hubungannya dengan soal itu?”
“Pasti ada hubungannya.”
“Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”
“Kau ulang-ulang omong itu.”
“Lho, memang beralasan. Itulah poinnya. Pemerintah memberitahu warga bahwa rokok berakibat buruk bagi kesehatan sembari tetap menarik pajak dari rokok. Perusahan rokok tahu bahwa produknya berbahaya bagi masyarakat lalu menjualnya besar-besaran ke negara Dunia Ketiga lantaran khawatir mendapatkan tuntutan hukum di sini.”
“Negara Berkembang, bukan negara Dunia Ketiga. Kita tak menyebut mereka begitu lagi.”
“Negara Perkembangan-Kanker.”
“Belum lagi perkara Humphrey Bogart itu. Ingat saat mereka ingin mengabadikannya dalam perangko dan dia terlihat sedang merokok di foto itu, jadi mereka mengaburkan gambarnya? Seolah-olah akan terjadi insiden sewaktu orang-orang menempelkan perangko di amplop surat, ketika mereka melihat bagaimana Bogart merokok dan tiba-tiba bepikir: wah, merokok tampaknya ide yang keren.”
“Mereka mungkin akan menemukan cara untuk memotong adegan merokok di film-film. Seperti teknologi mewarnai pada film hitam-putih.”
“Saat aku menjalani masa remaja di Afrika Selatan, badan sensor memotong film apa pun yang memperlihatkan kontak normal antara orang kulit hitam dan kulit putih. Mereka memangkas Island in the Sun sampai tinggal sekitar dua puluh empat menit saja.”
“Yah, kebanyakan film memang terlalu panjang.”
“Aku tak tahu kau tumbuh besar di Afrika Selatan.”
“Dan kebiasaan lain, semua orang merokok di gedung bioskop. Ingat soal itu? Kau menatap layar melalui lekak-lekuk asap rokok.”
“Abu rokok di sandaran kursi.”
“Persis.”
“Tapi perkara Bogey yang merokok itu… Kadangkala, saat aku menonton film lawas, dan ada adegan sepasang karib tengah minum-minum dan merokok dan saling bertukar kalimat cerdas di sebuah kelab malam, bangsat, kupikir adegan itu sangatlah glamor. Lantas aku berpikir: sebentar, bisakah aku mendapat rokok dan segelas minuman sekarang juga?”
“Itu glamor, dulu.”
“Terlepas dari kanker.”
“Terlepas dari kanker.”
“Dan kemunafikan.”
“Baiklah, jangan telan.”
“Kemunafikan pasif?”
“Bisa saja terjadi. Setiap saat.”
“Omong-omong, apakah ‘mewarnai’ kata kerja yang tepat?”
“Dan apakah ada yang ingin kopi?”
“Hanya jika kau ambilkan rokok sekalian.”
“Selalu berpasangan begitu, ya? Rokok dan kopi.”
“Kurasa tak ada rokok di rumah ini. Jim meninggalkan beberapa bungkus Gauloises sewaktu dia menginap di sini, tapi rokok itu terlalu keras jadi kami membuangnya.”
“Dan temanmu pernah meninggalkan beberapa batang Silk Cut, tapi sebaliknya rokok itu terlalu hambar.”
“Kami berkunjung ke Brasil tahun lalu dan peringatan bahaya merokok di sana sangat apokaliptik. Gambar-gambar berwarna di bungkusnya mengerikan: bayi-bayi cacat, paru-paru hancur, dan semacamnya. Dan kalimat peringatannya pun tegas sekali, bukan jenis yang sopan seperti peringatan kesehatan dari “Pemerintahan Yang Mulia” kita. Atau, sesuatu seperti “Ahli-ahli kedokteran bedah telah menetapkan bla-bla-bla”. Mereka langsung mengancam apa yang kaupertaruhkan. Ada seorang pria masuk ke toko dan membeli sebungkus… aku lupa apa mereknya. Lantas dia keluar toko, mencermati peringatan kesehatannya, masuk kembali, menyerahkan sebungkus rokok itu dan berujar, ”Yang ini menyebabkan impoten. Bisa tukar dengan yang menyebabkan kanker saja?”
“Ya.”
“Yah, kupikir itu lucu.”
“Barangkali kau pernah bercerita kepada mereka sebelumnya, sayang.”
“Bangsat-bangsat ini toh masih bisa tertawa. Ingat, mereka minum anggurku.”
“Lebih karena caramu bercerita, Phil. Perlu diperketat narasinya.”
“Anjing.”
“Kupikir kami punya ganja yang ditinggalkan seseorang.”
“Benarkah?”
“Ya, di pintu kulkas.”
“Di pintu kulkas sebelah mana?”
“Di rak dekat keju parmesan dan saus tomat.”
“Siapa yang meninggalkannya?”
“Tak ingat. Sudah lama. Mungkin juga sudah hilang sengatannya sekarang.”
“Apa ganja bisa hilang sengatannya?”
“Segalanya bisa kehilangan sengatan.”
“Kandidat presiden?”
“Lebih dari yang lain.”
“Aku menawarkan ganja itu kepada Doreena.”
“Siapa Doreena?”
“Petugas kebersihan kami.”
“Doreena si Pembersih. Apa kalian sedang menggoda kami?”
“Kau tawarkan itu kepada Doreena?”
“Ya. Memangnya kenapa, melanggar aturan ketenagakerjaan atau bagaimana? Omong-omong, dia tidak tertarik. Dia bilang dia tidak pakai barang semacam itu lagi.”
“Yesus, dunia macam apa yang akan kita hadapi kalau seorang petugas kebersihan saja menolak narkotika gratis?”
“Tentu saja, kita tahu rokok lebih menimbulkan ketergantungan daripada apa pun. Alkohol, obat penenang, obat keras. Lebih adiktif daripada heroin.”
“Apa kita bisa memastikan hal itu?”
“Pasti, aku membacanya di koran. Rokok urutan teratas.”
“Kalau begitu kita bisa memastikannya.”
“Lebih adiktif daripada kekuasaan?”
“Nah, itu baru pertanyaan sulit.”
“Kita juga tahu—bukan dari koran—semua perokok adalah pendusta.”
“Jadi kau menyebut kami semua mantan pendusta?”
“Yup. Aku pun salah satunya.”
“Apa kau bisa lebih spesifik?”
“Kau berdusta pada orang tuamu saat kau mulai merokok. Kau berdusta berapa batang yang kauisap—bilang lebih sedikit atau lebih banyak. Oh, empat bungkus per hari, macam membual punya kontol paling besar. Atau, hanya sebatang sesekali. Pasti itu artinya tiga batang sehari, minimal. Lantas kau berdusta soal niat berhenti merokok. Dan kau berdusta kepada doktermu ketika kau kena kanker. Oh, aku tak pernah merokok sebanyak itu.
“Pembual-garis-keras.”
“Tapi benar juga sih. Sue dan aku pernah serong satu sama lain.”
“Dav-id.”
“Maksudku, hanya berbohong soal merokok, sayang. ‘Aku hanya merokok satu batang saat makan siang.’ Dan ‘Tidak, kawanku yang merokok, aku hanya terpapar baunya.’ Kita berdua melakukannya, berdalih satu sama lain.”
“Jadi, pilihlah kandidat non-perokok. Pilih Hillary.”
“Telat. Bagaimanapun, kupikir perokok hanya berbohong soal merokok sebagaimana halnya pemabuk berbohong soal minum-minum.”
“Itu tidak benar. Aku kenal para pemabuk. Pemabuk berat berdusta tentang segalanya. Supaya mereka bisa minum-minum. Dan aku pun pernah berdusta tentang hal lain supaya aku bisa merokok. Kalian tahu, ‘Aku keluar dulu, cari angin segar’, atau ‘Tidak bisa, aku harus kembali menemui anak-anak.’”
“OK, jadi kita menyimpulkan perokok dan pemabuk adalah pendusta umum.”
“Pilih Hillary.”
“Kita hanya berargumen, semua pembohong menurutkan kehendak berbohong.”
“Itu terlalu filosofis untuk malam seperti sekarang.”
“Penipuan-diri, di sisi lain. Teman kami Jerry perokok berat—sebagaimana kawan-kawan segenerasinya. Saat melakukan pemeriksaan kesehatan umum pada usia tujuh puluhan, dia divonis mengidap kanker prostat. Dia memilih opsi bedah radikal. Mereka mengambil biji pelirnya.”
“Mereka mengambil biji pelirnya?”
“Yup.”
“Lalu—lalu dia cuma punya batangnya?”
“Yah, mereka memberinya biji prostetik.”
“Terbuat dari apa?”
“Aku tak tahu—plastik, kukira. Nah, biji itu punya berat yang sama dengan aslinya, supaya kau tidak akan menyadarinya.”
“Supaya kau tidak menyadarinya?”
“Apa mereka bisa berputar seperti aslinya?”
“Apa kita bisa ganti topik pembicaraan?”
“Kalian tahu apa istilah slang Prancis untuk biji pelir? Les valseuses. Penari waltz. Sebab mereka berputar.”
“Apa kata itu perempuan? Maksudku feminin. Valseuses.”
“Ya.”
“Kenapa sih testis berbentuk feminin dalam bahasa Prancis?
“Kita memang benar-benar harus ganti topik pembicaraan.”
“Testicules bukan feminin. Tapi valseuses feminin.
“Testis perempuan. Percayalah pada orang Prancis.”
“Tak mengherankan mereka tidak mendukung Perang Irak.”
“Tidak semua orang di meja ini mendukung Perang Irak.”
“Aku sekira 60/40.”
“Bagaimana kau bisa bilang 60/40 tentang sesuatu seperti Irak? Itu seperti 60/40 tentang teori bumi datar.”
“Aku juga 60/40 tentang hal itu.”
“Omong-omong, alasan mengapa aku menyebut Jerry adalah karena dia merasa lega ketika mereka memberitahunya soal kanker prostat itu. Dia bilang kalau dia mengidap kanker paru-paru, dia mesti berhenti merokok.”
“Jadi dia tetap lanjut merokok?”
“Yup.”
“Lalu?”
“Yah, dia baik-baik saja selama beberapa tahun. Cukup lama juga. Kemudian kankernya kembali.”
“Apa dia akhirnya berhenti merokok?”
“Tidak. Dia bilang tak ada gunanya berhenti pada tahap itu—dia lebih memilih kenikmatan merokok. Aku ingat saat kami terakhir mengunjunginya di rumah sakit. Dia sedang duduk di kasur, menonton pertandingan kriket di televisi, dengan asbak besar yang dipenuhi puntung rokok di hadapannya.”
“Pihak rumah sakit memperbolehkannya merokok?”
“Itu kamar pribadi. Rumah sakit swasta pula. Dan peristiwanya terjadi bertahun-tahun lalu. Dia membayar—itu kamarnya. Begitulah kebiasaan masa lalu.”
“Mengapa kau bercerita kepada kami tentang pria ini?”
“Aku tak bisa mengingatnya sekarang. Kau mengalihkan perhatianku.”
“Penipuan-diri.”
“Benar—penipuan-diri.”
“Terdengar berkebalikan menurutku—tampaknya dia tahu apa yang dia lakukan. Mungkin dia memutuskan merokok memang berharga.”
“Persis itulah yang kumaksud dengan penipuan-diri.”
“Dalam kasus mana menjadi perokok adalah pelatihan wajib untuk seorang presiden?”
“Kupikir Obama cocok. Hanya pendapatku, sebagai seorang warga Amerika.”
“Setuju. Yah, 60/40 soal itu.”
“Kau seorang liberal—kau 60/40 tentang apa pun.”
“Aku tak yakin aku setuju soal itu.”
“Nah, kalian lihat, dia bahkan 60/40 tentang apakah dia benar-benar 60/40 atau tidak.”
“Omong-omong, kau keliru tentang Reagan.”
“Dia tak menjadi bintang iklan Chesterfields?”
“Bukan. Maksudku, dia tidak meninggal karena kanker paru-paru.”
“Aku tidak berkata begitu.”
“Benarkah?”
“Tidak. Dia mengidap Alzheimer.”
“Menurut statistik, perokok lebih sedikit mengidap Alzheimer daripada non-perokok.”
“Itu karena mereka sudah keburu mampus pada saat Alzheimer biasanya menyerang.”
“Peringatan kesehatan terbaru dari pemerintah Brasil: ‘Rokok ini membantu Anda menghindari Alzheimer.’”
“Kami sempat membaca New York Times minggu lalu. Dalam suatu penerbangan. Ada laporan tentang kajian harapan hidup warga dan biaya komparatif yang harus ditanggung pemerintah, atau negara lebih tepatnya, berdasarkan kategori penyebab kematian. Sebentar, statistik yang diberikan kepada Macmillan tadi itu—dirilis tahun berapa?”
“1955, 1956, kurasa.”
“Nah, statistiknya sesuai. Jangan-jangan kita hidup di masa yang serupa. Jika kau perokok, kau cenderung mati pada usia pertengahan tujuh puluhan. Jika kau mengalami obesitas, kau cenderung mati pada usia sekitar delapan puluh. Dan jika kau menjalani pola hidup sehat, non-perokok, tidak kelebihan berat badan, kau cenderung mati pada usia rata-rata delapan puluh empat.”
“Mereka memerlukan kajian untuk memberitahu kita hal semacam itu?”
“Tidak. Mereka perlu kajian untuk memberitahu kita hal ini: biaya perawatan kesehatan yang harus ditanggung negara. Dan inilah faktanya. Para perokok adalah golongan yang paling murah. Berikutnya para penderita obesitas. Dan mereka semua yang sehat, tidak kelebihan berat badan, non-perokok itu ternyata merupakan golongan yang menguras biaya terbesar.”
“Luar biasa. Fakta itu adalah hal terpenting dari semua percakapan kita malam ini.”
“Terlepas dari betapa lezatnya daging domba itu.”
“Menempelkan stigma pada perokok, menarik pajak dari mereka tanpa ampun, mengucilkan mereka sampai harus berdiri di pojok jalan di tengah hujan, alih-alih berterima kasih kepada mereka karena telah menjadi beban paling ringan.”
“Itu kemunafikan yang tak bisa kuterima.”
“Lagi pula, perokok lebih ramah daripada non-perokok.”
“Terlepas dari mereka menghadiahkan kanker kepada non-perokok.”
“Kupikir tak ada landasan medis untuk teori perokok pasif.”
“Aku pun tak yakin. Bukannya aku bermaksud menjadi seorang dokter. Sama seperti dirimu.”
“Kupikir itu lebih merupakan sebuah metafora. Misalnya, untuk mengatakan jangan menginvasi wilayahku.”
“Metafora untuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Apa kita kembali ke Irak?”
“Apa yang kumaksud adalah, bagaimana ya, menurut pengamatanku saat semua orang merokok, orang-orang non-perokok lebih ramah. Kini sebaliknya.”
“Minoritas yang dipersekusi selalu lebih ramah? Itukah yang Joanna maksudkan?”
“Maksudku, dulu ada spirit persahabatan. Jika kau menghampiri seseorang di trotoar di luar sebuah pub atau restoran dan berkata ingin membeli sebatang rokok, orang itu akan selalu memberikannya kepadamu.”
“Kupikir kau tidak merokok.”
“Tidak, tapi kalaupun aku merokok, orang itu tetap akan memberikannya.”
“Aku mengendus perubahan kasip menjadi kalimat kondisional.”
“Sudah kuberitahu kalian, para perokok adalah pendusta.”
“Kedengarannya seperti topik yang harus didiskusikan setelah kita semua bubar.”
“Apa yang Dick tertawakan?”
“Oh, biji prostetik. Gagasannya. Atau frasanya. Keduanya. Politik luar negeri Prancis. Hillary Clinton.”
“Dick.”
“Maaf. Aku hanyalah pria ketinggalan zaman.”
“Kau kanak-kanak ketinggalan zaman.”
“Ouch. Tapi Mami, ketika aku dewasa, bolehkan aku merokok?”
“Segala macam tuntutan tentang politisi harus bernyali. Itu cuma ah… biji pelir.”
“Cerdas.”
“Kalian tahu, aku heran mengapa kawan kalian itu tidak kembali ke dokter, atau dokter bedah, dan bertanya, ‘Bisakah aku mengganti jenis kanker, apa pun selain kanker yang mengharuskan kau memotong biji pelirku?’”
“Bukan seperti itu kasusnya. Dia punya pilihan beberapa tindakan medis. Dia memilih opsi paling radikal.”
“Kau bisa mengatakannya tanpa keraguan. Tak ada 60/40 tentang hal itu.”
“Bagaimana kau berpikir 60/40 ketika kau hanya punya dua biji pelir?”
“60/40 hanyalah metafora.”
“Segala sesuatu adalah metafora pada malam ini.”
“Dengan catatan, bisakah kalian panggilkan taksi harfiah untuk kami?”
“Apa kalian ingat pagi setelah kita kebanyakan merokok? Rasa pening karena rokok?”
“Aku ingat sebagian besar pagi semacam itu. Tenggorokan. Hidung kering. Dada.”
“Dan rasa pening itu jelas bisa dibedakan dari rasa pening akibat minuman keras yang sering kita konsumsi pada waktu yang sama.”
“Minuman keras membuatmu lunglai, rokok membuatmu kaku.”
“Eh?”
“Merokok mempersempit pembuluh darah. Itulah sebabnya mengapa kau tak pernah bisa memulai hari baik dengan buang air secara wajar.”
“Apa benar itu penyebabnya?”
“Bicara bukan sebagai dokter, itu masalahmu sendiri.”
“Jadi kita kembali pada topik awal?”
“Topik apa itu?”
“Plastik terbalik untuk membungkus tahi dan—”
“Dick, sekarang kami akan benar-benar pergi.”
Tapi kami tak bubar. Kami tetap tinggal dan berbincang tentang pelbagai hal lain. Kami memperkirakan bahwa Obama akan mengalahkan McCain, bahwa Partai Konservatif hanya sementara saja tak bisa dibedakan dengan Partai Buruh, bahwa Al Qaida nyata-nyata akan melakukan serangan pada Olimpiade 2012, bahwa dalam tahun-tahun mendatang warga London akan merasa rindu pada bus gandeng, bahwa dalam beberapa dekade mendatang kebun anggur akan kembali marak di sepanjang Tembok Hadrian sebagaimana pada masa Romawi Kuno, dan bahwa, dalam berbagai besaran probabilitas, sepanjang sisa masa kehidupan di planet ini, sejumlah orang di berbagai tempat akan selalu merokok, bangsat-bangsat yang sungguh beruntung.
Julian Barnes menulis tiga belas novel, tiga kumpulan cerita pendek, serta sembilan esai dan laporan jurnalistik. Memenangkan Man Booker Prize untuk novel The Sense of an Ending (2011). Tiga buku lainnya, Flaubert’s Parrot (1984), England, England (1998), dan Arthur & George (2005), masuk daftar pendek ajang penghargaan yang sama. Penghargaan lain yang pernah diraih di antaranya Siegfried Lenz Prize (2016), Austrian State Prize for European Literature (2004), Prix Femina Etranger (1992), E.M. Foster Award dari American Academy and Institute of Arts and Letters (1986), dan Sommerset Maugham Award (1981)