Category: Puisi

  • Biografi Matamu oleh Raedu Basha

    author = Raedu Basha
    Kelahiran Sumenep, 1988. Pengelola Penerbit Ganding Pustaka, Yogyakarta. Buku puisinya berjudul Matapangara (2014 . Pemenang esai nasional sastra pesantren Pesma Purwokerto 2016, juara 1 cipta puisi Muktamar 33 Nahdlatul Ulama & TV9 2015, menerima Anugerah Seni dan Sastra UGM 2014, hadiah puisi Jurnal Sajak 2014, Juara 2 Mengarang Cerpen Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kerajaan Maroko & PCINU Maroko 2016, juara cerpen INSTIK Annuqayah 2012, juara cipta puisi Piala Walikota Surabaya 2007,juara baca puisi 3 bahasa 2007, hadiah puisi IPB 2007, juara cipta puisi Taman Budaya Jawa Timur 2006, juara puisi Pusat Bahasa Depdiknas RI 2006, dll. Puisi, esai dan dan cerpennya dimuat di berbagai majalah dan surat kabar dan antologi bersama. Pernah diundang mengisi program Ubud Writers & Readers Festival 2015, Festival Kesenian Yogyakarta 2014, International Conference World Thariqah Islamic Scholar Jatman 2016, dll.

    BIOGRAFI MATAMU (1)

    aku akan pergi saat matamu merah
    menatapku tak lebih
    dari seonggok kunang-kunang
    sekerjap gelap sekerjap terang
    hinggap di batang kerontang

    (malam petang
    kau jerat pekat kesendirianku yang gamang
    kapankah awan lenyap kapankah langit benderang
    kubawa kelap-kelip bokong sedesas-desus bimbang)

    saat kedip matamu terbuka memandangi sepi
    menatap seekor kunang ini teronggok terbang tak pasti
    aku akan pergi melayangi udara yang bukan malam kita lagi
    karena aku tak ingin dipandang seperti ini

     

    Ganding Pustaka, 2014-2017

     

     

     

     

    BIOGRAFI MATAMU (2)

    lebih baik terpejam.

    terpejamlah saja dan pastikan
    aku ada dalam peram mata
    bukan bayang wajahku bergentayang
    melainkan benang-benang aura
    mungkin akan kau rajut ia
    menyulami dahaga bagi keringmu di dada
    kau untai helai aura bibirku menyentuh inti jiwa
    menjahit urat-urat lubukmu
    yang bersemayam luka purba
    sehelai lain dibuat jaring
    menyaring ampas dosa
    membening selaksa pahala
    sari-sari kejujuran dan tabah rindu bertapa
    benang-benangnya juga
    menjahit robekan urat nadimu yang renta

    ohoi, kita adalah darah
    yang merah dengan sendirinya
    yang mengalir ke lubuk laut
    di mana gelombangnya tak reda
    mendetakkan kederasannya
    dan menepi di batas aorta

    tetapi denyut akan susut
    saat matamu terbuka
    maka aku akan pergi
    saat matamu tak terpejam lagi
    dan menatapkan ujung taji

    Ganding Pustaka, 2014-2017

     

     

     

    DAUN KERING

    tak ada kumbang pada kembangmu
    tak ada embun di ujung alismu
    kemarau yang tak pernah berpaling
    dari basah dan hujan yang jatuh bila resah
    tapi jangan menyerah
    selama angin belum menyentakmu dengan amarah
    atau luka yang menumbangkan kembang ke tanah

    dirimu
    daun kering
    di pohon yang senantiasa tumbuh di tanah tabah
    di pinggir sungai tepi sawah
    tempat seonggok boneka terantuk
    memperhatikan alam dengan payah

    kumbang kumbang mencari madu
    ke lembah, ke gigil mimpimu di punggung bukit
    lebah menyepak manis sari bunga rindu
    putik-putik berhamburan ke angin yang berangkat
    dan menepi di jantung hujan doa ibumu

    tapi hujan tak jatuh ke daunmu yang kering
    kecuali bila kau menangis dengan air mata
    kerontangmu, tanah dan musim kan menjawabnya
    dengan ceritera…

     

    Ganding Pustaka, 2014

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     
     

  • Bersarang di Gunung Mekongga oleh Achmad Hidayat Alsair

    author = Achmad Hidayat Alsair

    Bersarang di Gunung Mekongga

     

    Kini giliranku mengintai basah lembah di utara

    kala peladang memanen embun dan wanitanya memanggul lesung

    perlahan ribuan ruas silau datang menempa keruh mata

    disesapnya lumut peluh, ditanamnya bibit dahaga

    kulerai kerongkongan dari lidah sebelum lambung terkulai

     

    Tiba di hulu, sambutan kuntum-kuntum pengabdi surya nirmala

    aku beku dinaungi tudung lengan dahan pengayun

    hening meresik meminta izin mengukur aliran nadi

    tepian sungai bahkan takzim rebah menerima rubuh kabut

    dan di udara, ayat-ayat gigil diapungkan binatang melata

     

    Ritmis tarian pagi menyambut datangnya resah langit

    kota mengekalkan asap cerobong, ingin kucabut serak beton di dadaku

    kemudian aku akan pulang padamu dengan cara berlari paling belia

    kausarungkan perih, mengantarnya menuju remang telaga

    merengkuh telinga, kurapal mantra “inaku ehe inggo’o

     

    (Makassar, 18 Januari 2017)

     

    Keterangan :

    1. Gunung Mekongga adalah gunung yang berada di kampung halaman penulis.
    2. Inaku ehe inggo’o” adalah kalimat bahasa Tolaki (salah satu bahasa daerah di Sulawesi Tenggara) yang berarti “aku sayang padamu”

     

     

     

    Salinan Kidung Kuno  

     

    Sayang, nyanyikan dulu sebuah himne

    irama manuskrip asal pematang kuning

    di mana benih rahim seluruh induk Desember

    timpali kehendak bintang menerangi azimut

    Sebab malamku kian nampak petang

    semburat dari jubah compang-camping

    pertolongan pertama adalah berdoa

    selain mendengar sabda kehidupan dari bukit

    Adalah kecamuk mengajakku bermain

    teka-teki dan tafsir makna mukjizat

    dalam khutbah para nabi nyaris kelaparan

    tersesat kala mengabarkan berita gembira

    Maka telusuri jalan setapak kawanan keledai

    juga kumpulkan nubuat dari repih manuskrip

    tatkala anak-anak penuh semangat menulis pesan

    perihal mata tombak yang tumpul perlahan

    Ingin kulepas para merpati yatim

    sebab tragedi tidak juntai di paruh

    hanya daun zaitun pohon kering

    dan penunjuk arah menuju menara lonceng

    Sayang, hendak kulengkapi kidung ini

    dengan erat hening dekapanmu

     

    (Makassar, 20 Desember 2016)

     

     

     

     

    Percakapan Saat Menuju Bantimurung Jam Delapan Malam

     

    “Tiga tahun di Makassar, kota penuh kepelbagaian

    dan kerap mengunjungi pusat-pusat belanja seliweran,

    kudapat pembelajaran dari puluhan amatan.”

    “Dari segala plesiran itu, apa yang kau catat?”

     

    “Banyak pengunjung sama sekali tidak hirau riuhnya cengkerama

    tetapi sebaliknya, datang membiakkan kesepian. Bisa kau tengok sorot mata mereka,

    kesepian dipajang begitu pampang, tandingan etalase dan lampu-lampu yang terlalu terang.

    Mereka tak menghalau sepi, justru merayakan ego dan rasa tidak puas diri.

    Coba tengok sekilas ke dalam bioskop, toko buku dan wahana permainan,

    mereka bertandang sembari diboncengi tatapan paling kosong.

    Ditemani dua tiga orang tetap saja berkarib kesepian,

    sementara kawan mereka serupa pegawai penyuluhan program negara, kerap diabaikan.

    Sembap lingkari mata, masih belajar patenkan dusta suara dada.

    Mereka timpali kesepian dengan kesepian lain,

    tanpa sadar juga tekun mengasah pisau, menabuh peperangan dalam batin.

    Samarkan hening dalam riuh, pulang pun tetap menjamu kesepian.”

     

    “Harusnya pemerintah lebih banyak rencanakan taman,

    disanalah sejatinya penerapan makna kata pergaulan.”

    “Ah, keterasingan masih menjadi teman akrab,

    aku yakin mereka belum diwahyukan keyakinan.”

     

    (Bantimurung, Mei 2016)

     

     

     

     

    Hari Memanggul Beban

     

    Apa semuanya akan terasa ringan?

    Tanganku terlalu sempit untuk pijakanmu

    terlalu sangsi jika menuntun arah

    justru kau kerutkan aku dalam dingin

    Apa pernah terpikir menebus diriku?

     

    Beri aku banyak tubuh untuk dipanggul

    dan lonceng untuk digemakan

    saat fajar, kala malam yang gaungnya menyentuh bintang

    hingga kuingat jarak menuju rumah tanpa suguhan serta jamuan

     

    Masih belajar memahami gemetar tangan

    karena jam istirahat membuka kelelahan

    maka kujamin takkan ada langkah licin gelincir

    atau keriangan tanpa asinnya peluh

     

    Menarilah, dan rayakan yang tak perlu

    cukup dengan memandang goresan di punggung

     

    (Kaluppini, Juli 2016)

     

    Malam Ganjil Rumi

     

    Mainkan musiknya. Begitu elok, pengundang ramai

    Sebab telingaku senantiasa dahaga pada dendang

    menghimpun segenap tenaga untuk rotasi di tipis bumi-Mu

     

    Tuanglah semua minuman, kita akan selalu terjaga

    demi menjalin cucuran air mata, disuguhkan sebagai ibadah

    khusyuk lagi penuh cinta, senandung lemah majelis penghamba

     

    Tabuhan irama rebana, bising gemericing

    nama-nama dan puji-pujian tak henti kami tuturkan

    keributan atas nama rindu, tegangkan bulu roma

     

    Segenap juga seluruh, hanya pada-Mu

    Oh cinta, cintaku, cinta-Mu

    Menahan rinduku padamu, menahan rinduku pada-Mu
    (Makassar, Juni 2016)

     

     

    Catatan Redaksi

    Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair menyoal kepulangan ke dunia yang damai. Kedamaian itu nampak didapatkan pada segala yang alami dan juga Tuhan. Ia menjadi oposisi dari kehidupan yang serba carut marut yang tergambar dari lanskap perkotaan. Hubungan hubungan sosial di kota digambarkan tampak begitu riuh dan gaduh namun bagi penyair justru malah menghadirkan kesunyian. Untuk memperoleh ketenangan diri itulah maka menyepi ketempat tempat sepi merupakan sebuah pilihan, mendekatkan diri pada alam dan Tuhan. Di dalam kedamaian yang dicitakan itulah maka akan didapat suara suara, keadaan keadaan yang selama ini tidak didapat dalam riuh suasana kota.

        Dalam penggambaran suasana kota nampak sering muncul kelibatan suara jiwa yang digambarkan mirip dengan cara begitu pesimistis. Tak ada jawaban pada keramaian yang ada tinggallah sepi. Maka menyepi ke tempat sunyi adalah satu satunya jalan permenungan untuk mencari sesuatu yang lain. Puisi ini mengingatkan pada lirik lagu yang menjadi soundtrack film Gie.

        “berbagi waktu dengan alam kau kan temukan siapa dirimu sebenarnya hakekat manusia”  juga mengingatkan pada puisi-puisi Pujangga Baru: Amir Hamzah dan generasinya meskipun dengan gaya persajakan yang sama sekali berbeda.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Achmad Hidayat Alsair
    Lahir di Pomalaa, 15 Juli 1995. Mahasiswa tingkat akhir di jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Hasanuddin Makassar. Sedang gandrung sastra dan menghindari topik pembicaraan skripsi. Karyanya pernah dimuat di beberapa surat kabar dan situs berita daring seperti Fajar Makassar, Go Cakrawala Gowa, Rakyat Sultra, Analisa Medan, Lombok Post, Radar Surabaya, FloresSastra, NusantaraNews, dan Sediksi.
  • batu permata oleh Agung Wicaksana

    author = Agung Wicaksana

    batu permata

    “jika aku sukses,
    akan kubelikan batu permata
    paling mahal
    yang gemerlapnya
    mengalahkan binar kancingkancing kristal palsu ibu.”

    ibu tak menoleh padaku.
    matanya tahan tertuju pada gumul benang
    di atas meja mesin jahit.

    “tak perlu kau belikan
    batu permata yang gemerlapnya
    mengalahkan binar kancingkancingku, meski palsu.
    tapi obati
    batu ginjal
    yang tambah merobekrobek
    perut ayahmu.

    cekatan, ibu masukkan benang
    menembus lubang dadaku.

    itu baru tak palsu.”

    (surabaya,2018)

    ramai kesepian

    menanti waktu makan siang
    rebah di bawah frankenstein gondrong
    lalulalang orangorang
    bubul kentut asap kendaraan
    kerling lampu merah menggoda hijau
    klakson bersahutan
    pertanda perang.

    kulit frankenstein mengelupas
    jatuh menghujam dahi
    baring di palung bulu mataku.
    daundaun berdansa.
    gugur nyenyak di ranjang empuk, rumput.
    menindih
    merengkuh bumi.

    “apa kau kesepian?”

    “kesepian kerap datang tanpa diundang
    di saat beban berat maupun ringan
    makan malam maupun makan siang
    ramai maupun sepi
    sedih maupun gembira
    kesepian sama saja.

    dan sedatangdatangnya kesepian seperti kehadiran tuhan
    yang tak pernah kita ketahui.”

    hingga tiba waktu makan siang
    diiringi senandung klakson
    padu parau tangis frankenstein

    mengunyah kering dedaunan.
    minum keringat orangorang
    menghisap knalpot
    embuskan asap kendaraan.

    kesepian ialah makan siang
    saat mulainya pertunjukkan orkestra jalanan
    paling mahal.

    (surabaya,2018)

    belulang tanpa nama

    1.
    ia bersila
    sebelah mata redup
    batang tangannya kian pendek
    jari dan kuku
    : dahan bentuk keranda
    bernafas dari embus lenguh lembu
    dosaku setebal alkitab
    alun orkestra
    parau seriosa pemazmur muda
    tarian sayu kembang kamboja
    gugur
    rebah di kepala
    rambut rontok
    rumput gersang
    : kuning emas
    membelai wajah yang kelupas
    gigi tunggang tanggal
    lidah bernanah
    sisa mata masih waras
    memandang langit agung
    kicau samar
    komplotan camar
    terbang nuju awan sedih
    gerimis berteduh
    pada bungkuk bulu mata ibu.
    mangkuk retak
    panas sup ayam
    sendok bengkok,
    undangan orbituari.

    2.
    kami sampai di sini.
    terpal kaca
    kristal air mata
    leleh matahari
    liur dan keringat
    : bubur dan kecap asin.
    badan lecur
    ringkuk
    berlindung dari setan rupa kenanga,
    jerit duri, wangi mawar
    tabur melati.

    3.
    nisan tegak
    kubur kosong
    lapar tanah
    meraungraung
    menyeret tubuhku
    liku nadi
    kental darah
    getar pipi
    telapak kaki
    : surga pecahpecah
    “dimana letak makam?”
    “di kaki neraka.”

    4.
    tonggak makam
    sekop tengah bersiap
    satu dua tiga
    serbu lempung
    tameng bayi batu
    tak ada nama bagiku
    bagi janinku
    ibu menemukan cucu.
    aku mengakhiri waktu.

    5.
    pembaptisan
    percik air mata
    kesedihan,
    kesegaran bagi haus musim
    kemarau selanjutnya,
    lebur tubuh.
    belulangku hidup di ruang laboratorium
    sekolahmu.

    (surabaya,2018)

  • Basudewa oleh Innezdhe Ayang Marhaeni

    author = Innezdhe Ayang Marhaeni

    Edelweis

     

    Kepada puisiku malam ini, adinda

    Yundamu akan mengecilkan suara radio

    Meredupkan damar

    Dan mengucilkan dunia beserta permainannya

     

    Kepada jiwa yang belum temu cangkang ini, adinda

    Malam ini yundamu akan berikan sepenuh hati lautannya yang biasa

    Untuk membantu layar mimpimu melaju agar subuh cepat kembali

    Karena pagi datang lagi jika engkau yang mendalangi

     

    Kepada turunnya tetes pertama air mandi pagiku, adinda, karena tak sanggup yundamu kurung embun,

    Engkau menjelma lili-lili kecil yang kutemui di pelataran

    Yang dari ujung putiknya senyummu merekah disengat lebah

     

    Adinda, bagian ini adalah cinta dari yundamu yang tak perlu kaumengerti

    Bagian ini adalah yundamu yang tak perlu kaudekati

    Tetapi di bagian ini, hanya bagian inilah, wangimu kupenuhi

     

     

    Pulau Jawa dan Masa Depannya

     

    Kelak esok hari, seperti wajah lelaki yang matang di usia dini

    Di pulau ini akan ada cambang-cambang halus yang darinya menegak kala direguk angin

    Penduduknya akan jadi ikan koki yang dicemplungkan di air setelah terungkung plastik bening

    Di sekujur badan kita, luka bakar memerah menderas akibat dilepaskan

     

    Di sudut mata pulau-pulau kecil dari Nusa Barong hingga Kepulauan Seribu, ada genang-genang titik-titik air seperti yang biasa menghapus bedak di wajah wanita

    Sementara di tempat-tempat lain, ujung bumi merekah seperti kanak-kanak yang menarik karet ke dua arah saat bermain lompat tali

    Dan kita mati rasa, laiknya jemari yang baru dini hari belajar memetik gitar pakai kaki

    Di penghujung esok hari, Pulau Jawa adalah engsel-engsel pintu yang terlalu sering dimasuki anak kunci, terlalu sering gemboknya diganti

    Lantai kotor bekas plester yang dicabut karena tak punya uang untuk beli lagi

    Lalu manusia-manusia menyeberang tali di antara longsoran salju yang berderak berubah ke sana ke mari

    Di lain hari, pulau ini akan terjual dengan tonggak dipaku papan merah bertuliskan “BUKA ESOK HARI”

     

     

    Basudewa

     

    Kalau aku boleh meminta

    Pada siapa sebenarnya, berpinta boleh bersarang

    Yudhistira beku, nyalinya segamang padi

    Menguning, mengabur dicucuk burung kenari

    Menghadiahkan berdepa kilat yang di ujungnya ada pukau

     

    Kau bijaksana, menguar selaksa air mata

    Kau tertambat istimewa, menjadi ada karena berada

     

    Dengan galur-galur bulu halus di buku-buku tanganmu, menggenggam panah

    Mencumbu busur

    Yang di alasnya aku berderak

    Teriak

     

    Serangan yang dibendung, cinta yang dilamun

    Aku bisa saja kembali tapi engkau abadi sebagai babad yang tercela

     

     

    Begalan-Pati

     

    Suatu waktu Bhisma mengeluarkan busur dan anak panahnya. Tidak ada racun di ujungnya.

    Mata kita akan terperangkap pada senjata sebenarnya. Di mana sumpah prasetya dan ksatria yang akan mati pralaya menjadi alasan mengapa kita menyaksikannya.

    Bhisma berjanji menjaga busur dan anak panahnya pada lawan yang mumpuni.

    Putra Dewata bergunjing.

    Siapa gerangan bajingan tak tahu diri yang mampu melawan pengayom jagat?

    Yang apabila ia tiada, Kurusetra tetap menjadi belantara.

     

    Lalu kisah ini dikuburkan dengan telak

    Ceritera akan mayapada yang nyaris porak poranda dihentikan dengan setengah harga

    Hanya karena

    Bhisma terpagut nafsu

    Memburu membabi buta, dan mencengkeramnya menjadi yang penuh kuasa

    Lalu dilepaskannya panah itu pada kiasan yang membuat kisah ini haram dilantunkan

     

    Marahkah Dewi Amba karena mati sia-sia?

    Mengapa bukan ia yang menjadi ksatria?

    Mengapa nasibnya sebagai jelata yang jelita terhenti pada pusaka seorang pria, yang dihunus tanpa tahu nasib dan membuang diri pada yang tidak terkata

     

    Menunggu Bhisma di tepi lapang

    Pada begalan-pati, diharapkan Salwa meraih pedang

    Amba meregang

     

    Penonton kecewa.

     

     

    Kambing yang Berdiri di Rel Kereta

     

    Pergi kemanakah orang-orang yang telah mati?

    Menjadi mendungkah sehingga pemakaman orang-orang baik basah oleh tanah?

    Atau menjadi derak-derak penghubung gerbong yang dari ambangnya kita mandi tangis dan melukai mata hati?

    Ada anak memanggul karung kecampang dengan tengadah menyalakan lampu

    Yang jatuh dari tasnya adalah sisa keburukan yang berombongan si mati mengikutinya

    Di tepi jendela aku mendengar nyanyi seorang ibu muda

    Menenangkan bayi yang tak genap tangannya

     

     

    Catatan Redaksi:

    Dengan nada yang sinis dan getir, puisi Innez menggambarkan dunia yang entah mengapa tiba-tiba bisa telanjang dan menampakkan kelemahannya sendiri. Segala yang awalnya terlihat sempurna ternyata pada akhirnya tidak demikian adanya.

    Membaca puisi-puisi Innez rasanya seperti diajak menonton sebuah pertunjukkan drama, dimana sang lakon yang sakti mandraguna pada akhirnya pun menjadi tak berguna. Segalanya bakalan lapuk ditelan masa.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Bandung Lautan Puisi oleh Khodyani Achmad

    author = Khodyani Achmad

    Refleksi Tubuh Kota dalam Sepotong Surat untuk Layla

    Kini dan di sini, Layla
    Semua yang kita lihat asing dan beda
    Kau yang menjauh tiba-tiba
    Membuat langsam kataku lintuh
    Seperti penyair yang tak berdaya
    Diberi honor murah-meriah

    Tetapi napasmu yang kembang
    Kadang jadi amis, kadang jadi polusi

    Aku mencium napasmu, Layla
    Di mana-mana, di segala tempat yang tak terencana
    Kadang kutemui kau di mata anak-anak miskin kota
    Memulung barang bekas, memulangkan mimpinya yang tak tuntas

    Layla, kini di sini
    Duka yang kau rasakan belum apa-apa
    Di kafe ini, aku lihat kau jadi keringat
    Para pegawai yang hanya memikirkan gaji bulanan
    Dan uang makan harian, tak lebih mahal
    Dari biaya sekali kita kencan

    Layla, Layla, Layla
    Aku mencintaimu dengan sengsara
    Dan aku tidak menangis akan hal ini

    Tangerang, 2018

    Kurasakan Dukamu

    Aku telah sampai di ruang renung
    Lampu padam dan catatan harian
    Memintulkan ujung nyaliku
    Pada pagi yang masih benih

    Kurasakan dukamu tumbuh
    Di langit-langit kamar
    Memanen tubuhku

    Diammu yang hening
    Telah mengalirkan bening air
    Mata yang berkaca di inti bait
    Akhir sebuah lagu

    Tetapi aku tahu
    Tidak semua kekata mampu
    Menyelamatkan kita

    Aku dan dukamu yang sunyi
    Berbaring sama memandang

    2018

    Angin yang Tak Mau Juga Beranjak dari Tubuh

    Kau yang merah rana
    Mendera punggung dan dada
    Dalam sepi aku kerap pasrah
    Berharap cepat ruwat dari segala
    Yang tak kucatat sebagai sajak

    Sejak embusmu taifun
    Aku tabah seperti daun-daun matang
    Berencana akan berbaring tenang
    Dalam linang gerimis sore

    Tapi, nyali masih ada
    Setelah sekian lalu pernah
    Kutaklukan tubuhmu yang gembur
    Mengubah hutanku tampak subur

    Dan sepoimu yang kulihat lenguh
    Masih terus mencecar rusuk bertubi
    Tak kuhiraukan lagi
    Hidupku lekas sembuh

    2018

    Bandung Lautan Puisi

    Akan kutandaskan wangi kata-kata
    yang menguar ditebar halimun pagi ini

    Jadi puisi, membuat kau beringsut
    di balik batang pinus atau bilik kedai
    sepanjang Braga

    Kita tangkap rupa lain dari yang telah
    dilukiskan seniman jalanan

    Segala tampak sepi, senyummu getir
    seperti nasib bangunan-bangunan tua
    bakal kena pugar

    Sialnya, puisi yang kutulis ini
    tak juga mau membuatmu menunggu
    di stasiun, terminal, atau rumahmu

    Hingga aku dan puisi kembali sangsi
    di kota ini gugup menerjemahkan langkah
    sendiri

    2018

    Roh Puisi

    1.
    Lalu setelah kutamatkan tawamu
    Aku berlari ke tengah kota yang ramai
    Kota yang keladi, kau tak ada lagi di urat
    Nadiku yang berdenyar sejak ashar lalu

    Ketika kau abaikan lembur kerjamu
    Dan menganggap aku sebagai berkas-berkas
    Yang kau cetak, hanya kesibukan wajah kita
    Kau-aku mengimani segala yang tak berencana

    Bahwa nasib baik telah berpihak
    Kepada kita, kepada yang ada
    Di dada

    2.
    Lalu setelah kutamatkan pelukanmu
    Kau menjelma tragedi di sunyi yang kurawat
    Setelah ramai kucerna sebagai gawat

    Kau kata-kata itu, memilih jadi puisi
    Setelah kulekaskan mimpi berbaring
    Kau jadi satu-satunya kulihat
    Dalam lanskap nyenyat

    Tetapi sejak kubangunkan mimpi
    Kau benar hilang dari mataku
    Terbagi sebagai roh dalam puisi

    Tangerang, 2018

  • Apakah Hujan Tahun Ini Akan Melahirkan Cinta?

    author = Afrizal Ramadhan

    Apakah Hujan Tahun Ini Akan Melahirkan Cinta?

    Hari-hari hujan turun

    Di sepanjang cakrawala yang meluas kelabu

    Suara gemericik di luar jendela masa lalu

    Mengenang aku di dalam kamar sedu

    Yang bertenang pada lembar-lembar buku

     

    Kata-kata bergantungan di tiang 

    Pikiranku, kalimat-kalimat merangkai

    Membentangkan semu-semu yang lampau itu

     

    Angin dingin merangkul tubuh

    Menjadi selimut untuk membasuh

    Alam kencanku–

    Pada ingatan tentang sebuah jarak jauh

    Di punggung laut dan yang

    Tak pernah sekalipun kulihat

    Dalam hidup

     

    Apakah hujan tahun ini

    Akan melahirkan cinta?

    Ketika embun ke pelupuk mataku

    Menutupi ketakutan-ketakutan itu

    Pada sebuah harapan

    Yang aku selalu tahu

    Akan dijawab oleh Sang Penentu.

     

    2020

    Pada Waktu Itu

                Tanah basah yang licin

                Langkah yang terbata-bata

               Ragu.

               (Takut Terjatuh)

     

    Waktu semula semua kering 

    Krikil tajam di atas tanah

    Tersebar dan tak ada langkah ragu ini

    Meski di telapak terluka parah

     

    Setelah tahun-tahun berlalu

    Dalam menahan perasaan sakit

    Gemuruh suar dalam dadaku

    Ruangku yang paling sunyi

    Memanggil-manggilku:

    “Hei, kesepianku…”

    “Hei, ketakutanku…”

     

    Di depan wajah cermin

    Nampak sekali senyuman dungu

    Malu-malu ketika hujan yang turun

    Mulai kembali memperhatikanku

    (Seperti masa-masa dayu menyenangkan

    Mengisi kekosongan hariku)

     

    Waktu semula semua basah

    Langkah yang terbata-bata

    Ragu

    Akhirnya terpeleset juga

    Pada waktu

    (Itu).

     

    2020

    Hilang

    Tunggu-tunggu

    Suaraku

    Menyatakan perang

    Kepada pulau tak terjamah

    Dan tuli telinganya

     

    Musim hujan

    Suara-suara samar

    Dan suaraku

    Menyatakan perang

    Sudah lama usai

    Kepada pulau yang telah juga hilang

    Dari peta percintaanku.

     

    2020

    Cintaku

    Cintaku

    Jika mau cintaku

    Tunggu yang bercecer-cecer di tanah

    Menjadi air sumur di rumahmu dan

    Kelak jika aku ingin berikan

    Suatu waktu aku datang sendiri

    Meminta air itu dalam keadaan hangat

    Di musim yang kedinginan.

     

    2020

  • Apa Ada yang Lebih Asu dari Rindu? oleh Asef Saeful Anwar

    author = Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.

    Apa Ada yang Lebih Asu dari Rindu?

    pertemuan kali itu kita malumalu

    bertatapan dan gelagapan

    mencari pegangan tapi tak bisa

    saling menggenggam

     

    katakata patah sebelum diucapkan

    darah dan napas beradu terburu

    tak ada yang ingin disimpan

    tapi segalanya tersembunyikan

    sampai perpisahan

     

    apa ada yang lebih asu dari rindu

    yang makin menggonggong

    selepas bertemu?

     

    pada dinding kubisikkan perasaaan

    berharap pintu menyampaikan

     

    tak ada angin

    selain yang mengantarkan suaramu

    tak ada cahaya

    selain yang menampakkan bayanganmu

     

    malam tak dapat menyembunyikan wajahmu

    siang tak dapat mengeringkan ingatanku

     

    apa ada yang lebih asu dari rindu

    yang makin menggonggong

    selepas bertemu?

     

    2017

     

     

    Menjelang Kerinduan

    /I/

    dan kita mulai

    memasukkan hari ke dalam jemari

    sebelum kepulanganmu

    menjenguk pohon liu

    yang melahirkanmu pada musim semi

    di bulan kedua

     

    “bagaimanakah kita dapat

    menghentikan jarum jam

    agar tak lagi menyulam?”

     

    dan kita sepakat

    mendinginkan diri dalam janji

    sebelum tahunmu berganti

    dengan warna naga yang saga

    memekarkan bungabunga bidara

    di bulan kesembilan

     

    “mengapa waktu terus berjalan

    bukankah kita telah lama mengurungnya

    hanya dalam duabelas angka?”

     

     

    /II/

    pada dinding

    waktu terpaku seperti luka

    matamu senantiasa bangun tidur

    melipat mimpi demikian rapi

    teratur dan tanpa jeda

     

    “adakah tubuh meninggalkan ruh

    setiap habis subuh?”

     

    aku membukabuka buku

    mencari doa yang kau simpan

    sebelum makan malam

     

    “adakah warna langit kelak berubah

    sejak nanti kita berpisah?”

     

    2016

     

     

    Aku Ingin Mengenalmu

    aku ingin mengenalmu dari dekat

    melihat bagaimana kau menggerai rambut

    bercermin sembari mulai berkatakata

    tentang poni yang sedikit merambati mata

    serta mengeluhkan pipi yang makin menggelembung

     

    aku ingin mengenalmu lebih dalam

    membaca setiap mimpimu

    dari dalam mata semenjak kau terjaga

    mengejanya sebagai petunjuk

    langkahlangkah kecil membahagiakanmu

     

    aku ingin mengenalmu lebih dekat

    mendengar tiap detak jantungmu

    mengikutinya hingga pergelangan

    dan bertukar udara yang kau hirup-hembuskan

     

    aku ingin mengenalmu dengan baik

    menyentuh setiap yang kau lihat

    menjaga setiap yang kau sentuh

    mewujudkan setiap harapan

    sebelum kau ucapkan.

     

    2014

     

     

    Anak-anak Batu

    betapapun

    anak-anak kecil yang menggeletakkan sepeda

    di halaman wajahmu itu mungkin lahir dari batu

    yang pecah oleh tetesan air mata seorang ibu

    hingga bila langit terbelah tujuh pun

    mereka akan tetap bermain di rambutmu

    berkejaran dari helai ke helai

    bergelayutan dari bahu kanan ke bahu kirimu

    dan kau hanya bisa menyungging pipi gempalmu

    serupa gumpalan awan yang kian melambungkan angan

    tentang Tuhan, firman, dan segala kejadian.

     

    sekali waktu, Tina, kita mungkin bisa memejamkan mata

    merebahkan diri di atas rerumputan depan rumahmu itu

    mendengarkan kesiur angin menerbangkan daun kering

    sebelum anakanak kecil tetangga datang memainkan rambutmu

     

    tentu kita akan melakukannya di sore hari

    saat segala pekerjaan serta hiruk pikuknya selesai

    ketika wajahmu ditimpa cahaya senja jingga

    dan gelunganmu telah diurai siap untuk dibelai.

     

    2013

     

    Yang Tak Sampai ke Langit Tak akan Turun ke Bumi

    sepasang naga di tembok itu

    memang tak perlu diberi mata

    sebab geraknya akan merubuhkan

    segala yang berdiri di pundaknya

     

    biarkan dua phoenix terbang berkejaran

    mencari jalan ke surga tanpa singgah

    pada dahan pinus depan rumahmu

    sebab musim dingin pasti gugur

    dari langit matamu yang kian sempit.

     

    Xie, demi hio di tanganmu segera bara

    aku masih memantik api di bawah janji

    baur dengan aroma kamboja yang mekar

    di atas daun telinga kananmu

    sembah namaskara barisbaris sutra

    pujapuji sebelum meminta masa depan:

    pernikahan dan anakanak yang lahir dari rindu.

     

    2015

     

    Catatan Redaksi:
    Puisi yang berjudul Apa Ada yang lebih Asu dari Rindu? Menggambarkan suara jiwa seorang yang sedang merindukan kekasihnya. Asu dalam konteks ini dipahami bukan sebagai seekor hewan sebenarnya (anjing) melainkan sebuah umpatan referensial (konotasi) yang sering digunakan khususnya oleh orang Jawa untuk menyatakan ekspresi yang spontan, mencengangkan dan tidak bisa ditahan. Rindu dalam puisi ini pun menjelma laksana asu tersebut. Asu yang meledak-ledak, menggonggong dan seringkali tak bisa lagi dikendalikan. Metafora ini tentu saja cukup menarik untuk menggambarkan bagaimana gejolak rindu yang hadir tersebut.

    Cinta, perpisahan, dan kerinduan nampaknya menjadi tema besar dalam puisi-puisi Asef Saeful Anwar. Perasaan-perasaan tersebut lahir dari sebuah pertemuan yang memberikan kesan mendalam khusunya bagi aku lirik. Tapi seringkali pula sebuah kisah cinta yang mendalam harus diakhiri dengan sebuah perpisahan. Satu-sama lain tak lagi saling mengetahui keadaan. Dalam ketidaktahuan inilah perasaan bertanya-tanya muncul. Keresahan-keresahan hadir layaknya pertanyaan yang setiap saat membutuhkan jawaban. Bahkan kegelisahan itu pun semakin menggila saat tak bisa dikendalikan. Dalam puisi dengan tema lain pun, nampak bahwa aku lirik juga sedang mengalami jatuh cinta yang “berapi-api.” Dalam puisi Aku Ingin Mengenalmu nampak bahwa aku lirik benar-benar terjerat dalam cinta dan sangat ingin mengetahui semua hal tentang orang yang sedang dikasihinya. Hingga detak jantung sampai mimpi kekasihpun ingin diketahui. Tapi begitulah puisi, kadang memerlukan ungkapan hiperbolis untuk menunjukkan kedalaman rasa. Mungkinkah sang penyairnya kini memang sedang “menderita” jatuh cinta?

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Angin Memeluk Daun oleh Ricardhus Benny Pradipta

    author = Ricardhus Benny Pradipta

    ANGIN MEMELUK DAUN

    Di antara prahara dan kabut
    Aku adalah haru
    Ketika pada pagi ada pohon tumbuh di musim kemarau
    Embun bersenandung merasa hujan
    Angin memeluk daun
    Supaya tak lelah harapmu

     

     

    PELUK ITU

    Di pelukan itu
    Kembali Kauceritakan kepadaku
    Tentang rahasia lautan-Mu
    Siapa yang berenang di sana
    Dan meninggalkan lelahnya, juga dosanya yang tenggelam dalam-dalam
    Lantas Kaututup mataku, sehingga aku tak bisa melihat dosa mereka
    Peluk itu
    Kembali keringatku yang dingin mengucur
    Dalam melihat rahasia pengampunan-Mu

     

    KELAHIRAN

    Sekeping kaca tiba-tiba terhambar pecah
    tanda segores nasib tak terelak
    Sepasang kaki mulai menginjaknya
    dengan napas pertama yang mengenakan pilihan;
    menghias
    atau
    merusak!

     

     

    SANG PETAPA

    ~ Kepada Romo Yohanes Indrakusuma, CSE

    Ia bermukim pada doa heningnya
    bertutup abu gunung berapi
    ditebari mayat dan tulang yang tak terhitung
    dari mereka yang melakukan perjalanan
    ke lubuk hati bumi
    Memohon kesempurnaan
    dalam ampunan kutuk pada leluhur dan keturunan
    Menghantar jiwa abadi dalam tekad hati
    Pada kata-kata lembut,
    menampung kerinduan Sang Pencipta
    di tengah belantara padang gersang
    dan kota beribu macam warna
    Menawarkan hati tulus
    pada peluang jalan menuju keselamatan-Nya.

     

     

    SEORANG WANITA TUA

    Di sepanjang jalan Yogyakarta
    Aku mengelilingi jalan-jalan berdebu
    dengan langkah – langkah berat menapaki debu yang halus
    Terlihat beberapa orang melangkah sendirian
    Hembusan angin yang kuat buat ranting-ranting pohon kering terjatuh di jalan-jalan
    Daun-daunnya berjatuhan di atas kepala
    Hembus angin menerpa dan debu ada di mana-mana
    Aku yang berjalan sendiri di trotoar
    Dalam sepi
    Tiba-tiba hadir seorang wanita tua berbaju kebaya lusuh kusam
    Mengulurkan tangan seperti mengemis
    Bibirnya kering sama seperti tanah yang berdebu.
    Wanita tua itu tak tampak bahagia
    Akan tetapi ia menghalangi jalanku
    sambil menarik-narik bajuku lalu mengikutiku
    Aku tetap berjalan.

    Sekarang aku tak berjalan sendiri
    Hembusan angin kembali menerpa
    dan debu pun berterbangan di mana-mana
    Seorang wanita tua berbaju kebaya lusuh kusam mengikuti ku
    Rambutnya putih lesuh sama seperti kapuk
    Pada kubangan lumpur
    Seorang tua itu tak tampak bahagia
    Ia ternyata seorang bisu
    Seorang tua menjulurkan tangannya
    dalam ringkih tanpa suara
    Namun aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan
    Ia melepaskan tangannya dari bajuku
    Duduk di trotoar dan terdiam
    Aku menghentikan langkah kakiku
    Ketika ia duduk di tepi trotoar
    Terpanggil arah kepala menengok ke arahnya
    Perhatianku tak terlepas darinya

    Aku kembali padanya, dengan duduk jongkok di sebelahnya

    Aku harus berbuat apa
    Tiada bisa aku memberinya apa-apa
    Aku pun memang tak punya apa-apa
    Aku hanya mahasiswa yang masih di tanggal tua
    Aku bertanya-tanya
    Cara apa sebaiknya digunakan untuk memberi?
    Aku duduk bersama seorang tua itu dan memperhatikan apa yang diperhatikannya
    “Ada lelaki mencium wanitanya. Ada ibu yang sedang memarahi anaknya yang merengek minta jajan. Ada sekumpulan siswa dan siswi yang membolos sekolah sebab pacaran. Ada polisi yang mendapat komisi di jalanan.”
    Namun kami terdiam pada sepi-sepi di tepi trotoar

    Angin bangkit dan debu berada di mana-mana

    Beberapa orang berjalan dan kami terdiam duduk sepi di tepi trotoar.

     

    Catatan Redaksi:
    Dengan tema religiusitas, puisi-puisi ini menggambarkan kehidupan manusia di dunia. Kehidupan dunia hanyalah satu dari sekian banyak fase kehidupan yang harus dilalui manusia sebelum sampai/kembali ke asalnya. Dunia menawarkan dua pilihan, yakni jalan yang lurus atau jalan yang sesat. Ia yang mau berjalan di jalan yang lurus maka akan selamat sementara ia yang memilih jalan kesesatan akan celaka. Tapi dalam perjalanan itu kadang manusia bisa lelah, terlena atau bahkan tersesat. Tapi Tuhan yang penuh kasih akan memberikan penerangan dan petunjuk agar manusia kembali ke jalan yang benar, begitupun mereka yang berdosa akan dapat diampuni.

    Sifat tematik tersebut nampaknya membuat puisi-puisi ini nampak begitu polos dalam menghadirkan gambaran dunia termasuk juga jawaban batin bagaimana cara menyikapi kehidupan itu.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Aku Sayang Ibu oleh Gemi Mohawk

    author = Gemi Mohawk

    Juragan

    gan, juragan
    kembalikan kami punya lahan
    kami butuh pekerjaan

    gan, juragan
    berikan kami kelayakan pangan
    swasembada pangan tinggal
    kenangan

    gan, juragan
    kapan kami mendapatkan rasa aman
    preman sekarang memakai surban

     

     

    Aku Sayang Ibu

    sejak aku lahir
    tak terlepas utang
    habis upah cicil rentenir
    “bu, jangan sampai jual kutang!”

     

     

     

    Bantuan Langsung Tunai

    pemerintah
    tak mampu cipta
    lapangan kerja

     

     

     

    Bakal Calon Kepala daerah

    mendadak soleh dan solehah

     

     

     

    Kata Bapak Sepulang Kerja Kepada Emak

    garpu, sendok
    piring, gelas, mangkok
    hari ini kita libur

     

     

     

    Kisah Tanah

    tanah kata
    suatu ketika

    tanah menceritakan
    berita-beritanya
    l
    a
    l
    u
    tanah meneriakkan
    derita-deritanya

    suatu titah
    kata tanah

     

     

     

    Selera Negeri

    film hantu-hantu
    pasti laku

    lagu sendu-sendu
    itu laku

    novel tabu-tabu
    juga laku

    sinetron babu-babu
    paling laku

    inikah selera negeriku?
    atau
    inikah potret negeriku?

    jangan gagahi kemelayuanku
    dengan kebudayaanmu

     

     

     

    Catatan Redaksi:

    Melalui puisi-puisinya, Gemi Mohawk —penulis terpilih Ubud Writers and Readers Festival 2016— menyoal masalah-masalah kehidupan dari sisi yang paling nyinyir. Persoalan kemiskinan, krisis pangan, krisis budaya, maupun intrik politik yang selalu menempatkan rakyat kecil sebagai korban tergambar jelas dalam puisi-puisinya. Dengan sudut pandang seorang penyair, puisi-puisi ini telah mengambil sikap menentang segala bentuk penindasan sekaligus mencoba menyuarakan suara-suara dari bawah.

    Puisi-puisinya bisa dikatakan pendek-pendek tapi menusuk tajam bagai sebuah belati. Puisi-puisinya seolah menghindari kata-kata yang indah, metafora-metafora yang lazim digunakan dalam penulisan puisi pada umumnya. Kendati demikian, letupan-letupan emosi yang diungkapkannya seringkali menjadi parodi, sebuah ejekan, atau permainan niris yang mencoba membongkar drama kehidupan yang bersentuhan langsung dengan kita.

    Hal yang paling menonjol dalam puisi Gemi Mohawk adalah relasi antara judul dan isi puisi. Judul sering diwujudkan sebagai gambaran dari realitas yang dia kritisi, sementara isi puisi muncul sebagai sebuah pernyataan sikap. Puisi-puisi Gemi Mohawk hadir sebagai sesuatu yang berbeda, sesuatu yang khas yang mungkin tidak meniru sekaligus tidak ditiru oleh penyair yang lain. Puisi Gemi Mohawk pada akhirnya semakin memperkaya perbendaharaan puisi di Indonesia.

     

     

    * Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Andaikan aku

    author = Yohanes Mikot Fios

    Aku

    Satu nadi satu nafas,
    Di atas cadas.

    Satu lelaki di momen juang,
    Pada altar-Mu tiada lekang.

    Risalah Harap

    Sebentuk harap mendekap cahaya di tengah gulita,
    Dan mata kelabu menatap gerimis yang berderai sejak sore tiba,
    Ini pertanda sepi dan senyum menipis temu,
    Ini pertanda rahasia dan risalah beranjak jemu.

    Ingatkah setiap generasi, ada kekuasaan enteng merumuskan hukum,
    Mencambuk gunakan kata-kata dan segelas air putih,
    Ia menuntut kepatuhan humanum,
    Ia mengosongkan bela rasa dan petuah-petuah.

    Suatu saat, entah, gelas-gelas kaca pecah,
    Dari balik jendela kaca orang-orang menemukan gerimis usai,
    Sambil menggendong sisa iman kemarin, sebagian masih tertinggal utuh,
    Mata mereka menemukan Dia di pintu gerbang, Ia tak pernah usai.

    Dia yang tak pernah usai hendak menghapus hipokrisi
    Bersama antek-antek genit ciptaan yang usai.

    Andaikan Aku

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu di pojok rumah mungkin cinta kita jelma gelap. Lantas ibumu menghadiahkan cambuk di ulang tahun pertemuan kita di kota angan. Dan Jari-Jari terhimpit rintih di tengah rintik dan rindu nafas. Menerbangkan setiap Jiwa-Jiwa kita di kota Paris idaman bapakmu. Hmm, aku tidak lelah mengecup indah keningmu.

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu di syahdu malam, kita hanyalah abu tergolek fana. Kecupanku mencipta rasa merambat, seperti perempuan sundal menyeka kaki Tuhan. Akulah perempuan sundal dan kaulah kaki-Nya. Kakimu menendang dosa-dosaku entah. Cambuk dari ibumu bukti berkat-berkatnya.

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu, wajahmu tidak memerah seperti bibirmu yang runyam. Akulah Adam sang pintu dosa dan kaulah perawan tak bernoda. Berkas dosa-dosa melekat pada suci perawan. Kita mengenang pohon terlarang di tengah Firdaus dan Dosa-Dosa kita merah seperti bibir teroles gincu.

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu, aku tetaplah aku dan kau Jadi kau. Tidak ada satu. Tapi Cerita menggores beda di atas rindu di tengah rintik, kita bukan Lagi dua melainkan satu yang merubah wujud jadi pohon terlarang di tengah Firdaus. Kita mencipta dari angan dan dosa-dosa.

    Api Lelaki

    Di timur, santun amarah perlahan penuh bertuah;
    Melontarkan api. Menyembunyikan zinisme.
    Cenderung lelaki penggenggam api itu diam;
    Sebab ia telah bergulat dengan amukan badai
    Sebab diam-diam istrinya mengadu nazib ke hongkong.
    Sebab anak gadisnya yang tunggal terjatuh-jatuh
    Di atas pundak matahari. Pada pelukan rembulan.

    Nanar sudah wajahnya menoreh luka menggores bejat;
    Bercumbu sesaat di atas labur putih pusara luhur,
    Sesekali menyentuh naluri liar.
    Ia membanggakan keburaman pikiran.
    Ia bermimpi menjelma putera gadis dara
    Serta besok, api dalam genggamannya sesenyap doa.

    Izinkan aku bercumbu, katanya.
    Izinkan aku membunuh.
    Pada garis-garis wajah mereka
    Aku melihat-Mu terlelap.

    Izinkan aku bercumbu kefatalan.
    Izinkan aku membunuh kelatahan.

    Ia berdebar;
    Melafal kata-kata arif,
    Merayu romantisme Tuhan.
    Tetapi lututnya goyah,
    Ia ingin pulang.

    Pengakuan

    Pengakuan. Pengakuan. Indonesia miskin kata-kata
    Angka jelata tak humanis lampaui kata.
    Peradaban dan komedi membludak di tong-tong sampah
    Lelucon para politisi kolabarasi teks kudus buat sumpah
    Dibawa pulang jadi mainan istri di rumah kita
    Berakhir mubazir di tong sampah.

    Hipotesanya, bawahan manggut-manggut di kaki majikan
    Istri pemulung abaikan kemanusiaan di tong sampah.
    Mereka berkelakar
    Biar anak-anak kita yang gagap dibarter dengan adab kemanusiaan
    Untuk jadi tiket masuk senayan bermain komedi.

    Humor. Hihihihi… sumpah, sampah.
    Kabut dan gerimis jadi rumah ibu pertiwi.
    Pengakuan. Pengakuan. Indonesia miskin kosa kata dan bungkam.
    Banyak jelata ingin berkomedi di senayan
    Sambil menenteng teks-teks suci.

    Indonesia menari di atas angin.