Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Asef Saeful Anwar
Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
pertemuan kali itu kita malumalu
bertatapan dan gelagapan
mencari pegangan tapi tak bisa
saling menggenggam
katakata patah sebelum diucapkan
darah dan napas beradu terburu
tak ada yang ingin disimpan
tapi segalanya tersembunyikan
sampai perpisahan
apa ada yang lebih asu dari rindu
yang makin menggonggong
selepas bertemu?
pada dinding kubisikkan perasaaan
berharap pintu menyampaikan
tak ada angin
selain yang mengantarkan suaramu
tak ada cahaya
selain yang menampakkan bayanganmu
malam tak dapat menyembunyikan wajahmu
siang tak dapat mengeringkan ingatanku
apa ada yang lebih asu dari rindu
yang makin menggonggong
selepas bertemu?
2017
/I/
dan kita mulai
memasukkan hari ke dalam jemari
sebelum kepulanganmu
menjenguk pohon liu
yang melahirkanmu pada musim semi
di bulan kedua
“bagaimanakah kita dapat
menghentikan jarum jam
agar tak lagi menyulam?”
dan kita sepakat
mendinginkan diri dalam janji
sebelum tahunmu berganti
dengan warna naga yang saga
memekarkan bungabunga bidara
di bulan kesembilan
“mengapa waktu terus berjalan
bukankah kita telah lama mengurungnya
hanya dalam duabelas angka?”
/II/
pada dinding
waktu terpaku seperti luka
matamu senantiasa bangun tidur
melipat mimpi demikian rapi
teratur dan tanpa jeda
“adakah tubuh meninggalkan ruh
setiap habis subuh?”
aku membukabuka buku
mencari doa yang kau simpan
sebelum makan malam
“adakah warna langit kelak berubah
sejak nanti kita berpisah?”
2016
aku ingin mengenalmu dari dekat
melihat bagaimana kau menggerai rambut
bercermin sembari mulai berkatakata
tentang poni yang sedikit merambati mata
serta mengeluhkan pipi yang makin menggelembung
aku ingin mengenalmu lebih dalam
membaca setiap mimpimu
dari dalam mata semenjak kau terjaga
mengejanya sebagai petunjuk
langkahlangkah kecil membahagiakanmu
aku ingin mengenalmu lebih dekat
mendengar tiap detak jantungmu
mengikutinya hingga pergelangan
dan bertukar udara yang kau hirup-hembuskan
aku ingin mengenalmu dengan baik
menyentuh setiap yang kau lihat
menjaga setiap yang kau sentuh
mewujudkan setiap harapan
sebelum kau ucapkan.
2014
betapapun
anak-anak kecil yang menggeletakkan sepeda
di halaman wajahmu itu mungkin lahir dari batu
yang pecah oleh tetesan air mata seorang ibu
hingga bila langit terbelah tujuh pun
mereka akan tetap bermain di rambutmu
berkejaran dari helai ke helai
bergelayutan dari bahu kanan ke bahu kirimu
dan kau hanya bisa menyungging pipi gempalmu
serupa gumpalan awan yang kian melambungkan angan
tentang Tuhan, firman, dan segala kejadian.
sekali waktu, Tina, kita mungkin bisa memejamkan mata
merebahkan diri di atas rerumputan depan rumahmu itu
mendengarkan kesiur angin menerbangkan daun kering
sebelum anakanak kecil tetangga datang memainkan rambutmu
tentu kita akan melakukannya di sore hari
saat segala pekerjaan serta hiruk pikuknya selesai
ketika wajahmu ditimpa cahaya senja jingga
dan gelunganmu telah diurai siap untuk dibelai.
2013
sepasang naga di tembok itu
memang tak perlu diberi mata
sebab geraknya akan merubuhkan
segala yang berdiri di pundaknya
biarkan dua phoenix terbang berkejaran
mencari jalan ke surga tanpa singgah
pada dahan pinus depan rumahmu
sebab musim dingin pasti gugur
dari langit matamu yang kian sempit.
Xie, demi hio di tanganmu segera bara
aku masih memantik api di bawah janji
baur dengan aroma kamboja yang mekar
di atas daun telinga kananmu
sembah namaskara barisbaris sutra
pujapuji sebelum meminta masa depan:
pernikahan dan anakanak yang lahir dari rindu.
2015
Catatan Redaksi:
Puisi yang berjudul Apa Ada yang lebih Asu dari Rindu? Menggambarkan suara jiwa seorang yang sedang merindukan kekasihnya. Asu dalam konteks ini dipahami bukan sebagai seekor hewan sebenarnya (anjing) melainkan sebuah umpatan referensial (konotasi) yang sering digunakan khususnya oleh orang Jawa untuk menyatakan ekspresi yang spontan, mencengangkan dan tidak bisa ditahan. Rindu dalam puisi ini pun menjelma laksana asu tersebut. Asu yang meledak-ledak, menggonggong dan seringkali tak bisa lagi dikendalikan. Metafora ini tentu saja cukup menarik untuk menggambarkan bagaimana gejolak rindu yang hadir tersebut.
Cinta, perpisahan, dan kerinduan nampaknya menjadi tema besar dalam puisi-puisi Asef Saeful Anwar. Perasaan-perasaan tersebut lahir dari sebuah pertemuan yang memberikan kesan mendalam khusunya bagi aku lirik. Tapi seringkali pula sebuah kisah cinta yang mendalam harus diakhiri dengan sebuah perpisahan. Satu-sama lain tak lagi saling mengetahui keadaan. Dalam ketidaktahuan inilah perasaan bertanya-tanya muncul. Keresahan-keresahan hadir layaknya pertanyaan yang setiap saat membutuhkan jawaban. Bahkan kegelisahan itu pun semakin menggila saat tak bisa dikendalikan. Dalam puisi dengan tema lain pun, nampak bahwa aku lirik juga sedang mengalami jatuh cinta yang “berapi-api.” Dalam puisi Aku Ingin Mengenalmu nampak bahwa aku lirik benar-benar terjerat dalam cinta dan sangat ingin mengetahui semua hal tentang orang yang sedang dikasihinya. Hingga detak jantung sampai mimpi kekasihpun ingin diketahui. Tapi begitulah puisi, kadang memerlukan ungkapan hiperbolis untuk menunjukkan kedalaman rasa. Mungkinkah sang penyairnya kini memang sedang “menderita” jatuh cinta?
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi