Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Achmad Hidayat Alsair
Bersarang di Gunung Mekongga
Kini giliranku mengintai basah lembah di utara
kala peladang memanen embun dan wanitanya memanggul lesung
perlahan ribuan ruas silau datang menempa keruh mata
disesapnya lumut peluh, ditanamnya bibit dahaga
kulerai kerongkongan dari lidah sebelum lambung terkulai
Tiba di hulu, sambutan kuntum-kuntum pengabdi surya nirmala
aku beku dinaungi tudung lengan dahan pengayun
hening meresik meminta izin mengukur aliran nadi
tepian sungai bahkan takzim rebah menerima rubuh kabut
dan di udara, ayat-ayat gigil diapungkan binatang melata
Ritmis tarian pagi menyambut datangnya resah langit
kota mengekalkan asap cerobong, ingin kucabut serak beton di dadaku
kemudian aku akan pulang padamu dengan cara berlari paling belia
kausarungkan perih, mengantarnya menuju remang telaga
merengkuh telinga, kurapal mantra “inaku ehe inggo’o”
(Makassar, 18 Januari 2017)
Keterangan :
- Gunung Mekongga adalah gunung yang berada di kampung halaman penulis.
- “Inaku ehe inggo’o” adalah kalimat bahasa Tolaki (salah satu bahasa daerah di Sulawesi Tenggara) yang berarti “aku sayang padamu”
Salinan Kidung Kuno
Sayang, nyanyikan dulu sebuah himne
irama manuskrip asal pematang kuning
di mana benih rahim seluruh induk Desember
timpali kehendak bintang menerangi azimut
Sebab malamku kian nampak petang
semburat dari jubah compang-camping
pertolongan pertama adalah berdoa
selain mendengar sabda kehidupan dari bukit
Adalah kecamuk mengajakku bermain
teka-teki dan tafsir makna mukjizat
dalam khutbah para nabi nyaris kelaparan
tersesat kala mengabarkan berita gembira
Maka telusuri jalan setapak kawanan keledai
juga kumpulkan nubuat dari repih manuskrip
tatkala anak-anak penuh semangat menulis pesan
perihal mata tombak yang tumpul perlahan
Ingin kulepas para merpati yatim
sebab tragedi tidak juntai di paruh
hanya daun zaitun pohon kering
dan penunjuk arah menuju menara lonceng
Sayang, hendak kulengkapi kidung ini
dengan erat hening dekapanmu
(Makassar, 20 Desember 2016)
Percakapan Saat Menuju Bantimurung Jam Delapan Malam
“Tiga tahun di Makassar, kota penuh kepelbagaian
dan kerap mengunjungi pusat-pusat belanja seliweran,
kudapat pembelajaran dari puluhan amatan.”
“Dari segala plesiran itu, apa yang kau catat?”
“Banyak pengunjung sama sekali tidak hirau riuhnya cengkerama
tetapi sebaliknya, datang membiakkan kesepian. Bisa kau tengok sorot mata mereka,
kesepian dipajang begitu pampang, tandingan etalase dan lampu-lampu yang terlalu terang.
Mereka tak menghalau sepi, justru merayakan ego dan rasa tidak puas diri.
Coba tengok sekilas ke dalam bioskop, toko buku dan wahana permainan,
mereka bertandang sembari diboncengi tatapan paling kosong.
Ditemani dua tiga orang tetap saja berkarib kesepian,
sementara kawan mereka serupa pegawai penyuluhan program negara, kerap diabaikan.
Sembap lingkari mata, masih belajar patenkan dusta suara dada.
Mereka timpali kesepian dengan kesepian lain,
tanpa sadar juga tekun mengasah pisau, menabuh peperangan dalam batin.
Samarkan hening dalam riuh, pulang pun tetap menjamu kesepian.”
“Harusnya pemerintah lebih banyak rencanakan taman,
disanalah sejatinya penerapan makna kata pergaulan.”
“Ah, keterasingan masih menjadi teman akrab,
aku yakin mereka belum diwahyukan keyakinan.”
(Bantimurung, Mei 2016)
Hari Memanggul Beban
Apa semuanya akan terasa ringan?
Tanganku terlalu sempit untuk pijakanmu
terlalu sangsi jika menuntun arah
justru kau kerutkan aku dalam dingin
Apa pernah terpikir menebus diriku?
Beri aku banyak tubuh untuk dipanggul
dan lonceng untuk digemakan
saat fajar, kala malam yang gaungnya menyentuh bintang
hingga kuingat jarak menuju rumah tanpa suguhan serta jamuan
Masih belajar memahami gemetar tangan
karena jam istirahat membuka kelelahan
maka kujamin takkan ada langkah licin gelincir
atau keriangan tanpa asinnya peluh
Menarilah, dan rayakan yang tak perlu
cukup dengan memandang goresan di punggung
(Kaluppini, Juli 2016)
Malam Ganjil Rumi
Mainkan musiknya. Begitu elok, pengundang ramai
Sebab telingaku senantiasa dahaga pada dendang
menghimpun segenap tenaga untuk rotasi di tipis bumi-Mu
Tuanglah semua minuman, kita akan selalu terjaga
demi menjalin cucuran air mata, disuguhkan sebagai ibadah
khusyuk lagi penuh cinta, senandung lemah majelis penghamba
Tabuhan irama rebana, bising gemericing
nama-nama dan puji-pujian tak henti kami tuturkan
keributan atas nama rindu, tegangkan bulu roma
Segenap juga seluruh, hanya pada-Mu
Oh cinta, cintaku, cinta-Mu
Menahan rinduku padamu, menahan rinduku pada-Mu
(Makassar, Juni 2016)
Catatan Redaksi
Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair menyoal kepulangan ke dunia yang damai. Kedamaian itu nampak didapatkan pada segala yang alami dan juga Tuhan. Ia menjadi oposisi dari kehidupan yang serba carut marut yang tergambar dari lanskap perkotaan. Hubungan hubungan sosial di kota digambarkan tampak begitu riuh dan gaduh namun bagi penyair justru malah menghadirkan kesunyian. Untuk memperoleh ketenangan diri itulah maka menyepi ketempat tempat sepi merupakan sebuah pilihan, mendekatkan diri pada alam dan Tuhan. Di dalam kedamaian yang dicitakan itulah maka akan didapat suara suara, keadaan keadaan yang selama ini tidak didapat dalam riuh suasana kota.
Dalam penggambaran suasana kota nampak sering muncul kelibatan suara jiwa yang digambarkan mirip dengan cara begitu pesimistis. Tak ada jawaban pada keramaian yang ada tinggallah sepi. Maka menyepi ke tempat sunyi adalah satu satunya jalan permenungan untuk mencari sesuatu yang lain. Puisi ini mengingatkan pada lirik lagu yang menjadi soundtrack film Gie.
“berbagi waktu dengan alam kau kan temukan siapa dirimu sebenarnya hakekat manusia” juga mengingatkan pada puisi-puisi Pujangga Baru: Amir Hamzah dan generasinya meskipun dengan gaya persajakan yang sama sekali berbeda.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/