Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Andaikan aku

author = Yohanes Mikot Fios

Aku

Satu nadi satu nafas,
Di atas cadas.

Satu lelaki di momen juang,
Pada altar-Mu tiada lekang.

Risalah Harap

Sebentuk harap mendekap cahaya di tengah gulita,
Dan mata kelabu menatap gerimis yang berderai sejak sore tiba,
Ini pertanda sepi dan senyum menipis temu,
Ini pertanda rahasia dan risalah beranjak jemu.

Ingatkah setiap generasi, ada kekuasaan enteng merumuskan hukum,
Mencambuk gunakan kata-kata dan segelas air putih,
Ia menuntut kepatuhan humanum,
Ia mengosongkan bela rasa dan petuah-petuah.

Suatu saat, entah, gelas-gelas kaca pecah,
Dari balik jendela kaca orang-orang menemukan gerimis usai,
Sambil menggendong sisa iman kemarin, sebagian masih tertinggal utuh,
Mata mereka menemukan Dia di pintu gerbang, Ia tak pernah usai.

Dia yang tak pernah usai hendak menghapus hipokrisi
Bersama antek-antek genit ciptaan yang usai.

Andaikan Aku

Andaikan aku tidak mengecup keningmu di pojok rumah mungkin cinta kita jelma gelap. Lantas ibumu menghadiahkan cambuk di ulang tahun pertemuan kita di kota angan. Dan Jari-Jari terhimpit rintih di tengah rintik dan rindu nafas. Menerbangkan setiap Jiwa-Jiwa kita di kota Paris idaman bapakmu. Hmm, aku tidak lelah mengecup indah keningmu.

Andaikan aku tidak mengecup keningmu di syahdu malam, kita hanyalah abu tergolek fana. Kecupanku mencipta rasa merambat, seperti perempuan sundal menyeka kaki Tuhan. Akulah perempuan sundal dan kaulah kaki-Nya. Kakimu menendang dosa-dosaku entah. Cambuk dari ibumu bukti berkat-berkatnya.

Andaikan aku tidak mengecup keningmu, wajahmu tidak memerah seperti bibirmu yang runyam. Akulah Adam sang pintu dosa dan kaulah perawan tak bernoda. Berkas dosa-dosa melekat pada suci perawan. Kita mengenang pohon terlarang di tengah Firdaus dan Dosa-Dosa kita merah seperti bibir teroles gincu.

Andaikan aku tidak mengecup keningmu, aku tetaplah aku dan kau Jadi kau. Tidak ada satu. Tapi Cerita menggores beda di atas rindu di tengah rintik, kita bukan Lagi dua melainkan satu yang merubah wujud jadi pohon terlarang di tengah Firdaus. Kita mencipta dari angan dan dosa-dosa.

Api Lelaki

Di timur, santun amarah perlahan penuh bertuah;
Melontarkan api. Menyembunyikan zinisme.
Cenderung lelaki penggenggam api itu diam;
Sebab ia telah bergulat dengan amukan badai
Sebab diam-diam istrinya mengadu nazib ke hongkong.
Sebab anak gadisnya yang tunggal terjatuh-jatuh
Di atas pundak matahari. Pada pelukan rembulan.

Nanar sudah wajahnya menoreh luka menggores bejat;
Bercumbu sesaat di atas labur putih pusara luhur,
Sesekali menyentuh naluri liar.
Ia membanggakan keburaman pikiran.
Ia bermimpi menjelma putera gadis dara
Serta besok, api dalam genggamannya sesenyap doa.

Izinkan aku bercumbu, katanya.
Izinkan aku membunuh.
Pada garis-garis wajah mereka
Aku melihat-Mu terlelap.

Izinkan aku bercumbu kefatalan.
Izinkan aku membunuh kelatahan.

Ia berdebar;
Melafal kata-kata arif,
Merayu romantisme Tuhan.
Tetapi lututnya goyah,
Ia ingin pulang.

Pengakuan

Pengakuan. Pengakuan. Indonesia miskin kata-kata
Angka jelata tak humanis lampaui kata.
Peradaban dan komedi membludak di tong-tong sampah
Lelucon para politisi kolabarasi teks kudus buat sumpah
Dibawa pulang jadi mainan istri di rumah kita
Berakhir mubazir di tong sampah.

Hipotesanya, bawahan manggut-manggut di kaki majikan
Istri pemulung abaikan kemanusiaan di tong sampah.
Mereka berkelakar
Biar anak-anak kita yang gagap dibarter dengan adab kemanusiaan
Untuk jadi tiket masuk senayan bermain komedi.

Humor. Hihihihi… sumpah, sampah.
Kabut dan gerimis jadi rumah ibu pertiwi.
Pengakuan. Pengakuan. Indonesia miskin kosa kata dan bungkam.
Banyak jelata ingin berkomedi di senayan
Sambil menenteng teks-teks suci.

Indonesia menari di atas angin.