Refleksi Tubuh Kota dalam Sepotong Surat untuk Layla
Kini dan di sini, Layla
Semua yang kita lihat asing dan beda
Kau yang menjauh tiba-tiba
Membuat langsam kataku lintuh
Seperti penyair yang tak berdaya
Diberi honor murah-meriah
Tetapi napasmu yang kembang
Kadang jadi amis, kadang jadi polusi
Aku mencium napasmu, Layla
Di mana-mana, di segala tempat yang tak terencana
Kadang kutemui kau di mata anak-anak miskin kota
Memulung barang bekas, memulangkan mimpinya yang tak tuntas
Layla, kini di sini
Duka yang kau rasakan belum apa-apa
Di kafe ini, aku lihat kau jadi keringat
Para pegawai yang hanya memikirkan gaji bulanan
Dan uang makan harian, tak lebih mahal
Dari biaya sekali kita kencan
Layla, Layla, Layla
Aku mencintaimu dengan sengsara
Dan aku tidak menangis akan hal ini
Tangerang, 2018
Kurasakan Dukamu
Aku telah sampai di ruang renung
Lampu padam dan catatan harian
Memintulkan ujung nyaliku
Pada pagi yang masih benih
Kurasakan dukamu tumbuh
Di langit-langit kamar
Memanen tubuhku
Diammu yang hening
Telah mengalirkan bening air
Mata yang berkaca di inti bait
Akhir sebuah lagu
Tetapi aku tahu
Tidak semua kekata mampu
Menyelamatkan kita
Aku dan dukamu yang sunyi
Berbaring sama memandang
2018
Angin yang Tak Mau Juga Beranjak dari Tubuh
Kau yang merah rana
Mendera punggung dan dada
Dalam sepi aku kerap pasrah
Berharap cepat ruwat dari segala
Yang tak kucatat sebagai sajak
Sejak embusmu taifun
Aku tabah seperti daun-daun matang
Berencana akan berbaring tenang
Dalam linang gerimis sore
Tapi, nyali masih ada
Setelah sekian lalu pernah
Kutaklukan tubuhmu yang gembur
Mengubah hutanku tampak subur
Dan sepoimu yang kulihat lenguh
Masih terus mencecar rusuk bertubi
Tak kuhiraukan lagi
Hidupku lekas sembuh
2018
Bandung Lautan Puisi
Akan kutandaskan wangi kata-kata
yang menguar ditebar halimun pagi ini
Jadi puisi, membuat kau beringsut
di balik batang pinus atau bilik kedai
sepanjang Braga
Kita tangkap rupa lain dari yang telah
dilukiskan seniman jalanan
Segala tampak sepi, senyummu getir
seperti nasib bangunan-bangunan tua
bakal kena pugar
Sialnya, puisi yang kutulis ini
tak juga mau membuatmu menunggu
di stasiun, terminal, atau rumahmu
Hingga aku dan puisi kembali sangsi
di kota ini gugup menerjemahkan langkah
sendiri
2018
Roh Puisi
1.
Lalu setelah kutamatkan tawamu
Aku berlari ke tengah kota yang ramai
Kota yang keladi, kau tak ada lagi di urat
Nadiku yang berdenyar sejak ashar lalu
Ketika kau abaikan lembur kerjamu
Dan menganggap aku sebagai berkas-berkas
Yang kau cetak, hanya kesibukan wajah kita
Kau-aku mengimani segala yang tak berencana
Bahwa nasib baik telah berpihak
Kepada kita, kepada yang ada
Di dada
2.
Lalu setelah kutamatkan pelukanmu
Kau menjelma tragedi di sunyi yang kurawat
Setelah ramai kucerna sebagai gawat
Kau kata-kata itu, memilih jadi puisi
Setelah kulekaskan mimpi berbaring
Kau jadi satu-satunya kulihat
Dalam lanskap nyenyat
Tetapi sejak kubangunkan mimpi
Kau benar hilang dari mataku
Terbagi sebagai roh dalam puisi
Tangerang, 2018