Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Innezdhe Ayang Marhaeni
Kepada puisiku malam ini, adinda
Yundamu akan mengecilkan suara radio
Meredupkan damar
Dan mengucilkan dunia beserta permainannya
Kepada jiwa yang belum temu cangkang ini, adinda
Malam ini yundamu akan berikan sepenuh hati lautannya yang biasa
Untuk membantu layar mimpimu melaju agar subuh cepat kembali
Karena pagi datang lagi jika engkau yang mendalangi
Kepada turunnya tetes pertama air mandi pagiku, adinda, karena tak sanggup yundamu kurung embun,
Engkau menjelma lili-lili kecil yang kutemui di pelataran
Yang dari ujung putiknya senyummu merekah disengat lebah
Adinda, bagian ini adalah cinta dari yundamu yang tak perlu kaumengerti
Bagian ini adalah yundamu yang tak perlu kaudekati
Tetapi di bagian ini, hanya bagian inilah, wangimu kupenuhi
Kelak esok hari, seperti wajah lelaki yang matang di usia dini
Di pulau ini akan ada cambang-cambang halus yang darinya menegak kala direguk angin
Penduduknya akan jadi ikan koki yang dicemplungkan di air setelah terungkung plastik bening
Di sekujur badan kita, luka bakar memerah menderas akibat dilepaskan
Di sudut mata pulau-pulau kecil dari Nusa Barong hingga Kepulauan Seribu, ada genang-genang titik-titik air seperti yang biasa menghapus bedak di wajah wanita
Sementara di tempat-tempat lain, ujung bumi merekah seperti kanak-kanak yang menarik karet ke dua arah saat bermain lompat tali
Dan kita mati rasa, laiknya jemari yang baru dini hari belajar memetik gitar pakai kaki
Di penghujung esok hari, Pulau Jawa adalah engsel-engsel pintu yang terlalu sering dimasuki anak kunci, terlalu sering gemboknya diganti
Lantai kotor bekas plester yang dicabut karena tak punya uang untuk beli lagi
Lalu manusia-manusia menyeberang tali di antara longsoran salju yang berderak berubah ke sana ke mari
Di lain hari, pulau ini akan terjual dengan tonggak dipaku papan merah bertuliskan “BUKA ESOK HARI”
Kalau aku boleh meminta
Pada siapa sebenarnya, berpinta boleh bersarang
Yudhistira beku, nyalinya segamang padi
Menguning, mengabur dicucuk burung kenari
Menghadiahkan berdepa kilat yang di ujungnya ada pukau
Kau bijaksana, menguar selaksa air mata
Kau tertambat istimewa, menjadi ada karena berada
Dengan galur-galur bulu halus di buku-buku tanganmu, menggenggam panah
Mencumbu busur
Yang di alasnya aku berderak
Teriak
Serangan yang dibendung, cinta yang dilamun
Aku bisa saja kembali tapi engkau abadi sebagai babad yang tercela
Suatu waktu Bhisma mengeluarkan busur dan anak panahnya. Tidak ada racun di ujungnya.
Mata kita akan terperangkap pada senjata sebenarnya. Di mana sumpah prasetya dan ksatria yang akan mati pralaya menjadi alasan mengapa kita menyaksikannya.
Bhisma berjanji menjaga busur dan anak panahnya pada lawan yang mumpuni.
Putra Dewata bergunjing.
Siapa gerangan bajingan tak tahu diri yang mampu melawan pengayom jagat?
Yang apabila ia tiada, Kurusetra tetap menjadi belantara.
Lalu kisah ini dikuburkan dengan telak
Ceritera akan mayapada yang nyaris porak poranda dihentikan dengan setengah harga
Hanya karena
Bhisma terpagut nafsu
Memburu membabi buta, dan mencengkeramnya menjadi yang penuh kuasa
Lalu dilepaskannya panah itu pada kiasan yang membuat kisah ini haram dilantunkan
Marahkah Dewi Amba karena mati sia-sia?
Mengapa bukan ia yang menjadi ksatria?
Mengapa nasibnya sebagai jelata yang jelita terhenti pada pusaka seorang pria, yang dihunus tanpa tahu nasib dan membuang diri pada yang tidak terkata
Menunggu Bhisma di tepi lapang
Pada begalan-pati, diharapkan Salwa meraih pedang
Amba meregang
Penonton kecewa.
Pergi kemanakah orang-orang yang telah mati?
Menjadi mendungkah sehingga pemakaman orang-orang baik basah oleh tanah?
Atau menjadi derak-derak penghubung gerbong yang dari ambangnya kita mandi tangis dan melukai mata hati?
Ada anak memanggul karung kecampang dengan tengadah menyalakan lampu
Yang jatuh dari tasnya adalah sisa keburukan yang berombongan si mati mengikutinya
Di tepi jendela aku mendengar nyanyi seorang ibu muda
Menenangkan bayi yang tak genap tangannya
Catatan Redaksi:
Dengan nada yang sinis dan getir, puisi Innez menggambarkan dunia yang entah mengapa tiba-tiba bisa telanjang dan menampakkan kelemahannya sendiri. Segala yang awalnya terlihat sempurna ternyata pada akhirnya tidak demikian adanya.
Membaca puisi-puisi Innez rasanya seperti diajak menonton sebuah pertunjukkan drama, dimana sang lakon yang sakti mandraguna pada akhirnya pun menjadi tak berguna. Segalanya bakalan lapuk ditelan masa.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi