Category: Puisi

  • Melihat Latihan Drama

    author = Anugrah Gio Pratama

    Akan Lahir Puisi Sendu dari Tanganmu

    untuk Maisyarah

    Aku tahu bahwa kau mencintai puisi
    seperti benih yang mencintai hujan
    atau seperti dunia yang mencintai kefanaan.

    Aku tahu bahwa kau ingin mahir merajut kata-kata
    agar sepimu tampak lebih puitis dari biasanya,
    agar air matamu lebih abadi daripada setangkai bunga,
    agar kau mampu mendamaikan perang
    yang telah lama berkecamuk di dalam dada.

    Aku percaya, suatu saat
    akan lahir sebuah puisi sendu dari tanganmu
    yang jauh lebih resah ketimbang
    beribu kebahagiaan yang pernah aku miliki
    selama ini.

    Kau Adalah Penyair

    untuk Noribadah

    Kau adalah penyair yang merawat luka dan cerita.
    Tangan-tanganmu serupa pena yang gemetar
    mengabadikan peradaban.

    Matamu bagai lampu jalan
    yang menyorot langkah-langkah kehidupan.

    Pikiranmu dipenuhi bunga
    dan sebagian yang lain dipenuhi duri.

    Sisa usiamu telah menjelma kata-kata
    yang tumpah bersama sunyi yang terus
    merekahkan kelopaknya ke ujung bumi.

    Kau adalah penyair yang merawat luka dan cerita.

    Melihat Latihan Drama

    untuk Putri Indah M.

    Malam itu, ada suara yang dipalsukan,
    gerak tubuh yang dipaksakan, serta raut wajah
    yang penuh dengan kebohongan.

    Aku dan kau hanya duduk saja
    dan tak tahu apakah malam itu
    adalah malam yang indah atau tidak.

    Tapi kita sama tahu bahwa yang indah adalah cinta
    dan beberapa bait puisi yang fana.

    Untuk Ainun

    Nun, aku sering melihatmu membawa buku
    dan membacanya. Tapi jujur aku sama sekali
    tak tahu bagaimana masa depanmu nanti.

    Mudahan saja masa depanmu adalah kata-kata
    yang merangkai bunga-bunga di dalam puisi.
    Mudahan saja masa depanmu adalah kalimat-kalimat indah
    yang penuh dengan arti.

    Tetaplah membaca, Nun.
    Tetaplah membaca kehidupan
    yang fana ini.

  • Masjid Gedhe Kauman oleh Latief S. Nugraha

    author = Redaksi Kibul

    Masjid Gedhe Kauman

    Sejak Ahad Wage yang silam dalam almanak
    tiang-tiang tetap tegap tegak. Tilas desak gerak
    memberkas serupa bayang-bayang
    di bawah cahaya remang
    menimpa garis yang diluruskan
    dari segala urusan.

    Kisah itu masih. Seperti enggan tersisih.

    Setelah pintu-pintu terkunci, serambi mulai sepi
    senantiasa ada yang datang kembali
    bersama gumam zikir para wali.

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Masjid Pathok Negara

    ratusan tahun lamanya
    suara azan dan syair puji-pujian
    menjaga setiap jengkal tanah
    batas wilayah kekuasaan
    sebuah kerajaan

    menancap di kedalaman
    Wonokromo, Dongkelan,
    Mlangi, Plosokuning, Babadan
    sebagai tanda, tidak akan patah
    sulit terjamah dan mustahil musnah

    di atas mustaka gada sulur
    kersik daun-daun sawo kecik
    mengirim isyarat para leluhur
    mengingatkan untuk berijtihad
    dari maslahat atau dari muslihat

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Masjid Auliya’ Gebang

    di dinding serambi, bersanding penanggalan
    tersurat sengkalan
    riwayat tiang tunggal ditegakkan
    bertahun-tahun jadi sejarah
    penanda, kiblat tak pernah berubah

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Masjid Syuhada Kotabaru

    Mengapa perjuangan mesti ditandai
    kalau kelak tidak diceritakan kembali
    kepada anak cucu yang tumbuh
    di tubuh renta kota ini?
    Bukan soal mengenang kalah menang
    tapi, ada baiknya melihat ke belakang
    tak seorang pun sanggup memungkiri
    peristiwa lalu, tatkala sebuah masjid berdiri
    di kedalaman labirin Kotabaru
    setelah tahun-tahun gelap kelabu.
    Kini, hari-hari jadi hening
    kita tak bisa mengelak dan berpaling
    saat azan berkumandang demikian nyaring.

    Yogyakarta, 2018

     

     

    Langgar Kidoel

    Setelah dirobohkan silang sengketa paling keji
    Tanpa memusuhi kaudirikan lagi langgar ini
    Sunyi pawiyatan di balik ingar-bingar siang malam
    Terimpit rumah-rumah tua kampung Kauman
    Sebutir zarah di dasar sejarah sebuah nagari
    Tumbuh menuju arah sinar matahari

    Yogyakarta, 2018

     

  • Malam Penuh Engkau oleh Daviatul Umam

    author = Daviatul Umam

    Malam Penuh Engkau

    sejujurnya malam tak bisa berpaling dari serangan bayangmu
    bayang bersusun membentuk pasukan perang
    menghancurkan seluruh tempat peristirahatanku
    suara semu berjejalan menyesaki tempurung kepala
    suara-suara kerinduan ibarat santunan angin hilang deru

    malam penuh engkau
    bulan bertopeng wajahmu
    ke kamar ingatan bintang-bintang berjatuhan
    kerlap-kerlip pesona perjumpaan ratusan hari lalu

    seperti sajak yang beranak-pinak dari jejak kita
    tersimpan rapi percakapan indah sepasang tokoh drama kasih
    berujung letup perih
    yang mana kini si lelaki tengah menulis sayatan lukanya ini
    dan sang pujaan asyik menikmati kehangatan cahaya baru

    malam penuh engkau
    bising kenangan memutar balik detik-detik jelang lelap
    jangkrik menyuarakan manisnya kegelapan
    yang sesungguhnya hambar tanpa kata-katamu

    lantas apa yang masih dan selalu kutunggu?
    tak lain adalah berkah dari perjuangan menegakkan cinta
    sebagaimana hasil tetes air menindih halus angkuh batu
    setidaknya langit menurunkan sepercik kabut memabukkan
    sewaktu-waktu membuatmu pasrah dalam gelisah menyebut namaku

    Sumenep 2018

    Magrib di Gersik Putih

    embusan angin membelah helai-helai rambut
    perjalanan menyibak keindahan kotak-kotak tambak garam
    seiring angin tetap semangat bergelayut
    kita pun giat membabat udara langit temaram

    terdapat sebuah tempat layaknya pelabuhan
    laju kita tertahan
    kau mengajakku berfoto dengan guyon-guyon air
    sebagai saksi keremangan takdir

    azan sudah puluhan menit berlalu
    rupanya kita tidak buru-buru meringkus waktu
    sebelum pisah aku tidak mau begitu saja padam mega merah
    yang kerling di kening dan cair di bibirmu

    sampai sekarang aku masih meyakini
    pelukan terlebih kecupan merupakan pengikat liar kenangan
    jadi magrib yang ragib itu tentu mengekal
    setiap kerinduan berderap di sepanjang jalur sepi

    kita lanjutkan gulir roda pemberai temu
    sehabis aroma bedakmu terserap ke rongga hidungku
    kau menyerahkanku pada kesedihan dermaga
    lalu pada perahu yang memanggul resah ke mana entah

    Sumenep 2018

    Rumah Pelarian

    dari jalan yang berhulu di jantungku
    kau pergi melewati tikungan-tikungan
    yang berhasil membelokkan perasaanmu

    kau masuki sebuah rumah megah
    berpagar besi gagah
    kususuri tapakmu
    hanya mampu menatap pintu yang kemudian
    kau kunci karena mengetahui keberadaanku

    aku tak tahu rumah di depan mata
    halamannya tertanam bermacam bunga
    mengelilingi kolam ikan hias ini milik siapa
    kuharap kau tidak betah

    sekian bulan aku termangu di sini
    seperti orang gila bertahan dalam kelaparan
    tak jua kau kunjung keluar
    sekadar memberiku sedikit makanan

    mungkin maut turun sebentar lagi
    menjadi hantu adalah hal paling kuimpikan
    bebas masuk ke dalam jiwamu
    atau sebatas muncul pada cerminmu
    cermin masa muda yang setia
    menggambarkan kemurnian ini cinta

    Sumenep 2018

  • Kerinduan pada Sasmita; Puisi-puisi Ibna Asnawi

    author = Ibna Asnawi

    Idulfitri

    di tubuh subuh
    hati menjelma embun
    dikecup syawal

    Longos, 2 Juni 2019

    Sajak Kepulangan Oliper

    kita berjalan membelah halaman
    engkau memanggul puisi
    aku memikul perih

    kulihat kau silau oleh tatapan
    sedang selisih saling memukul
    di antara lepai langkah kita
    “mengapa bukan aku saja
    dihempas waktu?” rintihku

    karena wajahmu adalah cahaya, olip
    gelap sekadar ruap
    berputar sia-sia
    di atas kepalamu

    di pintu posko panggilan siang itu
    pandanganmu yang ramai
    pulang ke nyeri pikiranku

    LK, 24 Juni 2019

    Kerinduan pada Sasmita

    aku larut ke dasar waktu,
    tinggal wangimu membenih

    sasmita,
    aku umpama pagi saat
    dingin diam-diam pergi

    LK, 05 Juli 2019

    Di Hadapan Dingin

    andai dingin petang ini
    adalah pelukanmu
    maka cukup bagiku
    remang udara
    bahkan tersesat
    menyusuri kelam

    LK, 16 Juli 2019

    Bersama Dadiv

    iya, setahun sudah, dadiv
    engkau menjadi ibuku
    aku menjadi ibumu
    membiarkan debar demi debar
    merasuk dan tenggelam
    ke relung nyeri

    selanjutnya
    apa bakal dibiarkan
    getun lebih dahulu
    musim atau telaga
    biru airnya di hati kita?

    LK, 24 Juli 2019

  • Karya Unggulan Lomba Penulisan Puisi Etnika Fest 2017

    author = Redaksi Kibul

    GUMAM MALAM STASIUN PINGGIR KOTA

    Oleh Chandra Krisnawan

     

    Tatapan selapis celak dan senyum segaris gincu
    lembap di udara. Warna jelaga rel baja susut. Dingin
    menjelanak. Atis kerak sampai sumsum.
    Duri berbentuk batu-batu kerikil membentang
    seluas ruang. Deru kereta kesudahan
    meruyupkan stasiun pinggir kota.

     

    Aku terkesima di kisaran gelap. Mendengar

    seruan tanpa paras. Meletup
    40 derajat ke langit. Lalu jatuh.
    Lantas memantul. Lamban

    melembam di tanah: Singgahlah!

     

    Pijar 90 watt menjauh di puncak tiang.
    Biji mata-biji mata mengorek cahaya.
    Seorang perempuan memperbaik letak duduk

    di atas dingklik rendah.
    Meluruskan kaki pada bantalan
    bantalan nasib. Juga punggung. Baju.
    Dan rambut berbando biru muda.
    Lebu berselang.

    Lusuh kain. Dan tubuh.

     

    Malam merembang ketika kereta tangki
    menyeberang. Berat dan panjang. Sekian parut senyum
    merambang-rambang. Angin merenggang.

    Embun mengembang. Sepi merungkup.

    Hari rampung.

     

    Lagi. Dan berulang kali. Aku termangu.

    Seruan sonder rupa

    menyapu ruang seluas kerling dengan

    jaring leksem yang selalu sama. Tapi getir.

    Lingsir di dada. Tenda dan dinding

    bergetar: Berakhirlah!

    Surabaya, Maret-April 2017

     

    Chandra Krisnawan, lahir 01 November 1983. Alumnus Sastra Indonesia Unesa. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Pernah bekerja sebagai wartawan/penulis lepas di sebuah media online yang turun cetak dua minggu sekali. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan logistik yang ada di Surabaya.

     

     

    ANAAR GULLY[1]Bahasa Hindi yang berarti “Gang Buah Delima”

    Oleh Andre Wijaya

    –India Utara, Juni 1947

    Malam sepakat membangun kebohongan ketika lagu-lagu

    dinyanyikan dari ibu masa lalu dan musim-musim serta cuaca

    menjelma perempuan yang butuh pelukan

    suatu kali, ruh kepergian berpulang di atas charpoi[2]Tempat tidur dari tikar ini

    adalah kesedihan angsa-angsa kehilangan telur

    dari gerimis di punggung tanganmu, tumpah

    menjadi hujan di kedalaman lekung mataku

    ayah, Anaar Gully adalah kau yang sakit pinggang

    menumbuhkan banyak semak di dadaku

    dan kita bernyanyi ketika menatapi cecak di dinding

    dari atap langit yang sedang sulit

    tatapanmu luas malam, sebuah alkisah dari rahasia mataku

    kepada pagi dan langit awal bulan

    aku mengunjungi dada ibu dari air mata yang terbakar

    janda yang lepas dari kota pada sebuah dermaga

    ibu yang menikahi paus-paus di kedalaman laut biru

    di sungai panjang kita mencari muka sendiri

    sepi ikan-ikan, tubuhmu yang hanyut

    dari batang pisang di selokan panjang

    anak-anak belajar merangkak keluar kandungan

    dari perempuan yang mengalirkan air mani ke dalam rahimnya

    di antara serat rambut, doa, dan zikir yang menggantung

    rumah kita selalu malam, lilin membakar habis dirinya sendiri

    mengekalkan demam yang sulit susut dari panas hari

    mengirim gemuruhmenjelma petir

    membunuhi anak dan perempuan dari kabar malapetaka

    ketika tubuh kita air mata yang selalu basah

    tubuhmu rumah ditinggal sepi

    orang-orang bergegas dari sisa demam digemetar bibirmu

    tetapi ciuman seperti menyimpan lemari dingin

    dan korek api membakar almari es[3]Judul puisi dari Made Wianta, seorang pelukis dan penyair kelahiran Denpasar

    dadamu mengisap daun eukaliptus dan surat-surat kehilangan banyak kabar

    dari hitam matamu lebih pekat ketika wajah kita sekeras kayu

    menuliskan mendung, dari pohon pisang yang tumbang di belakang rumah

    di antara pura, musala, dan toko-toko menjual sitar[4]Alat musik petik, banyak digunakan dalam musik klasik India atau tabla[5]Alat musik perkusi yang populer, digunakan dalam musik klasik India

    kita serakan kaleng-kaleng made in Pakistan dan India yang berpisah

    membentang jarak dari kegugupan paspor masa lalu

    suatu kali India tumbuh di antara kota yang kemarau

    menggotong tubuh sendiri dari nasib lapar penjual kayu bakar

    dinding tembok hanyalah kerut keningmu menyimpan getar stasiun kereta

    ketika di seberang, gadis-gadis kurus mandi di tepi sungai

    menunggu nyanyian burung-burung elang dan gerbong

    memberangkatkan jerit perempuan seperti lelaki kehilangan syahwat

    mengolesi tubuh dari penyakit serta cuaca buruk

    aku siaran radio milik ayah menyimpan semur tua, iklan pembesar

    menyusun nelangsa dari serakan putus asa disilau matamu

    maka suatu hari, orang-orang berhenti melahirkan banyak bayi

    dan kematian berhenti dari tidur yang tersisa pada rambutku

    seperti bahasa burung, menyiapkan selimut dan gigil tubuh

    di antara mayat-mayat yang terbakar pada sisa air mata

    dan tubuhmu, meninggali India yang tak lagi tumbuh di dadaku

    Yogyakarta, 9 Mei 2017

    Catatan: Terinspirasi dari novel terjemahan A Beautiful Lie—Dusta yang Indah karya Irfan Master tentang pemisahan India

     

    Andre Wijaya. Lahir di Binjai, 26 Oktober 1997. Merupakan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada. Tergabung di sanggar Lincak FIB UGM. Menulis puisi. Karyanya termuat di antologi bersama, salah satunya “Rumahku Jalan-jalan Macet (2016).

     

     

    Sungguh Begitu Dekat Tempat untuk Berdoa

    Oleh Jusiman Dessirua

     

    /1/

    Kita tak pernah lihai mengangkat kepala

    Lalu membiarkan fikiran jatuh ke bebayang yang mengalir deras di punggung kita

    Karena sungguh, begitu dekat tempat untuk berdoa

    Inti laut bukan pada pusarnya yang telentang, tetapi tepi.

    di deru-deru sungai, di urat-urat masa lalu yang gusar dan tak kunjung kembali

     

     

    /2/

    yang terpenting ialah ketabahan menerimamu

    di palung terdalam dadaku, aku menimang-nimang pesan dan kesan

    Mengejanya, menelitinya satu persatu diantara langit, dan angin

    mendekapnya, mendekam diantara dingin dan ingin

    menanti, hingga pada akhirnya di punggung musim kita mengubur diri.

     

    Selasa 25 april 2017

     

    Jusiman Dessirua, lahir di sebuah kampung kecil bernama kajang, kabupaten  Bulukumba, studi strata satu di Universitas Negeri Makassar. Aktif dalam lembaga kemahasiswaan Bestra. Suka berlama lama dengan kopi dan beberapa buku. Karya-karyanya sering terbit di media seperti Fajar, Go cakrawala, Nusantaranews.co, MakassarCerdas.com dan beberapa event sastra

     

    *Foto oleh Markku Levula

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    References

    References
    1 Bahasa Hindi yang berarti “Gang Buah Delima”
    2 Tempat tidur dari tikar
    3 Judul puisi dari Made Wianta, seorang pelukis dan penyair kelahiran Denpasar
    4 Alat musik petik, banyak digunakan dalam musik klasik India
    5 Alat musik perkusi yang populer, digunakan dalam musik klasik India

  • Kampung Halaman, karya AF. Qomarudin

    author = AF. Qomarudin

    Kampung Halaman

    Melihat sawah berundak itu
    Seperti aku kembali menatap kampung halaman
    Dimana ia membusung di dalam kepala
    Mengenai rumah, capung, bola, dan layang-layang
    Yang tersangkut di ingatan

    Di gubuk, aku mendengar gurindam
    Dilantunkan oleh angin dengan hikmat
    Seperti gurindam yang ditembangkan seorang kakek
    Untuk memulangkan anak cucu

    Di gubuk, di atas sawah berundak
    Aku melihat matahari yang sama
    Dengan matahari di kampung halaman

    Rembang, 08 Desember 2018

    Menunaikan Pulang

    Aku sudah terduduk di kursi
    Ketika malam mengemasi dirinya sendiri
    Sebuah botol memerangkap apa saja yang tertinggal
    Termasuk puisi yang belum sempat kutulis
    Juga jalan untukku pulang

    Aku pura-pura betah duduk di kursi depan rumah
    Sekedar menunggu tukang pos membawakan surat untukku
    Seperti yang pernah kuminta pada ayah
    “aku ingin rumah kita di masukkan dalam sebuah surat”
    Rindu akan bau tanah kelahiran
    Yang basah, begitu tabah
    Aku; seperti rumput yang menunduk menahan beban kerinduan

    Di meja. Depan tempatku duduk
    Aku menanam doa pada sebuah vas bunga
    Diam-diam ventilasi yang menghela nafas mengamini
    Pulang adalah kerinduan yang harus ditunaikan

    Rembang, 09 Desember 2018

    Laut

    Ada kesedihan di matamu
    Air mata menganak sungai
    Bermuara dimanakah gerangan?
    Pada laut yang menelan segala kesedihan.
    Katamu suatu waktu.

    Tentang laut dan kesedihan yang kau sebut itu
    Aku adalah lautan di mana kesedihanmu bermuara
    Menampung segala air mata

    Tetapi sebelum semua itu kukatakan
    Ada yang diambil dari lautku
    Dibuatnya menjadi garam
    Untuk membumbui kehidupan

    2018

  • Kalau pun ada kuncup yang tak mekar oleh Sukandar

    author = Sukandar

    Kalau pun ada kuncup yang tak mekar
    : murniwangi

    Kalau pun ada kuncup yang tak mekar, itu sebab luka cuaca,
    gegar musim duhai jelita. Kelak ia akan bergegas datang lagi
    tanpa gusar mengantar ruh-ruh yang tanggal karenanya

    Ingatlah jelita, tak ada rindu yang terlantar, ia pun serupa
    kuncup bunga yang akan senatiasa dikecup musim, menjadi
    yang semestinya

     

    Yk, 2007

     

     

     

    Kebun dan Peraduan Kita
    : Sriheni

    Kebun bunga, itu yang akan kita punya sebelum kulkas, meja, atau rak-rak juga taplak aneka warna. Kita yang mesti siapkan semua: olah tanah, pupuk dari kotoran satwa atau pun ramuan daun-daun tua untuk daur kebun kita.

    Sepanjang siang kita mesti berkeringat dan tak boleh sambat, semua mesti kita semai dan tanam kembali untuk kebun kita. Dan ketika malam, kita tak boleh lagi mengintip melati yang sumringah dijamah cahaya bulan, tapi kita sendiri  yang akan menjadikan ia iri saat cahaya dan wangi tak lagi berlainan di peraduan kita.

     

    Yk, 2007

     

     

     

    Katamu

    Katamu,
    kadang-kadang hati memang mesti seperti kolam, tak bisa ditusuk semisal oleh duri atau belati, malahan membawanya kembali ke tepian atau menenggelamkan. Di bawah, ikan-ikan riang mendapatkan makanan atau setidaknya kawan baru yang mengasyikkan.

    Kadang-kadang hati mesti seperti duri, yang bisa menusuk, semisal bisul yang menyembul. Meski timbul sakit dan bau, tapi leganya berkepanjangan bukan?

    Ah, kadang-kadang hati memang seperti sedang bisulan, tak nyaman dan serasa ingin kuggencet bagian matanya biar pecah, muncrat, karena tak henti-henti ia memelototi.

     

    Yk, 2008

     

     

     

    Sajak pulang ke rumah

    Di secuil pelataran rumah, bersyukur masih ada satu dua
    kuncup melati, yang memapah rindu pada kampung sawah
    dongeng Lelepah juga Wewe Gombel di pinggiran kali

    sedang kunang-kunang, belalang kayu, mengantar
    ke halaman kenangan masa bocah, berlari terengah
    menjemput kemenangan di bawah bundar purnama:
    betengan, jamuran dan dingklik oglak aglik
    menjadi taman sepanjang malam

    Pulang ke rumah, duduk di beranda memandang lalu
    lalang kenangan, sejenak tetirah

    setelah haru biru jalanan reklame, ramai mesin
    meninggalkan bising dan gaduh, wajah-wajah haus
    dan cemas, juga segepok makian yang sesekali tertahan

    Ah, pulang ke rumah
    Pulang ke kelopak matamu
    Rebah di pangkuan senyum rindumu

     

    Yk, 2012

     

     

     

    Doa di telapak tanganku

    Pagar bambu, perigi batu, sederet pohon waru.
    Guguran karuk si bunga jambu, tampak telapak kaki
    sisa embun di rumputan. Bapak dan ibu sebelum subuh
    sudah ke pasar, meninggalkan doa, memanggul
    panenan kebun sepetak

    Di daun pintu, ada goresan paku dan kuku,
    tergambar tokoh wayang, Bambang Wisanggeni.
    Aku masih ingat itu, dengan kardus sisa rokok orang mantu,
    aku meniru. Berkali-kali dan selalu tak mampu

    ‘Bambang Wisanggeni, risang pandawa putra Arjuna,
    penantang para dewa itu, bahasanya satu: keberanian.’
    Demikian ujar simbah kepadaku.

    Kini Wisanggeni, goresan di daun pintu itu telah lapuk
    dimakan waktu. Juga perigi batu, guguran bunga jambu
    dan deretan pohon waru. Namun, doa sebelum subuh itu,
    tapaknya nampak jelas di telapak tanganku.

     

    Yk, 2015

     

     

     

    Senandika

    Jangan terlalu berapi-api,
    nanti malah terbakar diri sendiri
    Tak perlu terus bersepi-sepi,
    biar tak mati ditelan angan-angan

    Juga jangan terus-terusan merasa gagah,
    tegak berdiri memampang wajah di sana-sini
    Tekuklah lututmu, rendahkan wajahmu
    serata tanah, belajarlah pada rumput teki

    Jangan terlalu bergantung pada di luar diri,
    asah dan asuhlah nyali agar berani
    berdiri di atas kaki sendiri

    Tempuhlah hidupmu dengan laku mesu budi
    Teruslah berjalan dengan nyanyian puja-puji
    dan ampunan kepada pengatur matahari
    dan rembulan, tanpa henti

     

    Yk, 2016

     

     

     

    Dari Ruang Abimanyu
    : untuk istriku

    Serbuan jarum suntik yang menembus lembut
    kulitmu bukanlah kisah ribuan anak panah
    yang menghunjam di tubuh Abimanyu. Bukan!
    Abimanyu, engkau tahu, satria itu telah mendapatkan
    sumpahnya di kurusetra. Abimanyu berdusta,
    mengaku perjaka pada Utari.

    Serbuan jarum suntik yang datang kepadamu adalah
    peneguh hati seorang ibu: jangankan ribuan panah,
    seluruh senjata yang ada di muka bumi dikerocokkan,
    ia tetaplah ibu, yang  tegak karena cinta, kokoh
    memangku segala dukalara.

    Lalu, kau pun bertanya tentang ketakutan,
    Kapan ia datang kepada seorang Ibu?

    Ketakutan hanya datang ketika kita, anak-anaknya
    mulai meninggikan suara dan kepala di hadapannya,
    di sanalah rasa takut lahir sebagai air mata ibu
    yang menjelma telaga nirmala dan sendang sumala

    Di sini, dari ruang Abimanyu, kita pun berangkat
    ke ruang Kunthi, untuk kembali meniti, mengenali
    laku Indradi,  Dewi Sri, mbok Sinem, mak Darmi,
    biyung Sukemi, dan tentu, ibu kita sendiri.

     

    Yk, 2016

     

     

     

    Dendam Aswatama

    Hari ke sembilan belas di Kurukasetra
    Selesai sudah Bharatayuda.

    Tapi tidak bagi Aswatama, putra kinasih resi Durna
    Dadanya membara, penuh dendam. Teringat ia
    Akan jasad ayahdanda, juga para junjungan Korawa

    Di pucuk ubun-ubun terbitlah segala dendam
    Memenuhi langit pikirannya.

    Duduk bersila, mencoba melawan segenap dendam
    Bermenung  ia di atas batu hitam, batinnya belum juga
    bisa  terpejam. Matanya terus menyala dibakar resah
    sedang senja perlahan merapat di halaman.

    Sepoi angin, kelebat kelelawar
    dan gelap mulai rimbun. Pecahlah suara

    Anakku,
    sudahilah perang mulai hari ini, bapakmu ini sudah
    kenyang akan darah, muslihat dan segenap dusta-dusta
    yang menjalar dari abad ke abad, dari raja ke raja, dari dusun
    ke kampung-kampung bahkan dari rumah ibumu sendiri.
    Percayalah, perang hanyalah  api pada seikat blarak.
    ingatlah, perang hanyalah api pada seikat daun kelapa kering,
    segalanya dengan cepat  kembali pada gelap.

    Malam merapat di pelataran,
    turun dari cungkup-cungkup,
    melepas angin basah.

    Sejenak Sang Resi menata kain di pundaknya,

    Anakku,
    adapun tentang manusia, adalah ketika keberanian berayun
    dengan ketakutan. Manusia berperang di antaranya,
    merumat tiap benturan dan ayunan. Ke mana dia akan
    memihak. Ke mana dia mesti bertindak.  Engkau mesti berani,
    tapi mesti juga gemetar dalam ketakutan.

    Anakku,
    Menjadi manusia adalah menitis dalam gerimis.
    Bergerak bak hujan, dan terkadang harus bergemuruh
    menjadi  banjir bandang.

    Rumput di pelataran mulai basah,
    beranjak timbul tenggelam.

    Aswatama teguh, kukuh duduk di hadapan. Air mengalir,
    menenggelamkan sebagian kakinya.  Hujan menderas,
    air bergerak mengitari tubuh sang resi.  Memusar .
    Durna hilang,  Aswatama bangun dari pejamnya.

    Terdiam.

     

    Yk, 2013-2016

     

    * Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari.

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Sukandar sepenuhnya bercerita mengenai hidup dan perjuangan menjalaninya. Dengan mengambil beberapa beberapa cerita wayang, unsur Jawa dan filosofi hidup terasa kental dalam puisi-puisi ini. Salah satu yang kentara adalah ajaran mengenai keseimbangan. Kehidupan harus dijalani dengan penuh semangat dan keberanian. Meskipun begitu, menjalani kehidupan bukanlah dengan cara yang membabi buta namun selalu berada dalam ketegangan antara baik buruk, suka duka, tinggi rendah: yang pada intinya untuk selalu tidak terjebak pada “kahanan” maupun “keakuan”. Dengan demikian maka akan tercipta kesadaran diri yang akan membebaskan manusia dari kehidupan itu sendiri: menjadikan manusia sepenuhnya menjadi manusia.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Sukandar
    adalah alumus Fakultas Kehutanan UGM. Lahir di Ngawi, 1 Agustus 1980. Saat ini mengelola penerbit Interlude, salah satu penerbitan buku indie di Yogyakarta. Aktif dalam komunitas Studio Pertunjukan Sastra (SPS) yang menyelenggarakan pertemuan sastra bulanan di Taman Budaya Yogyakarta. Puisinya terdapat dalam antologi: Herbarium, Penyair Muda 4 Kota, 142 Penyair Menuju Bulan, Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya.
  • Jalan Menurun; Puisi-puisi Dedy Purwono

    author = Dedy Purwono

  • Instagram oleh Fajar Kliwon

    author = Fajar Kliwon

    Catatan Redaksi:
    Tuhan cukup adil. Menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki tapi sekaligus manusia (baik laki-laki dan perempuan) dilahirkan dari rahim seorang perempuan. Untuk itulah seharusnya tak ada yang lebih tinggi di antara keduanya. Puisi-puisi yang hadir ini menyuguhkan perempuan tidak saja sebagai objek tetapi menjadi subjek yang bebas, memiliki kuasa, meskipun tetap ditafsirkan dalam cara pandang laki-laki. Penulisnya nampak pula mencoba menyuguhkan ironi, tentang kepercayaan mengenai kuasa lelaki yang sebenarnya tak sepenuhnya bersifat absolut. Laki-laki ternyata juga bisa lemah tak berdaya tanpa kehadiran sosok perempuan.

    Ê

    Kemungkinan Lain Jika Kau Tak Mencintaiku

    Bila lelaki tak relakan rusuknya
    Untuk menciptakan perempuan
    Selirih angin yang buat daun menari
    Kicau burung pagi hari

    Dan langit jernih berpelangi
    Yang enggambarkan hati kita kini
    Pasti tidak ada
    Adam terus kesepian, dan kita

    Takkan merasa hidup
    Takkan merasa mati
    Bahkan tidak merasakan
    Apa yang debu itu rasakan

    Oleh karena itu aku selalu mencintaimu perempuan
    Sebab apa-apa yang nampak adalah sebabmu ada
    Seolah-olah alam raya ini diciptakan tuhan
    Dari dadamu yang tak habis-habis kubaca

    Sebab kau tahu bila lelaki tak ada
    Atau lelaki hanya menciptamu saja
    Tanpa memujamu dengan memetik khuldi
    Yang merasa bahagia mungkin sepasang simpanse

    Yang bercinta di surga
    Kita tak pernah merasakan apa-apa
    Perempuan, aku memujamu
    Sebab kata pada gunung dan isinya

    Bermakna dirimu

    2018

    Ê

    Epitaf Pada Waktu

    Telah kulalui segalanya atau
    Barangkali sebagian saja di dunia ini
    Kulihat diriku pada hari-hari silam
    Nyalakan lilin bukan untuk diriku malam ini

    Selalu di tanggal kelahiran
    Beberapa daun tanggal dari rantingnya
    Teringat kata-kataku pada nisan waktu
    Belum ada sama sekali yang nyaring, abadi

    Belum ada debu dari rambutku
    Membuat musim kembali
    Tumpahkan warna hijau pada bumi
    Bahkan belum ada tetes keringatku diburu dahaga lalat

    Di tanggal kelahiran ini
    Aku menepak-nepak tanah kuburan
    Seperti Adam sesal memuja
    Wanita yang dicipta dari rusuknya

    Kala jatuh ke bumi. Akupun sesal atas segala
    Yang tinggal nama dalam kenang
    Tuhan, benarkah diriku ini ada?
    Diriku janganlah buat dunia ini

    Hanya ruang tunggu
    Menunggu mati

    2018

    Ê

    Bicaralah

    Bicaralah, bicaralah ibu!
    Bicaralah, jangang gamang
    Seperti jalanan yang tak tahu harus apa
    Selain pasrah diinjak pejalan

    Bicaralah! Sebab aku tak mau
    Kau terserah ayah di rumah
    Bicaralah! Sebab kita bukan patung Lincoln
    Duduk santai dalam senyum paling madu

    Kala nasib jadi megalomaniak
    Meminta nyawa, membuat kesedihan
    Sempurna—urakan, kumal, bermata mawar
    Terpaksa kau cintai, bila tidak

    Terpaksa kau hadapi hasrat anjingnya
    Akhirnya, mesti kalah
    Bicaralah bu! Dendam jangan diredam
    Kita bukan semut girang

    Melihat madu di tengah badai
    Yang dicipta untuk manusia

    2018

    Ê

    Ladang Kapas

    In the Land of Clusters – Mal Waldron

    Angin berlari kencang
    Dan kita yang berdiri di ini ladang
    Menatap kapas matang berjatuhan
    Macam manusia jatuh dari vagina
    Lembut.

    Aku dan hampir kamu
    Melihat jiwa kita
    Yang datang dan pergi
    Banyak dan sakit
    Pulang tanpa jejak
    Mesti dibaca berulangkali
    Abadi.

    2017-2018

    Ê

    Instagram

    Wanita cantik muslihat maut
    Suatu hari ia follow kamu
    Kamu follback

    Ia kirim direct message
    Kamu baper, lalu kirim puisi cinta:
    Jika aku tak sempat mencintaimu
    Sampai maut merengut
    Kudoakan kau masuk sorga
    Jika, kita bertemu di sorga
    Akan kupetikkan sebutir khuldi untukmu
    Biar tuhan murka, melempar kita ke tempat asing
    Menderita dan saling mencinta, punya anak dan cucu
    Mencipta lagi perang, membangkitkan kebengisan
    Itulah yang kelak kita nantikkan, sayang

    Ia membalasmu dengan lope warna pink
    Setiap kamu upload foto, ia likers pertama
    Suatu saat, kamu bertemu dengannya di perempatan jalan
    Bibir merah, rambut pirang, tubuh aduhai
    Ia mendekat padamu, melangkah seksi sekali
    Kamu selfie denganya, lalu di upload ke Instagram
    Nge-tag ia

    Besoknya, muncul comment di fotomu:
    Semoga amal ibadahmu diterima, nak 🙁

    2018

    Ê

    Ê

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Insomnia dan Puisi-puisi Lain

    author = Faris Al Faisal

    insomnia

    keadaan telah membuat jantung bekerja

    lebih cepat

    otak kepala lebih mirip kincir air

     

    dan mata terus terbuka;

    ia tak lelah

    ia tak juga rebah

    ia terus menjelajah 

    ke sekeliling arah, kadamg tak berarah  

    menguasai lembah

     

    tentu malam berdiri di pojokan

    yang tak tidur

    sebagai sanggurdi—pengembara jauh

    ladangladang terbentang

    angin setia dan abadi

    mengantar mimpi kepada mimpi

     

    dan para pecandu malam tak menyadari

    sajaksajak datang seorang diri

    mendengus bagai salju

    melemparkan ke hening gurun 

    memucat wajah 

    keletihan 

     

    keindahan pagi dikunyah burungburung 

    hijau

    dan aku mulai menabuh dengkur  

     

    Indramayu, 2019

    lorong

    di lorong: gerbong—kenangan melintas

    sunyi mendekap

    ingatan menghempaskan ke masa silam

     

    aku melihat: seorang lelaki membelai rambut 

    kekasihnya 

    basah seperti ilalang setelah hujan

    setelah berpelukan

     

    cinta menyempurnakan bahagia

    menjaga mimpi

    yang tak berubah

    hanya kita yang lupa

    untuk setia

     

    dari jendela kereta

    jalanan jingga, rel berwarna semburat senja

    guguran batu dan lumut

    aku merasa:

    itu aku dan kau

     

    Indramayu, 2019 

    korsase

    hanya dingin, melayap ke dalam jiwa

    : korsase

    angin hendak bernyanyi  

    pada puncak sunyi

     

    kita mengkerut dan hari tampak semaput

    gumpalan mega

    tak segera beranjak

    meninggalkan warna biru

    yang kausebut rindu 

     

    pergi—tak selalu kembali

    selalu abadi

     

    Indramayu, 2019

    rencana

    guntingan itu menjadi potongan rencana,

    gaun putih. memang masih sebuah pola, 

    kukerutkan pada dahi mawar. yang disisipi

    sepal bau hujan dan genangan.

                            yang mengancam. 

     

    di jalan yang teduh: sore tanpa berpeluh,

    telah kusiapkan sepucuk sajak. pada selembar

    daun sirih yang kugigit dengan geraham. 

    sebait katakata yang kuucapkan, 

              sambil mengunyah pinang.       

     

    aku ingin seperti kauingin 

    menyusun hari, bangunan abakus

    dalam bentuk kubisme 

    sikusiku berhimpitan dan bertingkatan

    ke puncak harapan  

     

    Indramayu, 2019