Melihat sawah berundak itu Seperti aku kembali menatap kampung halaman Dimana ia membusung di dalam kepala Mengenai rumah, capung, bola, dan layang-layang Yang tersangkut di ingatan
Di gubuk, aku mendengar gurindam Dilantunkan oleh angin dengan hikmat Seperti gurindam yang ditembangkan seorang kakek Untuk memulangkan anak cucu
Di gubuk, di atas sawah berundak Aku melihat matahari yang sama Dengan matahari di kampung halaman
Rembang, 08 Desember 2018
Menunaikan Pulang
Aku sudah terduduk di kursi
Ketika malam mengemasi dirinya sendiri
Sebuah botol memerangkap apa saja yang tertinggal
Termasuk puisi yang belum sempat kutulis
Juga jalan untukku pulang
Aku pura-pura betah duduk di kursi depan rumah
Sekedar menunggu tukang pos membawakan surat untukku
Seperti yang pernah kuminta pada ayah
“aku ingin rumah kita di masukkan dalam sebuah surat”
Rindu akan bau tanah kelahiran
Yang basah, begitu tabah
Aku; seperti rumput yang menunduk menahan beban kerinduan
Di meja. Depan tempatku duduk
Aku menanam doa pada sebuah vas bunga
Diam-diam ventilasi yang menghela nafas mengamini
Pulang adalah kerinduan yang harus ditunaikan
Rembang, 09 Desember 2018
Laut
Ada kesedihan di matamu
Air mata menganak sungai
Bermuara dimanakah gerangan?
Pada laut yang menelan segala kesedihan.
Katamu suatu waktu.
Tentang laut dan kesedihan yang kau sebut itu
Aku adalah lautan di mana kesedihanmu bermuara
Menampung segala air mata
Tetapi sebelum semua itu kukatakan
Ada yang diambil dari lautku
Dibuatnya menjadi garam
Untuk membumbui kehidupan