Category: Puisi

  • Ritual Kematian oleh Noni Erviani Lubis

    author = Noni Erviani Lubis

    Catatan Redaksi:
    Puisi ini menghadirkan kematian dengan sangat intim. lukisan suasana sepi serta kerinduan pada mereka yang terpisah dua dunia menjadikan puisi ini memiliki nuansa liris, emosional, namun tetap terjaga. Meskipun terasa hikmat, ada larik-larik yang cukup menghentak, menghadirkan ironi dalam kelirisan itu, kedekatan yang dibangun sebagai ilusi, melalui dialog serta narasi kesendirian yang diungkap dengan cara sederhana namun cukup menyayat menjadikan puisi ini layak untuk dinikmati.

     

     

    Lagu Tentang Keranda

    Malam tadi kita bernyanyi tentang keranda
    lalu pagi tiba
    Dan kita berhenti bernada
    Kau bilang keranda sudah hampir tiba
    Kelak kau akan susul aku kan, dinda?

    Iya, iya kubilang
    Sambil mengelus-ngelus punggung kerandanya

    Binjai, 4 November 2017

     

    Lelaki Sepi di Bukit Tandus

    Ada yang berputar-putar mengelilingi bukit berbatu
    Ada hamparan rumput kering
    Aku mendengar ia bernyanyi tentang sepi
    Lelaki itu
    Aku mencintainya lebih sunyi daripada sepinya
    Ia lelaki yang dicintai semua orang
    Dan kadang aku suka kasihan
    Keberserahannya dalam sepi, menjerit mencari potongan tubuhku di balik batu
    Bukit tandus

    Aku mencintainya lebih sunyi daripada sepinya
    Ia lelaki yang dicintai semua orang
    Tapi hidupnya tak lebih malang daripada perasaanku

    Dan kami selalu bernyanyi tentang sepi
    Setiap malam
    Menjelang ajalnya

    Binjai, 2 Desember 2017

     

    Ritual Kematian

    Tubuhku adalah rongga ; tempat dimana kau keluar masuk
    Semakin sering kau mengunjungiku, semakin menganga dan tak lagi bisa ditambal
    Dan hari ini genap sembilan puluh hari ritual itu berlangsung
    Aku mendapati satu lobang melebar
    Yaitu ada di antara kedua pangkal paha
    Satunya lagi tepat di atas kepalaku

    Keduanya saling mendidih
    Menimbulkan aroma duka
    Dan tanganku adalah sebaik-baiknya tangan yang pernah menjamahnya

    Binjai, 11 November 2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Rantauan Puisi Arif Furqan

    author = Arif Furqan

    Hujan di angkringan

    Hujan menyapaku
    dibawah terpal angkringan
    riuh berdentum mengguyur
    gelas kopi yang dingin dan hitam

    Riaknya menegur berteriak
    gaduh dan lantang,
    “cepat pulang!”

    Jogja, 2013

    Ngasem

    : untuk AR

    Lewat tengah malam ini
    sepucuk kenangan higgap di dahi
    Sengatannya, auuh!
    Mencubit kantuk pergi
    menyeberang ke tepi memori

    Aku menyusur jalur yang dulu kita lewati
    Sepi kawan,
    malam telah tenggelam
    dan pagi tak hendak beranjak

    Kau tahu kawan,
    aku memesan makan yang sama
    pada warung pojok pasar itu.
    Minuman yang sama juga
    di masa susah

    Di tempat ini kawan,
    kita dulu sering bertanding derita
    Kau bilang keluh kujawab kesah
    Kurasa sekarang engkau yang kalah
    Susah dan kenangku masih tersisa

    Jogja lewat tengah malam, 2016

    Puasa di Jogja

    Puasa di Jogja adalah
    Menyusur jalur sahur
    di pagi buta,
    gelap mendekap
    menyimpan lapar
    di setiap ketika

    Puasa di Jogja adalah
    menunda rindu dahaga
    Lalu bertemu di nol kilometer
    memetik senja terbenam
    pada pipimu yang merona

    Berbuka di Jogja adalah menyeruput es teh
    pada sedotan sama
    yang menyimpan sisa aroma nafasmu

    Jogja, 2015

    Lebaran

    Lebaran,
    Rasanya baru kemarin kau membangunkan subuh dari buta
    Belum sempat kita bersantap bersama seusai senja
    Belum sempat kulihat kau dengan baju pemberian ibu sebelas tahun lalu
    Belum sempat kusaksikan adegan kau bersujud di depan ibu

    Kau sudah mau pergi saja, lebaran?
    Kau bahkan belum sempat terima maafku
    yang tak pulang sejak bertahun-tahun lalu

    Jogja, 2017

    Pada sebuah Kota

    : mrt

    Kota itu semakin canggih saja
    mengganti waktu dengan jalur-jalur baja
    menambal hampa dengan harga

    Ah, kota itu semakin maju
    mengganti senja dengan organ palsu
    menukar lembar harapan
    dengan rentetan daftar cicilan

    Kota, hamba ingin pulang
    pada parasmu yang polos dan lugu
    tanpa merah dari bibir luka
    bekas memar lebam asa yang sirna

    Kota, meskipun darah
    tercecer di sekujur ingatanmu
    padamu aku ingin pulang
    menghunus rindu

    Chiang Rai, Maret 2019

  • Pulang oleh Ani Suryani

    author = Ani Suryani

    Catatan Redaksi:
    Puisi-puisi Ani Suryani mengisahkan cerita cinta yang sederhana seperti cinta seorang ayah pada anaknya, cinta dua sejoli atau cinta seorang kepala keluarga pada keluarganya. Diksi-diksi yang dipilih adalah diksi-diksi sehari-hari dan metafor-metafor yang hadir juga mudah dipahami, menjadikan puisi ini mengesankan kesederhanaan penggunaan bahasa. Dengan tema yang sederhana dan bahasa yang mudah dipahami, puisi ini menjadi sajian yang cukup nikmat, menawarkan citarasa yang sederhana, kendati dalam beberapa sisi kita akan menemukan rasa yang unik yang hadir dari serpihan-sepihan nuansa kedaerahan yang khas di dalamnya.

     

     

    Pulang

    Dua anak kecil bermain tali di taman
    dekat gubuk Bapakku. Mereka tertawa tanpa
    tau jika derita telah mengantri sekilan di depan jidat yang
    jenong.

    Aku memasang tali sepatu, berharap tapak membolehkanku
    beristirahat sejenak. Di muka gubuk, di wajah keriput Bapak
    kudapati debar yang berebut hambur. Bapak mengusap jilbabku
    ‘Bapak hanya akan mencintaimu pada dua waktu’
    Lantas kujawab ‘Kapan itu?’
    ‘Sekarang dan selamanya’.

    (Januari, 2018)

     

     

    Batanghari

    Saat itu cuaca tak terbaca,
    seperti bibirmu yang dikecup batanghari,
    kau ingat itu? Tengkulukmu sedikit ditiup angin pada pinggiran
    sungai ini.

    Kita bawa pedih-perih berlari,
    memandikan dosamu. Tapi
    kita sudah terlanjur bahagia
    hidup dalam kata sederhana. Sesederhana air di depan muka kita
    yang selalu setia. Menunggu, seperti kisah angso duo
    yang terus menelusuri aliran coklat sungai ini
    tanpa peta,
    tanpa tahu ujungnya.

     

     

    Telepon Pukul Sembilan Malam

    Sejak dulu aku sudah sering
    memintamu. Ajari aku mengeja
    cuaca dan mengecap rasa gula yang
    dicampur sebotol wisky.

    Apakah seharian tadi kau lupa suatu berita?
    kau datang kepadaku lewat gelombang
    gelombang suara. Kita menyulam malam menjadi
    inti rindu yang curiga.

    Tapi kenangan telah habis kita obrolkan. Kutatap kaca
    jendela. Disana tergambar wajahmu, wajahnya. Seperti
    galeri dalam sebuah lumbung, aku berjejal mencari celah
    untuk sekedar mendengar debar dari jantungmu
    lebih dekat sembilan inchi.

    ‘Aku pendengar yang baik, ceritakan saja semua
    rindumu’, tawarmu.

    Barangkali, debar akan selalu mencari namaku dalam
    ponselmu. Entah untuk mengajakku bercinta, atau sekedar rindu
    yang retak di selimut kamarmu.

    (2018)

     

     

    Tarian Penyadap Karet

    Pernah ia menari di atas tempurung penuh
    getah. Lengket, tapi kaki dan tangannya terlanjur gemar
    bergerak. Dipejamkan matanya, ada
    gelisah dalam rongga dadanya.

    Pernah pula ia berhenti menari,
    ‘Ah, harga beras lebih mahal dari sekilo
    karet. Sial! Babi!’, dia memaki pada babi di
    hutan. Tapi beruang ikut maki-maki.

    Tapi getah tadi tetaplah getah, mengucur pada
    darah dan ruas-ruas tulang anak isterinya. Sementara ia menanti
    musik dari kawanan jangkring, untuk terus menari.

    Disayat lagi pepohonan sambil menari, hingga
    tak ada lagi lapar dalam perutnya
    sendiri.

    (2018)

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Puisi-Puisi LY. Misnoto

    author = LY. Misnoto

    Kemerdekaan yang Hilang di Pedalaman Kota

    kita tunaikan perjalanan

    ke arah temu yang menuai makna;

    tanpa berlari

    atau hanya sekadar membawa obor

    dari sisa-sisa kemerdekaan

    yang didiamkan dalam sebuah rahasia

     

    sampailah kita pada pedalaman kota

    dan kemerdekaan hanya riwayat bagi cerita

     

    Bekasi, 2020

    Kata Sakral di Keningmu

    bisa saja kita sebut mantra keabadian

    yang sering dibaca di keningmu

    dengan ciuman mesra

    sebelum membuka tabir tubuhmu

    dan berdansa–layaknya di sebuah pesta–

    pada ranjang yang senantiasa menunggu

    tak sampai purnama menjadi kota

    bagi tubuhmu, tubuhku, dan kenikmatan kita

    gelap–dengan segala sandiwara–

    menyembunyikan ingin di tempat paling rahasia

     

    burung ikut bersandiwara bersama kekasih

    pada dahan yang baru saja patah

    di halaman rumah kita

    sebab angin tak mampu menahan luka

    matahari dalam sebaris kata

    yang kubacakan di keningmu, sayang

     

    bagaimana kalau kita sama-sama

    menikmati sebotol anggur

    dari keringatmu yang basah

    sebelum mengering di ranjang?

    biar kata kian sakral di keningmu

    dan kita bersama-sama pergi

    ke kota–mengadu nasib–

    demi sebuah asa kepulangan

     

    barangkali namamu menjadi riwayat

    bagi sepi yang kehilangan tanya

    sebelum kita benar-benar pulang

     

    rumah kita telah menjadi mahligai dalam angan

     

    aku tahu, di keningmu tersisa ciuman

    yang menjadi tanya bagi rindu

    yang menjadi gelisah bagi cerita

    yang menjadi renta bagi riwayat

    dalam tidurmu di suatu malam

    tidurlah, sayang!

    damaikan rindu pada bantal kesayanganmu

     

    bila tubuhmu gelisah dirundung dingin

    bacalah mantra sebuah pelukan

    sebelum sempurna memejamkan mata

    biar malam menyimpan aku

    dalam hangat tubuhmu

     

    Bekasi, 02 Januari 2021

    Menunggu dalam Kecemasan

    bila tangis melahirkan cemas

    pada silau mata yang terpejam

    –jangan paksa membaca puisi rindu

     

    sebelum sujud selesai dalam penantian

    memutuskan seluruh pemujaan di tubuh

    yang seringkali menyimpan resah

    juga tawa di ruas-ruas kenangan

    dengan dekapan penuh kehangatan

     

    dan setiap kali gelap menjadi riuh

    di depan rumah–tempat menunggu kepastian

    almanak di kamar pecah dalam tanya

    melebur hari-hari yang gagal diramu

    di sudut perbatasan, kemurungan mengusangkan doa

    pada perenungan sajadah keabadian

    yang dibekap ritual masa tua

    meski malam-malam masih bersembunyi

    dalam kecemasan: menunggu kedatangan

     

    detak jantung kehabisan tenaga

    bersama air mata pada gelisah

    sementara penantian belum berakhir sempurna

    dengan kecemasan-kecemasan menghujam

    sebelum pintu rumah terbuka dan tertutup kembali

    dan ia masih berucap:

    kebahagiaan adalah kau sebelum purnama

     

    apakah dengan luka kau kembali?

    pilu masih pasrah dengan harap

    tanpa ada kenangan di setiap jejak

    dan ia ingin kembali menjadi puisi

     

    ah, kecemasan lelah menjadi kelahiran bagi tunggu

     

    Bekasi, 09 Januari 2021

    Kepadamu, Kekasih

    kepadamu, kekasih

    lewat puisi yang ditulis dengan suara tangis

    menyisakan isak di setiap masa

    sebab sunyi menjadi kata dalam rindu

    yang lebih tajam dari sekadar ingin

     

    rupanya gelisah selalu diasah dalam sunyi

    merangkum seluruh isak lewat dengkur malam

     

    senyap adalah riwayat bagi gelap

    pada setangkai pohon di halaman

    yang menafsir rintih dari sebuah perkenalan

    dan hanya kepadamu semua tak berlalu

     

    pada siapa cerita asmara kulabuhkan, kekasih?

    ada bait-bait mengeja purnama kota

    setiap kali berpasrah pada keheningan ingin

    sementara desa kita begitu mesra memuja

     

    kepadamu, kekasih

    air mata begitu syahda

    meramu segala suara di penghujung hari

    dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban

     

    kekasih, hanya kepadamu seluruh puisi bersaksi

     

    Bekasi, 18 Januari 2021

    Cerita yang tak Pernah Usang dalam Kecemasan-Kecemasan di Dada

    di dada tersimpan riwayat senyum

    yang menjelma di setiap air mata harapan

    sementara kota disulam kegelisahan

    sebelum mimpi-mimpi menjadi kisah

    dalam peluh peluh perjalanan;

    untuk singgah

     

    segala; tentang cahaya yang gulita

    di jalan menciptakan kecemasan

    bagi penantian suara surga

    yang membias pada sebuah langkah

    dan di jalan terakhir namamu terlena

    dengan sempurna merangkai cerita

     

    sebelum terhenti dengan kesempurnaan

    kecemasan hanya abjad kesedihan di dada

    pedihnya tak diabadikan

    sampai tuntas; indah menjadi riwayat

    dalam denah sepi, bukan kota

    sebab di kota hanya ada doa

     

    dan biarkan cerita menjadi pujaan

    sebelum kecemasan menjadi tuhan

     

    Bekasi, 27 Januari 2021

  • Puisi-Puisi Dede Turu

    author = Dede Turu

    Kopi dan kamu

    Aku lupa apa itu pahit

    setelah kau jatuhkan senyum

    pada bibir cangkir kopiku

     

    Soe, 2019

    Membakar surat kabar

    Seperti derai tawa yang tertinggal 

    di tepi cangkir kopimu: 

    sajak-sajak yang kukirim bersama kemarau 

    adakah sampai pada bibirmu? 

    ataukah salah alamat menuju ampas kopi 

    di dasar cangkirmu?

     

    lalu katamu:

    kutemukan sajak-sajakmu

    kedinginan pada surat kabar minggu lalu

    kunyalakan api, lalu membakarnya

    agar mereka tetap hangat.

     

    Oepoi, 2020

    Soneta seorang pemabuk

    Pagi itu, bersama sepi dan sedikit gerimis

    sebuah notifikasi tiba di beranda facebook-ku

     

    “Terlalu mendung untuk sebuah narsis.”

     

    lalu aku mendapati wajahmu yang ranum

    pada sudut beranda yang mendung

     

    “Inilah wajah yang pernah kukafani bersama rempah

    dan beberapa puisi.”

     

    sementara aku beranjak

    meneguk segelas arak sambil mengingat sebaris firman

    “Mabuk sehari cukup untuk sehari.”

     

    Oepoi, 2020

    Sajak kecil untuk oculus

    Mengartikan tatapmu

    adalah perjalanan menuju teka-teki

    paling gelisah.

     

    Oepoi, 2020

    Gambar oleh Phúc Nam Nguyễn Thế dari Pixabay

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #5

    author = Redaksi Kibul

    Jurang

    Vincent Mario Atawollo

    Juara III Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

    “Vos, o clarissima mundi lumina, 

    labentem caelo quae ducitis annum”

     

    (The Cento of Proba, 58-59)

     

    1/ 

    Di sinilah aku bertahan, di antara daun-daun gugur dan masa yang lewat. Kupejamkan mata dan

    membayangkanmu sedang menulis syair tentang keangkuhan Roma, tentang pohon-pohon cemara yang

    bergerak lambat. Hanya ada satu keadaan yang tak bisa kaugambarkan. Aku pun mengerti, ada batas

    yang tak mampu kauselami, selama doa dan tanganmu tak kuasa memanjang ke langit. 

     

    2/

    Kita tak perlu bertemu untuk tahu betapa dahsyat sebuah cinta, sebab pertemuan seringkali berbahaya.

    Tugasku hanya membantumu memeriksa bintang di antara kesunyian langit yang kusam. Di sana, telah

    kutemukan jurang dan kulihat dirimu tenang menulis sebuah syair-entah apa, syair yang kelak

    menuntunku ke dalam satu keadaan yang tak bisa kaugambarkan sendiri. 

     

    3/

    Pada malam yang singkat, sebuah cahaya melintas, membawa bayangan wajahmu yang pucat dan sedih.

    Di sini, bersamaku, engkau dapat tidur malam, di atas hijaunya taman Aku ingin menolak dan segera

    mencatat perkataanmu. Tetapi waktu kini hanyalah fantasi. Yang kupahami hanyalah siasat usia yang

    singkat, di mana kita hanya sekadar yang lewat. 

     

    4/

    Maka aku terus menulis tentangmu, melanjutkan pekerjaan yang terhenti sejenak. Kisah tentangmu

    akan menjadi buku tanpa pembatas-satu-satunya benda yang selamat dari jurang. Dan aku akan

    selamanya senang tersesat di sana.

    2021

    Lembu Brahman Di Kandang Penggemukan

    Dadang Ari Murtono

    Juara II Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

    ia menggelosor seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor,

    sehelai tampar melubangi tulang rawan hidungnya, menghela

    kebebasannya, dan setiap kali penyabit rumput tiba untuk

    mengantar pakan, seperti ia dengar kepak maut hendak menyabetkan

    sabit panjang di gelambir lehernya

     

    tapi matanya teduh:

    sebuah telaga tak beriak

    dengan air dari gangga yang suci

     

    ia tak mencemaskan apa-apa, sebenarnya

     

    hanya saja, kadang-kadang, ia kenang sebuah masa

    di mana orang-orang memujanya sebagai cicit nandiswara

    menyetarakannya dengan para brahmana

    sebelum pada abad kesembilanbelas, orang-orang amerika

    membersihkan punggungnya dari segala

    yang kudus, melepaskan neraka yang melekat

     

    di serat dagingnya

    lalu menyebarkannya ke mana-mana

    hingga di kandang penggemukan ini

     

    tapi ia tak kecewa, sesungguhnya

     

    meski sesekali ia bayangkan maut akan datang, hanya

    akan datang, bersama takbir di hari haji

    dan lembar-lembar dagingnya akan dilapisi

    hijau pahala, punggungnya kembali suci,

    dan ia menggoyangkan punuk gemuk ke surga

     

    sekalipun bukan surga yang sama

    dengan surga yang dihuni buyutnya:

    nandiswara yang menyunggi siwa

    Pada Sebuah Mimpi

    Raina Jamila Ali

    Juara I Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

    Dia melesapkan tangannya ke dalam hatiku

    mencari-cari sesuatu 

    dan aku hanya bisa menggigil sambil menyaksikan satu bintang terbakar, 

    ekornya melingkar-lingkar seperti belukar api. 

    Berdua, kami menjadi tanur panas yang mengisi kekosongan 

    dengan lebih banyak lagi kekosongan

     

    ‘apa yang kau cari’ tanyaku

     

    ‘aku sedang berusaha tenggelam’ jawabnya

    ‘aku sedang mencoba menghanyutkan mala ke dalam dirimu’. 

    Dia meletakkan satu tangannya di bahu kiriku, 

    satunya lagi masih mencoba meraih sesuatu dalam kegelapan. 

     

    Lalu aku mendengar, 

    suara laut yang diredam, 

    seribu pintu terbuka dan cahaya-cahaya memudar. 

     

    Ia menyebut nama seorang perempuan yang di kakinya gugur ruthab 

    saat angin gurun duduk menyaksikan. 

    Ia menyebut Maria tapi yang kutahu hanya Maryam. 

    Ia mengulang satu nama sambil terus mengayuhkan tangannya 

    seperti bayi penyu yang lupa pada asin lautan. 

     

    ‘apa yang kau cari’ tanyaku

     

    tidak ada jawaban, 

    hanya dingin dan gelombang

    hanya kapal dan galangan

    hanya kesendirian

     

    lalu ia angkat tangannya dariku sambil membisikkan satu nama dan berkata

    ‘sekarang tidurlah dengan tenang, Maria’

     

    kemudian aku terpejam dan memimpikan suara-suara 

    serta bekas sentuhan yang asing di sekujur tubuhku. 

     

    Bintang-bintang berbaris seperti mata air yang terbakar.

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #4

    author = Redaksi Kibul

    Sari Tubuh

    M. Habib Syafa’at

    Benarkah, pada saat itu kau telah

    menuang seluruh sari tubuhmu? 

    Pada peristiwa terbelahnya gunung

    Kau mencuri bahan kepundan, kemudian

     

    dari bahan itu, kau berencana mengolah berbagai

    hidangan dalam dirimu, yang katamu bisa mengakhiri

    dahaga tubuh di perabuan ini. “Akan kusempurnakan

    berahi itu, dengan sari tubuh utama bagimu,” katamu

     

    Namun, pada gemerlap perjamuan tubuh hingga kini

    Masih kuhidu selundupan aroma gelap dari masa lalu

    Gumpalan hitam mangsi arwah kisah, teramat kelam 

    yang mengganjal. Tersumbatlah pintu masuk-keluar

     

    Aku seolah ditakdirkan selamanya gagal beranjak 

    dari puluhan situs peninggalan yang telah ditutup

    Lalu apa kiranya, di suatu tempat dalam dirikulah

    Kau dengan benar menuang seluruh sari tubuhmu? 

     

    Memanglah, sempat kutakik sehimpun bayi madu 

    dari hutan belantara tubuhmu, sebelum kita terpisah 

    menjadi dua meja perjamuan yang saling merindu, biar 

    tak berpayah aku mengingat pahit-manismu. Namun 

     

    saat mereka telah tumbuh sedewasa kita, tangan 

    gelap dari masa lalu itu melepaskan mereka 

    hingga berpukas bebas melengaskan diri dari 

    gelas-gelas kaca, ribuan lagu yang diputar, dan 

     

    kanvas-kanvas tua. Tentu saja, kau selalu sempat hadir 

    di situ, sebagai bias yang tak tersentuh genggamanku

    Sebagai sari tubuh yang lepas dari pulut. Menguap 

    sebelum berhasil kupejal menjadi sepunjut pemanis 

     

    kenangan, atau—barangkali—sekadar tambul perasan bagi hidangan 

    surga malam yang telah dikemasi dalam botol. Selalu berakhir pada 

    ampas. Membuat tubuhku berkali-kali, mati rasa. Lalu di mana 

    sebenarnya, kau telah menuang sari tubuhmu?

     

    Bojonegoro, 2020

    Sejarah Tragedi

    Yuditeha

    Delapan sebagai angka peruntungan untuk menodongkan senapan. Aku menguntit John Kedua selayaknya bayangan hingga tak mau berhenti sampai pukul sebelas malam. Usai tangannya memberi tanda kenangan, revolver kaliber tiga delapan mili, lima kali kutembakkan. Empat timah menembus daging cukup merobek malam. Darah menderas, jiwa melayang dan dunia berduka untuk mengingat John Kedua di sebuah peringatan.

     

    Strawberry Fields yang manis, aku telah menjemput ketenaran dari orang-orang palsu hingga kelak di sampul sebuah novel tertera pesan: akulah pembunuh yang menyukai cerita-cerita Caulfield, yang artinya Chapman berharap sama dengan Caulfield. Aku bermimpi menjadi tokoh pencinta anak-anak, yang menganggap dunia orang dewasa serba memuakkan. Aku menyelamatkan mereka dari jurang kepalsuan sampai datang waktuku menjelma iblis penarik pelatuk.

     

    Aku adalah Caulfield yang ada pada semua zaman, dan mereka akan membaca buku dan membicarakannya sembari terbayang wajah polos yang berangan menjadi pembebas dosa, hingga aku berteman penjara dua puluh tahun lamanya. Tiba waktunya aku pulang, bukan lagi bernafsu menjadi Caulfield. Bukan pula menjadi pembunuh berdarah dingin dengan otak basi. Aku berdoa John Kedua bahagia di surga hingga jiwanya menitis pada berjuta-juta John.

    Strawberry Fields: Sebuah taman yang tenang di Liverpool di mana John Lennon kecil biasa bermain dengan teman-temannya.
    Caunfield : Nama lengkapnya Holden Caunfield, tokoh utama dalam novel The Catcher in the Rye karya D. J. Salinger.
    Chapman : Pembunuh John Lennon yang bernama lengkap Mark David Chapman pada tanggal 8 Desember 1980

    Serampu Duka: Tatkala Perempuan Kishar Mendoa

    Kartikawati

    /I/

    Pantheon kala itu, di pusara terakhir Voltaire tua

    melalui atap kubahnya aku mengangkat sumpah

    mencintaimu, Bung

    meyakini cinta Plato

    berselam dalam iman yang baharu, aku tahu muaranya

    tidak kemanapun melainkan sumur tanpa dasar

     

    /II/

    di antara kita berdua, Bung, Tuhan mahadewa paling cemburu

    ingin miliki kita satu-satu, ingatan-ingatan dicerai. Tidak ada jalan kembali pulang

    mimpi pun tidak, apalagi bercinta sebelum subuh

    bendungan kedukaan ini, ambai

    di pelupuk indrawi

    merembah runtuh melungsur

     

    /III/

    ratusan tahun nasibku ialah hari basah

    pelangi sekadar sulur kusut

    meleler

    di ambang amuk Samas

    terlalu gigih untuk kalah

     

    terlalu pengecut untuk muncul

     

    /IV/

    sebagai putra Lahmu dari semesta konstelasi, kau

    yang paling kukasihi

    tentu bila kau tak bisa di sisiku, Bung

    lelakiku

    jangan pernah dipertuan perempuan lain

    sekalipun jangan! atau doaku dalam damai

    tenggelamlah kau, Anshargalku, di dasar palung Mariana

     

    /V/

    amin.

    Suatu Siang Si Malin Pulang

    Mira Agustin

    Di depan pintu rumah hijau

    debu kemarau menyulap

    jubin lantai menjadi gelap

    jejak-jejak hilang di rumput pelataran

    paruh mematuk ceker mengais

    musim membilas

     

    seorang tua berjemur di terik

    siang berbicara, “ku temani kau”

    dengan keringat

    di tubuh apak

     

    sementara jalanan bisu

    daun-daun mengurung jarak mata

    dan tua itu berteduh di antara

    batang-ranting

    juga sebilah golok

     

    mungkin ayam-ayam usil di sana lebih dulu tahu

    atau kucing jorok yang buang tahi

    di atas keset dapat merasa

    seorang datang dengan

    koper dan buah tangan

     

    jadi temu itu diselingi obrolan

    masih dengan teh hangat

    dan tembok-tembok yang retak

    masih dengan tanpa pajangan

     

    satu hal, sungguh, kemana

    sakral dalam benak itu yang

    tak tepermanai tersimpan jamak

     

    di ujung jalan di balik rimbun jati-mahoni

    tetiba rumah itu serasa

    sesak

    juga aku pada keramaian

    sambutan kiri kanan

    oleh potret-potret sumringah

    yang harapnya

    terlipat di kertas sisa

    di saku ketika berangkat ke perantauan

    hilang

     

    busak, rusak, dan aku malin

     

    Tuhan, apa aku durhaka

    Tersesat di Pasar Malam

    Michael Djayadi

    1)

    Pintu masuk pasar itu tak pernah sepi pengunjung

    sampai sesak engsel menahan antrean

    sampai gemeretak bunyi gerendel mengunci luap teriakan.

     

    Setelah kau masuk, tak jauh dari pintu sempit tadi,

    akan kaudapati peta ke mana ajal bakal menawarkan diri 

    digiring keinginan mata

    membelalak mencari wahana paling aman buatmu.

     

    Sayangnya, di sini tak ada yang paling aman, buat siapa saja; 

    setidaknya taman bermain pun bukanlah tempat 

    kau bebas main-main seperti anak kecil yang serius

    belajar menyodok kelereng masuk lubang taruhan.

     

    Katamu ingin memanjakan mata sibukmu 

    yang jauh-jauh hari lelah ditawan jam kerja.

    Katamu ingin memanjangkan napas pendekmu

    yang sehari-hari jauh dari kata lega.

    Tetapi sayang seribu sayang, ke mana kau melayangkan pandang

    semua wahana di pasar yang lebih mirip

    koran kosong ini tak menyediakan rubrik hiburan sepetak pun

    kesenangan apa pun di sini takkan mampu meredakan

    panas dalam dadamu.

     

    2)

    Di utara

    komidi putar kenangan masa kecilmu

    tak henti berputar-putar

    sengaja membiarkan tubuh penumpang 

    menggelepar bagai ikan lepas dari jala.

     

    Di timur

    kursi terbang yang dulu tak dapat kaunaiki 

    karena bobot tubuhmu lebih ringan dari angin

    sekarang, setelah angin tak bisa menggoyangkanmu pun

    ia masih terlalu tinggi kaugapai.

    Di barat

    kolam ban karet berisi banyak bola 

    yang kauimpi-impikan mandi di dalamnya

    tinggal sisa: isi bola polos kehilangan warna pelangi.

    Di sana, percuma kau berendam seharian,

    takkan kaucecap rasa manis pada kulit bola merah 

    semerah apel ana dari kebun nenek. 

     

    Di selatan

    tangga berjalan dengan tujuan ke mana saja

    yang selama ini cuma sanggup kautonton 

    dalam layar kaca hari minggu, juga tak bisa mengantarmu ke mana-mana. 

    Jika tegap kaudongakkan dagu berharap surga dan tuhan ada di sana,

    jika tetap kautatap tiap jengkal anak tangga itu membawa, perlahan ia mengantar,

    masihlah ketiadaan yang akan kaujumpai.

     

    3)

    Komidi putar, kursi terbang, kolam bola warna-warni,

    sampai tangga menuju rumah tuhan, percayalah, sesudah kau tiba di puncak awan

    tanpa pemandu, semua tadi hanyalah ilusi, yang akan kausesali 

    yang sampai kapan pun tak bisa kaupilih

    sebagai teman mengasyikkan berangkat dan pulang sekolah.

    4)

    Sampai waktu yang tak ditentukan

    pasar malam hasil usiamu menunggu

    tetap sesak menahan antrean,

    sampai kau sadar sekam di tengah

    taman bermain sedang menanti dibawa angin lalu

    tetap perih jari mungilmu disengat lebah

    hasil kau mencari nektar.

    Wening

    Yusril Ihza F. A.

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    silau permata pada dinding istana 

    yang kau lihat itu

     

    adalah rumah duka padma merah

    pendamba hangat surya

     

    semenjak tiga ratus purnama 

     

    tak pernah ia rasa anggur asmara 

    terpermana

     

    yang dituang penuh gairah oleh 

    pecinta termulia.

     

    pun berjuta tetes hujan yang tak 

    lelah suburkan dan tumbuhkan 

     

    pohon-pohon berbuah emas 

    yang tergantung 

     

    pada setiap tujuh tangkai adalah 

    telur ababil yang kau simpan 

     

    pada sebait kalam yang bakal 

    merajam lembut satin tubuhnya   

     

    apabila peluh farji mengalir 

    segar ke bibir lingga 

     

    seorang perjaka yang kau utus 

    diam-diam, 

     

    kau samarkan tiada kentara 

    sebagai musafir kehilangan arah

     

    padahal, musafir itu; 

     

    seorang zuhud dalam wujud 

    elang laut.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    bulan terbelah manis madu

    lenguh sintal tubuh itu

     

    adalah seonggok bangkai 

    peziarah

     

    terkubur pada gundukan pasir 

    di padang tandus. 

     

    setelah ia tapaki jalan lara 

    kerikil tajam

    dan beberapa kali menjumpai 

    dera dalam jeruji nestapa.

     

    seperempat abad ia hinggapi 

    dahan ara 

     

    menjelma kenari, menunggu 

    khalwat semi kembali.

     

    “duduklah, sandarkan lelahmu 

    pada belahan pahaku!” 

     

    : katanya dulu, 

     

    ketika ia sempat menggelar 

    permadani di teras istana 

     

    sembari ia singkap perlahan

    takdir pungguk

     

    sebelum kelam mengangguk

    jadi salam.

     

    “kandil-kandil berjajar menerangi 

    seisi ruangan, 

     

    api menyala, nun – adakah yang 

    tersembul di balik bola matamu?”

    lewat yusuf, musafir itu;

     

    kau bisikkan lirih, dan meletuslah 

    seluruh buih.

     

    kau ukir pilar bergambar ular 

    memasuki perkuburan.

     

    kau kirim kabar menjelang

    sabar akan terbakar, 

     

    kala simfoni bertebaran saling

    menyambar.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    tak ada lagi satin atau sutra 

    berbalut permata.

     

    ia tukar wangi misik payudara

    dengan jubah bulu domba.

     

    ia tenggelamkan sukma pada 

    samudera keabadian.

     

    sebagai usaha membunuh tujuh 

    iblis yang menutup 

    kelambu kalbunya, yang semayam 

    di kedua dinding matanya, 

     

    dan yang mengirimkan heina tua

    di setiap persimpangan 

     

    dua bukit kaf yang saling 

    berseberangan. 

     

    agar ia renungi kesempurnaan 

    cinta

     

    bukan sebatas pertapaan lingga

    merajai gua vagina

     

    atau sekadar kemesrahan kecupan 

    dan pelukan kedua insan.

     

    pun seperti lilin, ia menyala lalu 

    meleleh

     

    di hadapan keheningan:

     

    rasa sakit adalah api. 

     

    berkobar, 

     

    pada tiap kaki menapaki 

    jalan sunyi.

    ia asap diterbangkan angin,

    lalu cahaya datang menyinari,

     

    melebur jadi hampa.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    sebelum memakan bangkai

    keledai jantan, 

     

    keledai si pembawa ayat 

    ilalang 

     

    dari tanah seberang.

     

    nazar betina yang terbang 

    sempoyongan itu

     

    adalah aku,adalah jiwaku

     

    yang tak pernah mencecap 

    setetes embun daun zaitun. 

     

    dan betapa aku, 

     

    betapa dada semakin sesak 

    kala rindu 

     

    pada firman-mu. 

    walau hari semakin renta

    walau senja tak lagi merah

     

    tak lagi jingga,tak lagi hijau

    tak lagi ungu

     

    tak lagi kuning keemasan, 

     

    tak lagi bisa membedakan

    warna tua 

     

    atau hasrat ingin bersua.

     

    meski begitu, kurentangkan 

    malam berkalang 

     

    menjelma kunang-kunang

    kembang setaman.

     

    tiada tempat, tiada singgah,

    renungi empat penjuru masa.

     

    dan segala diksi dari seluruh 

    puisi bila tanpa alif di hati:

     

    adalah dusta para pujangga

     

    bersemedi pura-pura pada 

    lingkar selubung-mu.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku: 

     

    kusepuh nama selingkar bejana 

    menyusup dzatmu pada kelana,

     

    tabir malam hutan cendana

    tiga salwa sandang cahaya.

     

    dan sebagian mimpi mengandung 

    doa tak terucap

     

    sebagian doa lanskap mahabbah

    pada keheningan hijau ma’wa.

     

    sebab rahasia akan tetap

    jadi rahasia

     

    meski cinta dan kematian 

    mampu mengungkapnya

     

    kala ziarah menjalin barzakh

    meleburkan 

     

    sembilan marwah.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku: 

     

    bulan tak lagi menawan,

     

    daun-daun berguguran 

    di antara sungai 

     

    dua belahan.

     

    dan waktu adalah penentu 

    segala piatu

     

    adalah perahu kosong 

    di tengah laut biru

     

    tanpa tahu kemana sauh 

    akan berlabuh.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku: 

     

    bumi telah berpaling dariku, 

     

    relakah engkau memeluk 

    jiwaku – penuh cinta,

     

    kala semesta tak lagi baka

    seperti 

     

    sumpah para pendamba?

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #3

    author = Redaksi Kibul

    Malam-malam Sulit Tidur

    Okta Saputra

    “But we should let this dead guy sleep,

    we should let this dead guy sleep.”

    —Father J. Misty

     

    Televisi menayangkan

    rekaman seekor anjing

    yang bersalto menghindari

    amuk seekor kerbau, dan

    tawaku pecah dan terus

    pecah sebelum kudengar

    pembawa acara bertanya:

    apakah kau melihat dirimu

    sebagai seekor anjing,

    atau seekor kerbau itu?

     

    Dan aku berpikir dan

    berpikir dan berpikir…

    sebelum terlempar ke

    waktu-waktu perut lapar,

    lalu pergi merebus mi, dan

    teringat bekas kekasih dan

    hari-hari hampir mati disebat

    hasrat terus produktif

     

    Sebuah perdebatan kemudian

    melintas di lini masa, dan aku

    menyimaknya dan menyadari

    banyak orang menyebut

     

    istilah: gentrifikasi—

    Aku mengetik “gentrifikasi”;

    pada mesin pencari dan

    menemukan diri di sebuah

    promo buku dengan kepala

    penuh pertanyaan baru

     

    Aku pergi ke teras;

    aku melihat ngengat

    menyengap di talas hias,

    dan ngengat di talas hias

    menyaksikan aku merutuki

    keterburu-buruanku:

     

    Aku membeli ongkos

    kirim berhadiah

    buku

    Aku membeli ongkos

    kirim berhadiah

    buku

    Astaga, aku membeli

    ongkos kirim

    berhadiah

    buku.

    Menghabiskan Waktu di Pasar Buku

    Mohammad Angga Saputro

    Kau bersikeras menghabisi

    waktu. Di sisi lainnya

    waktu. Tanpa kau tahu

    : menghabisimu.

     

    Kau mendatangi pasar buku

    berharap ada pengetahuan

    yang menuntunmu

    kepada:

    awal dan akhir.

     

    Kau sibuk menyibak—buka

    buku. Debu berhamburan mengketuk pintu

    hidung dan matamu.

    Debu kehidupan berhamburan menggedor

    ciut nyalimu.

     

    Harap cemas kau bacai satu persatu

    —huruf kemudian kata, kata kemudian etimologi

    judul pada sampul. Berharap temukan

    langit cerah hari depan.

    dan pengalaman menertawaimu

    dari segala arah. Tubuhmu

    goyah-gelisah.

     

    Para buku saling bisik:

    “ternyata masih ada yang ingin memiliki kami”

    Para penjual buku saling bisik:

    “barangkali ini rejeki kami”

     

    Hujan menampar Surakarta

    Ketika polusi berjingkrak di cakrawala

    Hujan menampar Surakarta

    Ketika puisi terserak digilas massa.

     

    Kau menghabiskan waktu di pasar buku

    Bersama ramainya huruf

    —dan riuhnya kata-kata. Tiba-tiba

    ada yang mengketuk pundakmu dari belakang

    serdadu kenyataan berbaris memanjang.

     

    Matamu berbinar usai temukan

    Buku pengetahuan kehidupan

    dan kau menanyakan harga pada penjual

    dengan binar mata bayi

    penjual menyatakan buku itu tak bisa dibeli

    buku itu koleksi pribadi.

    Tapi kau bersikeras memiliki

    dan merayu serupa bocah diembanan ibu.

    Terjadilah tawar-menawar dengan mimik memelas

    dan berakhir dengan penjual yang legawa melepas

    : buku pengetahuan kehidupan.

     

    Matamu bersinar serupa Sukesi

    di hadapan Wisrawa yang sebentar lagi

    medhar Sastra Jendra.

    Kau melangkah riang

    dengan buku pengetahuan kehidupan dalam dekapan

    : selangkah, dua langkah, tiga langkah, dan terjeda,

    kau dikagetkan dengan suara:

    “pengetahuan kehidupan bersemayam di dalam laku pengalaman!”

    —teriak penjual dari dalam kiosnya.

    Kau yang terjeda tak berani membalik rupa

    apalagi tubuh. Kau terus berjalan dengan buku pengetahuan kehidupan

    yang tak lagi dalam dekapan.

    Langkahmu gontai serupa langkah

    Wisrawa dan Sukesi yang telah disusupi

    : Guru dan Uma.

    Langkahmu gontai serupa langkah

    Wisrawa dan Sukesi menuju

    : Lokapala—Danaraja.

     

    2021

    Merawat Anjing Hitam Di Beranda

    Sherinkeshia Usagi

    suatu pagi yang dingin,

    napas mengembun di kaca

    menatap kebun mati yang

    berselimut putih usai badai

    dengking lemah terdengar

    ada anjing hitam di selasar

     

    ia selalu kembali, menetap di sudut

    teras yang bergoyang akan runtuh

    tetapi kubiarkan sejak berbulan lalu

    dan ditahan oleh si anjing yang

    sekarang terlelap di dekat pilar kayu

     

    ia menahan pilar dari rubuh

    menjaga kebun mati dari rubah

    mengusir penyusup berlabuh

    mengejar tiap selayang misbah

    layaknya ini juga adalah rumah

    bagiku dan baginya

     

    sampai akhirnya suatu pagi

    kuhitung langkah, kubuka pintu kayu

    kuulur tangan padanya

    si anjing hitam yang memekik

    lalu kuberi air dan sisa daging

    di kaleng dalam kulkas yang redup

    kami duduk berdampingan,

    aku menerimanya

    Nyadran

    M. Habib Syafa’at

    Menukamlah mereka ke hadirat megahku, sekumpulan keturunan pendamba 

    rahayu. Magandi penyerbu hamunan musuh sejak tujuh jagat campuh. Berharap

     

    akan kuganti gabah kemungkus dengan bungaran biji dan getah para ibu

     

    Mereka senang membasuh kakiku, dengan anyir darah daging hitam lakan

    Tumbal yang mereka kira sepadan, untuk tidur nyenyak penuh setahun

     

    —masa untuk tugur dan bangkit kembali saat musim penuh kehausan

     

    Sebagai upeti tambahan, dari punca belukar urat pohon gergasi ini, akan 

    mengalir pula bulir buncahku. Padahal, itu hanya tambul perjamuan malam 

     

    bagi para makara terkutuk, yang kuutus menyebar arwah-arwah kelakar

     

    biar terpugar lagi menjadi beberapa dasar pangku perjudian 

    Serta gelaran bangku-bangku pertaruhan hidup berbagai rupa

     

    yang memang sengaja disuguhkan, untuk memancing keputusasaan mereka

     

    Sebelum bantaran Bengawan Solo kesurupan, dan sepenuhnya menjelma 

    sebuah paduraksa—bagi yang sanggup melihatnya. Gerbang perantara utama

     

    bencana kelam baja dengan markah kejayaan iblis mati suri yang dalam 

     

    setahun sekali, akan dibuka memakai sebuah pagelaran wayang

    Surga jebakan bagi mereka, biar hanyut tersasar lesatan kontur bayangan 

     

    dari beribu gerak penghasutan tangan dalang-dalang jelmaan keturunanku

     

    Dari mata ketakjuban mereka itulah, akan menyembul berbagai rupa

    hidangan utama. paripurna beserta lauk pauk, bagiku. Tentu, aku tak cukup

     

    bila hanya terus-terusan mengganyang sepah sari cemani, dan asap wangi

     

    Setelah kurasa benar-benar kenyang, barulah mereka kupersilakan

    berebutan liur—tetes lidah musim semi palsu—dari tidurku, untuk diusapkan 

     

    pada ubun-ubun dan daun telinga para bayi. Menodai kudus keyakinan

     

    Dari situlah mereka akan lama bermimpi. Dalam mimpi itulah aku 

    akan merawi. Menari berjuta tahun. Menebar hujan dan benih duniawi

     

    hingga menggurat akar pangupajiwa yang hanya akan bernasib sementara

     

    Menyemburkan ludah api pada periuk-periuk pengharapan yang padam 

    lalu kembali dalam pengintaianku dari dalam semadi. Pusaka dikeramatkan

     

    sebuah halaman sembahan—yang selamanya lebar menganga. Selama 

     

    ada rasa lapar. Selama tanduk-tanduk masih merebung di tanah peninggalan

    mendiang bening tak terhitung madah, juga putih miliaran sayap  

    Bojonegoro, 2020

    Nyadran: Tradisi pembersihan makam leluhur oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam Bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.

    Salindia di Sepanjang Musim Wabah

    Gilang Perdana

    sajak ini akan kita mulai dengan selarik tajuk utama

    : wabah kian ganas, mudik dilarang, kita hanya boleh pulang ke dalam diri sendiri

     

    1

    ada sepasang jarum jam merindukan dua belas

    angka itu. satu, dua, tiga dan seterusnya tak lagi

    terbaca sebagai angka, namun sebuah lema,

    kita menyebutnya sebagai karantina

     

    2

    ranjang ini, sekarang jadi kawan baikmu. semua

    orang terbangun dari mimpi buruk yang sama.

    mendadak siap dan bersemangat melakukan apa

    saja, meski mereka tak kunjung melihat sebuah

    kapan di balik tirai jendelanya

     

    3

    dari kaca kabin pesawat, langit, bumi

    manusia dan kesunyiannya terlihat

    seperti lukisan van gogh, semuanya

    seolah tumpukan pakaian kotor

    yang digulung mesin cuci

     

    4

    jika tahun ini adalah seorang pengemudi ojek

    online, kita tak perlu ragu memberinya bintang

    satu. ia membawa kita berputar-putar ke tujuan

    yang tak ada di peta, lalu kita diturunkan hanya

     

    sekian meter dari titik jemput semula

     

    5

    jika tahun ini adalah permainan papan catur

    kita butuh lebih dari 64 kotak hitam putih, demi

    mematuhi protokol jaga jarak. seabrek rencana

    yang kita punya adalah zugzwang yang berujung

    buruk. semuanya jadi serba salah. kita dipaksa

    melompat, namun tak ada satu pun jarak

    yang terlewat

     

    6

    tahun-tahun sebelum wabah; adalah cakram diska

    yang disesaki foto-foto kita pergi tamasya

    juga beragam jenis makanan, adalah unggahan

    instagram, meski sekadar foto wajah sendiri,

    tentu tidak dengan selembar masker

    yang talinya mencengkeram

    telinga

     

    7

    dan sepasang kekasih itu hampir melupakan raut

    senyum masing-masing. barangkali ada tanda

    tanya di balik masker itu yang bergerak naik

    turun. menafsir gerak bibir pasangan, tak

    pernah sesulit masa-masa sekarang

     

    8

    sepeda lipat terbaru, playstation 5, atau

    sekadar sebait sajak bukan hadiah terbaik

    buat kekasihmu yang sedang berulang tahun

    tak perlu repot-repot mewujudkan semuanya

    cukup dengan bertahan, dan tetap hidup

    : kau adalah hadiah itu

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #2

    author = Redaksi Kibul

    El Che

    Syani Maulana Elyasa

    /1/

    Pulang Ernesto

    pulang, anak kami

    yang hilang.

    Pulanglah dari mimpi orang-orang

    yang rindu

    kebebasan; Sebab kami merindukanmu.

    Adakah kau mengenal kami, Che?

    Adakah kau anak kami dengan

    napas tersengal-sengal itu?

    /2/

    Tak ada lagi yang

    perlu dibuktikan, pengembaraanmu

    sudah begitu jauh

    dari pikir kami.

    Begitu jauh dari pikir kami,

    Kau mengembara lagi

    dan meninggalkan sepucuk

    pesanmu—yang dingin

    sekaligus hangat di sela-sela

    mata kami:

    “Sekali lagi kurasakan di antara tumitku

    rusuk kuda Rosinante…”—sebelum tak lagi

    kembali dan merontokkan hati kami.

    Surat ini dan saat kita mati.

    Pada akhirnya kita mati.

    Hutan rimba dan peperangan, aroma

    kematian seharusnya cukup untuk membuatmu

    jeri, tapi sejak dahulu kau sudah pembangkang.

    /3/

    Sudahkah kau baca

    puisi itu, Che? dari penyair kesayanganmu?

    Baudelaire? Neruda? Nicolas Guillen?

    kau membacanya sepanjang

    waktu yang kami ingat.

    Tapi di antara tumitmu

    ada rusuk kuda Rosinante. Seperti tiap kepergian

    ia tak memberi kesempatan

    mengingat hal-hal

    yang kita cintai.

    Hal-hal yang Ditemukan Sepanjang Jalan Pulang

    Rizaldi Noverisman

    Menuju rumah setiap malam aku berjalan dengan harapan

    tidak menemukan pertanyaan. Membawa diri baru dengan

    pikiran dan perasaan mudah terbakar. Di jalan-jalan kota, di

    kejauhan,

     

    ada bayangan yang berusaha mencium kening seseorang di

    hadapannya. Seseorang itu pun mengubah hidupnya sebagai

    bulan di permukaan segelas latte hangat atau bilik penjara

    atau lukisan kaca atau dunia sepia dalam mimpi orang-orang

    yang takut untuk berlibur ke tempat ramai.

     

    Setiap kali pintu berada di hadapannya, bayangan itu hendak

    kembali jadi sebatang pohon pemalu—sambil menatap

    langit—membayangkan dirinya burung-burung yang

    mengepakkan jutaan sayap dalam kertas gambar masa kecil.

     

    *

    Warna langit malam ini: poster bergambar larangan dan

    keengganan menolak merindukan diri lain—dan keinginan.

    Buku yang kehilangan halaman-halaman terbaiknya. Bahasa

    baru yang tidak mudah dituliskan.

     

    Di tepi-tepi jalan, di cafe-cafe, orang-orang berbicara dan

    tertawa. Mereka berlari dari kata-kata yang mereka

    sembunyikan dan merakit pesawat di kepala mereka. Untuk

    pergi.

     

    Tak ada yang beda. Tak ada yang beda dari kemarin dan hari

    ini. Di kota ini dipenuhi rutinitas yang sama: seorang ibu

    yang memanggul anak dan serpihan air matanya di jalan. Para

    remaja yang sibuk

     

    melabuhkan nama pasangannya. Anak-anak gemar bermimpi

    mengenakan seragam sekolah. Selembar tiket kereta dan

    perpisahan. Kamera. Dan omong kosong pemerintah.

     

    Radio musik memutarkan lagu yang sama. Semakin banyak

    orang yang jatuh cinta kepada kehilangan. Jendela di

    kepalanya lama terkunci. Ingatannya berupa zat adiktif dan

    sejumlah keinginan, sesuatu yang berulang kali mereka bakar

    dan mereka kepulkan dari kaca kendaraan. Masa lalu yang

    terlambat dihapus. Hari-hari penuh dilanda kecemasan dan

    senyum buatan.

     

    Tak ada yang beda dengan perjalanan pulang malam ini. Aku

    terus berjalan dan membawa hal-hal yang kembali

    kupertanyakan setiba di rumah di depan layar televisi.

    Kashmir

    M Rianda Al Rasyid

    Seperti setiap pertemuan pertama yang datar

    kita beradu tatap tanpa sengaja

    kau lekat pada jiwaku – aku paku pada kaki lembahmu

    tak cukup mudah bagiku taklukkan puncak hatimu

    dengan kenangan yang beku

    Diawali dengan biryani Kangan yang bikin kangen

    Chapati Yasmin yang dingin

    serta dekap hangat Harmook yang tak akan gentas

    hanya karena kau pernah tenggelamkanku

    pada bijak danaumu yang luas

    Ketahuilah, menjejakkan diri pada tampuk tubuhmu

    adalah bentuk utuh dari tunduk

    wujud berserah pada pasrah paling tengadah

    Di bawah gugusan Via Lactea

    percakapan manis kita adalah doa-doa

    yang siap menjelma nyata

    Laut Menguap Sebagai Engkau

    Budi Mardhatillah

    Di kapal.

    Laut ingin kau tertidur sehingga 

    kau tak perlu ingin tahu rahasia-rahasianya. 

    Membuatmu sibuk membaca novel

    –yang menggambar langit di kaki-kakimu– 

    atau sekedar membayangkan cinta seperti ombak kepada pantai. 

    Tapi kau, 

    laut dan rahasianya adalah segala apa yang kau ingin.

    Kau bisa saja ingin sekali mengapung 

    di rahasia-rahasia ini lebih lama. 

    1000 kali pergi, 1000 kali pulang. 

    Tapi kapalmu begitu merindukan menjadi abu 

    atau kayu-kayu tempat dimana kau mengenang pagi-pagi dan kopi-kopi.

    Di pelabuhan yang tak akan kusebut namanya, 

    kau sedang akan melangkah turun dari kapal. Dari bibirmu ku tangkap 

    “ aku ingin menyelam”. 

    Aku takut laut menyukaimu. 

    Laut telah gagal. Mengambilmu.

    Kau menjadi rahasia.

    Kelak.

    Suatu ketika yang sangat biasa ––di embun jauh susul mentari–– 

    aku mendapatimu sebagai keping-keping hujan.

    Aku menyukai hujan, di pikiranku.

    Tapi benci menyadari kau akan menyentuh ujung rambutku 

    dalam bentuk lain––rahasia.

    Di pikiranku yang lain:

    Aku harus membeli payung tanpa warna.

    Segera!

  • Petualangan Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang

    author = Arifin Nasa

    Petualangan Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang

    : Cirebon

    Ditutupnya sepatah kata-kata yang bercecer di tanah-tanah bekas pijakan makhluk-makhluk mulia dan hina. Dua makhluk yang pernah dan masih berdiri memungut kata-kata lantas dirangkainya menjadi kalimat ambigu yang hanya seorang saja mengerti: Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang. Memanglah gadis itu menutup sepatah kata-kata yang dipungutnya dari tanah pijakannya sendiri meski tak mulia.

    Kalimat yang dirangkainya perlahan menjadi tebal satu buku berhalaman satu juta. Katanya ada satu huruf hilang belum ditemukannya, buku satu juta halaman belum lagi diedarkannya. Di sampingnya tertawa huruf-huruf kecil loncat dari buku satu juta halaman dan memang benar adanya lima huruf menertawakannya. Satu juta halaman sia-sia dikumpulkannya dari tanah pijakannya sendiri yang tak mulia.

    Diambilnya satu buah huruf, dipasangkannya pada kata yang berirama padu. Ah, indah sekali. Namun, asa kurang satu kata lagi. Tuhan. Ia belum menyertakan Tuhan pada hutan kata yang dipungutnya dari tanah pijakannya yang tak mulia.

    Seakan ia berkata, Tuhan Mahasegala dengan tanganku yang mengalirkan darah.

    Sekali lagi ia berkata pada kata-kata yang dipungutnya, Tuhan, aku bersama-Mu dan Kau bersamaku.

    Bohong!

    Ditulisnya kata-kata dengan diksi yang amat indah atas nama Tuhan: sedang ia bertualang. Matanya menatap pohon-pohon kecil, hidungnya menduga-duga bau kencing anjing kecil, mulutnya terbuka lebar melahap dedaunan kecil dan anjing kecil. Tuhan Mahasegala, segala yang ku perbuat atas segala-Nya.

    Juli, 2020

    Jangan Bermain-main dengan Tuhan

    Dalam gelap malam
    sang favorit merayap-rayap
    melampaui markah peraduan
    : Tuhan

    Januari mendatang
    festival besar di Negeri Salah Benar kian mencekam
    pertunjukan kekuatan, keahlian, kekritisan, dan kecakapan
    digelar bersamaan tak jeda jua
    sedetik pun seperempat detik

    Sang favorit belum kalah, dan
    memang tak mau kalah
    dalam kesempatannya juara berturut
    piala berjejer
    medali bertengger
    piagam berkelakar
    : Tuhan harus kalah!

    Memanglah Tuhan bukan tandingan
    juara di mana-mana
    di lorong gelap
    ruang terang
    atau lubang kecil
    Tuhan juara

    Sang favorit tak mau kalah dengan Tuhan!

    Dalam gelap malam
    sang favorit merayap-rayap
    melampaui markah peraduan
    : Tuhan

    Mencari titik jenuh Tuhan
    tak bisa ia mengeluh
    apalagi menyerah
    sebelum menemukan titik
    lantas mencurinya
    kemudian dirobeknya
    lalu dibakar
    dan, dikubur dalam tanah

    Januari datang
    festival besar menghadang
    sang favorit tampak bimbang

    Bukan,
    ia berhasil mendapatkan titik jenuh Tuhan
    tapi tak berhasil menguburnya
    justru ia terkubur
    dalam-dalam
    : bertemu Tuhan bukan pada festival besar

    Tuhan pun angkat bicara
    dengan irama mendayu-dayu
    sangat merdu
    : jika kau bertanya tentang Aku, Aku dekat.

    Ruang Kecil, 2020

    Tanda Tanya

    Apa guna
    Tanda tanya?

    Menanyakan
    yang diketahui
    atau
    belum diketahui?

    Memberi
    solusi
    atau
    mengundang
    emosi

    Banyak sekali
    tanda tanya
    bercecer di jalan
    di kantor
    di sekolah
    bahkan
    di dalam
    pori-pori

    Apa guna
    tanda tanya?

    Agustus, 2020

    Aku Takut Hantu

    Aku tak takut hantu
    Ketawa sendirian
    Di dahan pohon
    Atau di gelap kuburan
    Aku tak takut hantu
    Melompat
    Yang katanya merah
    Matanya
    Aku tak takut hantu
    Berlari
    Si kecil berlari
    Mencuri kata banyak orang
    Aku tak takut hantu
    Berdiam diri
    Di sudut rumah kosong
    Mengganggu sekelebat
    Aku tak takut hantu
    Bagaimanapun rupanya
    Jenis namanya
    Atau ketawanya
    Aku hanya takut hantu
    Bisa makan dan minum
    Membaca dan menulis
    Berdialog dan berdebat
    Menindas rakyat jelata

    April, 2020