Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Redaksi Kibul
Syani Maulana Elyasa
/1/
Pulang Ernesto
pulang, anak kami
yang hilang.
Pulanglah dari mimpi orang-orang
yang rindu
kebebasan; Sebab kami merindukanmu.
Adakah kau mengenal kami, Che?
Adakah kau anak kami dengan
napas tersengal-sengal itu?
/2/
Tak ada lagi yang
perlu dibuktikan, pengembaraanmu
sudah begitu jauh
dari pikir kami.
Begitu jauh dari pikir kami,
Kau mengembara lagi
dan meninggalkan sepucuk
pesanmu—yang dingin
sekaligus hangat di sela-sela
mata kami:
“Sekali lagi kurasakan di antara tumitku
rusuk kuda Rosinante…”—sebelum tak lagi
kembali dan merontokkan hati kami.
Surat ini dan saat kita mati.
Pada akhirnya kita mati.
Hutan rimba dan peperangan, aroma
kematian seharusnya cukup untuk membuatmu
jeri, tapi sejak dahulu kau sudah pembangkang.
/3/
Sudahkah kau baca
puisi itu, Che? dari penyair kesayanganmu?
Baudelaire? Neruda? Nicolas Guillen?
kau membacanya sepanjang
waktu yang kami ingat.
Tapi di antara tumitmu
ada rusuk kuda Rosinante. Seperti tiap kepergian
ia tak memberi kesempatan
mengingat hal-hal
yang kita cintai.
Rizaldi Noverisman
Menuju rumah setiap malam aku berjalan dengan harapan
tidak menemukan pertanyaan. Membawa diri baru dengan
pikiran dan perasaan mudah terbakar. Di jalan-jalan kota, di
kejauhan,
ada bayangan yang berusaha mencium kening seseorang di
hadapannya. Seseorang itu pun mengubah hidupnya sebagai
bulan di permukaan segelas latte hangat atau bilik penjara
atau lukisan kaca atau dunia sepia dalam mimpi orang-orang
yang takut untuk berlibur ke tempat ramai.
Setiap kali pintu berada di hadapannya, bayangan itu hendak
kembali jadi sebatang pohon pemalu—sambil menatap
langit—membayangkan dirinya burung-burung yang
mengepakkan jutaan sayap dalam kertas gambar masa kecil.
*
Warna langit malam ini: poster bergambar larangan dan
keengganan menolak merindukan diri lain—dan keinginan.
Buku yang kehilangan halaman-halaman terbaiknya. Bahasa
baru yang tidak mudah dituliskan.
Di tepi-tepi jalan, di cafe-cafe, orang-orang berbicara dan
tertawa. Mereka berlari dari kata-kata yang mereka
sembunyikan dan merakit pesawat di kepala mereka. Untuk
pergi.
Tak ada yang beda. Tak ada yang beda dari kemarin dan hari
ini. Di kota ini dipenuhi rutinitas yang sama: seorang ibu
yang memanggul anak dan serpihan air matanya di jalan. Para
remaja yang sibuk
melabuhkan nama pasangannya. Anak-anak gemar bermimpi
mengenakan seragam sekolah. Selembar tiket kereta dan
perpisahan. Kamera. Dan omong kosong pemerintah.
Radio musik memutarkan lagu yang sama. Semakin banyak
orang yang jatuh cinta kepada kehilangan. Jendela di
kepalanya lama terkunci. Ingatannya berupa zat adiktif dan
sejumlah keinginan, sesuatu yang berulang kali mereka bakar
dan mereka kepulkan dari kaca kendaraan. Masa lalu yang
terlambat dihapus. Hari-hari penuh dilanda kecemasan dan
senyum buatan.
Tak ada yang beda dengan perjalanan pulang malam ini. Aku
terus berjalan dan membawa hal-hal yang kembali
kupertanyakan setiba di rumah di depan layar televisi.
M Rianda Al Rasyid
Seperti setiap pertemuan pertama yang datar
kita beradu tatap tanpa sengaja
kau lekat pada jiwaku – aku paku pada kaki lembahmu
tak cukup mudah bagiku taklukkan puncak hatimu
dengan kenangan yang beku
Diawali dengan biryani Kangan yang bikin kangen
Chapati Yasmin yang dingin
serta dekap hangat Harmook yang tak akan gentas
hanya karena kau pernah tenggelamkanku
pada bijak danaumu yang luas
Ketahuilah, menjejakkan diri pada tampuk tubuhmu
adalah bentuk utuh dari tunduk
wujud berserah pada pasrah paling tengadah
Di bawah gugusan Via Lactea
percakapan manis kita adalah doa-doa
yang siap menjelma nyata
Budi Mardhatillah
Di kapal.
Laut ingin kau tertidur sehingga
kau tak perlu ingin tahu rahasia-rahasianya.
Membuatmu sibuk membaca novel
–yang menggambar langit di kaki-kakimu–
atau sekedar membayangkan cinta seperti ombak kepada pantai.
Tapi kau,
laut dan rahasianya adalah segala apa yang kau ingin.
Kau bisa saja ingin sekali mengapung
di rahasia-rahasia ini lebih lama.
1000 kali pergi, 1000 kali pulang.
Tapi kapalmu begitu merindukan menjadi abu
atau kayu-kayu tempat dimana kau mengenang pagi-pagi dan kopi-kopi.
Di pelabuhan yang tak akan kusebut namanya,
kau sedang akan melangkah turun dari kapal. Dari bibirmu ku tangkap
“ aku ingin menyelam”.
Aku takut laut menyukaimu.
Laut telah gagal. Mengambilmu.
Kau menjadi rahasia.
Kelak.
Suatu ketika yang sangat biasa ––di embun jauh susul mentari––
aku mendapatimu sebagai keping-keping hujan.
Aku menyukai hujan, di pikiranku.
Tapi benci menyadari kau akan menyentuh ujung rambutku
dalam bentuk lain––rahasia.
Di pikiranku yang lain:
Aku harus membeli payung tanpa warna.
Segera!