Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Redaksi Kibul
Okta Saputra
“But we should let this dead guy sleep,
we should let this dead guy sleep.”
—Father J. Misty
Televisi menayangkan
rekaman seekor anjing
yang bersalto menghindari
amuk seekor kerbau, dan
tawaku pecah dan terus
pecah sebelum kudengar
pembawa acara bertanya:
apakah kau melihat dirimu
sebagai seekor anjing,
atau seekor kerbau itu?
Dan aku berpikir dan
berpikir dan berpikir…
sebelum terlempar ke
waktu-waktu perut lapar,
lalu pergi merebus mi, dan
teringat bekas kekasih dan
hari-hari hampir mati disebat
hasrat terus produktif
Sebuah perdebatan kemudian
melintas di lini masa, dan aku
menyimaknya dan menyadari
banyak orang menyebut
istilah: gentrifikasi—
Aku mengetik “gentrifikasi”;
pada mesin pencari dan
menemukan diri di sebuah
promo buku dengan kepala
penuh pertanyaan baru
Aku pergi ke teras;
aku melihat ngengat
menyengap di talas hias,
dan ngengat di talas hias
menyaksikan aku merutuki
keterburu-buruanku:
Aku membeli ongkos
kirim berhadiah
buku
Aku membeli ongkos
kirim berhadiah
buku
Astaga, aku membeli
ongkos kirim
berhadiah
buku.
Mohammad Angga Saputro
Kau bersikeras menghabisi
waktu. Di sisi lainnya
waktu. Tanpa kau tahu
: menghabisimu.
Kau mendatangi pasar buku
berharap ada pengetahuan
yang menuntunmu
kepada:
awal dan akhir.
Kau sibuk menyibak—buka
buku. Debu berhamburan mengketuk pintu
hidung dan matamu.
Debu kehidupan berhamburan menggedor
ciut nyalimu.
Harap cemas kau bacai satu persatu
—huruf kemudian kata, kata kemudian etimologi
judul pada sampul. Berharap temukan
langit cerah hari depan.
dan pengalaman menertawaimu
dari segala arah. Tubuhmu
goyah-gelisah.
Para buku saling bisik:
“ternyata masih ada yang ingin memiliki kami”
Para penjual buku saling bisik:
“barangkali ini rejeki kami”
Hujan menampar Surakarta
Ketika polusi berjingkrak di cakrawala
Hujan menampar Surakarta
Ketika puisi terserak digilas massa.
Kau menghabiskan waktu di pasar buku
Bersama ramainya huruf
—dan riuhnya kata-kata. Tiba-tiba
ada yang mengketuk pundakmu dari belakang
serdadu kenyataan berbaris memanjang.
Matamu berbinar usai temukan
Buku pengetahuan kehidupan
dan kau menanyakan harga pada penjual
dengan binar mata bayi
penjual menyatakan buku itu tak bisa dibeli
buku itu koleksi pribadi.
Tapi kau bersikeras memiliki
dan merayu serupa bocah diembanan ibu.
Terjadilah tawar-menawar dengan mimik memelas
dan berakhir dengan penjual yang legawa melepas
: buku pengetahuan kehidupan.
Matamu bersinar serupa Sukesi
di hadapan Wisrawa yang sebentar lagi
medhar Sastra Jendra.
Kau melangkah riang
dengan buku pengetahuan kehidupan dalam dekapan
: selangkah, dua langkah, tiga langkah, dan terjeda,
kau dikagetkan dengan suara:
“pengetahuan kehidupan bersemayam di dalam laku pengalaman!”
—teriak penjual dari dalam kiosnya.
Kau yang terjeda tak berani membalik rupa
apalagi tubuh. Kau terus berjalan dengan buku pengetahuan kehidupan
yang tak lagi dalam dekapan.
Langkahmu gontai serupa langkah
Wisrawa dan Sukesi yang telah disusupi
: Guru dan Uma.
Langkahmu gontai serupa langkah
Wisrawa dan Sukesi menuju
: Lokapala—Danaraja.
2021
Sherinkeshia Usagi
suatu pagi yang dingin,
napas mengembun di kaca
menatap kebun mati yang
berselimut putih usai badai
dengking lemah terdengar
ada anjing hitam di selasar
ia selalu kembali, menetap di sudut
teras yang bergoyang akan runtuh
tetapi kubiarkan sejak berbulan lalu
dan ditahan oleh si anjing yang
sekarang terlelap di dekat pilar kayu
ia menahan pilar dari rubuh
menjaga kebun mati dari rubah
mengusir penyusup berlabuh
mengejar tiap selayang misbah
layaknya ini juga adalah rumah
bagiku dan baginya
sampai akhirnya suatu pagi
kuhitung langkah, kubuka pintu kayu
kuulur tangan padanya
si anjing hitam yang memekik
lalu kuberi air dan sisa daging
di kaleng dalam kulkas yang redup
kami duduk berdampingan,
aku menerimanya
M. Habib Syafa’at
Menukamlah mereka ke hadirat megahku, sekumpulan keturunan pendamba
rahayu. Magandi penyerbu hamunan musuh sejak tujuh jagat campuh. Berharap
akan kuganti gabah kemungkus dengan bungaran biji dan getah para ibu
Mereka senang membasuh kakiku, dengan anyir darah daging hitam lakan
Tumbal yang mereka kira sepadan, untuk tidur nyenyak penuh setahun
—masa untuk tugur dan bangkit kembali saat musim penuh kehausan
Sebagai upeti tambahan, dari punca belukar urat pohon gergasi ini, akan
mengalir pula bulir buncahku. Padahal, itu hanya tambul perjamuan malam
bagi para makara terkutuk, yang kuutus menyebar arwah-arwah kelakar
biar terpugar lagi menjadi beberapa dasar pangku perjudian
Serta gelaran bangku-bangku pertaruhan hidup berbagai rupa
yang memang sengaja disuguhkan, untuk memancing keputusasaan mereka
Sebelum bantaran Bengawan Solo kesurupan, dan sepenuhnya menjelma
sebuah paduraksa—bagi yang sanggup melihatnya. Gerbang perantara utama
bencana kelam baja dengan markah kejayaan iblis mati suri yang dalam
setahun sekali, akan dibuka memakai sebuah pagelaran wayang
Surga jebakan bagi mereka, biar hanyut tersasar lesatan kontur bayangan
dari beribu gerak penghasutan tangan dalang-dalang jelmaan keturunanku
Dari mata ketakjuban mereka itulah, akan menyembul berbagai rupa
hidangan utama. paripurna beserta lauk pauk, bagiku. Tentu, aku tak cukup
bila hanya terus-terusan mengganyang sepah sari cemani, dan asap wangi
Setelah kurasa benar-benar kenyang, barulah mereka kupersilakan
berebutan liur—tetes lidah musim semi palsu—dari tidurku, untuk diusapkan
pada ubun-ubun dan daun telinga para bayi. Menodai kudus keyakinan
Dari situlah mereka akan lama bermimpi. Dalam mimpi itulah aku
akan merawi. Menari berjuta tahun. Menebar hujan dan benih duniawi
hingga menggurat akar pangupajiwa yang hanya akan bernasib sementara
Menyemburkan ludah api pada periuk-periuk pengharapan yang padam
lalu kembali dalam pengintaianku dari dalam semadi. Pusaka dikeramatkan
sebuah halaman sembahan—yang selamanya lebar menganga. Selama
ada rasa lapar. Selama tanduk-tanduk masih merebung di tanah peninggalan
mendiang bening tak terhitung madah, juga putih miliaran sayap
Bojonegoro, 2020
Nyadran: Tradisi pembersihan makam leluhur oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam Bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.
Gilang Perdana
sajak ini akan kita mulai dengan selarik tajuk utama
: wabah kian ganas, mudik dilarang, kita hanya boleh pulang ke dalam diri sendiri
1
ada sepasang jarum jam merindukan dua belas
angka itu. satu, dua, tiga dan seterusnya tak lagi
terbaca sebagai angka, namun sebuah lema,
kita menyebutnya sebagai karantina
2
ranjang ini, sekarang jadi kawan baikmu. semua
orang terbangun dari mimpi buruk yang sama.
mendadak siap dan bersemangat melakukan apa
saja, meski mereka tak kunjung melihat sebuah
kapan di balik tirai jendelanya
3
dari kaca kabin pesawat, langit, bumi
manusia dan kesunyiannya terlihat
seperti lukisan van gogh, semuanya
seolah tumpukan pakaian kotor
yang digulung mesin cuci
4
jika tahun ini adalah seorang pengemudi ojek
online, kita tak perlu ragu memberinya bintang
satu. ia membawa kita berputar-putar ke tujuan
yang tak ada di peta, lalu kita diturunkan hanya
sekian meter dari titik jemput semula
5
jika tahun ini adalah permainan papan catur
kita butuh lebih dari 64 kotak hitam putih, demi
mematuhi protokol jaga jarak. seabrek rencana
yang kita punya adalah zugzwang yang berujung
buruk. semuanya jadi serba salah. kita dipaksa
melompat, namun tak ada satu pun jarak
yang terlewat
6
tahun-tahun sebelum wabah; adalah cakram diska
yang disesaki foto-foto kita pergi tamasya
juga beragam jenis makanan, adalah unggahan
instagram, meski sekadar foto wajah sendiri,
tentu tidak dengan selembar masker
yang talinya mencengkeram
telinga
7
dan sepasang kekasih itu hampir melupakan raut
senyum masing-masing. barangkali ada tanda
tanya di balik masker itu yang bergerak naik
turun. menafsir gerak bibir pasangan, tak
pernah sesulit masa-masa sekarang
8
sepeda lipat terbaru, playstation 5, atau
sekadar sebait sajak bukan hadiah terbaik
buat kekasihmu yang sedang berulang tahun
tak perlu repot-repot mewujudkan semuanya
cukup dengan bertahan, dan tetap hidup
: kau adalah hadiah itu