Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #5

author = Redaksi Kibul

Jurang

Vincent Mario Atawollo

Juara III Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

“Vos, o clarissima mundi lumina, 

labentem caelo quae ducitis annum”

 

(The Cento of Proba, 58-59)

 

1/ 

Di sinilah aku bertahan, di antara daun-daun gugur dan masa yang lewat. Kupejamkan mata dan

membayangkanmu sedang menulis syair tentang keangkuhan Roma, tentang pohon-pohon cemara yang

bergerak lambat. Hanya ada satu keadaan yang tak bisa kaugambarkan. Aku pun mengerti, ada batas

yang tak mampu kauselami, selama doa dan tanganmu tak kuasa memanjang ke langit. 

 

2/

Kita tak perlu bertemu untuk tahu betapa dahsyat sebuah cinta, sebab pertemuan seringkali berbahaya.

Tugasku hanya membantumu memeriksa bintang di antara kesunyian langit yang kusam. Di sana, telah

kutemukan jurang dan kulihat dirimu tenang menulis sebuah syair-entah apa, syair yang kelak

menuntunku ke dalam satu keadaan yang tak bisa kaugambarkan sendiri. 

 

3/

Pada malam yang singkat, sebuah cahaya melintas, membawa bayangan wajahmu yang pucat dan sedih.

Di sini, bersamaku, engkau dapat tidur malam, di atas hijaunya taman Aku ingin menolak dan segera

mencatat perkataanmu. Tetapi waktu kini hanyalah fantasi. Yang kupahami hanyalah siasat usia yang

singkat, di mana kita hanya sekadar yang lewat. 

 

4/

Maka aku terus menulis tentangmu, melanjutkan pekerjaan yang terhenti sejenak. Kisah tentangmu

akan menjadi buku tanpa pembatas-satu-satunya benda yang selamat dari jurang. Dan aku akan

selamanya senang tersesat di sana.

2021

Lembu Brahman Di Kandang Penggemukan

Dadang Ari Murtono

Juara II Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

ia menggelosor seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor,

sehelai tampar melubangi tulang rawan hidungnya, menghela

kebebasannya, dan setiap kali penyabit rumput tiba untuk

mengantar pakan, seperti ia dengar kepak maut hendak menyabetkan

sabit panjang di gelambir lehernya

 

tapi matanya teduh:

sebuah telaga tak beriak

dengan air dari gangga yang suci

 

ia tak mencemaskan apa-apa, sebenarnya

 

hanya saja, kadang-kadang, ia kenang sebuah masa

di mana orang-orang memujanya sebagai cicit nandiswara

menyetarakannya dengan para brahmana

sebelum pada abad kesembilanbelas, orang-orang amerika

membersihkan punggungnya dari segala

yang kudus, melepaskan neraka yang melekat

 

di serat dagingnya

lalu menyebarkannya ke mana-mana

hingga di kandang penggemukan ini

 

tapi ia tak kecewa, sesungguhnya

 

meski sesekali ia bayangkan maut akan datang, hanya

akan datang, bersama takbir di hari haji

dan lembar-lembar dagingnya akan dilapisi

hijau pahala, punggungnya kembali suci,

dan ia menggoyangkan punuk gemuk ke surga

 

sekalipun bukan surga yang sama

dengan surga yang dihuni buyutnya:

nandiswara yang menyunggi siwa

Pada Sebuah Mimpi

Raina Jamila Ali

Juara I Sayembara Menulis Puisi Kibul.in x Kumpulan Puisi

Dia melesapkan tangannya ke dalam hatiku

mencari-cari sesuatu 

dan aku hanya bisa menggigil sambil menyaksikan satu bintang terbakar, 

ekornya melingkar-lingkar seperti belukar api. 

Berdua, kami menjadi tanur panas yang mengisi kekosongan 

dengan lebih banyak lagi kekosongan

 

‘apa yang kau cari’ tanyaku

 

‘aku sedang berusaha tenggelam’ jawabnya

‘aku sedang mencoba menghanyutkan mala ke dalam dirimu’. 

Dia meletakkan satu tangannya di bahu kiriku, 

satunya lagi masih mencoba meraih sesuatu dalam kegelapan. 

 

Lalu aku mendengar, 

suara laut yang diredam, 

seribu pintu terbuka dan cahaya-cahaya memudar. 

 

Ia menyebut nama seorang perempuan yang di kakinya gugur ruthab 

saat angin gurun duduk menyaksikan. 

Ia menyebut Maria tapi yang kutahu hanya Maryam. 

Ia mengulang satu nama sambil terus mengayuhkan tangannya 

seperti bayi penyu yang lupa pada asin lautan. 

 

‘apa yang kau cari’ tanyaku

 

tidak ada jawaban, 

hanya dingin dan gelombang

hanya kapal dan galangan

hanya kesendirian

 

lalu ia angkat tangannya dariku sambil membisikkan satu nama dan berkata

‘sekarang tidurlah dengan tenang, Maria’

 

kemudian aku terpejam dan memimpikan suara-suara 

serta bekas sentuhan yang asing di sekujur tubuhku. 

 

Bintang-bintang berbaris seperti mata air yang terbakar.