Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Redaksi Kibul
M. Habib Syafa’at
Benarkah, pada saat itu kau telah
menuang seluruh sari tubuhmu?
Pada peristiwa terbelahnya gunung
Kau mencuri bahan kepundan, kemudian
dari bahan itu, kau berencana mengolah berbagai
hidangan dalam dirimu, yang katamu bisa mengakhiri
dahaga tubuh di perabuan ini. “Akan kusempurnakan
berahi itu, dengan sari tubuh utama bagimu,” katamu
Namun, pada gemerlap perjamuan tubuh hingga kini
Masih kuhidu selundupan aroma gelap dari masa lalu
Gumpalan hitam mangsi arwah kisah, teramat kelam
yang mengganjal. Tersumbatlah pintu masuk-keluar
Aku seolah ditakdirkan selamanya gagal beranjak
dari puluhan situs peninggalan yang telah ditutup
Lalu apa kiranya, di suatu tempat dalam dirikulah
Kau dengan benar menuang seluruh sari tubuhmu?
Memanglah, sempat kutakik sehimpun bayi madu
dari hutan belantara tubuhmu, sebelum kita terpisah
menjadi dua meja perjamuan yang saling merindu, biar
tak berpayah aku mengingat pahit-manismu. Namun
saat mereka telah tumbuh sedewasa kita, tangan
gelap dari masa lalu itu melepaskan mereka
hingga berpukas bebas melengaskan diri dari
gelas-gelas kaca, ribuan lagu yang diputar, dan
kanvas-kanvas tua. Tentu saja, kau selalu sempat hadir
di situ, sebagai bias yang tak tersentuh genggamanku
Sebagai sari tubuh yang lepas dari pulut. Menguap
sebelum berhasil kupejal menjadi sepunjut pemanis
kenangan, atau—barangkali—sekadar tambul perasan bagi hidangan
surga malam yang telah dikemasi dalam botol. Selalu berakhir pada
ampas. Membuat tubuhku berkali-kali, mati rasa. Lalu di mana
sebenarnya, kau telah menuang sari tubuhmu?
Bojonegoro, 2020
Yuditeha
Delapan sebagai angka peruntungan untuk menodongkan senapan. Aku menguntit John Kedua selayaknya bayangan hingga tak mau berhenti sampai pukul sebelas malam. Usai tangannya memberi tanda kenangan, revolver kaliber tiga delapan mili, lima kali kutembakkan. Empat timah menembus daging cukup merobek malam. Darah menderas, jiwa melayang dan dunia berduka untuk mengingat John Kedua di sebuah peringatan.
Strawberry Fields yang manis, aku telah menjemput ketenaran dari orang-orang palsu hingga kelak di sampul sebuah novel tertera pesan: akulah pembunuh yang menyukai cerita-cerita Caulfield, yang artinya Chapman berharap sama dengan Caulfield. Aku bermimpi menjadi tokoh pencinta anak-anak, yang menganggap dunia orang dewasa serba memuakkan. Aku menyelamatkan mereka dari jurang kepalsuan sampai datang waktuku menjelma iblis penarik pelatuk.
Aku adalah Caulfield yang ada pada semua zaman, dan mereka akan membaca buku dan membicarakannya sembari terbayang wajah polos yang berangan menjadi pembebas dosa, hingga aku berteman penjara dua puluh tahun lamanya. Tiba waktunya aku pulang, bukan lagi bernafsu menjadi Caulfield. Bukan pula menjadi pembunuh berdarah dingin dengan otak basi. Aku berdoa John Kedua bahagia di surga hingga jiwanya menitis pada berjuta-juta John.
Strawberry Fields: Sebuah taman yang tenang di Liverpool di mana John Lennon kecil biasa bermain dengan teman-temannya.
Caunfield : Nama lengkapnya Holden Caunfield, tokoh utama dalam novel The Catcher in the Rye karya D. J. Salinger.
Chapman : Pembunuh John Lennon yang bernama lengkap Mark David Chapman pada tanggal 8 Desember 1980
Kartikawati
/I/
Pantheon kala itu, di pusara terakhir Voltaire tua
melalui atap kubahnya aku mengangkat sumpah
mencintaimu, Bung
meyakini cinta Plato
berselam dalam iman yang baharu, aku tahu muaranya
tidak kemanapun melainkan sumur tanpa dasar
/II/
di antara kita berdua, Bung, Tuhan mahadewa paling cemburu
ingin miliki kita satu-satu, ingatan-ingatan dicerai. Tidak ada jalan kembali pulang
mimpi pun tidak, apalagi bercinta sebelum subuh
bendungan kedukaan ini, ambai
di pelupuk indrawi
merembah runtuh melungsur
/III/
ratusan tahun nasibku ialah hari basah
pelangi sekadar sulur kusut
meleler
di ambang amuk Samas
terlalu gigih untuk kalah
terlalu pengecut untuk muncul
/IV/
sebagai putra Lahmu dari semesta konstelasi, kau
yang paling kukasihi
tentu bila kau tak bisa di sisiku, Bung
lelakiku
jangan pernah dipertuan perempuan lain
sekalipun jangan! atau doaku dalam damai
tenggelamlah kau, Anshargalku, di dasar palung Mariana
/V/
amin.
Mira Agustin
Di depan pintu rumah hijau
debu kemarau menyulap
jubin lantai menjadi gelap
jejak-jejak hilang di rumput pelataran
paruh mematuk ceker mengais
musim membilas
seorang tua berjemur di terik
siang berbicara, “ku temani kau”
dengan keringat
di tubuh apak
sementara jalanan bisu
daun-daun mengurung jarak mata
dan tua itu berteduh di antara
batang-ranting
juga sebilah golok
mungkin ayam-ayam usil di sana lebih dulu tahu
atau kucing jorok yang buang tahi
di atas keset dapat merasa
seorang datang dengan
koper dan buah tangan
jadi temu itu diselingi obrolan
masih dengan teh hangat
dan tembok-tembok yang retak
masih dengan tanpa pajangan
satu hal, sungguh, kemana
sakral dalam benak itu yang
tak tepermanai tersimpan jamak
di ujung jalan di balik rimbun jati-mahoni
tetiba rumah itu serasa
sesak
juga aku pada keramaian
sambutan kiri kanan
oleh potret-potret sumringah
yang harapnya
terlipat di kertas sisa
di saku ketika berangkat ke perantauan
hilang
busak, rusak, dan aku malin
Tuhan, apa aku durhaka
Michael Djayadi
1)
Pintu masuk pasar itu tak pernah sepi pengunjung
sampai sesak engsel menahan antrean
sampai gemeretak bunyi gerendel mengunci luap teriakan.
Setelah kau masuk, tak jauh dari pintu sempit tadi,
akan kaudapati peta ke mana ajal bakal menawarkan diri
digiring keinginan mata
membelalak mencari wahana paling aman buatmu.
Sayangnya, di sini tak ada yang paling aman, buat siapa saja;
setidaknya taman bermain pun bukanlah tempat
kau bebas main-main seperti anak kecil yang serius
belajar menyodok kelereng masuk lubang taruhan.
Katamu ingin memanjakan mata sibukmu
yang jauh-jauh hari lelah ditawan jam kerja.
Katamu ingin memanjangkan napas pendekmu
yang sehari-hari jauh dari kata lega.
Tetapi sayang seribu sayang, ke mana kau melayangkan pandang
semua wahana di pasar yang lebih mirip
koran kosong ini tak menyediakan rubrik hiburan sepetak pun
kesenangan apa pun di sini takkan mampu meredakan
panas dalam dadamu.
2)
Di utara
komidi putar kenangan masa kecilmu
tak henti berputar-putar
sengaja membiarkan tubuh penumpang
menggelepar bagai ikan lepas dari jala.
Di timur
kursi terbang yang dulu tak dapat kaunaiki
karena bobot tubuhmu lebih ringan dari angin
sekarang, setelah angin tak bisa menggoyangkanmu pun
ia masih terlalu tinggi kaugapai.
Di barat
kolam ban karet berisi banyak bola
yang kauimpi-impikan mandi di dalamnya
tinggal sisa: isi bola polos kehilangan warna pelangi.
Di sana, percuma kau berendam seharian,
takkan kaucecap rasa manis pada kulit bola merah
semerah apel ana dari kebun nenek.
Di selatan
tangga berjalan dengan tujuan ke mana saja
yang selama ini cuma sanggup kautonton
dalam layar kaca hari minggu, juga tak bisa mengantarmu ke mana-mana.
Jika tegap kaudongakkan dagu berharap surga dan tuhan ada di sana,
jika tetap kautatap tiap jengkal anak tangga itu membawa, perlahan ia mengantar,
masihlah ketiadaan yang akan kaujumpai.
3)
Komidi putar, kursi terbang, kolam bola warna-warni,
sampai tangga menuju rumah tuhan, percayalah, sesudah kau tiba di puncak awan
tanpa pemandu, semua tadi hanyalah ilusi, yang akan kausesali
yang sampai kapan pun tak bisa kaupilih
sebagai teman mengasyikkan berangkat dan pulang sekolah.
4)
Sampai waktu yang tak ditentukan
pasar malam hasil usiamu menunggu
tetap sesak menahan antrean,
sampai kau sadar sekam di tengah
taman bermain sedang menanti dibawa angin lalu
tetap perih jari mungilmu disengat lebah
hasil kau mencari nektar.
Yusril Ihza F. A.
di hadapan cermin ini wahai,
Tuanku:
silau permata pada dinding istana
yang kau lihat itu
adalah rumah duka padma merah
pendamba hangat surya
semenjak tiga ratus purnama
tak pernah ia rasa anggur asmara
terpermana
yang dituang penuh gairah oleh
pecinta termulia.
pun berjuta tetes hujan yang tak
lelah suburkan dan tumbuhkan
pohon-pohon berbuah emas
yang tergantung
pada setiap tujuh tangkai adalah
telur ababil yang kau simpan
pada sebait kalam yang bakal
merajam lembut satin tubuhnya
apabila peluh farji mengalir
segar ke bibir lingga
seorang perjaka yang kau utus
diam-diam,
kau samarkan tiada kentara
sebagai musafir kehilangan arah
padahal, musafir itu;
seorang zuhud dalam wujud
elang laut.
*
di hadapan cermin ini wahai,
Tuanku:
bulan terbelah manis madu
lenguh sintal tubuh itu
adalah seonggok bangkai
peziarah
terkubur pada gundukan pasir
di padang tandus.
setelah ia tapaki jalan lara
kerikil tajam
dan beberapa kali menjumpai
dera dalam jeruji nestapa.
seperempat abad ia hinggapi
dahan ara
menjelma kenari, menunggu
khalwat semi kembali.
“duduklah, sandarkan lelahmu
pada belahan pahaku!”
: katanya dulu,
ketika ia sempat menggelar
permadani di teras istana
sembari ia singkap perlahan
takdir pungguk
sebelum kelam mengangguk
jadi salam.
“kandil-kandil berjajar menerangi
seisi ruangan,
api menyala, nun – adakah yang
tersembul di balik bola matamu?”
lewat yusuf, musafir itu;
kau bisikkan lirih, dan meletuslah
seluruh buih.
kau ukir pilar bergambar ular
memasuki perkuburan.
kau kirim kabar menjelang
sabar akan terbakar,
kala simfoni bertebaran saling
menyambar.
*
di hadapan cermin ini wahai,
Tuanku:
tak ada lagi satin atau sutra
berbalut permata.
ia tukar wangi misik payudara
dengan jubah bulu domba.
ia tenggelamkan sukma pada
samudera keabadian.
sebagai usaha membunuh tujuh
iblis yang menutup
kelambu kalbunya, yang semayam
di kedua dinding matanya,
dan yang mengirimkan heina tua
di setiap persimpangan
dua bukit kaf yang saling
berseberangan.
agar ia renungi kesempurnaan
cinta
bukan sebatas pertapaan lingga
merajai gua vagina
atau sekadar kemesrahan kecupan
dan pelukan kedua insan.
pun seperti lilin, ia menyala lalu
meleleh
di hadapan keheningan:
rasa sakit adalah api.
berkobar,
pada tiap kaki menapaki
jalan sunyi.
ia asap diterbangkan angin,
lalu cahaya datang menyinari,
melebur jadi hampa.
*
di hadapan cermin ini wahai,
Tuanku:
sebelum memakan bangkai
keledai jantan,
keledai si pembawa ayat
ilalang
dari tanah seberang.
nazar betina yang terbang
sempoyongan itu
adalah aku,adalah jiwaku
yang tak pernah mencecap
setetes embun daun zaitun.
dan betapa aku,
betapa dada semakin sesak
kala rindu
pada firman-mu.
walau hari semakin renta
walau senja tak lagi merah
tak lagi jingga,tak lagi hijau
tak lagi ungu
tak lagi kuning keemasan,
tak lagi bisa membedakan
warna tua
atau hasrat ingin bersua.
meski begitu, kurentangkan
malam berkalang
menjelma kunang-kunang
kembang setaman.
tiada tempat, tiada singgah,
renungi empat penjuru masa.
dan segala diksi dari seluruh
puisi bila tanpa alif di hati:
adalah dusta para pujangga
bersemedi pura-pura pada
lingkar selubung-mu.
*
di hadapan cermin ini wahai,
Tuanku:
kusepuh nama selingkar bejana
menyusup dzatmu pada kelana,
tabir malam hutan cendana
tiga salwa sandang cahaya.
dan sebagian mimpi mengandung
doa tak terucap
sebagian doa lanskap mahabbah
pada keheningan hijau ma’wa.
sebab rahasia akan tetap
jadi rahasia
meski cinta dan kematian
mampu mengungkapnya
kala ziarah menjalin barzakh
meleburkan
sembilan marwah.
*
di hadapan cermin ini wahai,
Tuanku:
bulan tak lagi menawan,
daun-daun berguguran
di antara sungai
dua belahan.
dan waktu adalah penentu
segala piatu
adalah perahu kosong
di tengah laut biru
tanpa tahu kemana sauh
akan berlabuh.
*
di hadapan cermin ini wahai,
Tuanku:
bumi telah berpaling dariku,
relakah engkau memeluk
jiwaku – penuh cinta,
kala semesta tak lagi baka
seperti
sumpah para pendamba?