Category: terjemahan

  • William Burns [Roberto Bolaño]

    William Burns [Roberto Bolaño]

    William Burns, dari Ventura, California, menceritakan kisah ini kepada temanku Pancho Monge, seorang polisi di Santa Teresa, Sonora, yang menyampaikannya kepadaku. Menurut Monge, orang Amerika Utara itu adalah orang yang santai, yang tidak pernah kehilangan ketenangannya, sebuah deskripsi yang tampaknya bertentangan dengan kisah kejadian berikut. Dengan kata-katanya sendiri Burns menceritakan:

    Itu adalah saat yang suram dalam hidupku. Aku sedang mengalami masalah di tempat kerja. Aku sangat bosan, meski sampai saat itu aku selalu kebal terhadap kebosanan. Aku hendak keluar dengan dua orang perempuan.

    Aku ingat dengan jelas. Salah satu dari mereka kukenali sedikit—dia pastilah seumuranku—dan yang lainnya tidak lebih dari seorang gadis. Pada beberapa hari mereka tampak seperti dua perempuan tua yang sakit dan canggung, dan hari-hari yang lain mereka seperti dua gadis kecil yang hanya ingin bermain.

    Perbedaan usia mereka tidak begitu besar sehingga kamu salah jika mengira mereka itu ibu dan anak perempuannya, tapi memang hampir seperti itu sih. Meskipun itu adalah soal yang hanya bisa ditebak oleh kaum pria; kamu tidak pernah benar-benar tahu pasti.

    Bagaimanapun, kedua perempuan ini memiliki dua anjing, satu besar dan kecil. Dan aku tidak pernah tahu anjing mana yang menjadi milik masing-masing perempuan itu. Mereka berbagi rumah di pinggiran kota di pegunungan tempat orang pergi berlibur musim panas.

    Ketika aku mengatakan pada seseorang, dari beberapa teman atau kenalan, bahwa aku akan pergi ke sana selama musim panas, dia mengatakan bahwa aku harus membawa pancingku. Tapi aku tidak punya pancing.

    Seorang yang lain yang memberitahuku tentang beberapa toko dan kabin, bersantai-santai, dan menjernihkan pikiran.

    Tapi aku tidak pergi ke sana untuk berlibur. Aku akan menjaga kedua perempuan itu. Mengapa mereka memintaku untuk menjaga mereka?

    Mereka mengatakan kepadaku bahwa ada orang yang hendak mencelakai mereka. Mereka memanggilnya si pembunuh. Ketika aku bertanya apa motifnya, mereka tidak punya jawaban, atau mungkin mereka lebih suka membiarkan aku dalam ketidaktahuan.

    Jadi, aku mencoba mencari tahu sendiri. Mereka takut, mereka percaya bahwa sedang berada dalam bahaya, meski mungkin itu adalah kekhawatiran yang salah.

    Tapi, mengapa aku harus memberi tahu orang lain apa yang harus dipikirkan, apalagi ketika mereka mempekerjakan aku? Bagaimanapun, aku hitung-hitung sekitar seminggu kemudian mereka mengerti pandanganku.

    Jadi, aku naik ke pegunungan bersama mereka dan anjing mereka, dan kami pindah ke sebuah rumah kecil berbahan batu dan kayu yang penuh dengan jendela, aku kira lebih banyak jendela daripada yang pernah aku lihat di sebuah rumah, semua ukurannya berbeda dan tersebar serampangan.

    Dari luar, jendela-jendela itu memberi kesan bahwa rumah itu memiliki tiga lantai, tapi sebenarnya hanya ada dua lantai. Di dalam, terutama di ruang tamu dan beberapa kamar tidur di lantai pertama, jendela-jendela itu menghasilkan efek yang memusingkan, menggembirakan, dan menjengkelkan.

    Di kamar tidur aku mendapati dua jendela, keduanya cukup kecil, satu di atas yang lain, yang paling atas hampir sampai ke langit-langit, yang lebih rendah posisinya lebih dari satu kaki dari lantai. Bagaimanapun, hidup di sana menyenangkan.

    Perempuan yang lebih tua itu menulis setiap pagi, tapi dia tidak menutup diri, sebagaimana yang dikatakan orang-orang; dia memasang laptopnya di meja ruang tamu. Perempuan yang lebih muda menghabiskan waktunya berkebun atau bermain dengan anjing atau mengobrol denganku.

    Sebagian besar aku yang memasak, dan walaupun aku bukan ahli, kedua perempuan itu memuji makanan yang telah kusiapkan. Aku bisa saja hidup seperti itu selama sisa hidupku.

    Tapi suatu hari anjing-anjing itu melarikan diri dan aku keluar untuk mencarinya. Aku ingat pernah mencari-cari melewati kayu di dekatnya, hanya dipersenjatai dengan senter, dan mengintip ke halaman rumah kosong. Aku tidak bisa menemukannya di mana pun.

    Ketika aku kembali ke rumah, kedua perempuan itu menatapku penaka aku harus disalahkan atas hilangnya anjing-anjing itu. Kemudian mereka menyebutkan sebuah nama, nama si pembunuh. Sejak awal mereka telah memanggilnya si pembunuh. Aku tidak mempercayainya, tapi aku mendengarkan apa yang harus mereka katakan.

    Mereka membicarakan roman sekolah menengah atas, masalah uang, dendam. Aku tidak dapat memahami bagaimana keduanya bisa memiliki hubungan dengan orang yang sama di sekolah menengah atas, mengingat perbedaan usia di antara mereka.

    Tapi mereka tidak mau mengatakannya lagi. Malam itu, meski dicela, salah satu dari mereka datang ke kamarku. Aku tidak menyalakan lampu, aku setengah tertidur, dan aku tidak pernah tahu perempuan yang mana itu. Ketika terbangun, dengan cahaya fajar yang pertama, aku sendirian.

    Aku memutuskan untuk pergi ke kota dan berkunjung ke orang yang mereka takuti. Aku meminta alamat pada mereka dan menyuruh mereka untuk menutup diri di rumah dan tidak bergerak sampai aku kembali. Aku melaju di atas pickup perempuan tua itu.

    Tepat sebelum sampai di kota, aku melihat anjing-anjing itu di halaman pabrik pengalengan tua. Mereka menghampiriku, tampak malu dan mengibas-ngibaskan ekornya. Aku memasukkan mereka ke dalam bak pickup dan berkeliling kota untuk sementara waktu, menertawakan betapa khawatirnya aku pada malam sebelumnya.

    Aku menemukan diriku telah mendekati alamat yang diberikan kedua perempuan itu. Katakanlah pria itu bernama Bedloe. Dia memiliki sebuah toko di pusat kota, sebuah toko untuk berlibur, tempat dia menjual segala sesuatu mulai dari pancing hingga kemeja dan cokelat. Untuk beberapa saat aku hanya melihat-lihat rak. Pria itu tampak seperti aktor film; umurnya tidak lebih dari tigapuluh lima tahun.

    Dia terlihat kuat, berambut gelap, dan sedang membaca koran yang tersebar di meja kasir. Dia memakai celana kanvas dan kaus. Toko itu pasti sudah melakukan bisnis yang baik; terletak di salah satu jalan utama, yang memiliki trem yang melintas di dalamnya dan juga mobil. Barang-barang Bedloe mahal—aku memeriksa harganya. Saat aku pergi, entah mengapa aku mendapat kesan bahwa orang malang itu hilang.

    Aku tidak pergi lebih dari sepuluh yard ketika menyadari bahwa anjingnya mengikutiku. Aku bahkan belum melihatnya di toko: seekor anjing hitam besar, mungkin seekor anjing gembala Jerman yang disilangkan dengan jenis lain. Aku tidak pernah memiliki seekor anjing, aku tidak tahu apa yang membuat mereka berkutu, tapi, entah mengapa, anjing Bedloe mengikutiku. Aku mencoba mendapatkannya kembali ke toko, tentu saja, tapi tidak ada perhatian.

    Jadi aku terus berjalan menuju pickup, dengan anjing di sisiku, dan kemudian aku mendengar sebuah siulan. Pemilik toko bersiul, anjingnya kembali. Aku tidak berbalik, tapi tahu bahwa dia telah keluar mencari kami. Reaksiku otomatis dan tidak berpikir: aku mencoba memastikan dia tidak melihatku atau kami. Aku ingat bersembunyi di balik trem berwarna merah tua, warna darah kering, dengan anjing yang menempel di kakiku. Saat aku merasa aman, trem itu berhenti dan penjaga toko melihatku dari trotoar yang berlawanan dan menggerakkan tangannya dengan gerakan yang bisa berarti “Ambil anjing itu!” atau “Tangkap anjing itu!” atau “Tetaplah di sana sampai aku datang!” Itulah yang tidak aku lakukan. Aku berbalik dan menghilang ke kerumunan, sementara dia meneriakkan sesuatu seperti “Berhenti, Anjingku!! Hei sobat, anjingku!”.

    Mengapa aku melakukannya? Aku tidak tahu. Bagaimanapun, anjing pemilik toko itu mengikutiku ke tempat aku memarkir mobil pickup, dan segera setelah aku membuka pintu, sebelum sempat bereaksi, ia melompat masuk dan menolak untuk bergerak. Ketika kedua perempuan itu melihatku tiba dengan tiga anjing, mereka tidak mengatakan apa pun dan mulai bermain dengan mereka semua. Anjing pemilik toko sepertinya mengenal mereka jauh hari sebelumnya. Siang itu, kami membicarakan segala macam hal. Aku mulai dengan mengatakan kepada mereka apa yang telah terjadi padaku sewaktu di kota, lalu mereka membicarakan kehidupan masa lalu dan pekerjaan mereka: seseorang pernah menjadi guru, seorang yang lain menjadi penata rambut, dan keduanya telah berhenti dari pekerjaan mereka, walaupun dari waktu ke waktu, mereka berkata, mereka merawat anak-anak yang bermasalah. Pada suatu kesempatan, aku mendapati diriku berbicara tentang bagaimana rumah harus dijaga sepanjang waktu.

    Kedua perempuan itu menatapku dan setuju, sambil tersenyum. Aku menyesal telah mengatakannya seperti itu. Lalu kami makan. Aku belum menyiapkan makanan malam itu. Percakapan itu berakhir dalam keheningan, selesai hanya karena suara rahang dan gigi kami bekerja dan jeratan anjing di luar saat mereka berlari mengelilingi rumah. Kemudian, kami mulai minum. Salah satu perempuan, aku tidak ingat yang mana, berbicara tentang kebulatan bumi dan perlindungan dan suara dokter. Pikiranku ada di tempat lain; aku tidak mengikutinya. Kurasa dia mengacu pada orang Indian yang pernah mendiami lereng gunung itu. Setelah beberapa saat aku tidak tahan lagi, maka aku bangkit, membersihkan meja, dan menutup diri di dapur untuk mencuci piring, tapi aku bisa mendengarnya bahkan di sana.

    Ketika aku kembali ke ruang tamu, perempuan yang lebih muda terbaring di sofa, setengah tertutup selimut, dan yang satunya lagi berbicara tentang sebuah kota besar; seolah-olah dia sedang berbicara di kota besar, mengatakan betapa hebatnya kehidupan ini, namun kenyataannya dia menjalaninya. Aku tahu, karena sesekali keduanya akan mulai cengeng. Sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan dengan kedua orang itu adalah humor mereka. Aku mengerti mereka menarik, aku menyukai mereka, tapi tentang selera humor mereka selalu tampak salah dan dipaksakan. Botol wiski yang kubuka setelah makan malam sudah setengah kosong.

    Itu menggangguku; aku tidak berniat mabuk, dan tidak ingin mereka mabuk dan meninggalkanku. Jadi, aku duduk bersama mereka dan mengatakan bahwa kami harus membicarakan beberapa hal. “Tentang apa?” tanya mereka, pura-pura terkejut, atau mungkin mereka tidak berpura-pura. “Rumah ini memiliki terlalu banyak titik lemah,” kataku. “Kita harus melakukan sesuatu untuk itu.” “Ada apa?” tanya salah seorang perempuan. “O.K.,” kataku, dan aku mulai dengan mengingatkan mereka seberapa jauh dari kota, betapa terbukanya, tapi aku segera menyadari bahwa mereka tidak mendengarkan.

    Jika aku seekor anjing, aku berpikir dengan sedih, perempuan-perempuan ini pasti akan menunjukkan sedikit pertimbangan. Kemudian, selepas aku menyadari bahwa tak seorang pun dari kami merasa mengantuk, mereka mulai berbicara tentang anak-anak, dan suara mereka membuat hatiku mengkerut.

    Aku pernah melihat hal-hal mengerikan dan jahat, pemandangan yang dapat membuat orang yang kuat sekalipun tersentak, tapi, saat mendengarkan perkataan si perempuan di malam itu, jantungku terasa sangat keras berpacu hingga hampir copot. Aku mencoba untuk membungkam, aku mencoba untuk mencari tahu apakah mereka mengingat kembali adegan dari masa kanak-kanak atau berbicara tentang anak-anak yang nyata di masa sekarang, tapi aku tidak bisa.

    Tenggorokanku terasa seperti diikat dengan perban dan kapas. Tiba-tiba, di tengah percakapan atau monolog ganda itu, aku mendapat firasat dan aku mulai bergerak diam-diam menuju salah satu jendela di ruang tamu, jendela mata banteng kecil yang konyol, di sudut, terlalu dekat dengan jendela utama yang memiliki banyak fungsi. Aku tahu bahwa pada saat terakhir kedua perempuan itu menatapku dan menyadari ada sesuatu yang terjadi.

    Yang harus kulakukan hanyalah meletakkan jariku di bibirku sebelum menarik kembali tirai dan melihat kepala Bedloe, kepala si pembunuh, ada di luar. Apa yang terjadi selanjutnya adalah kabur. Dan kabur terjadi karena panik itu menular. Pembunuh itu, aku langsung sadar, sudah mulai berlari mengelilingi bagian luar rumah. Kedua perempuan itu dan aku mulai berkeliaran di dalam.

    Dua putaran dia mencari jalan masuk, mencoba menemukan sebuah jendela yang terbuka, sementara kedua perempuan dan aku berkeliling memeriksa pintu dan menutup jendela. Aku tahu aku tidak melakukan apa yang seharusnya kulakukan: pergi ke kamarku, mengambil pistolku, pergi keluar, dan membuatnya menyerah.

    Sebagai gantinya aku mendapati diriku berpikir bahwa anjing-anjing itu masih di luar sana dan berharap tidak ada yang buruk terjadi pada mereka; salah satu anjing itu hamil, kurasa, aku tidak yakin—ada beberapa pembicaraan tentang hal itu.

    Bagaimanapun, tepat pada saat itu, saat aku masih berkeliaran, aku mendengar salah satu perempuan berkata, “Yesus, si jalang, jalang,” dan aku memikirkan telepati, aku memikirkan kebahagiaan, dan aku takut perempuan itu, yang telah berbicara, yang mana pun, akan pergi mencari anjing itu.

    Untung, tak satu pun dari mereka bergerak untuk meninggalkan rumah. Sebaiknya memang begitu. Sebaiknya memang begitu, pikirku. Dan kemudian (aku tidak akan pernah melupakan ini) aku pergi ke sebuah ruangan di lantai pertama di mana aku tidak pernah berada sebelumnya.

    Ruangannya panjang, sempit dan gelap, hanya diterangi oleh bulan dan cahaya samar yang datang dari lampu teras. Dan pada saat itu aku tahu, dengan kepastian yang tidak jelas dari teror, takdir (atau malapetaka itu—hal yang sama dalam kasus ini) telah membawaku ke ruangan itu.

    Di ujung jauh, di luar jendela, aku melihat siluet pemilik toko. Aku berjongkok, nyaris tidak bisa menahan getaran tubuhku (seluruh tubuhku gemetar, keringat menetes dariku), dan menunggu.

    Pembunuh itu membuka jendela dengan menurunkannya pelan-pelan dan menyelinap diam-diam ke dalam ruangan. Ada tiga tempat tidur kayu yang sempit, masing-masing dengan meja di samping tempat tidur. Di dinding, beberapa inci di atas tempat tidur, aku bisa melihat tiga cetakan berbingkai. Si pembunuh berhenti sejenak. Aku merasakan napasnya; suara napas yang sehat terdengar saat udara masuk ke paru-parunya.

    Lalu dia meraba-raba jalan ke depan, di antara dinding dan ujung tempat tidur, langsung ke tempatku berjongkok, menunggu. Meski sulit dipercaya, aku tahu dia tidak melihatku: Aku mengucapkan terima kasih kepada bintang keberuntunganku, dan ketika dia cukup dekat, aku mencengkram kakinya dan menariknya ke bawah. Begitu dia berada di lantai, aku mulai menendangnya untuk membuat luka sebanyak mungkin.

    “Dia ada di sini, dia ada di sini!” Teriakku, tapi perempuan-perempuan itu tidak mendengarku (aku juga tidak bisa mendengar mereka berlarian), dan ruangan yang tidak biasa itu seperti proyeksi otakku, satu-satunya rumah, satu-satunya tempat penampungan.

    Aku tidak tahu berapa lama berada di sana, menendang tubuh yang jatuh; Aku hanya ingat seseorang membuka pintu di belakangku, kata-kata yang tak bisa kupahami, sebuah tangan di pundakku. Lalu aku sendirian lagi dan berhenti menendangnya.

    Untuk beberapa saat aku tidak tahu harus berbuat apa; Aku merasa linglung dan lelah. Akhirnya, aku melepaskannya dan menyeret mayat itu ke ruang tamu. Di sana aku menemukan kedua perempuan itu, duduk saling berdekatan di sofa, hampir saling berpelukan.

    Sesuatu tentang kejadian itu membuatku memikirkan pesta ulang tahun. Aku bisa melihat kegelisahan di mata mereka, dan percikan rasa takut yang tersisa tidak begitu disebabkan oleh apa yang terjadi, seperti keadaan Bedloe setelah pukulan yang kuberikan padanya. Dan itu adalah tampilan di mata mereka yang membuatku kehilangan cengkeramanku dan membiarkan tubuhnya terjatuh ke karpet.

    Wajah Bedloe seperti topeng bercahaya darah, berkilau di bawah ruang tamu. Tempat dimana hidungnya menjadi bubur darah. Aku memeriksa apakah jantungnya berdegup kencang. Para perempuan memperhatikanku tanpa melakukan gerakan sekecil apa pun. “Dia sudah mati,” kataku. Sebelum pergi ke teras, aku mendengar salah satu dari mereka mendesah.

    Aku merokok sembari melihat bintang-bintang, memikirkan bagaimana aku akan menjelaskannya kepada pihak berwenang di kota. Ketika aku masuk kembali, para perempuan itu turun dengan keempat kakinya, dan aku tidak bisa menahan tangis. Mereka bahkan tidak menatapku.

    Aku minum segelas wiski dan kemudian keluar lagi, mengambil botol itu, kurasa. Aku tidak tahu berapa lama berada di luar sana, merokok dan minum, memberi waktu para perempuan itu untuk menyelesaikan tugas mereka.

    Aku kembali mengingat kejadian itu, mengumpulkan mereka berdua. Aku teringat pria yang melihat melalui jendela, aku teringat tatapan matanya, dan sekarang aku mengenali ketakutan itu, aku ingat saat dia kehilangan anjingnya, dan akhirnya aku ingat dia sedang membaca koran di bagian belakang toko.

    Aku juga teringat akan cahaya di hari sebelumnya, cahaya di dalam toko dan cahaya teras terlihat dari ruangan tempat aku membunuhnya. Lalu aku mulai melihat anjing-anjing itu, yang juga tidak tidur, tapi berlari dari satu ujung halaman ke ujung halaman yang lain.

    Pagar kayu pecah di tempat; seseorang harus memperbaikinya suatu hari nanti, tapi itu tidak akan menjadi pekerjaanku. Hari mulai fajar di sisi lain pegunungan. Anjing-anjing itu datang ke teras mencari tepukan, mungkin lelah bermain selepas malam yang panjang. Hanya dua yang biasa. Aku bersiul untuk yang satunya lagi, tapi tidak datang. Tiba-tiba kesadaran itu membuat bulu kudukku berdiri. Orang mati itu bukan pembunuh.

    Kami telah ditipu oleh pembunuh sebenarnya, yang bersembunyi di suatu tempat yang jauh, atau, lebih mungkin, dengan takdir. Bedloe tidak ingin membunuh siapa pun—dia  hanya mencari anjingnya.

    Bajingan malang, pikirku. Anjing-anjing itu kembali berkejaran di sekitar halaman. Aku membuka pintu dan menatap para perempuan, aku tidak mampu memaksa diriku masuk ke ruang tamu. Tubuh Bedloe berpakaian lagi. Berpakaian lebih baik daripada sebelumnya. Aku akan mengatakan sesuatu, tapi tidak ada gunanya, jadi aku kembali ke teras.

    Salah satu perempuan mengikutiku keluar. “Sekarang kita harus menyingkirkan mayatnya,” katanya di belakangku. “Ya,” kataku. Kemudian, aku membantu menempatkan Bedloe ke bagian belakang pickup. Kami melaju ke pegunungan. “Hidup itu tidak ada artinya,” kata perempuan yang lebih tua. Aku tidak menjawab; aku menggali kuburan.

    .Ketika kami kembali, saat mereka mandi, aku mencuci pickup dan mengumpulkan barang-barangku.

    “Apa yang akan Anda lakukan sekarang?” tanya mereka saat kami sarapan di teras, mengamati awan. “Aku akan kembali ke kota,” kataku, “dan aku akan menyelidikinya dari saat aku salah menduga”

    Dan akhir ceritanya adalah, seperti yang dikatakan Pancho Monge, enam bulan kemudian William Burns dibunuh oleh penyerang tak dikenal.

    Roberto Bolaño Ávalos (28 April 1953 – 15 Juli 2003) adalah seorang novelis berkebangsaan Chili, penulis cerita pendek, penyair dan esais. Pada tahun 1999, Bolaño memenangkan Rómulo Gallegos International Novel Prize untuk novelnya Los detectives salvajes (The Savage Detectives), dan pada tahun 2008 dia dianugerahi penghargaan National Book Critics Circle Award, kategori Fiksi untuk novelnya 2666. The New York Times menggambarkannya sebagai “suara sastra Amerika Latin yang paling signifikan dari generasinya”
    Naskah asli: http://www.newyorker.com/magazine/2010/02/08/william-burns

    *Gambar karya Bill Traylor; Untitled (Two Dogs Fighting)

    Asef Saeful Anwar

    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • Upacara [Emmanuel Boundzéki Dongala]

    Upacara [Emmanuel Boundzéki Dongala]

    Aku, kau tahu, adalah militan rendah hati yang bahkan bisa menunjukkan laku hidup teladan baik dalam urusan publik maupun pribadi.

    Upacara seharusnya dimulai tepat pukul 9, tapi aku sudah berada di lapangan sejak pukul 7.30. Sejujurnya, aku akan senang jika Sekjen Serikat Buruh menyadari bahwa aku sudah berada di sana sebelum seorangpun datang : siap memberi hormat pada bendera merah yang berkibar, menyeka debu yang menempel di foto pemimpin abadi kita—yang terbunuh secara biadab oleh para iblis kaum imperialis dan antek-anteknya—, atau bahkan mengelap kursi sandar yang nanti akan diduduki bokong revolusioner Presiden Komite Pusat Partai Tunggal, Presiden Republik Kongo, Kepala Negara, Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer, kawan seperjuangan cum suksesor pemimpin abadi kita—yang terbunuh oleh para pengecut.

    Bagaimana jika Tuan Sekjen tidak menyadarinya? Tidak, aku tetap tidak akan kesal ; Pada dasarnya, aku datang paling awal karena aku memang seorang militan sejati. Lagipula, aku juga akan mendaftarkan diri ke Partai. Oh ya, tentu saja, aku sangat setuju dengan pernyataan di berita radio bahwa upacara ini merupakan peristiwa bersejarah.

    Ah ! Aku tahu, aku belum menceritakan padamu peristiwa bersejarah ini. Sial ! Aku memang tidak pernah bisa menyampaikan pikiranku secara rapi dan saintifik seperti yang diharapkan revolusi kita dengan dialektikanya. Tapi baiklah, akan kumulai.

    Kau tentu paham bahwa untuk mengalahkan imperialisme internasional dan antek-anteknya, kita harus mempunyai pola pembangunan yang berdikari dan sentralistik (aku mempelajari istilah-istilah ini penuh penghayatan karena untuk menjadi anggota Partai, kami akan ditanyai berbagai hal untuk memastikan apakah kami benar-benar komunis dan paham betul Marxisme-Leninisme). Saat ini, untuk menerapkan pembangunan otonomik—maksudku sentralistik, kita harus menumpas kaum borjuis demokratis—maaf, maksudku borjuis birokratis (maaf, aku belajar terlalu banyak istilah dalam waktu sangat singkat sampai semua campur-aduk di kepalaku). Untuk itu, diperlukan para pekerja pabrik yang kompeten dan benar-benar merah.

    Dengan segala kerendahan hati, aku berpikir bahwa aku adalah seorang yang kompeten, karena bagaimanapun aku telah bekerja selama lebih dari 10 tahun sebagai penjaga pabrik —bahkan meskipun hanya digaji 15.000 Francs Congo per bulan setelah bekerja selama itu. Selama sepuluh tahun itu, tidak ada satupun kasus pencurian terjadi baik siang atau malam. Tentu saja pernah ada beberapa kasus penggelapan. Pabrik bahkan sempat tutup selama setahun karena Direktur lama, si borjuis otokritis—maaf maksudku borjuis birokratis, terbukti menggelapkan 2.300.000 francs lebih 70 sen. Uang itu seharusnya akan digunakan untuk membeli mesin baru dan suku cadang pabrik. Tapi Direktur lama malah menggunakannya untuk membangun villa di tepi pantai.

    Akan tetapi partai pembaharu kita, dengan penuh pertimbangan, telah mengambil beberapa tindakan. Saat ini, ia tak lagi dijadikan direktur di sini. Ia hanya direktur di salah satu sub-cabang di kota lain. Meskipun demikian, atas dasar kemanusiaan, Partai tidak menyita villa miliknya (ia punya 10 anak yang malang. Dan ia keponakan dari wakil ketua serikat buruh kami).

    Sebenarnya aku pernah dihukum satu tahun penjara. Tapi aku mendapat amnesti tepat di hari pelantikan Presiden—yang berjasa menata ulang demokrasi sekaligus membebaskan beberapa tahanan politik yang tertangkap saat kudeta terakhir (terjadi jauh hari sebelum takdir baik membawa pemimpin kita naik tampuk kekuasaan). Aku juga sudah mengganti sepenuhnya 3 kaleng sarden—salah satunya sudah basi—, yang dulu aku “pinjam” karena tak ada makanan apapun di rumah untuk anak-anakku.

    Ah, sepertinya aku bicara melantur. Jadi intinya, aku bercerita bahwa sudah terbukti selama 10 tahun ketika aku menjadi penjaga pabrik, tidak ada satupun pencurian di pabrik kami. Bagiku, itu cukup jelas membuktikan bahwa aku orang yang kompeten. Selanjutnya tinggal apakah aku benar-benar merah atau tidak.

    Awalnya, saat serikat meminta kami menjadi merah, aku tidak paham apakah mereka sedang bicara tentang warna baju atau warna kulit. Kau tahu, aku hanya jebolan kelas satu SD dan aku tidak selalu paham istilah-istilah rumit dunia politik. Meskipun demikian, setelah cukup berpikir, aku tidak lagi menganggap merah sebagai warna kulit. Karena berdasarkan apa yang kupelajari di kelas malam—yang sering aku ikuti untuk memperbesar kesempatanku menjadi direktur—hanya orang Indian—maksudku Indian Amerika bukan orang India—yang punya kulit merah. Dan kita tak akan menemukan makhluk jenis itu di tanah ini.

    Jadi aku berpikir: tak diragukan lagi kalau merah yang dimaksud merujuk pada warna pakaian. Sampai di sini, aku jelaskan padamu bahwa sebutan orang Indian sebenarnya bermula dari kedunguan seorang Eropasentris bernama Christoper Colombus yang berlayar ke Barat untuk menemukan India demi meningkatkan keuntungan kapitalis dan monopoli perdagangan borjuis birokratis, sebelum akhirnya malah kesasar di Amerika dan suku Indiannya.

    Jadi sudah jelas, ini pasti tentang warna pakaian. Karena bagaimanapun, akan sangat rasis jika warna kulit atau asal suku menjadi prasyarat seseorang masuk Partai.

    Selama sebulan penuh, aku pun hanya berpakaian merah. Aku berangkat ke pabrik dengan kemeja merah, celana merah, syal merah, hanya sepatuku yang berwarna marun karena aku tidak dapat menemukan yang merah. Saat Sekjen Serikat kami, anggota Komite Pusat Partai, datang dan berkeliling pabrik untuk melakukan peninjauan, aku selalu berlagak sedang mengelap ingusku dengan kacu merah terang supaya ia sadar bahwa semua yang ada padaku adalah merah.

    Di negara kita, Badan Intelijen Negara, maksudku CIA atau KGB kita, seringkali menggunakan wanita bermoral bejat untuk menggali informasi dari orang-orang yang sedang diawasi negara. Dari situlah, setiap kali aku menemukan wanita yang aku pikir sedang jadi mata-mata negara, aku berusaha melakukan apapun supaya bisa tidur dengannya sambil cari-cari akal supaya bisa melucuti pakaianku di bawah cahaya terang, agar ia melihat kancutku yang bahkan berwarna merah ! Ah ya, aku mengibulinya bukan karena aku kurang ajar atau tidak bermoral tapi ini murni pengorbanan demi revolusi dan segala kemerahannya !

    Sekali waktu, aku bahkan pernah berhasil mempunyai mata berwarna merah setelah menenggak beberapa gelas anggur sambil memaparkan mataku pada kepulan asap rokok. Semua yang ada padaku adalah merah. Aku bahkan mengecat sepedaku menjadi merah.

    Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa mereka begitu mementingkan warna merah. Secara pribadi, aku lebih suka warna hijau yang mengingatkan pada hutan, atau biru turkis langit yang menenangkan tubuh dan pikiran setelah hari yang melelahkan. Tapi tentu saja, aku juga menyukai merah menyala bunga flamboyan ketika tiba-tiba mekar di penghujung kemarau—atau tepatnya di awal musim hujan. Tapi bunga ini pun menjadi cantik karena ia merekahkan warna suram monoton yang menjadi ciri abadi hutan tropis. Dan tentu saja, ia indah karena hanya muncul sesaat.

    Tapi, mari singkirkan subjongtivitas—maksudku subyektivitas— dan mari menilai segala hal dengan objektif. Saat itu, sangat penting untuk menyukai warna merah. Karena jika aku terindikasi dengan warna tersebut, ditambah kompetensi pribadiku, aku akan terpilih menjadi direktur baru pabrik. Kau tentu tahu, gajiku akan naik dari 15.000 menjadi 300.000 francs per bulan! Ah, tapi dengarkan ya, persoalan uang sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku adalah seorang militan yang rendah hati, teladan, dan sederhana!

    Selama sebulan ketika aku merah, atau setidaknya percaya kalau aku merah, aku menyadari adanya senyum sembunyi-sembunyi, kedipan mata, dan bisik-bisik seperti ejekan tiap kali aku lewat. Juga pertanyaan-pertanyaan aneh dan tebak-tebakan seperti “Orang-orang apa yang matanya merah, berguling di atas sepeda merah, hayoo?”, yang sepertinya ditujukan untuk mengolok-olokku!

    Aku sangat marah sampai wajahku merah ketika menyadari bahwa ternyata menjadi merah tidak ada hubungannya sama sekali dengan warna pakaian. Menjadi merah artinya merah sejak dalam hati. Jadi, sepanjang waktu ketika aku menjadi makhluk imbesil dan goblok itu, mereka diam saja dan membiarkanku melakukannya! Mereka pasti syirik padaku. Itu pasti! Tapi aku katakan pada mereka, aku akan membeli omongan mereka tepat di hari ketika aku yang merah dan kompeten ini terpilih menjadi Direktur baru mereka.

    Menjadi merah artinya merah sejak dalam hati. Aku kira ini idiot karena semua orang punya hati merah dan darah kita pun juga merah. Bahkan darah para reaksioner borjuis teokritis, ah, maksudku borjuis otokritis, ah bukan, maksudku borjuis birokratis itu juga merah. (Maaf, sekali lagi maaf, aku kelelahan dan pikiranku kacau balau setelah tak tidur semalaman).

    Akhirnya setelah berkali-kali mengamati dan bertanya—Presiden Mao pernah berkata ia yang tak berani bicara tak punya kesempatan untuk bertanya—aku mengerti bahwa menjadi merah berarti menjadi seorang militan, komunis Marxis-Leninis sejati. Kau tentu percaya, aku tak ingin kalau posisi Direktur membuatku terlena meskipun hanya sedikit. Naik gaji 15.000 menjadi 300.000 per bulan bagiku tak ada artinya. Hidup mewah, perempuan cantik, mobil Alfa Romeo atau Triumph dengan dua jok dan kap terbuka seperti milik Kamerad Menteri Proganda dan Ideologi bukan tujuan utamaku. Baiklah, mari perjelas sekarang bahwa aku benar-benar seorang militan yang jujur, sederhana, dan rendah hati. Uang dan kekayaan materil bukanlah motivasi utamaku.

    Dengan kerendahan hati seorang militan, aku ceritakan juga padamu—kau boleh menanyakannya pada teman-teman buruhku—dahulu aku adalah orang yang berprinsip teguh pada keimanan. Pembela agama.

    Di negeri ini, orang percaya adanya makhluk jahat bernama penyihir. Ia muncul di malam hari dalam wujud burung hantu atau hewan aneh seperti bunglon atau kura-kura untuk membunuh manusia dengan melahap jiwanya. Untuk melindungi diri dari kekuatan jahat itu, kita memerlukan penangkal seperti gigi macan kumbang, cakar macan tutul, atau jimat-jimat yang dijual para pedagang asal Senegal. Mereka bilang itu adalah tameng.

    Sekarang kuyakinkan padamu bahwa sejak Partai melarang praktik-praktik okultisme dan fetisisme, aku tak percaya lagi pada jimat-jimat itu. Aku bahkan menentang konsep Tuhan karena agama adalah wiski, anggur, ganja, candu bagi manusia. Awalnya memang sangat berat untuk tidak lagi percaya Tuhan. Karena bagaimanapun, Tuhan telah banyak menolongku saat momen-momen berat dalam hidup. Tapi aku harus memilih dan aku sudah memastikan pilihanku.

    Sejak itu, aku bergantung pada simbol-simbol Partai untuk melindungi diri: Di atas kemeja merahku, kupasang lencana bergambar wajah pendiri Partai kita. Di atas slebor depan sepeda merahku, kupampang foto warna Pemimpin Besar Revolusi, Presiden kita sekarang. Sementara di slebor belakang, kutempelkan logo bersejarah Partai dengan pacul-arit saling menyilang dan sepasang daun palem berwarna kuning. Dengan pelindungku yang sekarang, aku yakin setan manapun tidak akan berani menggodaku. Jiwaku kini benar-benar bersih, percayalah padaku bahwa uang dan kekayaan materil sama sekali bukan motivasi utamaku.

    Aku kemudian memutuskan untuk mempelajari berbagai istilah Marx-Engels dan mendaftarkan diri ke Partai. Terlepas dari segala kerendahan hatiku, aku harus mengakui bahwa aku diberkati kecerdasan yang sedikit di atas rata-rata karena meskipun aku hanya jebolan SD, aku mampu menguasai terminologi-terminologi Partai dalam waktu seminggu saja: setiap hari aku mendengar semua omongan jurnalis di radio dan televisi karena di sini, seperti yang pernah dijelaskan Kamerad Menteri Informasi dan Agitasi, jurnalis hadir bukan untuk memberi informasi apalagi menganalisis peristiwa sesuai apa yang mereka rasakan. Mereka hanyalah bagian dari proganda negara, atau dengan kata lain: burung beo Partai.

    Aku mempelajari semua jargon Partai dengan sepenuh hati. Aku paham betul semboyan-semboyan yang tertulis di dinding-dinding kota seperti “Hidup adalah produksi sebanyak-sebanyaknya”, “Atas nama revolusi, sensor adalah bagian dari perjuangan”. Oh ya biar aku ingatkan: Hal yang paling penting sebenarnya bukanlah memahami apa yang ingin disampaikan kalimat itu, tetapi memilah salah satu frasa siap-pakai tersebut di waktu yang tepat untuk memperingatkan atau bahkan membungkam mulut lawanmu. Katakan pada seseorang misalnya “Kamerad, sikap Anda sungguh menghambat revolusi” dan ia akan gemetaran membayangkan tentara atau intelijen negara melemparnya ke jurang atau sumur.

    Aku juga mempelajari banyak istilah baru dan percayalah, sungguh tidak gampang memahami apa yang sebenarnya ingin mereka katakan. Misalnya, perlu waktu lama bagiku untuk memahami apa artinya menjadi borjuis birokratis. Pada awalnya, aku mengira bahwa menjadi borjuis birokratis merupakan hal bagus. Kami harus menjadi seperti mereka kalau ingin hidup nyaman. Aku mengira begitu karena para penyiar radio selalu mengatakan bahwa borjuis birokratis adalah orang yang sering mengendarai mobil mewah, punya setidaknya satu villa, menyimpan banyak uang, dsb, dsb. Yang membuatku bingung, semua menteri, pimpinan politik, anggota komite pusat Partai Tunggal pasti punya mobil mewah yang Full-AC. Istri dan anak-anak mereka tidak pernah tahu rasanya terpanggang matahari saat menunggu bus yang tidak jelas jadwalnya demi pergi ke pasar atau sekolah. Selain itu, mereka juga sering minum sampanye, lebih suka minuman impor daripada lokal, dsb, dsb.

    Jadi, aku mengira bahwa semua pimpinan revolusioner kita adalah borjuis birokratis. Dan oleh karena itu, tentu saja aku ingin jadi seperti mereka.

    Tapi tidak berselang lama, mereka menjelaskan bahwa menjadi borjuis birokratis adalah laku tercela. Akhirnya, berkat kecerdasanku, aku bisa memecahkan persoalan rumit ini dengan mudah. Jika kamu mendapati di depanmu dua orang yang masing-masing punya mobil mewah, villa megah, makan malam sambil minum sampanye, dsb, dsb, begini metode jitu untuk membedakannya: ia yang jadi anggota Partai Tunggal adalah sosok revolusioner. Semua yang mereka punya hanyalah basis material untuk meringankan beban dan tanggung jawab mereka. Sementara ia yang bukan anggota partai sudah pasti sebaliknya. Mereka borjuis birokratis, komprador, lintah darat, tukang curi hak rakyat.

    Dari waktu ke waktu, semua istilah, jargon, dan semboyan yang aku pelajari menjadi seperti traffic jam. Berdesakan dan macet di kepalaku. Tapi apalah arti kepala pusing dan kliyengan kalau untuk naik gaji 285.000 per bulan?

    Akan tetapi, aku begitu terkejut ketika mendengar nama direktur baru dan yang muncul bukan namaku!  Ia bahkan bukan pekerja sini! Mereka benar-benar telah memilih orang bodoh, percayalah! Setelah berbulan-bulan mengumumkan bahwa calon direktur baru adalah pekerja pabrik yang merah dan kompeten, mereka sekonyong-konyong memilih seorang entah-siapa yang mereka sebut proletar hanya karena ia anak petani dan anggota Partai. Taik! Aku juga anak petani! Kami semua anak petani atau setidaknya buruh tani Afrika!

    Oh sebentar, kau jangan mengira kalau aku cemburu karena tidak dipilih. Tidak, tidak. Aku tidak bohong. Beberapa saat setelah kekecewaanku, aku bisa memahami kalau Partai punya alasan tersendiri. Orang yang kompeten tidak selalu ia yang paham betul siapa Presidennya, tapi ia yang lahir dari etnis yang sama dengan Presiden. Ia pasti akan lebih kompeten.

    Jadi, aku sudah membuktikan ketulusanku yang revolusioner dan hatiku yang bersih ini dengan berada di lapangan sejak 7.30 untuk menghadiri upacara pelantikan Direktur Baru. Upacara yang baru akan dimulai pukul 9.

    Ah, sepertinya aku terlalu banyak mendongeng tentangku dan lupa bercerita soal upacara.

    Upacara ini sangat bersejarah karena tak hanya melantik seorang direktur baru tapi juga menunjukkan bahwa revolusi berkaitan erat dengan kelancaran industrinya. Tuan Presiden, Pimpinan Komite Pusat Partai, Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer akan hadir secara langsung di depan semua kekuatan bangsa.

    Yang pertama datang saat itu adalah para profesor. Aku tidak tahu apakah mereka termasuk borjuis komodor, maksudku borjuis komprador. Yang jelas, mereka mengenakan toga berwarna biru dan merah anggur. Mereka kelihatan seperti ikan asin yang dijemur. Para profesor adalah orang-orang yang dulunya sangat aku kagumi. Tapi kini kekagumanku berkurang sejak melihat mereka dipermalukan aktivis mahasiswa di depan umum (dalam sebuah acara penyambutan mahasiswa). Aktivis mahasiswa itu dalam orasinya menyebut mereka sebagai kelas mapan dengan ide-ide yang sangat borju. Saat itu, tak ada satupun dari profesor itu yang berani bereaksi. Aku jadi tahu, para profesor itu tak ada bedanya dengan yang lain. Enggan bersuara. Seperti kami para buruh dan petani, mereka hanya mengulang-ulang slogan yang itu-itu saja. Seperti kami juga, mereka hanya memikirkan perut sendiri.

    Ah maaf, sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh menghakimi mereka karena aku paham, bahwa untuk menjadi merah sejati, kami perlu melewati jalan berliku dan harus menjadi seorang tak berwarna dulu.

    Para profesor itu jadi kering dan gosong, terpanggang teriknya matahari negara tropis. Tidak ada kursi untuk mereka. Memang, hanya ada beberapa kursi di bawah tenda yang disediakan khusus untuk para undangan dari kalangan teratas.

    Para buruh mulai berdatangan dengan bis yang sudah disiapkan pemerintah. Bagaimanapun mereka adalah kekuatan bangsa, para proletar pejuang revolusi. Aku pun segera menihilkan keraguanku sebagai bagian dari kelas pekerja. Selanjutnya, datang pula para perempuan dari gerakan revolusioner, anggota asosiasi pemakaman revolusioner, dsb, dsb. Singkatnya, semua pihak yang disebut sebagai tonggak kekuatan bangsa berkumpul.

    Sementara itu, waktu sudah menunjukkan pukul 10.15. Upacara seharusnya dimulai pukul 9 tepat. Tapi kau tentu paham bahwa Afrika punya budaya jam karet. Untuk itu, kita tak boleh terburu-buru.

    Para buruh yang kelelahan mulai merebahkan diri di atas rumput, berteduh di bawah pohon palm atau pisang kipas yang ada di sekitar lapangan. Para anggota asosiasi pemakaman berteduh di dalam mobil van hitam mereka. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk menghindar dari panas dan meredakan kaki yang pegal… kecuali para profesor. Mereka khawatir kalau martabat mereka sebagai elit dan intelektual negara anjlok. Mereka tetap berdiri, membiarkan dirinya terpanggang matahari katulistiwa, dengan peluh bercucuran di balik toga tebalnya.

    Sementara itu, aku mencoba menyempil di bawah tenda tamu undangan, seolah-olah sedang merapikan kursi dan bendera di depannya. Pokoknya, aku membuat diriku kelihatan berguna.

    Pukul 10.45, mobil Kamerad Sekjen Partai Tunggal datang, diikuti dua motor kumbang. Percayalah, aku adalah orang pertama yang bertepuk tangan. Sementara orang lain, bahkan direktur baru yang untuknyalah upacara ini diadakan, bertepuk tangan setelah aku melakukannya. Lebih hebatnya lagi, aku berinisiatif menjadi orang pertama yang mendekati mobilnya. Berkat pengalamanku sebagai penjaga pabrik selama 10 tahun dan pengetahuanku yang khatam soal urusan penjagaan, aku sigap membukakan pintu untuknya. Dan fotografer jurnal revolusioner Partai—yang hanya mengabarkan berita-berita kebenaran—mengambil foto kami berkali-kali karena mengira aku adalah orang penting.

    Saat itu, aku bisa dengan mudah menyalami tangan Kamerad Sekjen, yaitu saat fotografer sedang memotret kami. Tapi percayalah militan jujur dan rendah hati ini: aku melakukan ini bukan untuk diriku sendiri. Melainkan demi revolusi agar rakyat dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Kamerad Sekjen Partai, meski telah menduduki jabatan yang tinggi, tetap tidak segan berbaur dengan massa, dengan proletar tak jelas seperti kami.

    Kamerad Sekjen lalu berjalan ke depan. Semua sudah siap dan kami masih menunggu pemimpin revolusioner kami datang.

    Sirene menyala. Presiden sudah terlihat. Aba-aba dimulai. Semua bersiap dan bertepuk tangan ketika Presiden menuju tempat duduknya. Sebagai militan yang bermartabat dan kompeten, aku berada di dekat podium karena merasa harus bertanggung jawab menyiapkan mikrofon—terutama mengatur tinggi rendahnya sesuai posisi pembicara. Panitia upacara sebenarnya hendak memberikan tugas ini pada tentara negara atau anggota intel, tapi akhirnya aku bisa meyakinkan ketua panitia untuk memberikan pekerjaan ini padauk. Bersama orang dalam, buruh teladan, sekaligus senior ini, semangat dan jiwa upacara pasti akan lebih terasa. Aku berhasil meyakinkannya dengan mudah karena dia orang yang paham kerjaan. Ia memang sempat ragu namun aku segera menyelipkan beberapa ribu francs untuknya. Bukan sebagai pelicin, tapi murni ucapan terima kasih karena sudah memberikan waktunya berdiskusi denganku. Aku sering memperhatikan bahwa di negara revolusioner ini, entah kenapa orang-orang akan lebih rajin bekerja jika ada sedikit pemberian.

    Kau bertanya mengapa mengurus mikrofon bagiku sangat penting? Saat mengurus mikrofon, kita bisa menuju podium mendahului pembicara siapapun. Kita maju, menaik-turunkan mikrofon, dan jika perlu mengetesnya.

    Bayangkan, di depanmu ada Presiden! Bahkan jika kita bisa memposisikan diri dengan baik, bukan tidak mungkin kita bisa berfoto dengannya. Bisa kau bayangkan berfoto dengan Yang Mulia Kamerad Presiden! Katakan padaku kalau ada cara lebih baik untuk mendapat perhatian darinya! Ini bukan sikap oportunis atau kelakuan yang anarko-profito-birokrato-situasionisto. Bayangkan kalau kau di posisiku: aku merah, aku kompeten, tak ada alasan lagi untuk mengabaikanku! Tapi bagaimana caranya? Betul. Menjadi militan! Ah, maksudku, jadi tukang mikrofon saja. Itu cara paling ampuh!

    Selanjutnya sirine kembali berbunyi. Motor-motor kumbang masuk lapangan. Begitu juga dengan serombongan tantara bersenjata lengkap. Dari depan, samping, dan belakang. Ah, tentu kau tahu, Presiden kami sangat dicintai rakyatnya. Ia selalu bisa merasakan penderitaan rakyat. Ia layaknya apa yang dikatakan Presiden Mao Zedong: seperti tukang mancing di dalam air, ah bukan, seperti mata kail di dalam ikan, ah bukan, seperti air di dalam ikan, ah pokoknya semacam itulah.

    Tentara bersenjata? Tentu saja mereka datang untuk memastikan agar para tentara bayaran kaum borjuis anarkis yang bersembunyi di seberang sungai dan di balik hutan itu tidak menyerang pemimpin-pemimpin kami dengan peluru kendali jarak jauh atau bom atomnya—senjata andalan kaum kapitalis-anarkis. Pengacau memang bisa datang kapan saja. Seperti suatu hari saat Sekjen Serikat berkunjung ke pabrik kami, salah satu temanku yang karena saking antusiasnya, mengangkat tangannya terlalu cepat untuk menyalaminya. Apa yang terjadi? Ia ditembak mati di tempat. Para tentara itu percaya bahwa temanku akan membunuh Pimpinan Serikat.

    Seharusnya tentara kami yang terhormat bisa memaafkan temanku, karena bagaimanapun di setiap negara juga selalu ada perusuh, bahkan di dalam tubuh tentara atau polisi itu sendiri.

    “Presiden datang, presiden datang, hidup Presiden!”.

    Aku berdiri di dekat mikrofon. Tegak seperti pohon palem terjemur matahari. Dadaku membusung, siap menyambut revolusi! Presiden turun dari mobil marcedes putih enam pintu. Tinggi, besar, berkulit gelap, tampan, berkumis rapi, penuh wibawa, tipikal tentara pretorian.

    Sang titisan revolusi, Presiden Rakyat, Presiden Republik, Presiden Negara, Presiden Partai, Presiden Komite Pusat, Komandan Militer Tertinggi, Presiden seumur hidup! Abad 20 adalah miliknya! Negara kita mungkin kecil, tapi pemimpin kita sungguh besar! Kita tak bisa membahas Prancis tanpa menyebut Napolen, Uni Soviet tanpa Lenin, Cina tanpa Mao. Begitu pula tak mungkin bicara Afrika tanpa menyebut nama pemimpin agung kita.

    Presiden tepat berada di depanku: lengkap tulang-dagingnya. Aku sempat menatap poster raksasa yang memampang sosoknya sedang berjalan di tengah pasukan yang hormat kepadanya. Sementara itu, matanya jauh menatap ke depan, mengarah ke bintang merah di cakrawala. Ia seakan siap membawa rakyat menuju masa depan paling gemilang. Oh, air mata haru, penuh emosi, dan revolusioner meleleh di pipiku! Tuan Presiden berjalan penuh wibawa diiringi gemuruh tepuk tangan dan himne penyambutan. Ia menuju kursi sandar merah, meletakkan bokong Leninisnya, lalu menyilangkan kaki. Upacara siap dimulai! Waktu pukul 11.30.

    Sekjen Serikat kami lalu maju ke podium. Aku bersiap untuk menurunkan posisi mikrofon, memutar kepala mikrofon sampai pas, mengeceknya dengan bersuara “ck..ck” sampai terdengar di seluruh lapangan, lalu mempersilahkan Tuan Sekjen naik.

    Ia memulai pidatonya dengan seruan melawan tribalisme. Menurutku ini lucu karena baik Tuan Presiden, Sekjen Serikat, maupun Direktur baru pabrik berasal dari daerah dan suku yang sama. Aku bahkan yakin kalau seandainya saja aku berasal dari daerah dan suku yang sama dengan mereka, aku pasti terpilih sebagai direktur dengan gaji 300.000/bulan.

    Sebenarnya sah-sah saja jika suatu negara didominasi orang-orang dari suku dan daerah yang sama dengan Presidennya. Karena ibarat kebun, beberapa sudut biasanya menghasilkan sayur dan buah yang lebih jempolan daripada sudut lain. Dulu ketika Presiden sebelumnya berasal dari provinsi yang sama denganku, sebagian besar pimpinan politik pun berasal dari suku yang sama denganku. Tapi kini keadaan berbalik. Dan itu normal.

    Di Afrika, kau tentu paham, para penguasa akan ditampilkan seperti sosok jenius demi memoles citranya sekaligus suku atau daerah mana ia berasal.

    Aku juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang revolusioner yang cerdas tiba-tiba bisa berubah menjadi seorang reaksioner bodoh. Begitu pula sebaliknya. Kejadian macam itu pernah terjadi di detik-detik menjelang kudeta.

    Ah sepertinya aku sedang meracau. Mari kembali ke upacara.

    Sekjen Serikat Buruh menutup pidatonya dengan teriakan:

    “Hidup Presiden! Hidup Ketua Komite Pusat! Presiden Seumur Hidup! Seumur hidup! Sampai mati! Sampai mati, Tuan Presiden!”

    Menyadari bahwa suaraku masih bisa tertangkap mikrofon, aku menyahut Kamerad Sekjen Serikat dengan keras:

    -“Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!

    Dan semua orang, terutama anggota asosiasi pemakaman, mengulangi slogan itu dengan keras:

    “Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!”

    Aku memperhatikan jika para profesor tidak ikut berteriak. Mereka mungkin cemburu padaku. Seorang jebolan SD dan buruh pabrik rendahan, tapi justru paling kencang meneriakkan slogan. Tapi sepertinya, mereka juga kelihatan bingung. Seperti tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

    Sebenarnya aku tahu, profesor-profesor itu begitu membenciku yang sangat mencintai negara ini. Buktinya? Suatu hari pabrik mengadakan lomba puisi untuk memperingati hari wafat Bapak Bangsa, Presiden lama kita. Aku menulis dan membacakan puisi itu dengan begitu khidmat. Ini puisi terbaik yang pernah kubuat. Aku bacakan beberapa bagiannya:

    O kematian abadi
    Jatuhlah, agar mati
    Kaum kapitalis-imperialis!

    Kami divisi 5
    Merah dan revolusioner
    Siap mendukung seratus tahun
    Rencana 3 Tahun
    Pembangunan ekonomi sentralistik…

    Bukankah indah sekali citra, alegori, dan rima diksi “abadi” dan “mati” yang bertemu di akhir frasa tapi punya makna saling bertentangan? Sayangnya, para profesor yang menjadi juri enggan melihat itu semua. Syair-syairku ditolak. Jadi aku sama sekali tak terkejut kalau hari itu mereka tidak mengapresiasi teriakanku.

    Aku justru terkejut ketika Kamerad Sekjen melempar lirikan geram padaku. Padahal, aku hanya mengulang slogan yang ia terakkan. Ia tiba-tiba merebut mikrofon dan berteriak dengan sangat keras sampai pengeras suara seperti mau jebol.

    “Hidup Presiden! Seumur hidup, Presiden! Seumur hidup!”

    Di situlah aku paham kesalahanku. Aku harus berteriak dua kali lebih keras supaya kesalahanku tadi terlupakan.

    “Hidup presiden! Sampai mati! Abadi, Presiden!”.

    Akhirnya kamerad Sekjen turun podium. Ia memberiku senyuman yang tegang. Aku kira aku selamat. Bagaimanapun, segala hal memang perlu terukur dengan tepat, termasuk semangat revolusi.

    Lalu tiba giliran Direktur baru berbicara. Ia terus menyanjung revolusi dan Presiden. Ia menekankan pada para buruh untuk 8 jam bekerja, bukan 8 jam di tempat kerja. Ujarnya, siapa yang tidak bekerja keras tidak layak mendapat upah.

    Dalam hati kecilku, aku juga sepakat denganmu. Aku juga akan menyanjung habis-habisan revolusi jika aku ketiban posisi direktur sepertimu. Tapi aku punya pertanyaan. Apa pendapatmu tentang upah yang sering telat 2 sampai 3 bulan? Apakah para buruh ini juga tak punya hak untuk segera dibayar upahnya? Ngomong-ngomong, dengan gajimu yang 300.000 per bulan—belum termasuk kompensasi, kau tentu tidak akan tahu seperti apa rasanya saat upah yang cuma 15.000 telat sementara di rumahmu ada 6 anak! Tentu saja, aku tidak ingin berlarut-larut memikirkan soal ini. Aku hanya membayangkan apakah seekor anjing tidur, kaum imperialis cacat, atau penganut animisme tidak dapat berpikir lebih jauh dirimu, Kamerad Direktur?

    Aku jadi ingat perkataan Kamerad Lenin yang mengutip ide saintifik Marx-Engels: Ide-ide sesat lebih baik dimusnahkan sebelum terlanjur diyakini. Itulah kenapa aku setuju untuk memberangus jurnal atau surat-surat kabar yang tidak sepemikiran dengan negara. Aku sepenuhnya sepakat dengan Partai saat komisi sensornya melarang para penulis dan penyair menerbitkan sesuatu yang belum diizinkan.

    Kamerad Direktur akhirnya menutup pidatonya dengan memekikkan slogan-slogan anti-imperialisme, anti-borjuis akrobatik, dan anti-tembakau yang menurutnya mengancam negara.

    Lalu tibalah kami pada acara yang paling ditunggu.

    Pemimpin revolusi, pemimpin rakyat, Lenin dari Afrika, maju ke podium. Aku mempersiapkan mikrofon, mengaturnya sesuai tinggi Tuan Presiden. Aku mengecek kembali suara mikrofon. “Ck..Ck”. Suara bergema melalui speaker. Semua siap dan keadaan baik-baik saja. Aku membungkuk untuk mempersilahkannya maju, namun dengan gerakan yang sengaja kuperlambat. Semoga aku bisa terlihat setidaknya di satu atau dua foto yang diambil para jurnalis. Kemudian saat aku turun dari podium, bersamaan dengan kaki kananku yang baru saja menapak tanah, tiba-tiba terdengar ledakan.

    Meski cuma jebolan SD, tapi aku paham budaya modern. Jadi, aku bisa menceritakan dengan rinci apa yang terjadi hari itu, bahkan sejelas “gerakan lambat” dalam teknik sinematografi – orang Inggris menyebutnya flickback..backflik..blackflash, atau apalah. Jadi, begini kronologinya:

    Saat ledakan itu terjadi, semua tentara langsung menjatuhkan diri ke tanah, tiarap. Mereka tidak berusaha melindungi warga sipil yang ketakutan padahal mereka berjumlah sepuluh dan bersenjata lengkap. Saat dibutuhkan untuk mengejar dan menangkap pelaku peledakan, mereka tiba-tiba kehilangan seluruh kegarangannya. Sungguh tidak benar apa yang mereka ceritakan tentang taktik serangan penetrasi. Saat itu mereka hanya panik dan ketakutan.

    Sementara itu para profesor juga tak berbuat apapun. Aku melihat salah seorang profesor kimia. Ia yang berkacamata hitam bundar dan berjenggot tebal, malah menunduk, menutupi diri dengan toga tebalnya. Ia terjatuh, lalu mencoba berdiri lagi. Jatuh lagi, lalu kehilangan topi dan dan kacamatanya. Saat akhirnya bisa berdiri lagi, ia langsung mencopot toganya dan berlari seperti pendeta yang mencopot jubah karena takut dikejar setan. Ia ketakutan setengah mati.

    Lalu, apa yang aku lakukan?

    Kau tahu, saat aku berusaha menjadi merah, aku mengambil kursus bela diri dan tarung jarak dekat. Saat itu aku punya ambisi menjadi anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Di hidupku yang singkat ini, aku selalu punya mimpi yang tinggi. Meskipun hari ini, aku hanya menjadi penjaga pabrik pupuk kandang.

    Jadi saat ledakan terjadi dan aku melihat semua orang lari tunggang langgang, darahku langsung bergejolak. Revolusioner! Kulupakan hidupku. Revolusioner! Kulupakan istriku! Revolusioner! Kulupakan enam anakku—3 di antaranya masih balita. Presiden masih di sana, sendirian, nampak panik, ragu memilih antara martabatnya sebagai panglima tentara sekaligus kepala negara atau segera tiarap untuk menyelamatkan diri. Ia mungkin ingin seperti Presiden De Gaulle yang tetap berdiri di depan Katedral Notre-Dame saat terjadi demo mahasiswa di Paris—aku menonton adegan itu minggu lalu di Lembaga Kongo-Prancis, karena tidak ada film tentang Kamerad Lenin atau Revolusi Rusia di sana).

    Kukatakan padamu. Aku melihat mata Tuan Presiden dan seandainya ada alat pengukur ketakutan, maka aku yakin skalanya pasti nol. Zero. Aku berharap ia hidup di zaman orang-orang miskin begitu cemas dan takut pada para politikus yang duduk nyaman di ruang Full-AC, tapi bisa mengirim sniper di pagi buta untuk siapapun yang dituduh makar tanpa perlu barang bukti. Tapi memang benar, orang-orang paling kuat selalu punya alasan untuk berani. Lagipula, ia sudah punya cukup tentara pelindung di sisinya untuk tidak merasa takut. Tapi hati-hati, jangan salah menginterpretasikan omonganku. Kalaupun Tuan Presiden takut, ia bukan takut untuk dirinya sendiri melainkan untuk revolusi. Karena jika ia mati, siapa yang akan memimpin revolusi kita meraih kemenangan?

    Presiden masih berdiri di sana. Sendiri. Ia ingin berteriak “Pasukan !!!” tapi para tentara justru berkerumun menunduk di tanah atau sembunyi di balik kursi. Ia akhirnya berteriak “Lindungi saya !!!” tetapi semua orang yang seharusnya melindungi pemimpinnya malah lari ketakutan. Aku satu-satunya orang yang masih berada di situ dan kesadaran revolusionerku menuntutku untuk rela mengorbankan tubuhku demi revolusi: aku mendekat ke arah Presiden untuk melindunginya.

    Yang mengejutkan, ia justru mencoba mundur sambil menarik pelatuk pistolnya. Namun saat ia bergerak, kakinya tersangkut kabel mikrofon dan membuatnya hilang keseimbangan. Saat ia mencoba meraih kain merah penutup podium, kain merah itu justru tertarik dan Presiden kami terpelanting dengan mendaratkan lebih dulu bokongnya yang revolusioner dan aku yakin: merah.

    Yang tak kuduga, podium itu ikut jatuh ke arahku, membuatku terperosok, dan jatuh tepat di atas tubuh Presiden. Betapa intimnya kami saat itu. Tubuh kami bertumpukan: tubuh seorang penjaga pabrik pupuk dengan tubuh penjaga revolusi. Berdua, aku membayangkan kami akan menjaga dan membawa negara ini ke puncak kebahagiaannya.

    Saat itulah para tentara tersadar dan hendak segera menembakku. Namun mereka urung melakukannya karena takut salah sasaran. Mereka kemudian menarikku dan menghajarku dengan pantofel, tongkat, popor senjata, dan entah apa lagi.

    Tulang pelipisku remuk. Aku tak sadarkan diri. Saat mendusin, aku sudah berada di ruang penyiksaan. Mereka menginvestigasiku dengan menyetrumku hingga ujung pelir. Pukul 3 pagi, mereka membawa 15 orang dan menanyakan apakah aku mengenalnya. Sungguh, aku sama sekali tak kenal mereka, tapi karena fisikku sudah tak punya kekuatan sama sekali, aku terpaksa mengatakan bahwa mereka adalah bawahanku. 15 orang itu kemudian langsung ditembak setelah sempat dibawa ke radio untuk mengakui kesalahannya. Para investigator itu lalu menggantungku terbalik dengan kaki terikat di atas dan kepala di bawah. Sementara di depanku radio tetap menyala.

    48 jam kemudian, tim investigasi menemukan fakta bahwa ledakan kemarin terjadi karena letusan ban taksi merk Renault 4. Dan seperti yang disampaikan di radio oleh Komisaris Pemerintah yang menjadi Pimpinan Pengadilan Revolusioner Luar Biasa: tidak ada korban jiwa.

    Tapi, siapa yang menyuruh taksi itu melintas di sana berbarengan dengan naiknya Presiden ke podium? Mengapa ledakan itu terjadi tepat saat Presiden siap berpidato? Bagaimana mungkin sebuah paku berkarat, tak bernyawa, tak punya kehendak bebas, bisa tergeletak tepat di bawah sisi kiri ban belakang mobil yang memang sudah aus, kecuali seseorang sengaja menempatkannya?

    Bukankah sudah jelas bahwa tujuan operasi peledakan ban ini adalah membuat kekacauan untuk menjatuhkan Pemimpin revolusioner kita?

    Bagaimana mungkin tak ada konspirasi, sementara salah satu perempuan yang ada di taksi itu bersikeras tidak mau mengakui bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Padahal, para tentara sudah menelanjangi, menyisir tubuhnya, dan menemukan tahi lalat setebal satu setengah mili di bokong kanannya. (Aku sengaja menekankan kata “kanan”, mengingat para tentara itu berteriak pada si perempuan kalau posisi tahi lalatnya menunjukkan keberpihakan politiknya”)

    Lagipula, mengapa seorang penjaga pabrik tiba-tiba pindah haluan menjadi tukang mikrofon? Mengapa ia datang ke upacara dua jam lebih awal dengan sepeda yang baru dicat biru? (Kamerad, biru adalah warna kanan karena istilah “darah biru” merujuk pada kalangan bangsawan feodal Eropa!) Mengapa pula pagi itu ia menyapa semua orang? (yang salah satunya ia temui di ruang interogasi dan kini sudah ditembak mati). Mengapa ia mengaku sudah mengenalnya selama lebih dari dua puluh tahun? Mengapa pula di antara buku-bukunya, ditemukan buku-buku tentang konstitusi Prancis, konstitusi Amerika, dan koleksi artikel tentang sistem aparteid Afrika Selatan? Apakah ia punya hasrat terpendam untuk menerapkan rezim macam itu di sini? Semua pertanyaan itu terus dan terus berjejalan di kepalaku.

    Aku tak tahu lagi sedang berada dimana. Lejar, lapar, kulit tubuhku hancur setelah semalaman direndam dalam tong berisi air cuka-garam. Aku mohon, Tuan Presiden Komisi Investigasi, katakan apa lagi yang harus kuakui, apa yang ingin kau dengar dariku. Sebutkan lagi nama yang harus kuakui sebagai temanku. Aku bersedia mengatakan apapun, menandatangani dokumen apapun demi pengampunan. Meskipun aku militan yang rendah hati, jujur, dan teladan, tapi aku punya batas. Aku tak sanggup lagi.

    Judul Asli: La cérémonie
    Penulis: Emmanuel Boundzéki Dongala
    Bahasa sumber: Prancis
    Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et Vin de Palme

    Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Kongo. Cerpen La cérémonie ditulis sebagai kritik keras sekaligus olok-olok terhadap rezim Marxist-Leninist otoritarian yang sempat berkuasa di Kongo sejak 1963-1992. Karya-karya Dongala sempat dilarang beredar di negaranya sendiri dan membuatnya harus terusir dan menjadi eksil di Amerika.

    Salah satu karya Emmanuel Boundzéki Dongala yang berjudul Photo de groupe au bord du fleuve (2010) meraih penghargaan Prix Ahmadou-Kourouma, yaitu penghargaan sastra bergengsi untuk penulis francophone dari kawasan Afrika hitam. Selain itu, novel lainnya yang berjudul Johnny Chien Méchant (2002), yang bercerita tentang perang sipil Liberia yang melibatkan anak-anak, telah diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama oleh Jean-Stéphane Sauvaire pada tahun 2008.

  • Topi Sulap [Etgar Keret]

    author = Ifan Afiansa

    Di setiap penghujung pertunjukkan, aku meloloskan kelinci keluar dari lubang
    topi. Aku selalu menyimpannya di akhir, sebab anak-anak menyukai binatang.
    Paling tidak, saat kecil, aku menyukai binatang. Caraku menutup acara menjadi
    penting, setelah aku meloloskan
    kelinci itu, anak-anak dapat memberinya pakan. Begitulah yang biasanya
    kulakukan. Namun anak-anak
    zaman sekarang cukup alot. Mereka tidak begitu antusias, tetapi tetap saja, aku
    mengakhiri pertunjukkan dengan
    trik kelinci. Sebab trik
    itulah yang paling kusuka. Atau setidaknya, lazimnya begitu. Aku memfokuskan
    perhatianku ke penonton selayaknya tanganku meraih ke dalam topi, merogoh
    bagian topi
    dalam hingga telinga Kazam terasa.

    Lalu, “Adakadabra!” keluarlah. Tidak pernah sekali pun gagal mengejutkan mereka. Tidak cuma mereka, aku pun begitu. Setiap kali tanganku menyentuh telinga menggemaskan dari dalam topi, aku merasa seperti penyihir. Meskipun aku tahu triknya, rongga kosong di dalam meja dan semua pirantinya, bagiku tetap terlihat sihir sungguhan.

    Pada pertunjukan sabtu siang di daerah pinggiran, aku akan menampilkan ‘trik topi’  di akhir, seperti biasanya. Anak-anak yang menonton sungguhlah membosankan. Beberapa membelakangiku, dan menonton film Schwarzenegger di televisi kabel. Si bocah yang berulang tahun bahkan tidak berada di ruangan, ia sibuk bermain video gim terbaru di ruangan lain. Penontonku terus berkurang hingga tersisa empat anak. Hari ini terasa begitu panjang. Aku dibanjiri keringat di dalam setelan pesulapku. Aku hanya ingin segera menyudahi pertunjukkan dan segera pulang. Aku melewatkan  lebih dari tiga trik dan bergegas menuju trik topi. Tanganku menghilang di kedalamannya dan mataku tertuju pada mata milik gadis gemuk yang berkacamata. Tanganku menyentuh telinga lembut Kazam tetap mengejutkanku bagaimana biasanya. “Adakadabra!” Seperti semenit dari kamar ayah dengan dengan tiga ratus shekel di genggamanku. Aku menarik telinga Kazam, tetapi tidak seperti biasanya, kali ini lebih ringan. Tanganku terayun ke udara, mataku tetap tertuju pada penonton. Dan tetiba, pergelanganku terasa basah dan si gadis gemuk menjerit. Di tanganku memegang kepala Kazam, dengan telinga panjang dan mata melotot. Hanya kepala, tanpa tubuh. Dari bawah kepala itu mengalir banyak darah. Si gadis gemuk masih berteriak. Anak-anak kembali ke ruang tengah, meninggalkan televisi, dan bertepuk tangan serta bersorak-sorak. Si bocah yang berulang tahun dengan menggenggam video gim terbarunya pun kembali, memberikan siulan terkerasnya dari jemari. Aku merasa makan siangku naik ke tenggorokan. Aku melemparnya ke dalam topi, rasa mualku lenyap. Anak-anak ini luar biasa.

    Malamnya, aku tidak biasa tidur barang sekedip. Aku bolak-balik memeriksa peralatanku. Tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk kejadian barusan. Bahkan aku tidak menemukan sisa tubuh Kazam yang lain. Saat pagi, aku pergi ke toko sulap dan menceritakan tragedi tersebut. Penjaga toko pun kebingungan. Aku hendak membeli seekor kelinci. Penjaganya menawarkan kura-kura. “Kelinci sudah biasa,” katanya. “Sekarang zamannya kura-kura. Bilang ke anak-anak, ini adalah ninja, mereka akan kegirangan.”

    Namun aku tetap membeli kelinci. Kunamai Kazam lagi. Saat kutiba di rumah, ada lima pesan masuk. Semua tawaran pekerjaan. Semua dari anak-anak yang menyakasikan pertunjukan kemarin. Sedangkan ada anak lainnya menuntutku sebab meninggalkan kepala Kazam seusai pesta. Setelahnya aku baru sadar aku tidak membawa kepada Kazam.

    Pertunjukanku selanjutnya di rabu depan. Anak berumur sepuluh tahun di Savyon Heights berulang tahun. Aku stres di sepanjang pertunjukan. Aku kehilangan hasrat. Persetanlah soal trik Hati Ratu. Pikiranku tertuju pada topi. Tibalah waktunya, “Adakadabra!” Tatapan tajam penonton, tanganku berada di dalam topi. Kurasa tidak menemukan telinga, akan tetapi seeonggok tubuh. Lembut, berbobot. Dan terdengar jeritan lagi. Jeritan, juga tepuk tangan.  Bukan kelinci yang kupegang, melainkan mayat bayi.

    Aku tidak ingin melakukan trik ini lagi, sekalipun aku telanjur menyukainya. Memikirkannya saja membuat tanganku merinding. Aku kembali membayangkan sesuatu yang buruk mengayun keluar dari sana, dan bersemayam di dalamnya. Malam kemarin aku bermimpi menaruh tanganku ke dalam topi dan terambil dari dalamnya rahang-rahang monster. Ini membingungkanku betapa senangnya saat aku mengulurkan tanganku di ruang gelap itu. Betapa senang aku dapat menutup mata dan tertidur.

    Aku berhenti manggung, aku tidak peduli. Aku tidak berpenghasilan, tetapi tidak apalah. Sering kali aku mengenakan setelan sulap di rumah, iseng saja, atau sekadar mengecek ruang kosong di meja di bawah topi. Itu saja. Aku menjaga jarak dengan sulap, dan tidak melakukan apapun. Hanya berbaring dan memikirkan kepala kelinci dan mayat bayi. Bisa jadi keduanya adalah petunjuk dari sebuah mister. Barangkali  ada sesesorang yang ingin berkata bahwa sudah tidak ada waktu untuk menjadi kelinci, atau bayi. Atau pesulap.

  • Tiga Kisah Pendek [Sherman Alexie]

    author = A. Nabil Wibisana

    Penghasilan Tetap

    Saat mulai bekerja di McDonald, aku terkejut mengetahui aku adalah satu-satunya remaja di sana. Kupikir hanya di bisnis restoran cepat saji para remaja punya kesempatan memperoleh pekerjaan. Tapi sebagian besar pekerja ternyata para mahasiswa atau sarjana pukimak. Salah satu juru masak memiliki ijazah Teknik Elektro. Dan ia mendayagunakan semua pengetahuan sains yang dipelajarinya di universitas untuk memastikan ada dua acar, dan benar-benar hanya ada dua acar, di hamburger.

    Aku tak bermaksud mengolok-olok kolegaku. Sebagian besar mereka asyiklah. Aku marah pada negara keparat ini karena memaksa orang-orang dewasa bekerja di McDonald. Perempuan empat puluh lima tahun yang bertugas di bagian lantatur adalah orang tua tunggal yang memiliki tiga anak. Bagaimana ia bisa menghidupi mereka dengan upah McDonald?

    Dan kupikir bukan kebetulan jika 99% rekan kerjaku adalah orang kulit hitam dan Latin. Aku sendiri keturunan penduduk asli Amerika dan kulitku cukup gelap untuk seorang bocah kota blasteran Indian. Satu-satunya yang 100% putih di restoran tempat aku bekerja adalah susu kocok vanila sialan itu.

    Kadang kala, aku merasa bersalah karena aku berhasil menyabet pekerjaan ini. Barangkali ada seorang ibu atau ayah lain yang membutuhkannya. Tapi orang tuaku pun bukanlah milarder. Ibuku, perempuan Indian asli, bekerja sebagai Penasihat Akademik di Universitas Washington, dan punya penghasilan yang layak, tapi ayahku, lelaki kulit putih, di-PHK dari Boeing dua tahun lalu dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Cepat atau lambat, ia mungkin akan membuat kentang goreng bersamaku.

    Aku menabung upahku untuk biaya kuliah. Aku mengacaukan dua tahun pertama sekolah menengahku seperti kebanyakan anak Indian lain sehingga nilai-nilaiku remuk. Tapi Seattle punya beberapa kampus lokal yang keren. Aku bisa memperbaiki nilaiku di sana dan meneruskan pendidikan lebih tinggi ke universitas yang dekat dengan rumah.

    Sekarang memang masa-masa sulit, dan barangkali aku tidak seputus asa seperti kebanyakan orang lain, tapi aku cukup putus asa sampai-sampai membutuhkan pekerjaan ini.

    Ada seorang lelaki kulit putih tua yang bekerja di sini. Gerak-geriknya lambat sehingga ia dianggap tak mampu menggunakan peralatan apa pun. Ia hanya bertugas menyapa orang di pintu depan serta merapikan dan membersihkan meja.

    Tapi pikirannya tajam bukan main. Aku selalu suka apa yang ia katakan. Kami menghabiskan waktu istirahat bersama-sama. Kami mengenakan jaket untuk menutupi seragam kemeja polo McDonald, berjalan satu blok, melangkah ke lorong, dan merokok sepuasnya.

    Istrinya meninggal sepuluh tahun lalu.

    “Menua bersama, suami tidak semestinya hidup lebih lama dari istri,” ujarnya. “Istriku seharusnya menjadi janda, duduk berkerumun dengan janda tua lain sembari mengejek mendiang suami mereka.”

    Tapi lelaki tua itu punya pacar. Beberapa pacar, lebih tepatnya.

    “Saat kau hidup sendirian di sebuah rumah tua,” ucapnya, “Kau mesti menghabiskan banyak waktu dengan berdansa bersama perempuan yang berbeda.”

    “Jadi kakek tua seperti dirimu menyebutnya berdansa?” sahutku. “Kurasa kau lelaki hidung belang paling tua sedunia.”

    Setelah beberapa bulan menjalin persahabatan via merokok bersama, ia memintaku memanggilnya dengan sebutan Datuk, dengan huruf kapital D.

    “Bukankah begitu cara orang Indian menyebut tetua terhormat?” tanyanya. “Bukan eyang atau embah atau aki atau opa. Datuk bisa jadi gelar bangsawan bagiku.”

    Keempat kakek-nenekku, dua Indian dan dua kulit putih, meninggal sebelum aku lahir, jadi bisa dibilang aku tidak memiliki tetua menurut tradisi. Aku memerlukan seorang datuk. Aku lapar figur datuk.

    “Datuk,” kataku. “Sudah waktunya kembali bekerja.”

    Ia tersenyum lebar, lebih dari biasanya. Ia menyukai rasa hormat. Aku suka menghormatinya. Di negara yang mengenaskan ini, rasa hormat adalah satu-satunya hal yang bisa diberikan oleh orang kebanyakan semacam kami.

    ***

    Masyarakat Terhormat

    Pagi hari setelah pesta, aku mengumpulkan kaleng bir—kosong, setengah kosong, atau tiga perempat penuh—lalu menuangkan sisa bir ke bak cuci, meremas kaleng sampai gepeng, dan melemparkannya ke bak belakang truk nenekku.

    Nenekku meninggal tiga tahun lalu tapi truk itu tetaplah miliknya. Aku hanya meminjam dari arwahnya. Odometer truk itu menunjukkan angka lebih dari tiga ratus ribu mil tapi aku tetap bisa membuatnya berjalan dengan berbagai pergantian suku cadang, macam-macam doa, dan lagu drum-tangan.

    Way-ya-hey-ya, hidup, hiduplah mesin! Way-ya-hey-ya, jangan patahkan hatiku!

    Saat bak belakang truk terisi penuh, aku menutupinya dengan selembar kain agar kaleng-kaleng yang telah terkumpul itu tidak berhamburan, dan kemudian aku pergi dari kawasan reservasi ke Spokane, Washington.

    Aku berusia tujuh belas tahun tapi tidak punya SIM atau bahkan kartu-belajar mengemudi. Keluargaku miskin dan kami tidak mampu membayar kursus mengemudi formal. Dan aku tidak bisa mengikuti tes mengemudi jika belum lulus kursus mengemudi. Tapi aku tidak perlu persetujuan resmi untuk bisa mengemudi dengan aman. Aku mematuhi batas kecepatan, teratur mengecek kaca spion, dan meletakkan kedua tangan tetap di kemudi.

    Way-ya-hey-hey, jalan, jalanlah, truk kecil, cepat melaju dengan mulus dan mujur, way-ya-hey-hey.

    Begitu tiba di Spokane, aku meluncur ke pusat daur ulang dekat bekas bangunan East Sprague Drive-In dan menjual kaleng-kaleng aluminium itu dengan harga lima puluh lima sen per pon. Aku sudah berhitung:

    1. Aku perlu menjual 818 pon untuk menghasilkan $450.
    2. Aku perlu $450 untuk membayar bimbingan belajar SAT yang menjamin bisa menaikkan nilai tesku sebesar 20%.
    3. Dalam kompetisi untuk meraih beasiswa dan masuk ke perguruan tinggi unggulan, skor SAT yang bagus adalah kunci.

    Orang tuaku hidup dari jaminan sosial pemerintah dan dana amal suku. Pekerjaan penuh-waktu mereka adalah bersedih. Tak satu pun dari mereka lulus SMA dan mereka belum pernah tinggal di mana pun kecuali dalam kawasan reservasi. Namun, saat sadar ataupun mabuk, mereka selalu memainkan drum-tangan serta menyanyikan lagu-lagu purba dan baru:

    Way-yay-hey-hey, aku tak bisa menang atau kalah, aku punya blues res-res-reservasi, Ya-ya-hey-hey.

    Mereka mengajariku menyanyi dan menepuk drum. Dan meskipun aku tak percaya pada Tuhan, aku percaya lagu yang indah kurang lebih adalah Tuhan. Jadi begitulah, aku bernyanyi dan bernyanyi dengan ibu dan ayahku. Aku bernyanyi bersama seluruh suku.

    Dan aku berkeliling di kawasan reservasi, menyetir mobil atau hanya berjalan kaki, untuk mengumpulkan kaleng aluminium. Pon demi pon, dolar demi dolar, aku mesti mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, menjawab pertanyaan paling penting dalam hidupku:

    Lengkapilah kalimat berikut: Ketika bocah Indian miskin danmemutuskan ia haruskawasan reservasi, ia merasa

    1. depresi berat … melarikan diri dari … seperti sedang berusaha menyelamatkan hidupnya
    2. setia … tetap tinggal di … ia tidak punya pilihan lain
    3. sangat cerdas … menolong … pendidikan tinggi mutlak diraih
    4. berbakti … meninggalkan orang tuanya di … seperti pengkhianat
    5. ambisius … melihat dunia di luar … amat riang dan gamang

    Saat aku menempuh ujian SAT itu, aku akan bernyanyi, hanya dalam imajinasi tentu saja, karena aku tak bisa membawa drum sungguhan. Aku akan bernyanyi untuk mengikis rasa takut. Aku akan bernyanyi tentang kehidupan yang gila ini:

    Ya-ya-hey-hey, kau tak bisa pergi dan kau tak bisa tinggal, way-ya-hey-hey.

    Ya-ya-hey-hey, kau punya terlalu banyak pertanyaan setiap hari, way-ya-hey-hey.

    Ya-ya-hey-hey. Mestikah kau membenci? Atau mestikah kau mencintai? Way-ya-hey-hey.

    Ya-ya-hey-hey. Jawabannya adalah Semua Benar. Way-ya-hey-hey.

    ***

    Selamat Berpisah

    Setiap hari selama tiga tahun, setelah latihan sepak bola sepulang sekolah, John dan aku berjalan ke toko kelontong di kota kecil kami dan membeli permen, keripik kentang, serta minuman soda. Sebuah ritual bersama. Kami menyapa pasangan tua pemilik toko, berjalan menghampiri lemari pendingin, mengambil minuman soda, membayar minuman dan makanan ringan lainnya, lantas berlalu entah menuju rumahku atau rumah John, tergantung pada apa yang akan dimasak oleh orang tua kami sebagai menu makan malam.

    Kehidupan normal dari dua anak yang normal pula.

    Namun, suatu hari, pada bulan November di tahun terakhir sekolah, John dan aku, seperti biasa, menghampiri lemari pendingin di toko kelontong itu dan meraih kaleng minuman soda favorit kami. Tapi sejenak kemudian kami saling memandang, kami memikirkan gagasan yang sama. Aku tak tahu mengapa itu terjadi. Tanpa bicara sepatah kata pun, John dan aku mengambil tiga pak minuman soda dan memasukkannya ke dalam tas tebal kami. Menyembunyikan hasil curian itu, kami membayar makanan ringan yang biasa kami beli, berjalan ke rumah John, berlomba masuk ke kamarnya dan merayakan sukses hari itu. Kami sikat habis semua minuman soda itu sampai kami mabuk gula dan kafein. Kami bisa saja mencuri bir, tapi kami adalah atlet. Dan olahragawan tidak boleh teler di sekolah.

    Pagi berikutnya, kami bertemu sebelum jam sekolah, dan bersumpah tak akan melakukannya lagi. Sekali mungkin kenakalan semata, tapi lebih dari sekali jelas tindak kriminal.

    Tapi selepas latihan malam itu, kami melakukannya lagi. Lantas kembali melakukannya pada hari berikutnya. Kami mengutil selama seminggu penuh.

    Sensasi dan rasa bersalah bertambah besar setiap waktu.

    Kami bergurau dan tertawa bersama pasangan tua pemilik toko. Kami membayar lima dolar untuk makanan ringan, sementara kami mencuri barang lain seharga dua puluh dolar.

    Kemudian aku tak bisa melakukannya lagi.

    “John,” kataku. “Kita harus berhenti. Kita akan tertangkap. Mereka akan mengusir kita dari tim. Mereka bisa saja mengeluarkan kita dari sekolah.”

    “Sekali lagi saja,” sahutnya. “Ayolah, Pete. Mereka terlalu tua untuk menangkap kita.”

    “Aku tak bisa melakukannya, kawan.”

    “Ah, kau pengecut.”

    Aku berjalan pulang sendirian sementara John pergi menuju toko. Kupikir ia akan mengirim sms atau menelepon setelah ia meninggalkan toko. Aku tak mendengar kabar apa pun darinya.

    Saat aku tiba di sekolah keesokan paginya, aku langsung mendengar kabar buruk itu. John tepergok mengutil. Aku tahu mereka curiga bahwa aku pun terlibat. John dan aku selalu pergi ke mana-mana bersama.

    Waktu istirahat pertama, aku dipanggil menghadap kepala sekolah. Ia ada di ruangannya bersama pengawas sekolah, penasihat sekolah, dan pelatih sepak bola. Mirip situasi interogasi.

    “Peter,” kata kepala sekolah. “Aku yakin kau tahu mengapa kau dipanggil kemari.”

    “Karena John,” kataku.

    “Ya,” katanya. “Apa kau tahu apa yang ia lakukan? Apa kau terlibat?”

    Aku ingin bicara yang sebenarnya. Aku tahu aku harus mengaku. Tapi rasanya aku akan menghancurkan hidupku kalau mengakui kejahatan itu. Aku bertanya-tanya apakah John sudah mengatakan kepada mereka bahwa aku pun telah mencuri hampir sesering yang ia lakukan. Apakah ia melakukan hal yang benar?

    “Pete,” kepala sekolah kembali bertanya. “Apa kau terlibat?”

    “Tidak, Pak,” jawabku.

    Mereka semua mengamati wajahku. Mereka tahu aku berdusta. Mereka tidak akan membiarkanku lolos begitu saja.

    “Baiklah, Pete,” kata kepala sekolah. “John telah memberi tahu kami bahwa ia melakukannya sendirian.”

    Aku tahu mereka pun tidak percaya padanya. Tapi tak ada yang bisa mereka perbuat. Aku tidak mengaku dan John telah menyangkal keterlibatanku. Ia diusir dari tim sepak bola, dijatuhi hukuman pelayanan masyarakat dengan memungut sampah di sekitar kota, dan diskors dari sekolah selama sebulan.

    Selama bulan itu, kami tak pernah berjumpa. Kami tak menelepon atau mengirim pesan. Kami telah melakukan berbagai hal bersama selama bertahun-tahun tapi keadaan telah berubah. Aku tak tahu mengapa ia tidak menghubungiku. Tapi aku pun terlalu malu untuk bicara dengannya. Aku membiarkannya menanggung semua hukuman. Aku masih terus bermain sepak bola. Aku tak perlu menyerok tahi anjing sementara teman-teman sekelas menonton. Aku tidak diskors. Dan reputasiku tidak hancur. Aku tidak dicap sebagai anak baik yang berubah nakal. Bahkan, beberapa orang menganggap John telah mengkhianatiku dengan kejahatan mengutil itu dan hampir saja membuatku terseret masalah.

    Sewaktu John kembali ke sekolah, ia tak menatapku. Dan aku tak memandangnya pula. Keheningan ini berlangsung sepanjang sisa tahun itu. Kami mengabaikan satu sama lain pada upacara wisuda. Orang tua kami pun saling menjauh.

    Larut malam itu, di sebuah pesta di tepi sungai, kami berdiri di sekitar api unggun yang berbeda. Aku tak minum apa pun. Tapi ia benar-benar mabuk. Aku sungguh-sungguh mengkhawatirkannya. Ia memergokiku menatapnya. Ia melemparkan birnya ke dalam api dan melangkah terhuyung-huyung ke arahku.

    Ia menarik kemejaku dan mengguncang tubuhku.

    “Kau tidak seperti yang kupikirkan,” katanya.

    “Kau pun tidak,” kataku.

    Diterjemahkan dari cerpen Sherman Alexie yang berjudul Three Short Stories, disiarkan pada 19 November 2016 di laman The Rumpus

    Sherman Alexie adalah penyair, penulis cerita pendek, novelis, dan pembuat film terkenal. Seorang Indian Spokane/Coeur d’Alene, ia dibesarkan di Wellpinit, Washington, di Kawasan Reservasi Indian Spokane. Ia telah menerbitkan 25 buku, antara lain The Business of Fancydancing: Stories and Poems (1992), The Lone Ranger and Tonto Fistfight in Heaven (1993), Reservation Blues (1995), One Stick Song (2000), The Absolutely True Diary of a Part-Time Indian (2007), War Dance (2010), dan Blasphemy: New and Selected Stories (2012).  Smoke Signals, film yang ditulisnya dan diproduksi bersama Chris Eyre, memenangkan Audience Award dan Filmmakers Trophy di Sundance Film Festival 1998. Penghargaan sastra yang pernah diraihnya antara lain PEN/Faulkner Award, PEN/Malamud Award, PEN/Hemingway Award, National Book Award, dan National Endowment for the Arts.

  • Terpejam [Etgar Keret]

    author = Titis Anggalih

    Aku kenal seseorang yang kerjanya melulu
    berkhayal. Maksudku, bahkan orang ini berkendara menyusuri jalan sambil terpejam. Suatu hari, aku duduk di
    kursi sebelah kemudi dalam mobilnya, dan ketika menoleh ke kiri, aku melihat kedua tangannya memegang
    stir dan matanya
    terpejam. Sungguh, ia mengemudi macam itu di jalan raya.

    “Haggai,” kataku, “itu bukan ide bagus.
    Haggai, buka matamu.” Namun, ia tetap memejam, bagai segala sesuatu baik-baik saja.

    “Kau tahu aku lagi di mana?”
    tanyanya padaku.

    “Bukalah matamu,” kubilang lagi. “Come on, bikin takut saja.” Ajaib betul,
    kami tidak nabrak apa pun.

    Orang ini mengkhayalkan keluarga orang lain
    laiknya mereka adalah keluarganya. Tentang mobil mereka, tentang pekerjaan
    mereka. Apa pun pekerjaan mereka. Tentang istrinya. Mengkhayalkan wanita lain
    sebagai istrinya. Juga anak-anak, tak luput, yang pernah ia temui di jalan atau
    di taman, atau yang pernah ia tonton pada suatu serial televisi, berimajinasi seolah mereka itu
    keluarga bahkan anaknya sendiri. Habis berjam-jam dilewati demikian rupa.
    Maunya, sepanjang hidup dihabiskan seperti itu.

    “Haggai,” kubilang,
    “bangunlah. Sadar pada kenyataan
    hidupmu. Kau itu punya keluarga yang mengagumkan. Istri
    menawan. Anak-anak yang hebat. Bangunlah.”

    “Hentikan,” jawabnya dari benaman
    kursi kemudi, “jangan mengisruh. Kau tahu, aku lagi bersama siapa? Yotam
    Ratsabi, kawan lamaku di angkatan darat. Di tengah wisata jeep bareng Yotam
    Ratsabi. Cuma aku, Yoti, dan bocah Eviatar Mendelssohn. Dialah si bocah cerdik
    dari TK Amit. Dan Eviatar, si setan kecil, bilang padaku, ‘Ayah, aku haus.
    Minta bir boleh?’ Bayangkan. Bocah ini belum juga tujuh tahun. Maka kukatakan,
    ‘Jangan bir, Evi. Tahu, kan, Ibu
    bilang itu enggak boleh.’ Ibunya,
    mantan istriku, maksudku. Rona Yedidia dari zamanku SMA. Cantik bak model, tapi tandas,
    setandas paku.”

    “Haggai,” kataku, “bocah itu
    bukan anakmu dan wanita itu bukan istrimu. Kau tak bercerai, Bung, pernikahanmu
    membahagiakan. Buka matamu.”

    “Tiap si bocah kuantar pulang padanya,
    aku jadi ngaceng,” katanya,
    seperti tidak mendengarkanku. “Ngaceng
    besar macam tiang kapal. Cantik, mantanku itu, cantik tapi tandas. Dan
    ketandasannya itulah yang bikin ngaceng.”

    “Wanita itu bukan mantanmu,”
    kubilang, “dan kau tidak sedang ngaceng.”
    Aku sadar yang kukatakan. Dia memakai celana pendek dan jarak kami satu meter.
    Mana ada ngaceng di situ.

    “Kami mesti pisah,” katanya,
    “aku benci bersamanya. Dan dia benci bersama dirinya sendiri.”

    “Haggai,” kuakui, “nama
    istrimu Carnie. Dan memang, ia cantik. Dan tidak tandas. Tidak padamu.”
    Istrinya begitu halus. Jiwanya lemah lembut serupa burung dan berhati lapang;
    peduli pada semua orang. Kami telah jalan bersama sejak sembilan bulan. Haggai
    berangkat kerja lebih awal, jadi aku menemuinya pukul setengah sembilan. Persis
    sehabis mengantar anak-anak ke TK.

    “Aku dan Rona bertemu saat SMA,”
    Haggai melanjutkan. “Ia cinta pertamaku dan aku cinta pertamanya. Setelah
    cerai, aku sering ngeseks tapi bahkan
    tak ada barang seorang yang menyamainya. Dan kau tahulah, setidaknya dari
    kejauhan, ia masih tampak sendirian. Kalau ternyata dia sudah menemukan
    seseorang, itu bakal meremukkanku meski kami sudah cerai atau apalah.
    Meremukkan berkeping-keping. Tak bakal bisa kuterima. Para wanita lain tidak
    ada artinya. Ia seorang. Satu-satunya selama ini.”

    “Haggai,” kukatakan,
    “namanya Carnie dan tidak ada yang lagi jalan bersamanya. Kalian masih
    menikah.”

    “Tak ada yang lagi bersama Rona
    juga,” katanya, lalu menjilat bibirnya yang kering, “tidak ada. Aku bisa bunuh diri
    kalau ada.”

    Kini Carnie datang ke apartemen,
    menyangking tas AMPM. Ber-‘hai’  datar ke
    arahku. Sejak aku dan Carnie bersama, dirinya berusaha lebih menjaga jarak
    kalau ada orang di sekitar kami. Bahkan ia tidak bilang ‘hai’ pada Haggai; tahu
    dia bahwa tak ada guna bicara pada Haggai kalau matanya sedang merem.

    “Kediamanku,” kata Haggai,
    “persis di tengah Tel Aviv. Eloknya, dengan pohon murbai tepat di bagian
    luar jendela. Tapi kecil, sih, kelewat kecil. Perlu kamar lagi. Di akhir pekan,
    kalau ada anak-anak, aku harus mengosongkan sofa di ruang tamu. Repot belaka.
    Kalau sampai musim panas tak dapat solusi, aku mau pindah saja.**

    Diterjemahkan dari Bahasa Ibrani oleh Miriam Shlesinger (kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh saya. Secara sekadarnya, tentu saja. Boleh suka; tidakpun tak apa).

  • Tajima [Miss Mitford]

    author = Ayu Welirang

    Suatu hari, seorang ronin, Tajima Shume namanya—pria yang bisa apa saja dan suka membaca—sedang berpetualang untuk melihat dunia luas, pergi ke Kyoto lewat jalur Tokaido. [Jalur tersebut dikenali juga sebagai jalur sepanjang Laut Timur, jalan raya paling terkenal yang menghubungkan Kyoto dan Edo. Namanya juga berasal dari provinsi yang dilalui sepanjang jalur itu.] Suatu hari, di lingkungan Nagoya, provinsi Owari, ia senang dengan seorang pendeta pengembara—yang mana Tajima memulai percakapan dengannya. Kala menemukan bahwa keduanya menuju tempat yang sama, keduanya setuju untuk bepergian bersama, coba melupakan rasa lelah dengan membicarakan macam-macam hal; dan karena hal itu, saat mereka menjadi lebih dekat, mereka mulai mengobrol tentang hal pribadi tanpa kendali; dan sang pendeta, percaya sepenuhnya dengan wibawa teman perjalanannya itu, hingga ia memberi tahu objek dari perjalanannya.

    “Belum lama ini,” ujarnya, “Aku sudah memupuk harapan sampai-sampai terpatri dalam pikiran; di mana aku bertekad untuk membangun arca dalam rangka menghormati Buddha; dan dengan tujuan ini, aku telah mengembara ke berbagai provinsi untuk mencari sedekah, dan (siapa pula yang peduli seberapa keras kerjaku?) kami berhasil mengumpulkan dua ratus ons perak, cukup rasanya—aku percaya—untuk membangun figur perunggu yang indah.”

    Lalu, tahukah kau apa kata pepatah? “Ia yang membawa permata di dadanya, menanggung racun.” Si ronin kesulitan mendengar pepatah sang pendeta, sebab keinginan jahat muncul dalam dirinya, dan ia pun berpikir, “Kehidupan manusia, sejak dari rahim hingga ke dalam kubur, hanya berisi kebaikan dan nasib buruk. Dan inilah aku, hampir empat puluh tahun, hanya mengembara, tanpa tujuan atau bahkan harapan untuk lebih berkembang di dunia ini. Yang pasti, walau agak memalukan; jika aku bisa mencuri uang yang pendeta itu bangga-banggakan, maka keseharianku pasti akan baik-baik saja;” maka si ronin mulai menuangkan sebaik apa ia bisa menjalankan rencananya. Namun, sang pendeta tidak berusaha menebak-nebak isi pikiran kawan perjalanannya, ia hanya melanjutkan perjalanan dengan riang sampai mencapai Kuana. Di sini adalah permulaan lautan, dilintasi kapal-kapal feri, yang berangkat segera ketika 20 hingga 30 penumpang telah terkumpul; dan di salah satu kapal tersebut, dua pengembara itu menumpang. Baru setengah perjalanan, sang pendeta tiba-tiba ingin pergi ke sisi geladak; dan si ronin mengikutinya, lalu menjegal sang pendeta ketika tak satu orang pun melihat, dan melemparnya ke laut lepas. Ketika para awak kapal dan penumpang mendengar suara cebur, dan melihat pendeta tengah bergelut dengan ombak, mereka semua takut hingga berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan pendeta; tetapi angin tengah bersahabat, dan kapal itu tetap bergerak cepat di bawah gembungnya layar; jadi mereka cepat menjauh dari pendeta yang perlahan tenggelam bahkan sebelum kapal itu dapat berbalik arah.

    Ketika melihat hal itu, si ronin pura-pura sedih dan kecewa, lalu berkata pada penumpang lainnya, “Pendeta yang baru saja tewas itu adalah sepupuku. Dia akan ke Kyoto, mengunjungi kuil pelindungnya; dan karena saya juga sedang ada keperluan di sana, kami memutuskan untuk pergi bersama-sama. Dan, oh malangnya! Karena kemalangan ini, sepupu saya telah tiada, dan saya pun tinggal sendirian.”

    Si ronin bicara dengan sangat meyakinkan, sampai menangis sesenggukan, sehingga para penumpang percaya akan ceritanya, dan mengasihani bahkan menghiburnya. Lalu, si ronin pun berkata pada awak kapal:

    “Kita semua—memang sudah haknya—harus melaporkan masalah ini pada yang berwenang; tetapi karena urusan mendesak, dan kejadian tadi juga mungkin membawa masalah pada kalian semua, sebaiknya kita tutup mulut dulu untuk saat ini; Saya akan langsung ke Kyoto dan menghubungi wali sepupu saya, juga menulis surat ke keluarga tentang kejadian tadi. Bagaimana menurut Anda semua, tuan-tuan?” tambahnya sambil beralih pada para penumpang lain.

    Mereka, tentu saja sangat senang jika bisa menghindari gangguan apapun dalam perjalanan mereka, dan secara serentak menyetujui apa yang disarankan si ronin; dan masalah itu pun selesai. Ketika, pada akhirnya, mereka mencapai pantai, mereka pun meninggalkan kapal—pergi ke masing-masing tujuan mereka—tetapi si ronin, yang terlalu gembira, mengambil barang bawaan sang pendeta, dan melanjutkan perjalanan ke Kyoto.

    Sesampainya di ibukota, si ronin mengubah namanya dari Shume ke Tokubei dan menyerahkan posisinya sebagai seorang samurai, menjadi pedagang, dan memulai jual-beli dengan uang pendeta yang telah mati itu. Keberuntungan mengikuti berbagai investasinya, hingga ia mulai mengumpulkan kekayaan besar, dan hidup dengan tenang, menyangkal apa pun yang pernah terjadi, dan seiring waktu ia memperistri seseorang, yang melahirkan anak untuknya.

    Hari dan bulan berlalu, sampai pada suatu malam di musim panas yang indah, sekitar tiga tahun setelah tewasnya pendeta, Tokubei melangkah keluar ke beranda rumahnya untuk menikmati udara sejuk dan keindahan cahaya bulan. Merasa bosan dan kesepian, ia merenungkan segala hal, ketika tiba-tiba saja pembunuhan dan pencurian yang dilakukannya dulu sekali, dengan jelas timbul di pikirannya, dan ia pun berpikir dalam hati, “Di sinilah aku, menjadi kaya dan gemuk berkat uang yang kucuri. Sejak itu, segala hal berjalan mudah bagiku; tapi, jika saja dulu aku tidak miskin, tentu aku tidak akan berubah jadi pembunuh atau pencuri! Celakalah aku! Oh, malangnya!” dan ketika ia terus mengingat itu, rasa bersalah menghampirinya, terlepas dari semua hal yang dapat ia lakukan. Sementara hati nurani menyiksanya, tiba-tiba, secara mencengangkan, samar-samar terlihat seorang pria berdiri dekat pohon cemara di taman. Saat ia perhatikan lebih jelas, ia merasa tubuh lelaki itu kurus dan tak bertenaga, matanya cekung dan tak bercahaya, dan ia mengenali hantu yang menyedihkan di hadapannya itu adalah pendeta yang dilemparnya ke laut Kuana. Merasa ngeri dan ketakutan, ia coba memastikan lagi, dan mendapati si hantu pendeta tersenyum menatapnya penuh cemooh. Dia baru saja akan melarikan diri ke dalam rumah, tapi si hantu merentangkan lengannya yang kurus, dan sambil mencengkram belakang leher Tokubei, si hantu memandang penuh amarah dan dendam. Air mukanya tampak kejam dan mengerikan, sampai-sampai orang biasa mungkin akan pingsan karena ketakutan. Namun, Tokubei—yang mana adalah pedagang, dan pernah menjadi tentara—tidak tertandingi karena keberaniannya; mengusir hantu itu dan melompat ke dalam ruangan untuk mengambil belati, mengacungkannya dengan berani, tetapi saat menyerang, si hantu tentu saja menghilang entah kemana, menghindari serangan Tokubei, dan tiba-tiba muncul kembali hanya untuk menghilang lagi; dan sejak saat itulah Tokubei tak kenal istirahat, dihantui siang dan malam.

    Akhirnya, terlepas dari kekesalan yang tak henti-hentinya, Tokubei jatuh sakit, dan terus bergumam, “Oh, kesengsaraan! Penderitaan! Pendeta pengembara itu datang untuk menyiksaku!” Mendengar rintihan dan keributan yang ia buat, orang-orang di rumahnya menganggap dirinya gila, dan memanggil seorang dokter yang memberikan resep padanya. Namun, pil atau ramuan apa pun tak mampu menyembuhkan Tokubei—yang kegilaan ganjilnya segera menjadi bahan gunjingan seluruh lingkungan.

    Saat ini, kebetulan cerita itu sampai ke telinga seorang pendeta pengembara yang sedang berada di sekitar kawasan Tokubei. Ketika dia mendengar hal ihwal mantan samurai, pendeta itu menggoyangkan kepalanya dengan serius, seolah-olah dia paham duduk perkaranya, lantas  mengirim seorang teman ke rumah Tokubei untuk mengatakan bahwa seorang pendeta yang mengembara dan bertahan dalam kerasnya hidup, telah mendengar tentang penyakitnya, dan jika ia sedang dalam kondisi terbaik, akan berusaha untuk menyembuhkan Tokubei melalui doa-doanya; dan istri Tokubei, setengah tak waras karena penyakit suaminya, segera memanfaatkan kesempatan untuk memanggil sang pendeta dan membawanya ke kamar suaminya yang sakit.

    Namun tak berapa lama setelah Tokubei melihat pendeta itu, ia histeris berteriak, “Tolong! Tolong! Ini adalah pendeta yang datang untuk menyiksaku lagi. Ampuni aku! Ampun!” Tokubei menyembunyikan kepalanya di balik selimut dan berbaring gemetaran. Sang pendeta meminta semua keluar ruangan, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga pria yang ketakutan, dan berbisik:

    “Tiga tahun lalu, di feri Kuana, kau lempar aku ke dalam air dan kau ingat itu.”

    Namun, Tokubei tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa gemetar ketakutan.

    “Untunglah,” lanjut imam itu, “aku belajar berenang dan menyelam saat kecil dulu, jadi aku bisa mencapai pantai, dan setelah berkelana di banyak provinsi, lalu berhasil membuat patung perunggu untuk Buddha, sehingga berhasil memenuhi keinginan hati. Dalam perjalanan pulang, aku menginap di dekat sini, dan mendengar penyakitmu yang luar biasa. Kupikir, aku tahu apa sebabnya hingga datang menemuimu, dan aku senang mengetahui bahwa dugaanku tepat. Kau telah melakukan tindak kejahatan; tetapi bukankah aku ini pendeta? Aku telah meninggalkan segala hal duniawi, dan tidakkah menyakitkan jika aku memikul dendam? Maka bertobatlah dan tinggalkan semua perbuatan jahatmu. Jika aku melihat kau melakukannya, maka aku sangat takzim dan berbahagia. Maka bersoraklah sekarang dan lihat wajahku! Kau akan menyadari bahwa aku benar-benar manusia, bukan sosok hantu pendendam yang datang untuk menyiksamu!”

    Sadar bahwa dirinya bukan menghadapi hantu, dan diliputi oleh kebaikan hati sang pendeta, Tokubei menangis, lalu menjawab, “Oh, sungguh aku tak tahu harus berkata apa. Dalam sekelebat kegilaan, aku tergoda untuk membunuh dan merampokmu. Dewi fortuna memang berada di pihakku selama ini, tapi semakin kekayaanku bertambah, semakin aku merasakan sisi jahatku, dan aku pun semakin membayangkan pembalasan korban-korbanku suatu hari nanti pasti akan terjadi. Dihantui oleh pikiran ini, aku pun kehilangan keberanian, sampai suatu malam aku melihat sosok hantu sepertimu, dan sejak saat itu pula aku jatuh sakit. Tetapi bagaimana kau berhasil melarikan diri, dan masih hidup, lebih dari yang aku bisa mengerti.”

    “Seorang pria yang bersalah,” kata pendeta itu sambil tersenyum, “pasti akan bergidik mendengar gemerisik angin atau sekadar mendengar burung bangau mematuk; hati nurani seorang pembunuh bisa memangsa pikirannya sampai-sampai ia melihat apa yang tidak nyata. Kemiskinan memang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan yang disesalinya setelah menjadi kaya. Doktrin Moshi [Mencius] memang benar, bahwa hati manusia, murni sejak lahir, tetapi rusak oleh keadaan!”

    Jadi, ia pun bertahan, dan Tokubei yang sudah lama bertobat dari kejahatannya, memohon ampunan, serta memberinya sejumlah uang sambil berkata, “Setengah dari ini adalah jumlah yang saya curi darimu tiga tahun lalu. Separuh lainnya kumohon agar kau terima sebagai bunga, atau sebagai hadiah.”

    Awalnya, sang pendeta menolak uang itu, tapi Tokubei bersikeras agar sang pendeta menerimanya, dan melakukan semua yang dia bisa untuk menahan pendeta pengembara itu. Namun, ia sia-sia karena sang pendeta melanjutkan perjalanannya, dan memberikan uang kepada orang miskin, serta yang membutuhkan. Ada pun Tokubei sendiri, perlahan menyingkirkan kondisinya yang kacau, dan sejak saat itu hidup damai dengan semua orang. Ia dihormati di rumah dan di luar negeri, serta selalu berniat melakukan perbuatan baik dan amal.

    Diterjemahkan dari TAJIMA oleh Miss Mitford (Orient Anthology)

  • Solidaritas [Italo Calvino]

    author = Ifan Afiansa

    Aku berhenti untuk mengawasi mereka.

    Mereka sedang bekerja pada malam hari, di jalan kecil, mengotak-atik rolling door sebuah toko.

    Rolling door itu tampak berat, mereka menggunakan linggis untuk mencungkil, namun tetap saja tidak bergeser.

    Aku berjalan mengitari, tidak ke mana pun, semauku. Aku meraih linggis untuk memberi mereka bantuan. Mereka memberikan ruang padaku.

    Kami tidak bisa menariknya bersama-sama. Kukatakan, “Hey, ayo angkat!” Salah satu yang berada di siku kananku berucap perlahan, “Diamlah! Apa kau gila? Kau ingin mereka mendengar kita?”

    Aku menganggukkan kepala untuk berkata tadi hanya keceplosan.

    Setelah cukup lama sampai kami berkeringat, akhirnya kami berhasil mencungkilnya hingga cukup tinggi untuk dilewati. Kami melihat satu sama lain, girang. Lalu kami masuk ke dalam. Aku diberi karung. Mereka membawa peralatan lainnya ke dalam.

    “Selama polisi kurang ajar itu tidak muncul!” kata mereka.

    “Benar,” kataku. “Mereka kurang ajar!”.

    “Diamlah! Dapatkah kau dengar suara langkah kaki?” kata mereka setelah beberapa menit. Aku berusaha mendengarkan, sedikit gentar. “Tidak, tidak! Itu bukan mereka!” kataku.

    “Orang-orang itu selalu datang saat kau tak mengharapkannya,” kata salah satu dari mereka.

    Aku menganggukkan kepala. “Bunuh mereka semua, begitulah,” jawabku.

    Lalu mereka menyuruhku untuk keluar sebentar, sejauh sudut jalan, untuk memastikan ada yang akan datang. Aku melakukannya.

    Di luar, di sudut jalan, ada sekumpulan orang di balik dinding, bersembunyi di jalan masuk, berjalan ke arahku.

    Aku bergabung.

    “Suara berisik itu dari bawah sana, dekat toko situ,” kata seorang di sebelahku.

    Aku menatap ke arah yang dimaksud.

    “Turunkan kepalamu, bodoh! Mereka akan melihat kita dan kabur lagi,” bisiknya.

    “Aku hanya melihat-lihat,” aku menjelaskan, dan membungkuk di dekat dinding.

    “Jika kita bisa berkitar ke sekeliling tanpa mereka sadari,” lainnya berkata, “Kita akan menjebak mereka. Mereka tidak begitu banyak.”

    Kami cepat berpindah, dengan berjinjit, menahan napas: dalam beberapa detik kami bertukar pandang dengan mata benderang.

    “Mereka tak akan kabur,” kataku.

    “Terakhir kali, kita menangkap basah mereka,” kata seseorang.

    “Hanya soal waktu,” kataku.

    “Bajingan kotor, merusak toko seperti itu,” kata seorang lainnya.

    “Dasar bajingan! Bajingan!” ulangku, emosi.

    Mereka memintaku sedikit lebih maju di depan, untuk melihat-lihat. Aku berada di bagian belakang toko.

    “Mereka tak akan menangkap kita,” kata salah satu dari mereka yang mengayunkan karung di bahunya.

    “Cepatlah,” kata seorang yang lain. “Ayo keluar lewat belakang! Dengan begitu kita akan kabur tepat sebelum mereka datang.”

    Kami tersenyum penuh kemenangan.

    “Mereka akan pulang dengan hati pedih,” kataku. Kami menyelinap ke belakang toko.

    “Kita membodohi idiot itu lagi!” kata mereka. Namun ada suara berkata, “Stop, siapa di sana?” dan lampu menyala. Mereka meringkuk di balik sesuatu, pucat, saling menggenggam tangan satu lainnya. Mereka memasuki ruang belakang, tidak melihat kami, berbalik mundur. Kami bergegas keluar dan berlari pontang-panting, “Kita berhasil!” kami berteriak. Aku tersandung dua kali dan pergi ke belakang. Aku menemukan diriku dengan orang-orang yang lari setelah mereka.

    “Ayolah,” kata mereka. “Kita dalam pengejaran.”

    Tiap-tiap orang berlari di gang sempit, mengejar mereka. “Lari ke arah sini, cegat lewat sana!” Teriak kami lantang dan mereka sepertinya tidak jauh lagi, lalu kami berteriak, “Ayo ayo, mereka tak bisa kabur lagi!”

    Aku berusaha menangkap satu dari mereka. Dia berkata “Kerja bagus, kau berhasil lolos! Ayo lewat sini, kita akan lolos dari mereka.” Aku mengikutinya. Setelah beberapa lama, aku menemukan diriku berjalan sendiri di sebuah gang. Seseorang berlari di sudut jalan, dan berkata, “Lewat sini! Aku melihat mereka! Mereka tak akan bisa lebih jauh lagi.” Aku berlari mengikutinya sementara.

    Lalu aku berhenti, penuh peluh. Tak ada yang tersisa, aku tak mendengar teriakan apa pun lagi. Aku beranjak dengan tangan di saku dan mulai berjalan, semauku, tak ke mana pun.

     

     

    Cerpen ini terdapat dalam buku kumpulan cerpen Number in the Dark and Other Stories, naskah asli berasal dari bahasa Italia sebelum diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Tim Parks, ditulis oleh Italo Calvino, terbit 1995 oleh Pinguin Classic.

     

    *Lukisan Kathe Kollwitz berjudul Solidarity 1932

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Si Pembohong Paling Ulung Sedunia [Etgar Keret]

    author = Ireisha Anindya

    Lihatlah dia yang berdiri di tengah jalan ketika hujan lebat, mengaku-aku tidak kedinginan kepada semua orang. Suhunya sudah nyaris mencapai titik beku tapi ia bahkan tidak bersin sedikit pun. Butir-butir hujan bergulir di keningnya seperti peluh keringat, dan mulutnya—sungguh, kau harus lihat sendiri: mulutnya benar-benar harus dimasukkan ke dalam fenomena kosmis, sebagai si lubang hitam yang melumat realitas untuk dimuncratkan keluar menjadi sama sekali berbeda. Kini ia berkata sungguh-sungguh bahwa masa depan yang gemilang menunggu anak-anak kita. Lalu entah berapa menit lagi ia akan menjelaskan bahwa Tuhan sungguhan ada, dan menurut-Nya kita ini baik-baik saja. Lantas ia akan duduk di sebuah café kecil, menyeruput teh lemon panas, lalu bersumpah baru minum kopi.

    Ia tak selalu seperti ini. Ketika masih kecil, ia sama sekali tidak bisa berbohong. Bahkan ketika jendela kaca kelasnya pecah, ia mengacungkan tangan dan mengakui bahwa ialah yang melemparkan batu. Akan tetapi, kejujurannya hanya membuatnya tercatat dalam rekam jejak kriminal di bawah usia sebagai pelaku vandalisme properti. Setelah mengarungi jalan panjang berliku dalam hidupnya, ia berbelok, memutar arah sepenuhnya, tak lagi kembali.

    Awalnya ia hanya berbohong pada orang asing, lalu orang-orang yang benar-benar ia sayangi, dan lantas kepada dirinya sendiri. Yang terakhirlah pamungkasnya. Hanya dalam satu menit, genangan kotor yang membuat kaus kakinya basah menjelma menjadi sesuatu yang hangat dan sehalus beludru. Cukup dengan satu kalimat—kekalahannya pun berubah menjadi penyerahan diri, kesepiannya menjadi pilihan, dan ajal yang semakin dekat sesungguhnya adalah tiket masuk surga.

    Ia tak naif. Tak semua orang mengapresiasinya, ia tahu. Akan ada orang-orang fanatik kelewat saklek yang menyanjung-nyanjung kebenaran nan menjemukan ibarat sesuatu yang teramat istimewa, alih-alih hal standar dan membosankan. Apa kau pernah melihat onggokan sampah membual? Atau berudu? Atau mungkin serangga? Tentu tidak. Cuma manusia, makhluk paling mutakhir, yang mampu mengubah dunia melalui kata-kata. Melalui kata-kata mereka bisa menciptakan realitas baru. Mungkin tidak benar-benar realitas, tetapi setidaknya sesuatu. Yang bisa dicengkram erat-erat, yang mungkin akan membuatmu bertahan, tak lantas tenggelam. 

    Sekarang, lihatlah dia beraksi. Di sebelah kanannya, ada istrinya dan kedua anaknya yang dicintai dengan sepenuh hati. Di sebelah kirinya, ada pelayan muda bertubuh langsing yang bercita-cita memperoleh gelar hubungan internasional. Diciumnya si pelayan sambil mengatakan bahwa ini tidak apa-apa pada dirinya sendiri. Lalu ia menjemput si kembar dari taman kanak-kanak dan memberitahu mereka bagaimana ia dan ibu mereka membawa mereka ke dunia ini. Satu menit lagi, ia akan menikmati rokoknya seusai bercinta, lantas ia akan katakan pada si pelayan langsing serta dirinya bahwa ia belum pernah merasakan cinta yang begitu menggetarkan hatinya sebelumnya. Cintanya laksana kekuatan alam, sebagaimana badai, yang akan menarikmu turut serta entah bagaimana, sehingga sia-sia saja dilawan. 

    Dua bulan dari sekarang, ia yang lelah dan terasing bersemayam dalam apartemen sewaannya di Petach Tikva. Di sana ia tak sabar menunggu akhir minggu selanjutnya ketika ia bisa tidur lelap di atas kasur sebelah si kembar. Mimpi-mimpi tidurnya di sana akan dihantui oleh perasaan bersalah. Ia akan bersikeras semua itu terjadi karena ia menyadari siapa dirinya. Karena ia memutuskan untuk menikmati hidup sepenuhnya, bukannya sekadar jenuh menonton di sisi sayap, seakan-akan ini film mancanegara yang diputar di bioskop independen—tontonan si pelayan yang mau tak mau terpaksa ia tonton.

    September nanti dia akan mewakili kami di Kejuaraan Berbohong Sedunia. Menurut komentator, ia nyaris dipastikan akan meraih medali. Mereka bilang, ia begitu ulung dan bila entah bagaimana caranya ia gagal, tak perlu diragukan lagi ia akan meyakinkan dirinya—plus kita semua—kalau dia yang keluar sebagai pemenang. Bagaimanapun, begitulah dirinya: si mental jawara. Pusatkan konsentrasi pada tujuanmu. Jangan segan memantati dan mengentuti kebenaran sekalian. Tak sedikit pun ia pernah menyesal dan kalaupun pernah—mana mungkin akan ia akui sedikit pun?

    Terjemahan dari “The Greatest Liar in The Worldâ€? karya Etgar Keret. Bahasa asal Ibrani, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari terjemahan bahasa Inggris (penerjemah: Jessica Cohen) yang dimuat di Literary Hub.

  • Si Anak Panci, Alyosha [Leo Tolstoy]

    author = Devi Santi Ariani
  • Sesuatu yang Membelit Lehermu [Chimamanda Ngozi Adichie]

    author = A. Nabil Wibisana

    Kau berpikir semua orang di Amerika punya mobil dan pistol; paman dan bibi dan para sepupumu juga berpikir serupa. Segera setelah kau memenangkan lotre visa Amerika, mereka berpesan padamu: Dalam sebulan kau akan punya sebuah mobil bagus. Lalu tak lama kemudian, sebuah rumah besar. Tapi jangan membeli sepucuk pistol seperti orang-orang Amerika itu.

    Mereka berkumpul di satu ruangan di rumah tempat kau tinggal bersama ayah, ibu, dan tiga saudara kandungmu di Lagos. Mereka bersandar pada dinding polos tanpa cat sebab ruangan itu terlalu sempit untuk bisa menampung banyak kursi. Dengan suara lantang mereka mengucapkan selamat jalan padamu dan dengan berbisik-bisik mereka memintamu untuk mengirimkan benda-benda yang mereka inginkan dari Amerika. Dibandingkan rumah dan mobil bagus (dan barangkali pistol), benda-benda yang mereka inginkan remeh belaka—tas tangan, sepatu, parfum, dan pakaian. Kau berkata baiklah, tak masalah.  

    Pamanmu yang selama ini tinggal di Amerika, kerabat yang menuliskan nama semua anggota keluarga besar di lotre visa Amerika itu, berkata bahwa kau boleh tinggal bersamanya sampai kau bisa mandiri. Ia menjemputmu di bandara dan membelikanmu sebuah hotdog besar dengan ekstra mustar kuning yang membuatmu mual. Perkenalan dengan Amerika, ia berkata sambil terkekeh. Ia tinggal di sebuah kota kecil di Maine, di sebuah rumah berusia tiga puluh tahun yang terletak di tepi danau. Ia berujar bahwa perusahaan tempat ia bekerja telah menawarinya beberapa ribu dolar di atas upah rata-rata plus opsi saham karena mereka setengah mati ingin terlihat sebagai perusahaan yang mengusung nilai-nilai kemajemukan. Mereka memasang foto dirinya di setiap brosur, bahkan pada brosur yang tidak berhubungan langsung dengan unit kerjanya. Ia tertawa dan mengaku pekerjaannya baik-baik saja—pekerjaan yang layak dijalani di sebuah kota berpenduduk mayoritas orang kulit putih meskipun istrinya mesti berkendara selama satu jam untuk mencari salon yang sudi melayani orang kulit hitam. Trik untuk memahami Amerika adalah tahu bagaimana memberi-dan-menerima. Kau melepaskan banyak hal, tapi kau memeroleh banyak hal pula.

    Pamanmu mengajari cara melamar pekerjaan sebagai kasir di pom bensin di jalan utama kota dan ia pun mendaftarkanmu di kampus komunitas lokal, tempat kau bertemu gadis-gadis dengan paha padat, kuku yang dicat merah cerah, dan kulit yang sengaja dibiarkan terpapar sinar matahari sehingga tampak berwarna oranye. Mereka bertanya di mana kau belajar bicara bahasa Inggris dan apakah kau benar-benar punya rumah di Afrika dan apakah kau pernah melihat mobil sebelum tiba di Amerika. Mereka membelalak pada rambutmu. Apa rambutmu berdiri atau tergerai saat kau melepaskan kepang itu? Mereka ingin tahu. Semuanya berdiri? Bagaimana? Mengapa? Apa kau pakai sisir? Kau tersenyum kecut mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka. Pamanmu pernah memperingatkan bahwa kau akan menghadapi semua itu: Campuran antara sikap masa bodoh dan angkuh. Lantas ia bercerita para tetangga pernah menyebut bahwa tupai-tupai menghilang beberapa bulan setelah ia pindah ke rumahnya. Mereka mendengar bahwa orang-orang Afrika makan segala jenis hewan liar. 

    Kau terbahak bersama pamanmu dan merasa nyaman tinggal di rumahnya; istrinya memanggilmu nwane, Saudari, dan dua anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar memanggilmu Bibi. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Igbo dan menyantap garri untuk makan siang. Rasanya seperti di rumah. Sampai pamanmu turun ke rubanah tempat kau tidur bersama kotak-kotak karton usang dan menarikmu dengan kasar ke pelukannya, lalu meremas-remas pantatmu sambil mendesah. Ia sesungguhnya bukan pamanmu; ia sebenarnya adik dari suami bibimu, jadi memang tak ada hubungan darah. Setelah kau mendorongnya, ia duduk di dipanmu—bagaimanapun itu rumahnya—dan tersenyum, lalu berkata bahwa kau bukanlah kanak-kanak lagi di usia dua puluh dua. Jika kau membiarkannya, ia bisa melakukan banyak hal untukmu. Perempuan pintar melakukan itu sepanjang waktu. Bagaimana kau pikir perempuan-perempuan di Lagos itu bisa punya pekerjaan yang mentereng? Bahkan para perempuan di New York?

    Kau mengunci dirimu di kamar mandi sampai ia pergi menaiki tangga. Pagi harinya kau langsung keluar dari rumah itu, melangkah pelan di jalan panjang berangin dan mencium aroma ikan-ikan di danau. Kau melihatnya melintas—ia selalu mengantarmu sampai jalan utama—dan ia tidak membunyikan klakson. Kau penasaran apa yang akan ia sampaikan kepada istrinya jika perempuan itu bertanya mengapa kau pergi. Lantas kau ingat apa yang ia katakan, bahwa Amerika adalah memberi-dan-menerima.

    Kau berakhir di Connecticut, di satu kota kecil lain, sebab kota itu adalah pemberhentian terakhir bus Greyhound yang kautumpangi. Kau melangkah masuk ke restoran dengan kerai yang bersih-cerlang dan berkata kau bersedia bekerja dengan upah dua dolar lebih rendah daripada pelayan-pelayan lain. Si manajer, Juan, berambut hitam-pekat seperti tinta dan punya senyum lebar yang memperlihatkan gigi emasnya. Ia berkata ia tak pernah punya pegawai berkebangsaan Nigeria tapi percaya semua imigran adalah pekerja keras. Ia tahu, ia pernah dalam posisi itu. Ia menggajimu satu dolar lebih murah, tapi diam-diam; ia tak suka besaran pajak yang harus ia bayarkan.

    Kau tak mampu membiayai kuliah karena kini kau mesti membayar sewa untuk kamar sempit yang lantainya ditutupi karpet penuh noda. Lagipula, kota kecil Connecticut tak punya kampus komunitas lokal dan biaya kuliah di universitas negeri terlalu mahal. Jadi, kau berkunjung ke perpustakaan umum, kau mencari tahu silabus dari situs-situs universitas dan membaca beberapa buku yang disarankan. Kadangkala kau duduk di kasur lusuh dipanmu dan memikirkan rumah—bibimu yang menjajakan ikan kering dan pisang raja, membujuk pelanggan untuk membeli lalu memcaci mereka jika tak jadi membeli; pamanmu yang kerap mabuk arak lokal dan menjejalkan seluruh anggota keluarganya dengan tinggal bersama di satu kamar; teman-temanmu yang datang mengucapkan selamat tinggal sebelum kau pergi, yang ikut gembira dan mengaku iri karena kau memenangkan visa lotre Amerika; orang tuamu yang bergandengan tangan saat pergi ke gereja setiap Minggu pagi, sampai-sampai para tetangga menertawakan dan menggoda mereka; ayahmu yang membeli koran-koran lawas milik bosnya sehingga saudaramu bisa membaca tulisan-tulisan penting; ibumu yang upahnya nyaris tak cukup untuk membayar iuran SMP adik laki-lakimu, sekolah yang guru-gurunya akan memberi nilai A pada siapa pun yang sanggup menyelipkan amplop cokelat. 

    Kau tak perlu menyogok untuk mendapatkan nilai A, tak pernah menyelipkan amplop cokelat kepada seorang guru di SMP. Tapi tetap saja, kau memilih amplop cokelat panjang untuk mengirimkan setengah pendapatanmu dalam sebulan untuk orang tuamu ke alamat badan pemerintah tempat ibumu bekerja sebagai tenaga kebersihan; kau selalu menggunakan lembaran dolar yang diberikan Juan sebab lembaran uang itu tampak baru, tidak terlipat-lipat seperti uang tip. Setiap bulan kau mengirim. Kau membungkus rapi uang itu dengan kertas putih tapi kau tak menuliskan surat. Tiada kabar yang perlu ditulis.   

    Namun, beberapa minggu kemudian, kau ingin menuliskan sesuatu karena kau punya kisah yang ingin kaubagi. Kau ingin menulis tentang betapa terbukanya orang-orang Amerika, bagaimana bersemangatnya mereka saat bercerita tentang ibu mereka yang sedang melawan kanker, tentang kelahiran bayi prematur adik ipar mereka, tentang macam-macam hal yang semestinya ditutupi atau hanya perlu diungkapkan kepada anggota keluarga dekat. Kau ingin menulis tentang orang-orang yang menyisakan begitu banyak makanan di piring mereka dan meninggalkan gumpalan dolar di meja seakan-akan sebagai persembahan, sebagai penebusan atas makanan yang tak mereka habiskan. Kau ingin bercerita tentang seorang anak berumur sekitar lima tahun yang tiba-tiba menangis, menarik-narik rambut pirangnya, dan membuang daftar menu dari meja, dan alih-alih dimarahi, sikap si kecil itu justru dibela oleh orang tuanya sehingga mereka malah bangkit dan pergi meninggalkan restoran. Kau ingin bercerita tentang orang-orang kaya yang mengenakan pakaian lusuh dan sepatu kets koyak, yang terlihat seperti para penjaga malam di bangunan-bangunan besar di Lagos. Kau ingin bercerita bahwa orang-orang kaya Amerika kurus dan orang-orang miskinnya gemuk dan ternyata banyak warga Amerika tak punya rumah besar dan mobil bagus; kau masih tak yakin soal pistol itu sebab bisa saja mereka menyembunyikannya di saku mereka.  

    Kau ingin menulis bukan hanya kepada kedua orang tuamu, tapi kepada teman-teman, para sepupu, bibi, dan pamanmu pula. Tapi kau tak pernah punya uang lebih untuk membeli parfum, pakaian, atau tas tangan. Penghasilanmu dari kerja sebagai pelayan hanya cukup untuk membayar sewa kamar, jadi kau pun urung menulis kepada semua orang.

    Tak seorang pun tahu di mana kau berada sebab kau tak pernah memberi tahu siapa pun. Kadang-kadang kau merasa sebagai sosok tak terlihat dan ketika kau mencoba berjalan dari kamarmu menuju aula, kau pun membentur dinding sehingga lenganmu memar. Sekali waktu, Juan bertanya apakah kau punya pacar yang suka menghajarmu dan Juan berkata ia bisa membereskan orang sialan itu, tapi kau hanya tertawa penuh rahasia. 

    Pada malam hari, sesuatu terasa membelit lehermu, sesuatu yang nyaris membuatmu kehabisan napas, sebelum akhirnya kau terlelap.

    ***

    Banyak orang di restoran bertanya kapan kau tiba dari Jamaika, sebab mereka pikir semua orang kulit hitan yang berbicara dalam logat asing adalah warga Jamaika. Di sisi lain, beberapa orang yang menebak kau berasal dari Afrika berkata bahwa mereka sangat suka gajah dan ingin pergi bersafari ke Afrika.

    Jadi, saat ia bertanya padamu, dalam remang lampu restoran setelah kau menyebutkan menu spesial hari itu, dari negara Afrika mana kau berasal, kau menjawab Nigeria dan membayangkan ia akan mengatakan sesuatu seperti ia telah mendonasikan uang untuk program penanggulangan AIDS di Botswana. Tapi ia lanjut bertanya apakah kau berasal dari etnis Yoruba atau Igbo, sebab kau tak terlihat punya garis wajah seorang Fulani. Kau terkejut—kau pikir ia mestilah seorang profesor Antropologi di universitas negeri, meskipun ia tampak agak muda di usianya yang sekitar 20an akhir, tapi siapa yang tahu? Igbo, kau menjawab. Ia menanyakan namamu dan berkata Akunna adalah nama yang cantik. Untungnya, ia tidak bertanya apa arti namamu, sebab kau muak dengan reaksi orang-orang, “Harta Ayah? Maksudmu, ayahmu akan benar-benar menjualmu kepada seorang suami?” 

    Ia memberi tahu bahwa ia pernah melawat ke Ghana, Uganda, dan Tanzania, ia suka puisi Okot p’Bitek dan novel-novel Amos Tutuola dan telah cukup banyak membaca buku tentang kompleksitas sejarah negara-negara Afrika Sub-Sahara. Kau terlecut untuk merasa terhina, ingin menunjukkan perasaanmu saat kau membawakan pesanannya, sebab orang kulit putih yang mencintai Afrika terlalu banyak atau terlalu sedikit sama belaka—mereka cenderung merendahkan. Namun, ia tidak menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sombong seperti yang dilakukan Profesor Cobbledick di kampus komunitas lokal di Maine dahulu pada saat diskusi kelas yang membahas isu dekolonisasi Afrika. Ia tidak memperlihatkan ekspresi wajah seperti air muka Profesor Cobbledick, ekspresi wajah seseorang yang berpikir dirinya lebih baik daripada orang-orang yang ia pelajari. Ia datang lagi keesokan harinya dan duduk di meja yang sama dan ketika kau bertanya bagaimana rasanya hidangan ayam yang kausajikan, ia malah bertanya apakah kau tumbuh besar di Lagos. Ia kembali datang pada hari ketiga dan mulai berbincang sebelum memesan makanan, lalu ia berkisah tentang kunjungannya ke Bombay belum lama ini dan berkata ia ingin mengunjungi Lagos untuk menyaksikan langsung bagaimana kondisi orang-orang di sana, misalnya kehidupan orang-orang di pinggiran kota yang kumuh, sebab ia memang tak pernah mengikuti cara-cara konyol yang lazimnya dilakukan para turis di luar negeri. Ia terus bicara dan bicara sampai-sampai kau mesti mengingatkannya tentang peraturan restoran yang melarang para pelayan asyik bercengkerama dengan pelanggan. Ia mengelap tanganmu ketika kau tak sengaja menumpahkan air minum. Hari keempat, ketika kau melihatnya datang, kau meminta pada Juan untuk tidak ditugaskan melayaninya. Setelah sif kerjamu berakhir pada malam harinya, ia tengah menunggu di luar restoran, dengan earphone menempel di telinga, lalu ia mengajakmu pergi kencan dengan alasan namamu berima dengan hakuna matata dan Lion King adalah satu-satunya film kanak-kanak yang ia sukai. Kau tak pernah menonton Lion King. Kau menatapnya dalam terang cahaya dan baru menyadari warna matanya serupa warna emas-kehijaun minyak zaitun murni. Minyak zaitun murni adalah satu-satunya hal yang kaucintai, satu-satunya hal yang benar-benar kaucintai, di Amerika. 

    Ia seorang mahasiswa akhir di universitas negeri. Ia memberi tahu berapa usianya dan kau bertanya mengapa ia belum lulus juga. Lagipula, ini Amerika—tidak seperti di negerimu, banyak universitas kerap tutup sehingga para mahasiswa mesti menjalani studi tiga tahun lebih lama dari waktu normal dan para dosen berkali-kali mogok mengajar untuk menuntut gaji tapi tetap tidak dibayar. Ia menjawab bahwa ia cuti kuliah beberapa tahun untuk berkelana dan menemukan jati diri, sebagian besar pergi ke negeri-negeri di Afrika dan Asia. Kau bertanya apakah akhirnya ia bisa menemukan jati dirinya dan ia terbahak. Kau tidak tertawa. Kau tidak tahu bahwa beberapa orang bisa begitu saja memutuskan berhenti ke kampus, bahwa mereka bisa mendikte hidup. Kau terbiasa menerima apa yang hidup berikan, menulis apa pun yang hidup diktekan padamu.

    Kau menjawab tidak empat hari berturut-turut saat ia kembali mengajak pergi kencan, sebab kau tak nyaman dengan caranya menatap wajahmu, tatapan yang intens dan menawan, yang membuat kau ingin mengucapkan selamat tinggal tapi sekaligus enggan pergi darinya. Lantas, pada malam kelima, kau panik demi mengetahui ia tidak berdiri di luar pintu restoran ketika sif kerjamu berakhir. Kau berdoa untuk pertama kalinya setelah sekian lama dan ketika ia datang dari belakangmu dan menyapa hai, kau bilang ya, kau mau pergi kencan bersamanya, bahkan sebelum ia bertanya. Kau cemas ia tak akan mengajakmu lagi.

    Hari berikutnya, ia mengajakmu makan malam di restoran Chang dan kue keberuntunganmu punya dua potongan kertas. Keduanya kosong tanpa tulisan.

    ***

    Kau tahu kau merasa nyaman bersamanya saat kau mengaku menonton Jeopardy di sela-sela waktu kerjamu di restoran dan kau mengistimewakan orang-orang dengan urutan berikut: perempuan kulit berwarna, lelaki kulit berwarna, perempuan kulit putih, dan terakhir, lelaki kulit putih—yang artinya kau tak pernah mengistimewakan lelaki kulit putih. Ia tertawa dan berkata ia tidak terbiasa diistimewakan, sebab ibunya mengajar kajian perempuan di universitas.  

    Dan kau sadar hubungan kalian semakin dekat ketika kau memberi tahu bahwa ayahmu sebenarnya bukanlah seorang guru sekolah dasar di Lagos, melainkan seorang supir di perusahaan konstruksi. Kau bercerita padanya tentang sebuah peristiwa pada suatu hari di Lagos saat kau ikut bersama ayahmu di mobil Peugeot 504 yang dikemudikannya; saat itu hujan dan kursimu basah karena tetes-tetes air menembus lubang-lubang berkarat di atap mobil. Lalu lintas padat, selalu macet di Lagos, dan jika hujan turun, lalu lintas pastilah kacau-balau. Jalan raya berubah menjadi kubangan lumpur dan mobil-mobil terjebak dan beberapa sepupumu keluar untuk mendapatkan sejumlah uang dari bantuan mendorong mobil-mobil. Hujan, atau jalan berlumpur, membuat ayahmu terlambat menginjak rem hari itu. Kau mendengar bunyi tumbukan sebelum kau merasakan guncangan. Mobil yang ditabrak ayahmu adalah sebuah mobil besar, asing, dan berwarna hijau gelap dengan lampu depan keemasan yang mirip mata leopard. Ayahmu mulai terisak dan memohon, bahkan sebelum ia keluar dari mobil dan membungkuk nyaris rata di jalan, membuat klakson-klakson mobil lain mulai menyalak. Maaf Tuan, maaf Tuan, ia merapal. Jika kau menjualku dan keluargaku, kau tak bisa membeli bahkan satu roda mobilmu. Maaf Tuan.

    Lelaki besar yang duduk di kursi belakang tidak keluar, tapi supirnyalah yang turun ke jalan, mengamati kerusakan, melihat perilaku ayahmu dengan sudut matanya seolah-olah permohonan ayahmu adalah semacam aksi pornografi, adegan yang malu-malu ia nikmati. Akhirnya, ia melepaskan ayahmu. Mengibaskan tangan menyuruh ayahmu pergi. Mobil-mobil lain terus membunyikan klakson, orang-orang mengumpat. Saat ayahmu kembali masuk mobil, kau menolak menatapnya karena ia tampak serupa babi-babi yang bergelimang lumpur rawa di sekitar pasar. Ayahmu terlihat seperti nsi. Tahi.

    Setelah kau menceritakan kisah itu padanya, ia mengerutkan bibir dan memegang tanganmu dan berkata ia memahami apa yang kaurasakan. Kau melepaskan tanganmu dari genggamannya, tiba-tiba merasa jengkel, sebab ia berpikir dunia adalah, atau harusnya, dipenuhi orang-orang semacam dirinya. Kau memberitahunya tidak ada yang perlu dipahami, begitulah kehidupan.

    ***

    Ia menemukan satu toko Afrika dari halaman iklan Hartford dan mengajakmu berkendara ke sana. Karena caranya berjalan mengelilingi toko yang tampak akrab, caranya memiringkan botol tuak nira untuk memastikan seberapa banyak kandungan endapan yang ada, pemilik toko berkebangsaan Ghana itu bertanya apakah ia orang Afrika, maksudnya orang kulit putih Kenya atau Afrika Selatan, dan ia menjawab betul, tapi ia telah lama tinggal di Amerika. Ia tampak senang ketika si pemilik toko mempercayai ucapannya. Kau memasak malam itu dengan bahan-bahan yang ia beli, dan setelah ia menyantap garri dan sup onugbu, ia muntah di bak cuci piring. Tapi kau tidak marah, sebab kini kau bisa memasak sup onugbu dengan daging.

    Ia tidak makan daging karena menilai membunuh hewan adalah keliru besar; ia bilang tindakan itu melepaskan racun ketakutan dalam daging hewan dan racun ketakutan akhirnya membuat orang-orang paranoid. Di rumahmu dulu, potongan daging yang kausantap, jika memang tersedia daging di meja makan, adalah sebesar setengah jari telunjukmu. Tapi kau tidak memberi tahu hal itu padanya. Kua tak memberi tahu pula bahwa balok penyedap dawadawa yang ibumu masukkan ke semua jenis masakan, karena bubuk kari dan rempah thyme terlalu mahal, mengandung MSG, atau tepatnya, memang MSG. Ia menyebut MSG menyebabkan kanker, itulah sebabnya ia menyukai restoran Chang; Chang tidak menggunakan MSG dalam olahan masakannya.

    Suatu kali, saat kalian makan di restoran Chang, ia memberi tahu pelayan di sana bahwa ia baru saja mengunjungi Shanghai,  bahwa ia bisa bicara sedikit bahasa Mandarin. Si pelayan menyambut hangat dan memberi tahu sup terbaik di Shanghai dan bertanya, “Kau punya pacar di Shanghai sekarang?” Dan ia hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa pun.

    Kau kehilangan selera makan, ruang di dalam dadamu terasa tersumbat. Malam itu, kau tak mendesah saat ia memasukimu, kau menggigit bibirmu dan pura-pura tak mencapai puncak sebab kau tahu ia akan khawatir. Beberapa saat kemudian, kau memberitahunya mengapa kau merasa gusar, bahwa meskipun kalian sering makan bersama di restoran Chang, meskipun kalian sering berciuman sebelum pesanan datang, pria Cina itu berasumsi kau mustahil kekasihnya, dan ia hanya tersenyum dan membisu. Sebelum meminta maaf, ia memandangmu dengan tatapan kosong dan kau tahu belaka ia tak mengerti.

    ***

    Ia membelikanmu sejumlah hadiah dan ketika kau keberatan mengenai harganya, ia mengatakan kakeknya di Boston kaya-raya tapi kau buru-buru menambahkan bahwa pria sepuh itu telah banyak berderma sehingga dana perwalian untuknya tidaklah besar. Hadiah-hadiahnya membuatmu takjub. Sebuah bola kaca seukuran kepalan tangan yang bisa kaugoyang-goyangkan untuk melihat figur gadis kecil berpakaian merah muda menari berputar-putar. Sebuah batu berkilau yang memantulkan warna benda apa pun yang disentuhnya. Sebuah sapu tangan mahal dengan lukisan tangan dari Meksiko. Akhirnya kau berkata padanya, suaramu merentangkan ironi, bahwa dalam hidupmu selama ini hadiah-hadiah selalu bermanfaat. Batu, misalnya, akan berguna jika kau bisa menggiling sesuatu dengannya. Ia tertawa keras lama sekali tapi kau tidak. Kau menyadari bahwa dalam hidupnya, ia bisa membeli hadiah semata sebagai hadiah, bukan sesuatu yang akan berfaedah. Saat ia mulai membelikanmu sepatu dan pakaian dan buku-buku, kau bilang padanya tak usah, kau tak menginginkan hadiah sama sekali. Tapi ia terus saja membeli sesuatu dan kau menyimpan semua itu untuk diberikan kepada para sepupu dan paman dan bibimu jika kau punya kesempatan pulang suatu hari nanti, walaupun sebenarnya kau tak tahu bagaimana caranya kau bisa membeli tiket pulang dan membayar sewa kamar. Ia bilang ia sungguh-sungguh ingin melihat Nigeria dan ia bisa membiayai tiket untuk kalian berdua. Kau tak ingin ia mengongkosimu untuk pulang kampung. Kau tak mau ia pergi ke Nigeria, untuk menambahkan Nigeria dalam daftar negara yang pernah ia kunjungi, negara-negara tempat ia bisa menatap heran pada kehidupan orang-orang miskin yang tak akan pernah bisa balik menatap heran pada kehidupannya. Kau memberi tahu apa yang kaupikirkan itu pada suatu hari yang cerah ketika ia mengajakmu pelesir ke muara Long Island. Kalian pun bertengkar, suaramu meninggi saat kalian berjalan di sepanjang perairan yang tenang itu. Ia bilang kau keliru menyebutnya sebagai seorang yang merasa benar sendiri. Kau bilang ia salah ketika menganggap orang-orang miskin India di Bombay adalah orang-orang India tulen. Apakah itu berarti ia bukanlah orang Amerika tulen, sebab ia tak seperti orang-orang miskin gemuk yang sering kalian lihat di Hartford? Ia buru-buru berjalan mendahuluimu, bagian atas tubuhnya polos dan tampak pucat, langkah-langkahnya yang tergesa-gesa itu menghamburkan butiran-butiran pasir, tapi akhirnya ia berbalik dan mengulurkan tangan untuk menggenggam tanganmu. Kalian berbaikan dan bercinta dan membelai rambut satu sama lain, rambutnya lembut dan kuning serupa rumbai rambut jagung muda, rambutmu gelap dan membal serupa isian bantal. Ia terpapar sinar matahari terlalu banyak, kulitnya tampak sewarna semangka matang dan kau menciumi punggungnya sebelum kau mengoleskan losion.

    Sesuatu yang membelit lehermu, sesuatu yang membuatmu nyaris tercekik sebelum kau terlelap itu, perlahan-lahan mengendur, mulai terlepas.

    ***

    Kau tahu dari reaksi orang-orang bahwa kalian tampak abnormal—yang artinya, terlalu buruk atau terlalu muluk. Lelaki dan perempuan tua kulit putih yang menggerutu dan menatap tajam padanya, lelaki kulit hitam yang menggeleng-gelengkan kepalanya padamu, perempuan kulit hitam yang sorot matanya seolah-olah menangisi hilangnya rasa percaya dirimu, iba terhadap kebencianmu terhadap diri sendiri. Atau perempuan kulit hitam yang sekilas tersenyum sebagai ungkapan solidaritas; lelaki kulit hitam yang mencoba terlalu keras untuk memaafkanmu, melontarkan sapaan hai yang janggal padanya; lelaki dan perempuan kulit putih yang berujar “wah pasangan yang serasi” dengan terlalu ceria, terlalu lantang, seakan-akan untuk membuktikan pikiran terbuka mereka pada diri sendiri.

    Namun, orang tuanya ternyata berbeda; mereka hampir membuatmu berpikir bahwa hubungan kalian normal belaka. Ibunya memberitahumu bahwa ia tak pernah membawa seorang gadis untuk menemui mereka, kecuali teman kencan malam perpisahan SMA dahulu. Ia meringis kaku dan menggenggam tanganmu. Taplak meja makan menutupi tangkup tanganmu. Ia meremas tanganmu dan kau meremas balik, dan kau bertanya-tanya mengapa ia begitu kaku, mengapa mata minyak-zaitun-murni miliknya terlihat berubah gelap saat ia berbicara kepada orang tuanya. Ibunya tampak senang ketika kau menjawab telah membaca novel-novel Nawal el Saadawi. Ayahnya bertanya seberapa mirip masakan India dengan masakan Nigeria dan menggodamu untuk membayar tagihan yang datang. Kau memandang mereka dan merasa bersyukur bahwa mereka tidak memeriksamu layaknya piala eksotis, seperti gading gajah.

    Setelah pertemuan itu selesai, ia memberitahumu tentang masalah-masalahnya dengan orang tuanya, bagaimana mereka membagi cinta seumpama memotong-motong kue ulang tahun, bagaimana mereka akan memberinya potongan lebih besar jika ia setuju untuk kuliah di jurusan hukum. Kau sebenarnya ingin bersimpati. Alih-alih, kau justru merasa marah. 

    Kau bertambah marah saat ia memberi tahu bahwa ia menolak ajakan orang tuanya untuk berlibur di Canada, di rumah peristirahatan mereka di wilayah pedesaan di Quebec, selama satu atau dua minggu. Mereka bahkan memintanya untuk mengajakmu. Ia memperlihatkan foto-foto pondok milik keluarga itu dan kau heran mengapa bangunan itu disebut pondok sebab di kampung halamanmu, bangunan yang sebesar itu hanyalah kantor-kantor bank atau gereja. Kau menjatuhkan gelas dan gelas itu pecah berkeping-keping saat membentur lantai kayu apartemennya. Ia bertanya apa ada yang salah dan kau menjawab tak ada, walaupun kau berpikir banyak sekali yang salah. Kemudian, di kamar mandi, kau mulai menangis. Kau melihat air pancuran melarutkan air matamu dan kau tak tahu mengapa kau menangis. 

    ***

    Akhirnya, kau menulis surat. Surat pendek kepada orang tuamu, yang kauselipkan di antara lembaran-lembaran dolar yang bagus. Kau pun menyertakan alamatmu di Amerika. Diantar kurir, kau mendapat surat balasan langsung beberapa hari kemudian. Ibumu menulis sendiri surat itu; kau bisa mengenalinya dari tulisan tangan yang mirip cakar ayam dan sejumlah kesalahan ejaan. 

    Ayahmu telah meninggal dunia; ia tergelincir bersama mobil perusahaan. Sudah lima bulan yang lalu, ibumu menulis. Mereka menggunakan sebagian uang kirimanmu untuk membiayai pemakaman yang layak: Mereka menyembelih seekor kambing untuk para pelayat dan memakamkan jasad ayahmu dalam peti mati yang pantas. Kau meringkuk di kasur, menekan lutut di dadamu, dan berusaha mengingat-ingat apa yang kaulakukan pada bulan-bulan setelah ayahmu tutup usia. Mungkin ayahmu berpulang pada hari ketika sekujur tubuhmu merinding, kaku serupa beras, yang tak bisa kaujelaskan sebab-musababnya. Juan menggodamu waktu itu, menyeretmu untuk mendekati panggangan di dapur sehingga kau bisa merasa hangat. Barangkali ayahmu meningal dunia saat kau sedang menuju museum Mystic atau sedang menonton teater di Manchester atau sedang makan malam di restoran Chang.

    Ia menggenggam tanganmu selama kau menangis, membelai-belai rambutmu, dan menawarimu tiket pulang, serta menemanimu pergi menemui keluargamu. Kau bilang tidak, kau mesti pergi sendiri. Ia bertanya apakah kau akan kembali dan kau mengingatkannya bahwa sebagai pemegang kartu hijau, kau akan kehilangan kartu izin tinggal itu jika kau tidak kembali ke Amerika dalam jangka waktu satu tahun. Ia berkata kau tahu apa yang ia maksud, apakah kau akan kembali, akan kembali? 

    Kau memalingkan wajah dan membisu, dan saat ia mengantarkanmu ke bandara, kau memeluk erat dirinya lama, lama sekali, sampai akhirnya kau pun melepaskannya.

    —Diterjemahkan dari cerpen “The Thing Around Your Neck” yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama (Fourth Estate, 2009).

    Tentang Penulis

    Chimamanda Ngozi Adichie lahir dan besar di Nigeria. Pada usia 19 tahun, ia pergi ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi, kemudian lulus sarjana di Universitas Negeri Eastern Connecticut, mendapatkan gelar master dari Universitas John Hopkins dan Universitas Yale. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dan terbit di berbagai media ternama, di antaranya The New Yorker, Granta, dan Zeotrope. Novel-novelnya telah memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi, antara lain: Purple Hibiscus (2003) memenangkan Commonweath Writer’s Prize dan Hugston/Wright Legacy Award, Half Yellow Sun (2006) memenangkan Orange Prize, Americanah (2013) memenangkan National Book Critics Circle Award. Kumpulan cerpennya The Thing Around Your Neck (2009) masuk nomimasi dalam penghargaan Frank O’Connor International Short Story Award. Buku terbarunya adalah Dear Ijawele, or a Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions (2107). Selain menulis, ia juga kerap diundang berceramah di berbagai penjuru dunia. Penerima MacArthur Foundation Fellowship ini kini membagi waktunya antara Amerika Serikat dan Nigeria.