Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Sesuatu yang Membelit Lehermu [Chimamanda Ngozi Adichie]

author = A. Nabil Wibisana

Kau berpikir semua orang di Amerika punya mobil dan pistol; paman dan bibi dan para sepupumu juga berpikir serupa. Segera setelah kau memenangkan lotre visa Amerika, mereka berpesan padamu: Dalam sebulan kau akan punya sebuah mobil bagus. Lalu tak lama kemudian, sebuah rumah besar. Tapi jangan membeli sepucuk pistol seperti orang-orang Amerika itu.

Mereka berkumpul di satu ruangan di rumah tempat kau tinggal bersama ayah, ibu, dan tiga saudara kandungmu di Lagos. Mereka bersandar pada dinding polos tanpa cat sebab ruangan itu terlalu sempit untuk bisa menampung banyak kursi. Dengan suara lantang mereka mengucapkan selamat jalan padamu dan dengan berbisik-bisik mereka memintamu untuk mengirimkan benda-benda yang mereka inginkan dari Amerika. Dibandingkan rumah dan mobil bagus (dan barangkali pistol), benda-benda yang mereka inginkan remeh belaka—tas tangan, sepatu, parfum, dan pakaian. Kau berkata baiklah, tak masalah.  

Pamanmu yang selama ini tinggal di Amerika, kerabat yang menuliskan nama semua anggota keluarga besar di lotre visa Amerika itu, berkata bahwa kau boleh tinggal bersamanya sampai kau bisa mandiri. Ia menjemputmu di bandara dan membelikanmu sebuah hotdog besar dengan ekstra mustar kuning yang membuatmu mual. Perkenalan dengan Amerika, ia berkata sambil terkekeh. Ia tinggal di sebuah kota kecil di Maine, di sebuah rumah berusia tiga puluh tahun yang terletak di tepi danau. Ia berujar bahwa perusahaan tempat ia bekerja telah menawarinya beberapa ribu dolar di atas upah rata-rata plus opsi saham karena mereka setengah mati ingin terlihat sebagai perusahaan yang mengusung nilai-nilai kemajemukan. Mereka memasang foto dirinya di setiap brosur, bahkan pada brosur yang tidak berhubungan langsung dengan unit kerjanya. Ia tertawa dan mengaku pekerjaannya baik-baik saja—pekerjaan yang layak dijalani di sebuah kota berpenduduk mayoritas orang kulit putih meskipun istrinya mesti berkendara selama satu jam untuk mencari salon yang sudi melayani orang kulit hitam. Trik untuk memahami Amerika adalah tahu bagaimana memberi-dan-menerima. Kau melepaskan banyak hal, tapi kau memeroleh banyak hal pula.

Pamanmu mengajari cara melamar pekerjaan sebagai kasir di pom bensin di jalan utama kota dan ia pun mendaftarkanmu di kampus komunitas lokal, tempat kau bertemu gadis-gadis dengan paha padat, kuku yang dicat merah cerah, dan kulit yang sengaja dibiarkan terpapar sinar matahari sehingga tampak berwarna oranye. Mereka bertanya di mana kau belajar bicara bahasa Inggris dan apakah kau benar-benar punya rumah di Afrika dan apakah kau pernah melihat mobil sebelum tiba di Amerika. Mereka membelalak pada rambutmu. Apa rambutmu berdiri atau tergerai saat kau melepaskan kepang itu? Mereka ingin tahu. Semuanya berdiri? Bagaimana? Mengapa? Apa kau pakai sisir? Kau tersenyum kecut mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka. Pamanmu pernah memperingatkan bahwa kau akan menghadapi semua itu: Campuran antara sikap masa bodoh dan angkuh. Lantas ia bercerita para tetangga pernah menyebut bahwa tupai-tupai menghilang beberapa bulan setelah ia pindah ke rumahnya. Mereka mendengar bahwa orang-orang Afrika makan segala jenis hewan liar. 

Kau terbahak bersama pamanmu dan merasa nyaman tinggal di rumahnya; istrinya memanggilmu nwane, Saudari, dan dua anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar memanggilmu Bibi. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Igbo dan menyantap garri untuk makan siang. Rasanya seperti di rumah. Sampai pamanmu turun ke rubanah tempat kau tidur bersama kotak-kotak karton usang dan menarikmu dengan kasar ke pelukannya, lalu meremas-remas pantatmu sambil mendesah. Ia sesungguhnya bukan pamanmu; ia sebenarnya adik dari suami bibimu, jadi memang tak ada hubungan darah. Setelah kau mendorongnya, ia duduk di dipanmu—bagaimanapun itu rumahnya—dan tersenyum, lalu berkata bahwa kau bukanlah kanak-kanak lagi di usia dua puluh dua. Jika kau membiarkannya, ia bisa melakukan banyak hal untukmu. Perempuan pintar melakukan itu sepanjang waktu. Bagaimana kau pikir perempuan-perempuan di Lagos itu bisa punya pekerjaan yang mentereng? Bahkan para perempuan di New York?

Kau mengunci dirimu di kamar mandi sampai ia pergi menaiki tangga. Pagi harinya kau langsung keluar dari rumah itu, melangkah pelan di jalan panjang berangin dan mencium aroma ikan-ikan di danau. Kau melihatnya melintas—ia selalu mengantarmu sampai jalan utama—dan ia tidak membunyikan klakson. Kau penasaran apa yang akan ia sampaikan kepada istrinya jika perempuan itu bertanya mengapa kau pergi. Lantas kau ingat apa yang ia katakan, bahwa Amerika adalah memberi-dan-menerima.

Kau berakhir di Connecticut, di satu kota kecil lain, sebab kota itu adalah pemberhentian terakhir bus Greyhound yang kautumpangi. Kau melangkah masuk ke restoran dengan kerai yang bersih-cerlang dan berkata kau bersedia bekerja dengan upah dua dolar lebih rendah daripada pelayan-pelayan lain. Si manajer, Juan, berambut hitam-pekat seperti tinta dan punya senyum lebar yang memperlihatkan gigi emasnya. Ia berkata ia tak pernah punya pegawai berkebangsaan Nigeria tapi percaya semua imigran adalah pekerja keras. Ia tahu, ia pernah dalam posisi itu. Ia menggajimu satu dolar lebih murah, tapi diam-diam; ia tak suka besaran pajak yang harus ia bayarkan.

Kau tak mampu membiayai kuliah karena kini kau mesti membayar sewa untuk kamar sempit yang lantainya ditutupi karpet penuh noda. Lagipula, kota kecil Connecticut tak punya kampus komunitas lokal dan biaya kuliah di universitas negeri terlalu mahal. Jadi, kau berkunjung ke perpustakaan umum, kau mencari tahu silabus dari situs-situs universitas dan membaca beberapa buku yang disarankan. Kadangkala kau duduk di kasur lusuh dipanmu dan memikirkan rumah—bibimu yang menjajakan ikan kering dan pisang raja, membujuk pelanggan untuk membeli lalu memcaci mereka jika tak jadi membeli; pamanmu yang kerap mabuk arak lokal dan menjejalkan seluruh anggota keluarganya dengan tinggal bersama di satu kamar; teman-temanmu yang datang mengucapkan selamat tinggal sebelum kau pergi, yang ikut gembira dan mengaku iri karena kau memenangkan visa lotre Amerika; orang tuamu yang bergandengan tangan saat pergi ke gereja setiap Minggu pagi, sampai-sampai para tetangga menertawakan dan menggoda mereka; ayahmu yang membeli koran-koran lawas milik bosnya sehingga saudaramu bisa membaca tulisan-tulisan penting; ibumu yang upahnya nyaris tak cukup untuk membayar iuran SMP adik laki-lakimu, sekolah yang guru-gurunya akan memberi nilai A pada siapa pun yang sanggup menyelipkan amplop cokelat. 

Kau tak perlu menyogok untuk mendapatkan nilai A, tak pernah menyelipkan amplop cokelat kepada seorang guru di SMP. Tapi tetap saja, kau memilih amplop cokelat panjang untuk mengirimkan setengah pendapatanmu dalam sebulan untuk orang tuamu ke alamat badan pemerintah tempat ibumu bekerja sebagai tenaga kebersihan; kau selalu menggunakan lembaran dolar yang diberikan Juan sebab lembaran uang itu tampak baru, tidak terlipat-lipat seperti uang tip. Setiap bulan kau mengirim. Kau membungkus rapi uang itu dengan kertas putih tapi kau tak menuliskan surat. Tiada kabar yang perlu ditulis.   

Namun, beberapa minggu kemudian, kau ingin menuliskan sesuatu karena kau punya kisah yang ingin kaubagi. Kau ingin menulis tentang betapa terbukanya orang-orang Amerika, bagaimana bersemangatnya mereka saat bercerita tentang ibu mereka yang sedang melawan kanker, tentang kelahiran bayi prematur adik ipar mereka, tentang macam-macam hal yang semestinya ditutupi atau hanya perlu diungkapkan kepada anggota keluarga dekat. Kau ingin menulis tentang orang-orang yang menyisakan begitu banyak makanan di piring mereka dan meninggalkan gumpalan dolar di meja seakan-akan sebagai persembahan, sebagai penebusan atas makanan yang tak mereka habiskan. Kau ingin bercerita tentang seorang anak berumur sekitar lima tahun yang tiba-tiba menangis, menarik-narik rambut pirangnya, dan membuang daftar menu dari meja, dan alih-alih dimarahi, sikap si kecil itu justru dibela oleh orang tuanya sehingga mereka malah bangkit dan pergi meninggalkan restoran. Kau ingin bercerita tentang orang-orang kaya yang mengenakan pakaian lusuh dan sepatu kets koyak, yang terlihat seperti para penjaga malam di bangunan-bangunan besar di Lagos. Kau ingin bercerita bahwa orang-orang kaya Amerika kurus dan orang-orang miskinnya gemuk dan ternyata banyak warga Amerika tak punya rumah besar dan mobil bagus; kau masih tak yakin soal pistol itu sebab bisa saja mereka menyembunyikannya di saku mereka.  

Kau ingin menulis bukan hanya kepada kedua orang tuamu, tapi kepada teman-teman, para sepupu, bibi, dan pamanmu pula. Tapi kau tak pernah punya uang lebih untuk membeli parfum, pakaian, atau tas tangan. Penghasilanmu dari kerja sebagai pelayan hanya cukup untuk membayar sewa kamar, jadi kau pun urung menulis kepada semua orang.

Tak seorang pun tahu di mana kau berada sebab kau tak pernah memberi tahu siapa pun. Kadang-kadang kau merasa sebagai sosok tak terlihat dan ketika kau mencoba berjalan dari kamarmu menuju aula, kau pun membentur dinding sehingga lenganmu memar. Sekali waktu, Juan bertanya apakah kau punya pacar yang suka menghajarmu dan Juan berkata ia bisa membereskan orang sialan itu, tapi kau hanya tertawa penuh rahasia. 

Pada malam hari, sesuatu terasa membelit lehermu, sesuatu yang nyaris membuatmu kehabisan napas, sebelum akhirnya kau terlelap.

***

Banyak orang di restoran bertanya kapan kau tiba dari Jamaika, sebab mereka pikir semua orang kulit hitan yang berbicara dalam logat asing adalah warga Jamaika. Di sisi lain, beberapa orang yang menebak kau berasal dari Afrika berkata bahwa mereka sangat suka gajah dan ingin pergi bersafari ke Afrika.

Jadi, saat ia bertanya padamu, dalam remang lampu restoran setelah kau menyebutkan menu spesial hari itu, dari negara Afrika mana kau berasal, kau menjawab Nigeria dan membayangkan ia akan mengatakan sesuatu seperti ia telah mendonasikan uang untuk program penanggulangan AIDS di Botswana. Tapi ia lanjut bertanya apakah kau berasal dari etnis Yoruba atau Igbo, sebab kau tak terlihat punya garis wajah seorang Fulani. Kau terkejut—kau pikir ia mestilah seorang profesor Antropologi di universitas negeri, meskipun ia tampak agak muda di usianya yang sekitar 20an akhir, tapi siapa yang tahu? Igbo, kau menjawab. Ia menanyakan namamu dan berkata Akunna adalah nama yang cantik. Untungnya, ia tidak bertanya apa arti namamu, sebab kau muak dengan reaksi orang-orang, “Harta Ayah? Maksudmu, ayahmu akan benar-benar menjualmu kepada seorang suami?” 

Ia memberi tahu bahwa ia pernah melawat ke Ghana, Uganda, dan Tanzania, ia suka puisi Okot p’Bitek dan novel-novel Amos Tutuola dan telah cukup banyak membaca buku tentang kompleksitas sejarah negara-negara Afrika Sub-Sahara. Kau terlecut untuk merasa terhina, ingin menunjukkan perasaanmu saat kau membawakan pesanannya, sebab orang kulit putih yang mencintai Afrika terlalu banyak atau terlalu sedikit sama belaka—mereka cenderung merendahkan. Namun, ia tidak menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sombong seperti yang dilakukan Profesor Cobbledick di kampus komunitas lokal di Maine dahulu pada saat diskusi kelas yang membahas isu dekolonisasi Afrika. Ia tidak memperlihatkan ekspresi wajah seperti air muka Profesor Cobbledick, ekspresi wajah seseorang yang berpikir dirinya lebih baik daripada orang-orang yang ia pelajari. Ia datang lagi keesokan harinya dan duduk di meja yang sama dan ketika kau bertanya bagaimana rasanya hidangan ayam yang kausajikan, ia malah bertanya apakah kau tumbuh besar di Lagos. Ia kembali datang pada hari ketiga dan mulai berbincang sebelum memesan makanan, lalu ia berkisah tentang kunjungannya ke Bombay belum lama ini dan berkata ia ingin mengunjungi Lagos untuk menyaksikan langsung bagaimana kondisi orang-orang di sana, misalnya kehidupan orang-orang di pinggiran kota yang kumuh, sebab ia memang tak pernah mengikuti cara-cara konyol yang lazimnya dilakukan para turis di luar negeri. Ia terus bicara dan bicara sampai-sampai kau mesti mengingatkannya tentang peraturan restoran yang melarang para pelayan asyik bercengkerama dengan pelanggan. Ia mengelap tanganmu ketika kau tak sengaja menumpahkan air minum. Hari keempat, ketika kau melihatnya datang, kau meminta pada Juan untuk tidak ditugaskan melayaninya. Setelah sif kerjamu berakhir pada malam harinya, ia tengah menunggu di luar restoran, dengan earphone menempel di telinga, lalu ia mengajakmu pergi kencan dengan alasan namamu berima dengan hakuna matata dan Lion King adalah satu-satunya film kanak-kanak yang ia sukai. Kau tak pernah menonton Lion King. Kau menatapnya dalam terang cahaya dan baru menyadari warna matanya serupa warna emas-kehijaun minyak zaitun murni. Minyak zaitun murni adalah satu-satunya hal yang kaucintai, satu-satunya hal yang benar-benar kaucintai, di Amerika. 

Ia seorang mahasiswa akhir di universitas negeri. Ia memberi tahu berapa usianya dan kau bertanya mengapa ia belum lulus juga. Lagipula, ini Amerika—tidak seperti di negerimu, banyak universitas kerap tutup sehingga para mahasiswa mesti menjalani studi tiga tahun lebih lama dari waktu normal dan para dosen berkali-kali mogok mengajar untuk menuntut gaji tapi tetap tidak dibayar. Ia menjawab bahwa ia cuti kuliah beberapa tahun untuk berkelana dan menemukan jati diri, sebagian besar pergi ke negeri-negeri di Afrika dan Asia. Kau bertanya apakah akhirnya ia bisa menemukan jati dirinya dan ia terbahak. Kau tidak tertawa. Kau tidak tahu bahwa beberapa orang bisa begitu saja memutuskan berhenti ke kampus, bahwa mereka bisa mendikte hidup. Kau terbiasa menerima apa yang hidup berikan, menulis apa pun yang hidup diktekan padamu.

Kau menjawab tidak empat hari berturut-turut saat ia kembali mengajak pergi kencan, sebab kau tak nyaman dengan caranya menatap wajahmu, tatapan yang intens dan menawan, yang membuat kau ingin mengucapkan selamat tinggal tapi sekaligus enggan pergi darinya. Lantas, pada malam kelima, kau panik demi mengetahui ia tidak berdiri di luar pintu restoran ketika sif kerjamu berakhir. Kau berdoa untuk pertama kalinya setelah sekian lama dan ketika ia datang dari belakangmu dan menyapa hai, kau bilang ya, kau mau pergi kencan bersamanya, bahkan sebelum ia bertanya. Kau cemas ia tak akan mengajakmu lagi.

Hari berikutnya, ia mengajakmu makan malam di restoran Chang dan kue keberuntunganmu punya dua potongan kertas. Keduanya kosong tanpa tulisan.

***

Kau tahu kau merasa nyaman bersamanya saat kau mengaku menonton Jeopardy di sela-sela waktu kerjamu di restoran dan kau mengistimewakan orang-orang dengan urutan berikut: perempuan kulit berwarna, lelaki kulit berwarna, perempuan kulit putih, dan terakhir, lelaki kulit putih—yang artinya kau tak pernah mengistimewakan lelaki kulit putih. Ia tertawa dan berkata ia tidak terbiasa diistimewakan, sebab ibunya mengajar kajian perempuan di universitas.  

Dan kau sadar hubungan kalian semakin dekat ketika kau memberi tahu bahwa ayahmu sebenarnya bukanlah seorang guru sekolah dasar di Lagos, melainkan seorang supir di perusahaan konstruksi. Kau bercerita padanya tentang sebuah peristiwa pada suatu hari di Lagos saat kau ikut bersama ayahmu di mobil Peugeot 504 yang dikemudikannya; saat itu hujan dan kursimu basah karena tetes-tetes air menembus lubang-lubang berkarat di atap mobil. Lalu lintas padat, selalu macet di Lagos, dan jika hujan turun, lalu lintas pastilah kacau-balau. Jalan raya berubah menjadi kubangan lumpur dan mobil-mobil terjebak dan beberapa sepupumu keluar untuk mendapatkan sejumlah uang dari bantuan mendorong mobil-mobil. Hujan, atau jalan berlumpur, membuat ayahmu terlambat menginjak rem hari itu. Kau mendengar bunyi tumbukan sebelum kau merasakan guncangan. Mobil yang ditabrak ayahmu adalah sebuah mobil besar, asing, dan berwarna hijau gelap dengan lampu depan keemasan yang mirip mata leopard. Ayahmu mulai terisak dan memohon, bahkan sebelum ia keluar dari mobil dan membungkuk nyaris rata di jalan, membuat klakson-klakson mobil lain mulai menyalak. Maaf Tuan, maaf Tuan, ia merapal. Jika kau menjualku dan keluargaku, kau tak bisa membeli bahkan satu roda mobilmu. Maaf Tuan.

Lelaki besar yang duduk di kursi belakang tidak keluar, tapi supirnyalah yang turun ke jalan, mengamati kerusakan, melihat perilaku ayahmu dengan sudut matanya seolah-olah permohonan ayahmu adalah semacam aksi pornografi, adegan yang malu-malu ia nikmati. Akhirnya, ia melepaskan ayahmu. Mengibaskan tangan menyuruh ayahmu pergi. Mobil-mobil lain terus membunyikan klakson, orang-orang mengumpat. Saat ayahmu kembali masuk mobil, kau menolak menatapnya karena ia tampak serupa babi-babi yang bergelimang lumpur rawa di sekitar pasar. Ayahmu terlihat seperti nsi. Tahi.

Setelah kau menceritakan kisah itu padanya, ia mengerutkan bibir dan memegang tanganmu dan berkata ia memahami apa yang kaurasakan. Kau melepaskan tanganmu dari genggamannya, tiba-tiba merasa jengkel, sebab ia berpikir dunia adalah, atau harusnya, dipenuhi orang-orang semacam dirinya. Kau memberitahunya tidak ada yang perlu dipahami, begitulah kehidupan.

***

Ia menemukan satu toko Afrika dari halaman iklan Hartford dan mengajakmu berkendara ke sana. Karena caranya berjalan mengelilingi toko yang tampak akrab, caranya memiringkan botol tuak nira untuk memastikan seberapa banyak kandungan endapan yang ada, pemilik toko berkebangsaan Ghana itu bertanya apakah ia orang Afrika, maksudnya orang kulit putih Kenya atau Afrika Selatan, dan ia menjawab betul, tapi ia telah lama tinggal di Amerika. Ia tampak senang ketika si pemilik toko mempercayai ucapannya. Kau memasak malam itu dengan bahan-bahan yang ia beli, dan setelah ia menyantap garri dan sup onugbu, ia muntah di bak cuci piring. Tapi kau tidak marah, sebab kini kau bisa memasak sup onugbu dengan daging.

Ia tidak makan daging karena menilai membunuh hewan adalah keliru besar; ia bilang tindakan itu melepaskan racun ketakutan dalam daging hewan dan racun ketakutan akhirnya membuat orang-orang paranoid. Di rumahmu dulu, potongan daging yang kausantap, jika memang tersedia daging di meja makan, adalah sebesar setengah jari telunjukmu. Tapi kau tidak memberi tahu hal itu padanya. Kua tak memberi tahu pula bahwa balok penyedap dawadawa yang ibumu masukkan ke semua jenis masakan, karena bubuk kari dan rempah thyme terlalu mahal, mengandung MSG, atau tepatnya, memang MSG. Ia menyebut MSG menyebabkan kanker, itulah sebabnya ia menyukai restoran Chang; Chang tidak menggunakan MSG dalam olahan masakannya.

Suatu kali, saat kalian makan di restoran Chang, ia memberi tahu pelayan di sana bahwa ia baru saja mengunjungi Shanghai,  bahwa ia bisa bicara sedikit bahasa Mandarin. Si pelayan menyambut hangat dan memberi tahu sup terbaik di Shanghai dan bertanya, “Kau punya pacar di Shanghai sekarang?” Dan ia hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa pun.

Kau kehilangan selera makan, ruang di dalam dadamu terasa tersumbat. Malam itu, kau tak mendesah saat ia memasukimu, kau menggigit bibirmu dan pura-pura tak mencapai puncak sebab kau tahu ia akan khawatir. Beberapa saat kemudian, kau memberitahunya mengapa kau merasa gusar, bahwa meskipun kalian sering makan bersama di restoran Chang, meskipun kalian sering berciuman sebelum pesanan datang, pria Cina itu berasumsi kau mustahil kekasihnya, dan ia hanya tersenyum dan membisu. Sebelum meminta maaf, ia memandangmu dengan tatapan kosong dan kau tahu belaka ia tak mengerti.

***

Ia membelikanmu sejumlah hadiah dan ketika kau keberatan mengenai harganya, ia mengatakan kakeknya di Boston kaya-raya tapi kau buru-buru menambahkan bahwa pria sepuh itu telah banyak berderma sehingga dana perwalian untuknya tidaklah besar. Hadiah-hadiahnya membuatmu takjub. Sebuah bola kaca seukuran kepalan tangan yang bisa kaugoyang-goyangkan untuk melihat figur gadis kecil berpakaian merah muda menari berputar-putar. Sebuah batu berkilau yang memantulkan warna benda apa pun yang disentuhnya. Sebuah sapu tangan mahal dengan lukisan tangan dari Meksiko. Akhirnya kau berkata padanya, suaramu merentangkan ironi, bahwa dalam hidupmu selama ini hadiah-hadiah selalu bermanfaat. Batu, misalnya, akan berguna jika kau bisa menggiling sesuatu dengannya. Ia tertawa keras lama sekali tapi kau tidak. Kau menyadari bahwa dalam hidupnya, ia bisa membeli hadiah semata sebagai hadiah, bukan sesuatu yang akan berfaedah. Saat ia mulai membelikanmu sepatu dan pakaian dan buku-buku, kau bilang padanya tak usah, kau tak menginginkan hadiah sama sekali. Tapi ia terus saja membeli sesuatu dan kau menyimpan semua itu untuk diberikan kepada para sepupu dan paman dan bibimu jika kau punya kesempatan pulang suatu hari nanti, walaupun sebenarnya kau tak tahu bagaimana caranya kau bisa membeli tiket pulang dan membayar sewa kamar. Ia bilang ia sungguh-sungguh ingin melihat Nigeria dan ia bisa membiayai tiket untuk kalian berdua. Kau tak ingin ia mengongkosimu untuk pulang kampung. Kau tak mau ia pergi ke Nigeria, untuk menambahkan Nigeria dalam daftar negara yang pernah ia kunjungi, negara-negara tempat ia bisa menatap heran pada kehidupan orang-orang miskin yang tak akan pernah bisa balik menatap heran pada kehidupannya. Kau memberi tahu apa yang kaupikirkan itu pada suatu hari yang cerah ketika ia mengajakmu pelesir ke muara Long Island. Kalian pun bertengkar, suaramu meninggi saat kalian berjalan di sepanjang perairan yang tenang itu. Ia bilang kau keliru menyebutnya sebagai seorang yang merasa benar sendiri. Kau bilang ia salah ketika menganggap orang-orang miskin India di Bombay adalah orang-orang India tulen. Apakah itu berarti ia bukanlah orang Amerika tulen, sebab ia tak seperti orang-orang miskin gemuk yang sering kalian lihat di Hartford? Ia buru-buru berjalan mendahuluimu, bagian atas tubuhnya polos dan tampak pucat, langkah-langkahnya yang tergesa-gesa itu menghamburkan butiran-butiran pasir, tapi akhirnya ia berbalik dan mengulurkan tangan untuk menggenggam tanganmu. Kalian berbaikan dan bercinta dan membelai rambut satu sama lain, rambutnya lembut dan kuning serupa rumbai rambut jagung muda, rambutmu gelap dan membal serupa isian bantal. Ia terpapar sinar matahari terlalu banyak, kulitnya tampak sewarna semangka matang dan kau menciumi punggungnya sebelum kau mengoleskan losion.

Sesuatu yang membelit lehermu, sesuatu yang membuatmu nyaris tercekik sebelum kau terlelap itu, perlahan-lahan mengendur, mulai terlepas.

***

Kau tahu dari reaksi orang-orang bahwa kalian tampak abnormal—yang artinya, terlalu buruk atau terlalu muluk. Lelaki dan perempuan tua kulit putih yang menggerutu dan menatap tajam padanya, lelaki kulit hitam yang menggeleng-gelengkan kepalanya padamu, perempuan kulit hitam yang sorot matanya seolah-olah menangisi hilangnya rasa percaya dirimu, iba terhadap kebencianmu terhadap diri sendiri. Atau perempuan kulit hitam yang sekilas tersenyum sebagai ungkapan solidaritas; lelaki kulit hitam yang mencoba terlalu keras untuk memaafkanmu, melontarkan sapaan hai yang janggal padanya; lelaki dan perempuan kulit putih yang berujar “wah pasangan yang serasi” dengan terlalu ceria, terlalu lantang, seakan-akan untuk membuktikan pikiran terbuka mereka pada diri sendiri.

Namun, orang tuanya ternyata berbeda; mereka hampir membuatmu berpikir bahwa hubungan kalian normal belaka. Ibunya memberitahumu bahwa ia tak pernah membawa seorang gadis untuk menemui mereka, kecuali teman kencan malam perpisahan SMA dahulu. Ia meringis kaku dan menggenggam tanganmu. Taplak meja makan menutupi tangkup tanganmu. Ia meremas tanganmu dan kau meremas balik, dan kau bertanya-tanya mengapa ia begitu kaku, mengapa mata minyak-zaitun-murni miliknya terlihat berubah gelap saat ia berbicara kepada orang tuanya. Ibunya tampak senang ketika kau menjawab telah membaca novel-novel Nawal el Saadawi. Ayahnya bertanya seberapa mirip masakan India dengan masakan Nigeria dan menggodamu untuk membayar tagihan yang datang. Kau memandang mereka dan merasa bersyukur bahwa mereka tidak memeriksamu layaknya piala eksotis, seperti gading gajah.

Setelah pertemuan itu selesai, ia memberitahumu tentang masalah-masalahnya dengan orang tuanya, bagaimana mereka membagi cinta seumpama memotong-motong kue ulang tahun, bagaimana mereka akan memberinya potongan lebih besar jika ia setuju untuk kuliah di jurusan hukum. Kau sebenarnya ingin bersimpati. Alih-alih, kau justru merasa marah. 

Kau bertambah marah saat ia memberi tahu bahwa ia menolak ajakan orang tuanya untuk berlibur di Canada, di rumah peristirahatan mereka di wilayah pedesaan di Quebec, selama satu atau dua minggu. Mereka bahkan memintanya untuk mengajakmu. Ia memperlihatkan foto-foto pondok milik keluarga itu dan kau heran mengapa bangunan itu disebut pondok sebab di kampung halamanmu, bangunan yang sebesar itu hanyalah kantor-kantor bank atau gereja. Kau menjatuhkan gelas dan gelas itu pecah berkeping-keping saat membentur lantai kayu apartemennya. Ia bertanya apa ada yang salah dan kau menjawab tak ada, walaupun kau berpikir banyak sekali yang salah. Kemudian, di kamar mandi, kau mulai menangis. Kau melihat air pancuran melarutkan air matamu dan kau tak tahu mengapa kau menangis. 

***

Akhirnya, kau menulis surat. Surat pendek kepada orang tuamu, yang kauselipkan di antara lembaran-lembaran dolar yang bagus. Kau pun menyertakan alamatmu di Amerika. Diantar kurir, kau mendapat surat balasan langsung beberapa hari kemudian. Ibumu menulis sendiri surat itu; kau bisa mengenalinya dari tulisan tangan yang mirip cakar ayam dan sejumlah kesalahan ejaan. 

Ayahmu telah meninggal dunia; ia tergelincir bersama mobil perusahaan. Sudah lima bulan yang lalu, ibumu menulis. Mereka menggunakan sebagian uang kirimanmu untuk membiayai pemakaman yang layak: Mereka menyembelih seekor kambing untuk para pelayat dan memakamkan jasad ayahmu dalam peti mati yang pantas. Kau meringkuk di kasur, menekan lutut di dadamu, dan berusaha mengingat-ingat apa yang kaulakukan pada bulan-bulan setelah ayahmu tutup usia. Mungkin ayahmu berpulang pada hari ketika sekujur tubuhmu merinding, kaku serupa beras, yang tak bisa kaujelaskan sebab-musababnya. Juan menggodamu waktu itu, menyeretmu untuk mendekati panggangan di dapur sehingga kau bisa merasa hangat. Barangkali ayahmu meningal dunia saat kau sedang menuju museum Mystic atau sedang menonton teater di Manchester atau sedang makan malam di restoran Chang.

Ia menggenggam tanganmu selama kau menangis, membelai-belai rambutmu, dan menawarimu tiket pulang, serta menemanimu pergi menemui keluargamu. Kau bilang tidak, kau mesti pergi sendiri. Ia bertanya apakah kau akan kembali dan kau mengingatkannya bahwa sebagai pemegang kartu hijau, kau akan kehilangan kartu izin tinggal itu jika kau tidak kembali ke Amerika dalam jangka waktu satu tahun. Ia berkata kau tahu apa yang ia maksud, apakah kau akan kembali, akan kembali? 

Kau memalingkan wajah dan membisu, dan saat ia mengantarkanmu ke bandara, kau memeluk erat dirinya lama, lama sekali, sampai akhirnya kau pun melepaskannya.

—Diterjemahkan dari cerpen “The Thing Around Your Neck” yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama (Fourth Estate, 2009).

Tentang Penulis

Chimamanda Ngozi Adichie lahir dan besar di Nigeria. Pada usia 19 tahun, ia pergi ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi, kemudian lulus sarjana di Universitas Negeri Eastern Connecticut, mendapatkan gelar master dari Universitas John Hopkins dan Universitas Yale. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dan terbit di berbagai media ternama, di antaranya The New Yorker, Granta, dan Zeotrope. Novel-novelnya telah memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi, antara lain: Purple Hibiscus (2003) memenangkan Commonweath Writer’s Prize dan Hugston/Wright Legacy Award, Half Yellow Sun (2006) memenangkan Orange Prize, Americanah (2013) memenangkan National Book Critics Circle Award. Kumpulan cerpennya The Thing Around Your Neck (2009) masuk nomimasi dalam penghargaan Frank O’Connor International Short Story Award. Buku terbarunya adalah Dear Ijawele, or a Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions (2107). Selain menulis, ia juga kerap diundang berceramah di berbagai penjuru dunia. Penerima MacArthur Foundation Fellowship ini kini membagi waktunya antara Amerika Serikat dan Nigeria.