Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Titis Anggalih
Aku kenal seseorang yang kerjanya melulu
berkhayal. Maksudku, bahkan orang ini berkendara menyusuri jalan sambil terpejam. Suatu hari, aku duduk di
kursi sebelah kemudi dalam mobilnya, dan ketika menoleh ke kiri, aku melihat kedua tangannya memegang
stir dan matanya
terpejam. Sungguh, ia mengemudi macam itu di jalan raya.
“Haggai,” kataku, “itu bukan ide bagus.
Haggai, buka matamu.” Namun, ia tetap memejam, bagai segala sesuatu baik-baik saja.
“Kau tahu aku lagi di mana?”
tanyanya padaku.
“Bukalah matamu,” kubilang lagi. “Come on, bikin takut saja.” Ajaib betul,
kami tidak nabrak apa pun.
Orang ini mengkhayalkan keluarga orang lain
laiknya mereka adalah keluarganya. Tentang mobil mereka, tentang pekerjaan
mereka. Apa pun pekerjaan mereka. Tentang istrinya. Mengkhayalkan wanita lain
sebagai istrinya. Juga anak-anak, tak luput, yang pernah ia temui di jalan atau
di taman, atau yang pernah ia tonton pada suatu serial televisi, berimajinasi seolah mereka itu
keluarga bahkan anaknya sendiri. Habis berjam-jam dilewati demikian rupa.
Maunya, sepanjang hidup dihabiskan seperti itu.
“Haggai,” kubilang,
“bangunlah. Sadar pada kenyataan
hidupmu. Kau itu punya keluarga yang mengagumkan. Istri
menawan. Anak-anak yang hebat. Bangunlah.”
“Hentikan,” jawabnya dari benaman
kursi kemudi, “jangan mengisruh. Kau tahu, aku lagi bersama siapa? Yotam
Ratsabi, kawan lamaku di angkatan darat. Di tengah wisata jeep bareng Yotam
Ratsabi. Cuma aku, Yoti, dan bocah Eviatar Mendelssohn. Dialah si bocah cerdik
dari TK Amit. Dan Eviatar, si setan kecil, bilang padaku, ‘Ayah, aku haus.
Minta bir boleh?’ Bayangkan. Bocah ini belum juga tujuh tahun. Maka kukatakan,
‘Jangan bir, Evi. Tahu, kan, Ibu
bilang itu enggak boleh.’ Ibunya,
mantan istriku, maksudku. Rona Yedidia dari zamanku SMA. Cantik bak model, tapi tandas,
setandas paku.”
“Haggai,” kataku, “bocah itu
bukan anakmu dan wanita itu bukan istrimu. Kau tak bercerai, Bung, pernikahanmu
membahagiakan. Buka matamu.”
“Tiap si bocah kuantar pulang padanya,
aku jadi ngaceng,” katanya,
seperti tidak mendengarkanku. “Ngaceng
besar macam tiang kapal. Cantik, mantanku itu, cantik tapi tandas. Dan
ketandasannya itulah yang bikin ngaceng.”
“Wanita itu bukan mantanmu,”
kubilang, “dan kau tidak sedang ngaceng.”
Aku sadar yang kukatakan. Dia memakai celana pendek dan jarak kami satu meter.
Mana ada ngaceng di situ.
“Kami mesti pisah,” katanya,
“aku benci bersamanya. Dan dia benci bersama dirinya sendiri.”
“Haggai,” kuakui, “nama
istrimu Carnie. Dan memang, ia cantik. Dan tidak tandas. Tidak padamu.”
Istrinya begitu halus. Jiwanya lemah lembut serupa burung dan berhati lapang;
peduli pada semua orang. Kami telah jalan bersama sejak sembilan bulan. Haggai
berangkat kerja lebih awal, jadi aku menemuinya pukul setengah sembilan. Persis
sehabis mengantar anak-anak ke TK.
“Aku dan Rona bertemu saat SMA,”
Haggai melanjutkan. “Ia cinta pertamaku dan aku cinta pertamanya. Setelah
cerai, aku sering ngeseks tapi bahkan
tak ada barang seorang yang menyamainya. Dan kau tahulah, setidaknya dari
kejauhan, ia masih tampak sendirian. Kalau ternyata dia sudah menemukan
seseorang, itu bakal meremukkanku meski kami sudah cerai atau apalah.
Meremukkan berkeping-keping. Tak bakal bisa kuterima. Para wanita lain tidak
ada artinya. Ia seorang. Satu-satunya selama ini.”
“Haggai,” kukatakan,
“namanya Carnie dan tidak ada yang lagi jalan bersamanya. Kalian masih
menikah.”
“Tak ada yang lagi bersama Rona
juga,” katanya, lalu menjilat bibirnya yang kering, “tidak ada. Aku bisa bunuh diri
kalau ada.”
Kini Carnie datang ke apartemen,
menyangking tas AMPM. Ber-‘hai’ datar ke
arahku. Sejak aku dan Carnie bersama, dirinya berusaha lebih menjaga jarak
kalau ada orang di sekitar kami. Bahkan ia tidak bilang ‘hai’ pada Haggai; tahu
dia bahwa tak ada guna bicara pada Haggai kalau matanya sedang merem.
“Kediamanku,” kata Haggai,
“persis di tengah Tel Aviv. Eloknya, dengan pohon murbai tepat di bagian
luar jendela. Tapi kecil, sih, kelewat kecil. Perlu kamar lagi. Di akhir pekan,
kalau ada anak-anak, aku harus mengosongkan sofa di ruang tamu. Repot belaka.
Kalau sampai musim panas tak dapat solusi, aku mau pindah saja.**
Diterjemahkan dari Bahasa Ibrani oleh Miriam Shlesinger (kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh saya. Secara sekadarnya, tentu saja. Boleh suka; tidakpun tak apa).