Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Ayu Welirang
Suatu hari, seorang ronin, Tajima Shume namanya—pria yang bisa apa saja dan suka membaca—sedang berpetualang untuk melihat dunia luas, pergi ke Kyoto lewat jalur Tokaido. [Jalur tersebut dikenali juga sebagai jalur sepanjang Laut Timur, jalan raya paling terkenal yang menghubungkan Kyoto dan Edo. Namanya juga berasal dari provinsi yang dilalui sepanjang jalur itu.] Suatu hari, di lingkungan Nagoya, provinsi Owari, ia senang dengan seorang pendeta pengembara—yang mana Tajima memulai percakapan dengannya. Kala menemukan bahwa keduanya menuju tempat yang sama, keduanya setuju untuk bepergian bersama, coba melupakan rasa lelah dengan membicarakan macam-macam hal; dan karena hal itu, saat mereka menjadi lebih dekat, mereka mulai mengobrol tentang hal pribadi tanpa kendali; dan sang pendeta, percaya sepenuhnya dengan wibawa teman perjalanannya itu, hingga ia memberi tahu objek dari perjalanannya.
“Belum lama ini,” ujarnya, “Aku sudah memupuk harapan sampai-sampai terpatri dalam pikiran; di mana aku bertekad untuk membangun arca dalam rangka menghormati Buddha; dan dengan tujuan ini, aku telah mengembara ke berbagai provinsi untuk mencari sedekah, dan (siapa pula yang peduli seberapa keras kerjaku?) kami berhasil mengumpulkan dua ratus ons perak, cukup rasanya—aku percaya—untuk membangun figur perunggu yang indah.”
Lalu, tahukah kau apa kata pepatah? “Ia yang membawa permata di dadanya, menanggung racun.” Si ronin kesulitan mendengar pepatah sang pendeta, sebab keinginan jahat muncul dalam dirinya, dan ia pun berpikir, “Kehidupan manusia, sejak dari rahim hingga ke dalam kubur, hanya berisi kebaikan dan nasib buruk. Dan inilah aku, hampir empat puluh tahun, hanya mengembara, tanpa tujuan atau bahkan harapan untuk lebih berkembang di dunia ini. Yang pasti, walau agak memalukan; jika aku bisa mencuri uang yang pendeta itu bangga-banggakan, maka keseharianku pasti akan baik-baik saja;” maka si ronin mulai menuangkan sebaik apa ia bisa menjalankan rencananya. Namun, sang pendeta tidak berusaha menebak-nebak isi pikiran kawan perjalanannya, ia hanya melanjutkan perjalanan dengan riang sampai mencapai Kuana. Di sini adalah permulaan lautan, dilintasi kapal-kapal feri, yang berangkat segera ketika 20 hingga 30 penumpang telah terkumpul; dan di salah satu kapal tersebut, dua pengembara itu menumpang. Baru setengah perjalanan, sang pendeta tiba-tiba ingin pergi ke sisi geladak; dan si ronin mengikutinya, lalu menjegal sang pendeta ketika tak satu orang pun melihat, dan melemparnya ke laut lepas. Ketika para awak kapal dan penumpang mendengar suara cebur, dan melihat pendeta tengah bergelut dengan ombak, mereka semua takut hingga berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan pendeta; tetapi angin tengah bersahabat, dan kapal itu tetap bergerak cepat di bawah gembungnya layar; jadi mereka cepat menjauh dari pendeta yang perlahan tenggelam bahkan sebelum kapal itu dapat berbalik arah.
Ketika melihat hal itu, si ronin pura-pura sedih dan kecewa, lalu berkata pada penumpang lainnya, “Pendeta yang baru saja tewas itu adalah sepupuku. Dia akan ke Kyoto, mengunjungi kuil pelindungnya; dan karena saya juga sedang ada keperluan di sana, kami memutuskan untuk pergi bersama-sama. Dan, oh malangnya! Karena kemalangan ini, sepupu saya telah tiada, dan saya pun tinggal sendirian.”
Si ronin bicara dengan sangat meyakinkan, sampai menangis sesenggukan, sehingga para penumpang percaya akan ceritanya, dan mengasihani bahkan menghiburnya. Lalu, si ronin pun berkata pada awak kapal:
“Kita semua—memang sudah haknya—harus melaporkan masalah ini pada yang berwenang; tetapi karena urusan mendesak, dan kejadian tadi juga mungkin membawa masalah pada kalian semua, sebaiknya kita tutup mulut dulu untuk saat ini; Saya akan langsung ke Kyoto dan menghubungi wali sepupu saya, juga menulis surat ke keluarga tentang kejadian tadi. Bagaimana menurut Anda semua, tuan-tuan?” tambahnya sambil beralih pada para penumpang lain.
Mereka, tentu saja sangat senang jika bisa menghindari gangguan apapun dalam perjalanan mereka, dan secara serentak menyetujui apa yang disarankan si ronin; dan masalah itu pun selesai. Ketika, pada akhirnya, mereka mencapai pantai, mereka pun meninggalkan kapal—pergi ke masing-masing tujuan mereka—tetapi si ronin, yang terlalu gembira, mengambil barang bawaan sang pendeta, dan melanjutkan perjalanan ke Kyoto.
Sesampainya di ibukota, si ronin mengubah namanya dari Shume ke Tokubei dan menyerahkan posisinya sebagai seorang samurai, menjadi pedagang, dan memulai jual-beli dengan uang pendeta yang telah mati itu. Keberuntungan mengikuti berbagai investasinya, hingga ia mulai mengumpulkan kekayaan besar, dan hidup dengan tenang, menyangkal apa pun yang pernah terjadi, dan seiring waktu ia memperistri seseorang, yang melahirkan anak untuknya.
Hari dan bulan berlalu, sampai pada suatu malam di musim panas yang indah, sekitar tiga tahun setelah tewasnya pendeta, Tokubei melangkah keluar ke beranda rumahnya untuk menikmati udara sejuk dan keindahan cahaya bulan. Merasa bosan dan kesepian, ia merenungkan segala hal, ketika tiba-tiba saja pembunuhan dan pencurian yang dilakukannya dulu sekali, dengan jelas timbul di pikirannya, dan ia pun berpikir dalam hati, “Di sinilah aku, menjadi kaya dan gemuk berkat uang yang kucuri. Sejak itu, segala hal berjalan mudah bagiku; tapi, jika saja dulu aku tidak miskin, tentu aku tidak akan berubah jadi pembunuh atau pencuri! Celakalah aku! Oh, malangnya!” dan ketika ia terus mengingat itu, rasa bersalah menghampirinya, terlepas dari semua hal yang dapat ia lakukan. Sementara hati nurani menyiksanya, tiba-tiba, secara mencengangkan, samar-samar terlihat seorang pria berdiri dekat pohon cemara di taman. Saat ia perhatikan lebih jelas, ia merasa tubuh lelaki itu kurus dan tak bertenaga, matanya cekung dan tak bercahaya, dan ia mengenali hantu yang menyedihkan di hadapannya itu adalah pendeta yang dilemparnya ke laut Kuana. Merasa ngeri dan ketakutan, ia coba memastikan lagi, dan mendapati si hantu pendeta tersenyum menatapnya penuh cemooh. Dia baru saja akan melarikan diri ke dalam rumah, tapi si hantu merentangkan lengannya yang kurus, dan sambil mencengkram belakang leher Tokubei, si hantu memandang penuh amarah dan dendam. Air mukanya tampak kejam dan mengerikan, sampai-sampai orang biasa mungkin akan pingsan karena ketakutan. Namun, Tokubei—yang mana adalah pedagang, dan pernah menjadi tentara—tidak tertandingi karena keberaniannya; mengusir hantu itu dan melompat ke dalam ruangan untuk mengambil belati, mengacungkannya dengan berani, tetapi saat menyerang, si hantu tentu saja menghilang entah kemana, menghindari serangan Tokubei, dan tiba-tiba muncul kembali hanya untuk menghilang lagi; dan sejak saat itulah Tokubei tak kenal istirahat, dihantui siang dan malam.
Akhirnya, terlepas dari kekesalan yang tak henti-hentinya, Tokubei jatuh sakit, dan terus bergumam, “Oh, kesengsaraan! Penderitaan! Pendeta pengembara itu datang untuk menyiksaku!” Mendengar rintihan dan keributan yang ia buat, orang-orang di rumahnya menganggap dirinya gila, dan memanggil seorang dokter yang memberikan resep padanya. Namun, pil atau ramuan apa pun tak mampu menyembuhkan Tokubei—yang kegilaan ganjilnya segera menjadi bahan gunjingan seluruh lingkungan.
Saat ini, kebetulan cerita itu sampai ke telinga seorang pendeta pengembara yang sedang berada di sekitar kawasan Tokubei. Ketika dia mendengar hal ihwal mantan samurai, pendeta itu menggoyangkan kepalanya dengan serius, seolah-olah dia paham duduk perkaranya, lantas mengirim seorang teman ke rumah Tokubei untuk mengatakan bahwa seorang pendeta yang mengembara dan bertahan dalam kerasnya hidup, telah mendengar tentang penyakitnya, dan jika ia sedang dalam kondisi terbaik, akan berusaha untuk menyembuhkan Tokubei melalui doa-doanya; dan istri Tokubei, setengah tak waras karena penyakit suaminya, segera memanfaatkan kesempatan untuk memanggil sang pendeta dan membawanya ke kamar suaminya yang sakit.
Namun tak berapa lama setelah Tokubei melihat pendeta itu, ia histeris berteriak, “Tolong! Tolong! Ini adalah pendeta yang datang untuk menyiksaku lagi. Ampuni aku! Ampun!” Tokubei menyembunyikan kepalanya di balik selimut dan berbaring gemetaran. Sang pendeta meminta semua keluar ruangan, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga pria yang ketakutan, dan berbisik:
“Tiga tahun lalu, di feri Kuana, kau lempar aku ke dalam air dan kau ingat itu.”
Namun, Tokubei tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa gemetar ketakutan.
“Untunglah,” lanjut imam itu, “aku belajar berenang dan menyelam saat kecil dulu, jadi aku bisa mencapai pantai, dan setelah berkelana di banyak provinsi, lalu berhasil membuat patung perunggu untuk Buddha, sehingga berhasil memenuhi keinginan hati. Dalam perjalanan pulang, aku menginap di dekat sini, dan mendengar penyakitmu yang luar biasa. Kupikir, aku tahu apa sebabnya hingga datang menemuimu, dan aku senang mengetahui bahwa dugaanku tepat. Kau telah melakukan tindak kejahatan; tetapi bukankah aku ini pendeta? Aku telah meninggalkan segala hal duniawi, dan tidakkah menyakitkan jika aku memikul dendam? Maka bertobatlah dan tinggalkan semua perbuatan jahatmu. Jika aku melihat kau melakukannya, maka aku sangat takzim dan berbahagia. Maka bersoraklah sekarang dan lihat wajahku! Kau akan menyadari bahwa aku benar-benar manusia, bukan sosok hantu pendendam yang datang untuk menyiksamu!”
Sadar bahwa dirinya bukan menghadapi hantu, dan diliputi oleh kebaikan hati sang pendeta, Tokubei menangis, lalu menjawab, “Oh, sungguh aku tak tahu harus berkata apa. Dalam sekelebat kegilaan, aku tergoda untuk membunuh dan merampokmu. Dewi fortuna memang berada di pihakku selama ini, tapi semakin kekayaanku bertambah, semakin aku merasakan sisi jahatku, dan aku pun semakin membayangkan pembalasan korban-korbanku suatu hari nanti pasti akan terjadi. Dihantui oleh pikiran ini, aku pun kehilangan keberanian, sampai suatu malam aku melihat sosok hantu sepertimu, dan sejak saat itu pula aku jatuh sakit. Tetapi bagaimana kau berhasil melarikan diri, dan masih hidup, lebih dari yang aku bisa mengerti.”
“Seorang pria yang bersalah,” kata pendeta itu sambil tersenyum, “pasti akan bergidik mendengar gemerisik angin atau sekadar mendengar burung bangau mematuk; hati nurani seorang pembunuh bisa memangsa pikirannya sampai-sampai ia melihat apa yang tidak nyata. Kemiskinan memang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan yang disesalinya setelah menjadi kaya. Doktrin Moshi [Mencius] memang benar, bahwa hati manusia, murni sejak lahir, tetapi rusak oleh keadaan!”
Jadi, ia pun bertahan, dan Tokubei yang sudah lama bertobat dari kejahatannya, memohon ampunan, serta memberinya sejumlah uang sambil berkata, “Setengah dari ini adalah jumlah yang saya curi darimu tiga tahun lalu. Separuh lainnya kumohon agar kau terima sebagai bunga, atau sebagai hadiah.”
Awalnya, sang pendeta menolak uang itu, tapi Tokubei bersikeras agar sang pendeta menerimanya, dan melakukan semua yang dia bisa untuk menahan pendeta pengembara itu. Namun, ia sia-sia karena sang pendeta melanjutkan perjalanannya, dan memberikan uang kepada orang miskin, serta yang membutuhkan. Ada pun Tokubei sendiri, perlahan menyingkirkan kondisinya yang kacau, dan sejak saat itu hidup damai dengan semua orang. Ia dihormati di rumah dan di luar negeri, serta selalu berniat melakukan perbuatan baik dan amal.
Diterjemahkan dari TAJIMA oleh Miss Mitford (Orient Anthology)