Category: Puisi

  • Ziarah

    author = Moh. Alim

    Ziarah

    /1/
    Rombe,
    ketika bayi yang kau kandung tidak lagi mengea
    suaranya yang keras dikalahkan oleh burung-burung di sangkar
    apa yang sedang kau sembunyikan dari kenyataan?
    tentu aku murka dan bertanya.

    Angin-angin yang berkelimang di pagi hari
    meniup sambil menerkam :
    barangkali bayi itu sedang menerjang otakku.
    sehingga anugrah kau sebut hukuman seorang pendosa.

    Mataku yang meruncing nafasku yang kian sesak,
    seolah peluru dan granat membungkam mulutku.

    Rombe,
    kemana bayi itu?
    aku ingin menasihati sebuah perjalanan hidup
    yang mesti didengar :
    bahwa hidup tidak melulu membela diri
    dan kejujuran perlu di jaga sampai mati.
    Tentu aku murka dan bertanya ?

    -Puisi-Alim-

    Ziarah

    /2/
    sungguh sunyi anak yang mati
    sungguh sepi anak yang mati,
    Sayang !
    Anak itu bukan mati sendiri.

    betapa suram anak itu menjerit sendiri,
    perlahan-lahan,
    petaka tumbuh di pagi hari.

    Sayang !
    Maut di sini kejam,
    di mana dataran terlalu lapang,
    di mana langit terlalu adiluhung.

    di kota ini kita sedikit begitu sengsara
    berpijak di tanah yang mendidih,
    di bawah langit
    kita dihujani oleh yang satu
    dan yang lain beku diambang pintu.

    Sayang !
    di jalan yang lemah, kita sedang berduka.

    -puisi-Alim-

    Ziarah

    /3/
    Di dalam jendela kamar
    ada yang meraung sekuat suara
    ada jua yang menundukkan kepala
    ada yang sedang bermimpi
    ada yang putus asa
    ada pula yang berpikir.

    Ketika syair-syairku mati
    ada yang tidak mendengar
    ada yang menangis
    ada yang berbisik sebuah nama
    ada yang menarik nafas
    ada yang berduka.

    Ketika kota berkabut asap
    ada yang menolak derita
    ada jua yang menjerit perlahan
    ada yang menjanjikan masa depan
    ada yang lapar dan dahaga.
    Manusia menderita
    manusia telah menderita
    alangkah panjang malammu !

    -puisi Alim-

    Musim Dingin

    musim dingin hanya sebentar
    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal.

    jangan kau biarkan disita oleh waktu
    jangan kau biarkan ditipu oleh masa muda
    jangan biarkan kau dihantam senapan dan peluru
    tengaklah !
    jangan seperti bunga yang mudah layu.

    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal
    ia cepat melintas di usia muda:
    lalu sedulur api membakar matamu.

    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal.
    ketika sangkamu: lonceng kehidupan berderu
    membajak hari pagimu
    maka lonceng malammu menjadi
    akhir suka dan dukamu.
    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal

    -puisi Alim-

    Air Mata, Mata Air

    Rinai tangisan hatiku
    sebagai rintik hujan di kota :
    apa guna gerangan makna lesu
    yang menjadi penyusup kalbuku?

    Aduu… lembutnya tetesan hujan
    merintiki tanah dan atap rumah kami.
    wahai, tarian hujan
    hati kami diambang bosan !

    Hamburan ratap kami berujung tanpa sebab
    dalam hati yang digandrungi egosime diri.
    apakah penghianatan selalu tidak ada?
    tentu, sesal ini tidak menemukan sebab.

    Sungguh perih dan menyiksa !
    ketika kami sama-sama tidak tahu
    keindahan tragedi dan cinta.
    Hati pun larut dalam derita.

    -Puisi Alim-

  • Ziarah oleh Dhani Susilowati

    author = Dhani Susilowati

    Catatan Redaksi:
    Puisi berjudul Ziarah nampak memperlihatkan pertentangan antara hal-hal yang mengikat dengan yang membebaskan. Dalam puisi tersebut, aku lirik berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang selama ini membelenggunya. Namun setelah berani bertindak atas nama kebebasan tersebut, ia kemudian malah terjebak pada kebimbangan. Hal ini terjadi karena kebebasan berada di ranah personal sementara ikatan adalah bagian dari ranah publik. Pada akhirnya, kebebasan individual, yakni memilih apa yang diinginkan akan kembali terpenjara dalam ikatan yang berada di ranah publik. Inilah ironi yang ditampakkan dalam puisi tersebut

     

    Ziarah

    Aku gagal berziarah tempo hari. Sebab doktrin itu belum mati.
    Aku gagal berziarah (lagi) kemarin. Sebab doktrin itu masih saja menuai benci.

    Pada akhirnya aku benar-benar berziarah hari ini.
    Serba hitam busana kupakai. Bacaan tahlil berdengung ramai.

    Tapi siapa yang kuziarahi?
    Sebab doktrin itu masih lekat pada mereka, para pengabdi.

     

    Adalah Candu

    Sebab
    mencintaimu adalah rindu.
    Penjara kau aku,
    di jeruji tabu.

    Sebab mencintaimu adalah
    candu. Candu memadu aku, dalam
    telisik degup di nadi yang biru, tenang
    tapi menipu

     

     

    Lelaki Makam

    :Kau

    Malam sebelum hilang
    lelaki itu bilang,

    “Aku akan menziarahi kenangan.”

    “Bawa serta bunga segar, barangkali ia akan senang,”

    bisik Nona sebelum diam.

    Malam-malam usai pertemuan,
    wanita itu bilang,

    “ia telah nyaman menjadi lelaki makam.”

     

     

    Monyet Berdasi

    Lihat, monyet itu berdasi.
    Sekarang sedang duduk di kursi.
    Dia tidak suka pisang lagi. Malah
    gemar makan roti, dan
    jalan-jalan ke luar negeri

    Lihat (lagi),
    monyet itu berpidato kali ini.
    Katanya demi kemajuan negeri.

    “Ah masa si?”

    Tutur pak kyai.

     

     

    Gambar adalah lukisan berjudul Graveyard karya Karl Isakson (1878-1922)

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • When Almond Blossomed dan puisi-puisi lainnya

    author = Edwin Anugerah Pradana

    Le Mythe de Sisyphe

    “Il n’y a qu’un problème philosophique
    vraiment sérieux: c’est le suicide.” – Albert Camus

    Sedekat itulah kita
    dengan kematian yang
    menjadi siklus.

    Aiolos menyadari
    putranya adalah angin
    bengal tanpa kompas.

    “Ia, Sisifus, adalah
    kering yang tandus.”

    Lalu, batu itu adalah kehidupanmu

    Kejahatan telah jadi
    pasir-pasir akrab, seperti
    persetubuhan keji dengan
    kemenakan.

    “Izinkan aku kembali ke Korintus.
    Neraka ini melelahkan.”

    Persefon mengizinkan
    dengan titah memburuh
    batu besar bukit tandus.

    Sedekat itulah kita
    dengan kematian yang
    menjadi siklus.

    Seperti juga
    hidup yang ampang
    dan jadi buruh

    daripada mati
    daripada bunuh diri?

    2920

    Segelas Teh untuk Raja Arthur

    “Sesap aku di dingin salju!”

    Gelas berongga ini
    mengantarkan hangat
    dan wangi teh langsung
    dari abad kelima.

    “Letakkan Excalibur!”

    hari ini tak ada perang
    di Camelot, hanya ada
    ampas daun dan

    kepul asap
    yang mengitari gelas
    bersama musim-musim
    gugur Britania.

    2020

    Dawn’s Highway

    I saw a ghost on the highway
    Bleeding on the road
    He said an empty heart is always
    stone-cold– Jim Morrison

    Suar-suar berubah
    memunculkan tabung
    dimana lirik-lirik gelap
    Light my Fire bersentuhan
    dan api-api kecil memadam.

    Gurun New Mexico
    menyamai kerongkongan
    kering dan depresi
    yang kian waktu kian
    padat sekarat.

    Indian telah merekat
    di darah-darah, juga
    kau dan rambut
    tanggung bergelombang.

    “Paris and toilet speak louder
    than death, Jim.”

    Mungkin kalimat
    itu yang akan kukatakan
    jika aku membopongnya
    keluar dari toilet.

    Di situlah ia melepaskan
    dirinya, berganti baju
    jenazah, sebuah ajal
    sebangun toilet.
    Lalu Paris sedikit
    bercerita tentang kematiannya:

    “Di atas kalimat Kata Ton Daimona Eaytoy.
    Kini album dan namamu
    telah tiba di epitaf Père-Lachaise.”

    2020

    When Almond Blossomed

    Giya Kancheli menyaksikan bagaimana proses surga dibanjiri oleh bir. Lalu minor-minor itu semakin memabukkan, dan tentu She is Here menyusul. Teringat pada suatu kelahiran, di Tiflis. Suatu kelahiran pada almon, tanpa pohon. Hanya simfoni?

    Tak ada surga dan bencana, berarti banjir bir adalah sebuah orkestra lembab dan kini basah.

    “Surga banjir bir!”

    Semakin dalam tuts piano, semakin dangkal langit. Panggung itu berada di jamuan bidadari. Ia sendiri yang meminta malaikat menyalakan penyintesis. Sebuah alat tambahan.

    “Sinyal dan suara campur rintik akan segera tiba ke bumi.”

    Ia sedang menikmati surga, dan kini pelangi adalah susunan. Kini pelangi jadi klasik. Kini hujan akan disusul orkestra yang melarik-larik awan mendung.

    Namun teduh.

    Esok surga banjir bir.

    2020

    Epigram Sengkuni

    Pincang aku masuk dalam tanah
    perlahan tiba saat matahari
    kutunggu terang dan saktinya.

    Sama seperti aku menanti
    minyak tala agar keabadian
    segera turun seperti sinar fajar.

    Hangatlah aku dalam kekal, sebelum Bima membunuhku.
    Semoga kayangan adil menghitung duka dan tak melupakan sengsaraku atas nama tipuan Pandu.

    2020

  • Tulisan Awal Juni oleh Polanco Surya Achri

    author = Polanco Surya Achri

    TULISAN AWAL JUNI

    Azan berkumadang!

    : mengapa harus kulewati rumahnya

    untuk menuju rumah-Mu?

     

    Tuhan, kini sandalku rusak!

     

    (2016)

     

     

    NEON

    Seekor kumbang terbalik di pelataran masjid, tiga pasang kakinya bergerak-gerak hendak meraih sesuatu. Cahaya! Mungkin sang kumbang tengah merindu, bagai si pungguk merindukan bulan.

    Suatu daya mengerakkanku: membalikkan badannya

    ia menyentuh jariku dan kami merasa bercahaya!

    Mei, 2017

     

     

    DUHAI, CAHAYA DI ATAS CAHAYA

    Pada bayangan diri, aku masih tergoda

    padahal aku begitu ingin seperti laron yang sirna

    terbakar dalam penyatuan

    Apa karena begitu terangnya cahaya

    sampai-sampai aku terpesona pada bayangan—diri?

     

    (1438)

     

     

    DI MASJID

    Kita dulu kerap berlomba, berteriak “amin” paling keras dan kencang saat menghadap-Nya. Dan kita amat suka saat dimarahi orang-orang itu, lalu senyum-senyum sendiri saat mengingat-ingat wajah-Nya yang ikut bahagia mendengar suara kita. Namun, kini kupikir kita sama naifnya dengan mereka—bahkan mungkin lebih. Kita berlaga khusyuk: mengalami perjumpaan, padahal kita bener-benar memaling.

     

    (1438)

     

     

    MALAM-MALAM GANJIL! AKU MENCARI KEGENAPAN BATIN

    Jika aku bersandar pada tiang rumah-Mu

    entah mengapa aku selalu terpejam:

    membayangkan apa itu keabadian

     

    (1438)

     

    *gambar tiang Masjid Vakil di Shiraz, Iran

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Polanco adalah puisi religius. Religiusitas dalam puisi ini adalah persoalan pencarian dan penemuan (jalan) cahaya. Apakah kita harus senantiasa menatap matahari untuk bisa melihat cahayanya? Tentu saja tidak karena mata kita malah akan rusak karenanya. Tapi kita masih bisa melihat cahaya itu dari benda-benda yang terkena sinarnya. Benda-benda itulah yang kemudian akan memantulkan cahaya sampai ke mata kita. Kisah kumbang yang terbalik dalam salah satu puisi Polanco adalah bentuk metafora tersebut. Aku lirik akan dapat menemukan cahaya illahiah dari pantulan cahaya yang mengenai si kumbang yang saat itu memerlukan cahaya (pertolongan) Tuhan. Tapi boleh jadi juga, dari kacamata si kumbang, aku liriklah yang sebenarnya menjadi pemantul cahaya illahiah.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Tragedi Potong Rambut oleh Andre Wijaya

    author = Andre Wijaya

    TRAGEDI POTONG RAMBUT

    Tragedi potong rambut serupa upacara keluarga

    menyucikan diri dari libur paling panjang

    anak pulang milik penuh orang tua

     

    di kepala hidup sebuah kecamatan

    aku adalah camat membangun segalanya

    kota yang resah gagal diselamatkan

    dari hari pemotongan

     

    jalanan kembali lengang di kota kami

    kehilangan pohon hitam yang rindang

    anak tidak akan tumbuh

    bayi-bayi mati

    kehabisan ketombe pada akar dan batang

     

    seorang anak dari kutu jenis lain sedang mencari ibu

    cemas menunggu popok dan puting susu

    isak tangis tak akan lama dan tersesat

    air mata jatuh ke perut

    membentuk kesedihan yang tak pernah larut

     

    aku kenang rambut gugur sebagai kesedihan

    menyabari rumah runtuh dan rubuh

    lelaki di ujung sana menjelma gunting cukur

    meresmikan kutu menjadi yatim piatu

     

    aku masuk ke dalam cermin

    tidak berkenalan sama sekali

    rumah tangga hancur

    dan kematian terus berlompatan dari kepala

    entah siapa saja

    cinta seluruh rambut panjangku

    kecuali satu

    : perintah mama adalah nyanyian burung

    serupa radio rusak dan murung

     

    di rahim

    perempuan membangun puisi

    menuliskan syair tentang surai pendek

    untuk setiap anak lelaki

     

    aku pulang dengan perasaan yang lain

    menuntaskan bon dan keinginan

     

    di wajah

    jiwa muda sudah murah meriah

    mama jadi sumringah

     

    suatu hari

    seseorang berjanji melupakan panjang dan halus rambut

    pagi ini Chris Hemsworth ada di televisi

    rambut Thor menjuntai ke bahu dan indah sekali

    pandanganku kabut

    sesuatu menciptakan hujan di mata sendiri

    : mengingatkanku pada sebuah tragedi

     

    Perpustakaan UGM, 23 Februari 2017

     

     

    SEORANG LELAKI DAN PEREMPUAN TAK PERNAH ADA

    Seorang lelaki dan perempuan berbincang pada sebuah kepala

    dan di kepalaku mimpi basah susah diciptakan

    imaji sudah tawuran

    tapi tertangkap polisi

    segala mesum dipulangkan

    dibimbing terlebih dahulu

    membawa malu

    gagal menghadirkan seorang perempuan di kamar kosku

    seorang lelaki tidak pernah bertanya

    mengapa di kepala lain perempuan menjadi begitu purba?

    pada mimpi paling getas

    kesunyian paling purna

    ketidakberhasilan yang berulang

    adalah kesepian yang mudah pecah

    aku putuskan bicara pada kasur

    jejak di lantai tercipta saat bangun dan mau tidur

    aku adalah si bodoh

    yang tak pandai menghapus langkah

    pada panjang pendek jarak

    dan begitu lumrah

    mungkin tidak ada yang tahu

    ketakutan menjadi aku sekarang

    malam yang kita sebut adalah kecewa

    gagal memesumi mimpi-mimpi paling basah

    sesuatu mencoba kabur pada sepi yang gigil

    seorang perempuan tak berhasil dipanggil

    dalam angan-angan yang begitu kecil

    maka aku ini orang sederhana bukan?

    tidak menjadi istimewa

    pada mimpiku yang biasa-biasa saja

    Perpustakaan UGM, 2017

     

     

     

    INI HARI TAK ADA JEMURAN

    Ini hari tak ada jemuran

    kau menolak lupa segala hal untuk mencuci

    bernyanyi di kamar mandi

    melepas pakaian

    menggantung segalanya pada paku pintu dengan harapan

    : kenangan malam

    bekas dan ingatan

    tak akan bersih bersama deterjen

    yang kau beli dari toko sebelah

    ketika baru saja buka

    setelah hari lalu menggelar kawinan

     

    hari ini terik sekali

    tetapi kau tak sedikitpun punya niat

    mengeringkannya dari masa lalu

    yang memecahkan kepalamu

     

    karikatur yang membentuk dadamu

    seringkali bersentuhan dengan gambar bibir di bajunya

    kau paham

    : ciuman hanya membuatmu

    tidak mau mengambil ember dan sikat di pagi ini

    Malam Minggu serupa malam-malam lain

    yang gembira menziarahi kesedihan

     

    tentu kau mengingat

    hari di mana kau resmi sendiri

    : sepulang menonton dari bioskop

    dia memutuskanmu

    hanya karena tak suka film komedi

    yang membuatmu terbahak setengah mati

     

    setelah itu kau lupa

    bagaimana cara tertawa

    juga bahagia

     

    kawat di luar sana menyuruhmu segera menjemur apapun

    karena tidak kuat menjadi sesuatu yang bukan apa-apa

     

    kau melamun di atas kloset

     

    sikat gigi

    shampo dan sabun mandi menunggumu sejak tadi

    muak menyaksikan laba-laba

    : membangun jaring

    memamerkan kejantanan pada betina

    yang tak lagi takjub setelah ada sesuatu mulai jatuh

    dan berisik di atap rumahmu

     

    gerimis

    kau tersentak

    baru saju ingat

    lupa tak membeli pewangi dari toko sebelah

    : suami istri yang tiap hari ribut

     

    Mungkin Malam Minggu waktu yang tepat untuk pergi ke laundry pikirmu

     

    Perpustakaan UGM, 5 Februari 2017

     

     

     

    BAJU BARU DARI IBU WARNA BIRU

    Kau tidak pernah suka baju baru dari ibu warna biru

    mengapa tidak abu-abu katamu

    membuatku cemas

    tak sengaja menemukan masa lalu

    : kau dan berak menjadi tontonan

    di sela-sela pelajaran berhitung

    yang tidak pernah kuingat lagi tanggal dan waktu

    besok adalah Rabu

    hari di mana kau memulainya tanpa kau yang dulu

    kemarin kau membeli sesuatu dari toko buku

    judulnya membingungkanku

    bagaimana bisa kau membeli sebuah buku

    Tips Jitu Melupakan Kekasih dan Malam Minggu

    tepat di samping novel Cintaku di Kampus Biru?

    SMP celana kau hampir ungu

    kata ibuku coba pakai belau

    celanaku sudah luntur

    kau terbayang-bayang saat angin menyibak roknya

    celana dalamnya juga ungu lebih ke laut-laut biru

    matamu tak bisa mengenali warna

    bentuknya memalingkan logika

    aku malu berteman denganmu

    aku memanggil Tuhan untuk mengutukmu

    kelas bersorak

    menutup hidung dan teriak panggil guru

    itu pertama kali kau lihat sabit di bibirnya

    wajahmu purnama bulan digagal awan

    membuat kau tidak perlu malu

    dengan tahi yang jatuh satu-satu

    tak sekalipun ragu-ragu

    kau tidak pernah suka baju baru dari ibu warna biru

    lebih-lebih celana yang berwarna…

    kau tahu?

    aku dijuluki anak lugu saat itu

    Perpustakaan UGM, 6 Februari 2017

     

     

     

    DEODORAN MURAH MERIAH BELI DUA DAPAT SATU

    Ada sesuatu yang kau beli dari Pasar yang Baru Buka Beberapa Minggu. Shampo Anti Ketombe, Sabun Mandi Anti Kurap Kadas Panu, Deodoran Murah Meriah Beli Dua Dapat Satu. Kau bertanya, berapa harga yang harus kau bayar? Dua puluh lima ribu, kata Pria Itu. Setelah membayar, seorang pria teriak-teriak ingin bertemu dan mengambil maju. Segalanya menjadi kesal, orang-orang sibuk mencaci maki sambil mengepal tangan dan membentuk tinju. Sesampai di rumah, kau terbayang-bayang kejadian seru. Orang-orang mengingat si Ketiak Kuning yang tak ada malu, itu, sisa deodoran tak hilang di area baju. Kau baru saja mengambil dan membuang sesuatu. Esok. Berencana menjadi pria lain. Datang ke Pasar yang Baru Buka Beberapa Minggu itu.

    Perpustakaan UGM, 9 Februari 2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Andre Wijaya bisa dikatakan ekspresif sekaligus eksperimental. Memperlihatkan bagaimana ledakan jiwa muda penulis terhadap situasi-situasi di sekelilingnya, terlihat emosional dan tergesa.

    Dalam beberapa puisi, ia tampak memilih diksi-diksi yang cenderung bisa dipahami sebagai sesuatu yang jorok. Sebagai contoh kutu, berak, sempak, BH dan lain lain. Agaknya pilihan kata itu untuk menjauhkan diri kesan indah yang sering dipahami dalam penciptaan sebuah puisi. Dalam posisi ini terlihat bagaimana penulis mencoba melakukan gebrakan, hanya saja ia lupa bahwa meskipun tak melulu menggunakan diksi-diksi yang indah keindahan puisi tetap saja muncul, tergantung pada tinggat kepandaian penyairnya sendiri.

    Kalau kita lihat puisi-puisi ini masih dikategorikan sebagai tulisan baru—dilihat dari tanggal penciptaannya—sehingga penulis mungkin perlu lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya terlebih dalam bentuk puisi. Tapi keberanian penulis untuk bereksperimen dalam penulisan puisi-puisinya perlu diapresiasi meskipun ia mesti berjuang keras lagi untuk memperoleh kematangannya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Tiga Cara Menikmati Syukur

    author = Wiviano Rizky Tantowi

    Tiga Cara Menikmati Syukur

    Ada tiga cara kita menikmati syukur:
    1. Jangan pernah mengeluh
        saat ibu memasak sayur kesukaanmu
        dengan tangis melunak dan bumbu beban
        spp sekolah anak-anaknya yang tak lekas lunas.

    2. Dengarkan ayah ketika membagi sepotong cerita,
        tentang kemenangan atas hidup mengembaranya
        yang ia letakkan di atas medan catur sebelum raja
        benar-benar mengancam kedudukan ratu di ranjangnya

    3. Peluklah adik dengan ikhlas
        meski di tangannya tampak jelas
        takdirnya lebih mengalir deras
        ketimbang kita yang sesekali masih
        suka memasang raut wajah melas dihadapan-Nya.

    Maaf Yang Bercermin

    Hari yang kamu jalani kemarin
    adalah maaf yang bercermin
    dan memantaskan diri
    menemui salah dan lalai di hari ini

    Kisah Dua Bapak Muda

    Vas bunga tergelepar di busung palka
    sendirian, mendengar dua bapak muda
    saling lempar pertanyaan resah dengan mendesah
                         (oh, kubiarkan anakku menyelami dilemanya sendiri, katanya)
    Lenguhannya, denting sepasang alat makan, koki yang tak sabar,
    kelotek alat-alat dapur juga sanggahan dari bapak muda satunya,
    kian binal dan sentimental, sementara di ujung tempatku berada
    seperti tak ada apa-apa, gemuruh tawa dari suara terpaksa,
    berhasil kalahkan wabah yang melanda. Bagi mereka hidup adalah
    perkara pembagian masalah. Aku di sini hanya mengamati,
    betapa semua baik-baik. /Kalau dua bapak
    itu mau marah, peraslah biji nangka dalam wadah/ dan napas megap-megap
    pada bungkus kresek yang ringsek. Sejurus kemudian, mereka berdua lupa
    di kopinya masing-masing ada pahit yang larut dari sisa kecemasan keluarganya
    dan sepotong kata maaf yang baru khilaf.


    Kematian Kita Menjadi Lagi Rumah

    :untuk Joyce Christin K.

    Sekilat kilau cahaya sore ini menyilau di hamparan ruang tamu
    —katamu, “tak kutemukan lagi rumah sesungguhnya”
    datang dengan sebungkus pangsit dan berita pahit
    merupakan kesedihan yang berusaha mendobrak masa laluku
           lalu kamu diam, aku bungkam
    tak berani melanjutkan cerita. (pantas saja, dering telponmu
    menyaut ragu) tapi aku juga punya firasat buruk yang meremukkan
    pikiranku sepanjang gugus bintang itu redup, dan aku tak bisa apapun
    selain mengaku dihadapanmu aku lemah yang berusaha menolak pasrah
           (dan lantas aku memelukmu sampai kematian kita menjadi lagi rumah)

  • Theseus

    author = Hisyam Billya Al-Wajdi

    Theseus

    Melempar tatapan ke arah theseus

    Aroma kenikmatan muncul dimana-mana

    Ketika ia letuskan sari kehidupan

    “di kotaku banyak tersaji lubang penawar kenikmatan sekaligus mawar yang durinya bisa di rontokan dengan sentuhan pangkat dan jabatan”

    “di kotaku gairah panas mu kan tersalurkan,segera tanpa kekangan”

    “theseus,adakah birahi ini selesai bersama tersungkurnya minotaur”

    Theseus pun terbang dan mengambang di atas paras rembulan

    Diiringi jerit dan tangis penuh kesakitan

     

    2020

    Seperti Burung dalam Akuarium

    Interlude

    Wajah yang mengenang sebagai kenangan,nafas yang mengalir sebagai sungai,datanglah seperti sekawanan burung dalam akuarium,ku persembahkan padamu bumi yang dihuni para rahib

     

    Bau nafas matahari

    Yang tajam dan hitam menjaring

    Seperti kaldera pada bulat kawah candradimuka 

    Oinarle ada baiknya kita membenamkan diri di selaksa bunga

     

     Oinarle…

    Ku bungkus luka keringku ketika awan  berhamburan ke arah kita

    “Apakah cahaya  bisa memusnahkannya?”katamu

    Boleh jadi senandung dari bisu batu

    Arif menindihnya

     

    Di bumi yang lain

    Sebuah aroma musim panas yang kental

    Tiba-tiba mati dari lengking kanak-kanak

    Akankah pancaran cahaya seperti celah golgota

     

    “Ini adalah siang dimana dingin di awetkan dan rentang waktu seperti dikebiri,masih adakah cinta disini?kenangan brengsek tumpah juga pada akhirnya ketika angin merampas puisi yang kudendangkan”

     

    2020

    Jane

    Jane…

    Bangunkan aku saat fajar sudah merekah sempurna

    Saat burung-burung terbang berkeliaran di hamparan awan

    Bangunkan aku jane

    Ketika embun bermanja-manja pada kelopak bunga

    Sampai keduanya runduk dalam lena

    Jane,janey…aroma musim panasku

    Bangunkan aku…

    Ketika kuda jantan siap pacu 

    Sudah meringkik,jumpalitan ekornya

    Lalu siapkan sanggurdi buatku

    Supaya tak manjal-manjal kakinya

    Supaya nafasnya semakin memburu dalam kendaliku

     

    2020

    Sajak-sajak Buat Otto

    Ia sehelai daun 

    Yang takkan tanggal meski dicambuk angin

    Angin yang tajam,kusam dan berdebu

    Dia itu sebongkah batu

    Takkan lapuk di kikis waktu

    Embusan nafasnya melukis angin

    Membentang diantara sabana-sabana yang gersang

     

    II

    Lelaki itu memungut cahaya yang jatuh dan rebah dipanggkuan tanah sambil menyeka air matanya ia berkata”sebaik-baik cahaya ialah yang memberi kesempatan kegelapan terjelma”

     

    III

    Siul suaramu

    Adalah angin yang menghembus 

    Sabana gersang hatiku

    Alunan nasehatmu

    Adalah kokok ayam di pagi buta

    Membangunkan harapan,berpendaran

    Wajah dan senyum basah mu

    Adalah rembulan numinous

    Adalah bunga camelia

    Senantiasa melulur cahaya

     

    2020

  • Tetesan Rindu Karya Titan Sadewo

    author = Titan Sadewo
    Lahir di Medan, 2 Desember 1999. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Belajar membaca dan menulis di komunitas FOKUS UMSU.
    Puisinya termaktub di antologi Syair Maritim Nusantara (2017), Anggrainim, Tugu dan Rindu (2018).

    SUARA DARI KRETEK

    Sebatang rokok itu sebenarnya ingin sekali membakar dirinya sendiri dengan pasrah tanpa ada campur tangan orang asing yang senang meraba-raba tubuhnya.
    Sebatang rokok itu sebenarnya ingin sekali menyapa asap yang sering dibawa angin entah ke mana.
    Sebatang rokok itu tak pernah tahu hubungan antara api dan asap.
    (2018)

     

     

    MENGUNJUNGI KAMAR MANDI

    Kutemui wajahku yang malu-malu bersembunyi di balik ember. Ia suka mencuci muka dengan ayar suci yang berasal dari sumur baki. Setelah itu, ia kembali ke tempat persembunyiannnya dan berpura-pura menjadi orang asing.
    Kutemui tubuhku yang menggigil dipeluk handuk. Ia paham bahwa handuk menerima siapa saja yang ingin kehangatan dan pelukan. Tanpa ia sadar, bahwa handuk tak pernah memeluk tubuhnya sendiri.
    Kutemui bola mataku yang hilang di dalam gayung. Ia tahu bahwa gayung selalu menyiram siapa saja yang masuk ke dalam kamar mandi dengan air mata. Tanpa gayung tahu, bahwa air mata yang ia gunakan adalah tangisan yang hilang.
    Kudengar ketukan pintu dan hentakan kaki dari luar kamar mandi.
    (2018)

     

    ALISMU: TEMPAT BIANGLALA BERMUARA

    Hujan yang menjalari pipimu akan menghasilkan bianglala. Tapi, dagumu yang basah tak pernah mengizinkan apapun bertengger di sana.
    Sebab itu alismu yang baik hati mengizinkan bianglala melingkarinya.
    (2018)

     

    ANAK KECIL ITU

    Anak kecil itu melihat langit seperti merasakan kasih sayang ibunya yang mahaluas. Yang tak pernah ada habisnya. Walau ia tahu bahwa ibunya juga akan tiada.
    Anak kecil itu melihat hujan seperti merasakan peluh keringat ayahnya yang terus menetes. Yang tak pernah ada hentinya. Walau ia tahu bahwa ayahnya juga akan tiada.
    Anak kecil itu melihat kedua orang tuanya di atas sana. Padahal, semalam ia melihat kedua orang tuanya di bawah sini.
    (2018)

     

    TETESAN RINDU

    Air mata menjelma duka yang tak ada habisnya. Sebab, pertemuan tak kunjung datang. Hanya karena jarak yang memotong ruang.
    Air mata menjelma tetesan rindu yang menjalari pipimu.
    (2018)

     

     

    Pendapat Anda:

  • Tanbihat Sebuah Perjalanan

    author = Yohan Fikri M

    Tanbihat Sebuah Perjalanan

    /1/

    Jalan penuh kelokan, lembab udara sisa hujan semalaman,

    daun-daun berembun dan pekat halimun, mengantar

    kita menuju Sendiki.

     

    Hari menjelang siang, dan panas terasa menggigiti kulit,

    Sendiki yang barangkali tinggal sepelompatan

    ke bibir parit-parit, menjamu laju kita di jalur pejal berbatu:

     

    Barangkali selamat hanya bagi kita yang senantiasa waspada

    dan percaya bahwa langkah bisa tergelecik kapan saja.”

     

    /2/

    Setiba di gerbang pantai, aroma ikan asap menguar

    dari lepau-lepau yang berjajar

    di sepanjang bantar jalan menanjak menuju Sendiki,

    menggelitik penciuman kami.

    Sepasang tungkai kita yang lelah, melangkah terbata-bata

    seperti lidah cadel masa kanak kita belajar mengeja alif-ba-ta:

     

    Tampaknya, kota dengan segala fasilitasnya:

    mall yang dingin, lift, dan eskalator, telah mengubah kulit kita jadi alergi

    pada terik matahari dan sepasang kaki kita terlalu manja untuk mendaki.”

     

    /3/

    Akhirnya kita sampai di bibir pantai.

    Layaknya bayi-bayi penyu yang di lepas ke lautan: kita bertempiaran

    menyambut lengan sendiki yang terentang seperti lengan ibu

    hendak memeluk bayinya yang lucu.

    Ada rasa lega yang hinggap di dada,

    ada sesuatu yang hangat berdesir

    ketika sepasang tungkai-tungkai yang capai

    dicium ombak dan pasir-pasir.

     

    Terik matahari pukul 12 siang serasa memancang

    membuat rambut sendiki yang biru tampak keperak-perakan.

    Aku lalu berteduh di bawah gazebo beratap rumbia,

    menyulut sebatang tembakau, dan mengingat-ingat

    perjalanan yang telah lampau:

     

     

    Bukankah kita semua adalah pejalan yang mengharap selamat,

    dan setiap peristiwa yang telah lewat adalah tanbihat

    yang bisa kita jadikan sebagai azimat?”

     

    Sendiki, 2020

    Jejak Kaki Paceklik

    /1/

    Sawah-sawah, ladang-tegal, bagai raut wajah kafilah

    yang baru saja dibegal, daun-daun layu,

    angin tak diberkati kesejukan, dan ranting-ranting kering

    di pokok kayu pepohonan itu, selaksa tangan-tangan pengemis yang tengadah

    mengais-ngais jelempah kekosongan

    pada langit purba di atas sana,

    yang telah seumpama manusia-manusia

    berharta melimpah, tetapi enggan bersedekah.

    /2/

    Tak ada segar rerumputan atau hijau dedaunan

    untuk diramban sebagai pakan ternak.

    Bahkan sekalipun mereka mengembik keras.

    Bahkan sekalipun mereka melenguh melas.

    Hanya titen atau mungkin jerami kering;

    sisa jejak-jejak kaki paceklik

    yang pelan-pelan mencekik

    hidup dan ketabahan kita.

    /3/

    Puji-pujian meminta hujan

    yang lebih karib di telinga kita sebagai ratapan,

    dikumandangkan mulut toa usang surau

    yang makin asing dari sujud dahi

    dan pijak telapak kaki kita.

    Kepapaan ini rupanya amat piawai

    membuat iman kita semakin tandus,

    layaknya tanah-tanah di ladang kerontang

    yang miskin dirahmati humus”

    2019

    Puisi ini pernah mendapat Juara I dalam event Lomba Cipta Puisi BATCH 2 yang diselenggarakan oleh Ruang Kreasi.

    Mari Kita Tuang Sepi ke Dalam Gelas Kita Masing-Masing

    Begitulah, sayang. Semenjak ditata oleh manusia,

    entah bagaimana mulanya, cinta mulai disekat dinding diwala

    yang mereka susun dari silsiah, rupiah, dan agama.”

     

    Aloha, sayang! Akhirnya kita bertemu kembali

    meski dengan nasib yang berlawanan.

    Kupandang sepintas wajahmu dalam temaram,

    tampak semakin tua dan lisut,

    bagai buluh damar bernyala susut dikulum malam.

     

    Laut di hadapan meja tempat kita duduk,

    merangkum masing-masing dada yang berkecamuk,

    lantaran sesak meratapi takdir yang menganulir

    kau-aku sebagai daratan dan teluk.

     

    Agama telah ditatah sebagai tanda lahir,

    silsilah dan rupiah, sudah ditanam dalam tubuhku

    sebagai kutukan yang menjerat dan tak kuasa kuruwat.

    Adakah itu kita? dua manusia yang dinyalakan oleh cinta,

    lahir dan hidup di bumi, lalu terpisah sebab sesuatu,

    yang katanya telah digaris semenjak azali.

     

    Angin berkesiur menyisir air matamu

    yang setiap tetesnya merembes-basah di dadaku.

    Dalam keheningan kita yang pejal, aku berpikir

    bahwa kesedihan adalah satu-satunya perihal

    yang sengaja dicipta sebagai sebuah kesia-siaan belaka

    sebab, bukankah ia ada hanya untuk kita ratapi?

     

    Aloha, sayang! Hapuslah air mata yang berlinang!

    Repih nasib pedih yang menggumpal di dadamu,

    sebab ini malam milik kita seorang!

    Esok hari, kita mungkin akan kembali asing!

    Maka, mari kita tuang sepi

    ke dalam gelas kita masing-masing,

    lalu bersulang untuk merayakan

    kenangan yang bising!

     

    Malang, 2020

    Desah Cemas Napas Kunti

    Kunti, akhirnya menelan mentah-mentah

    panas bara; nyalang arang yang terus

    maruyak di sesak dadanya.

    Jalan membelah diri jadi dua cabang,

    membuat Kunti jadi pejalan yang gamang

    tak tahu ke cabang mana

    kakinya mesti menyeberang:

    perang saudara, ataukah

    kehormatan kesatria.

     

    Desah napas mengarsir garis-garis cemas,

    sebab Kunti tahu, pada tibanya hari naas itu,

    entah mengatasnamakan apa

    perang saudara ataukah kehormatan satria—

    hakikat keduanya sama belaka:

    rahim yang melahirkan bayi-bayi bencana.

     

    Kebahagiaan macam apakah yang bisa digalah,

    setelah menghancurkan saudara-saudara sendiri?”

    Tetapi, apakah putra-putraku bersedia

    menuntaskan perkara tanpa mesti mengokang senjata,

    sedang itulah tradisi kesatria? Itulah kehormatan mereka!”

     

    Hati Kunti bergetar pedih,

    membayangkan darah mesti tercecer,

    menyembur dari leher-daging yang sobek,

    dari tubuh-tubuh tergolek,

    dipenuhi luka-luka robek.

     

    Amis darah, barangkali semata aroma,

    tetapi jika mesti menguar

    dari batang-batang putranya,

    sama halnya menghidu bau neraka,

    atau menghirup anyir-bacin nanah pendosa.

     

    Sungguh, tak ada yang dapat dikais dari peperangan,

    selain hanya kebencian yang terus mengelopak.

    Sungguh, tak ada yang dapat diunduh

    dari kelopak-kelopak kebencian,

    selain hanya dendam yang beranak-pinak.”

  • Tamasya ke Alam Baka oleh Fatah Anshori

    author = Fatah Anshori

    Catatan Redaksi:
    Tamasya ke alam baka adalah puisi yang bisa ditafsirkan menjadi dua hal:
    1. Bercerita tentang perjalanan ruh menuju yang abadi
    2. Bercerita tentang penantian sebelum ajal tiba

    Jika yang pertama, maka puisi ini menceritakan sebuah proses perjalanan ruh. Artinya, alam baka merupakan sebuah alam yang berlapis setelah kematian. Ruh belum sampai ke tujuan tetapi masih melalui proses yang begitu panjang. Sementara itu jika yang kedua, maka kehidupan menjelma alam penantian, bahwa setelah kehidupan yang singkat dan penuh kecemasan pada akhirnya seorang akan mati.

    Dalam puisi ini, sebelum menemu keabadian, manusia (baik yang masih menyatu antara jasad dan ruh, maupun ruh yang sudah terpisah) sama-sama merasakan kesunyian. Baik yang pertama maupun yang kedua pada akhirnya, keduanya sama-sama terikat pada yang lain, yakni kabar baik dari Langit. Bisakah kabar baik diartikan jawaban kegelisahan, kesunyian itu: berita gembira bahwa kehidupan keabadiaan akan bergelimang kebahagiaan?
    Tamasya dalam puisi ini nampaknya memang belum sampai pada tahap menikmati tempat yang dituju, tapi masih berada dalam sebuah perjalanan. Dengan demikian, dalam puisi ini, tamasya yang dimaksud adalah menikmati perjalanan itu sendiri(?)

     

    Tamasya ke Alam Baka

    Apa yang kau cari jika puisi
    tak lagi sakti. Orang mati
    tetap mati ditinggal nyawa
    yang tamasya ke alam baka.

    Ujung jalan
    masih menanti. Seseorang
    dari seberang datang dengan
    tubuh yang lapang dan kedua
    lengan yang rimbun.

    Agar cemas lekas lemas
    di nadinya. Ia menunggu
    kabar baik jatuh dari langit
    mungkin bersama hujan,
    yang langsung membawanya
    ke dekat mata jendela. Yang
    rela seumur hidupnya
    memendam kata-kata
    di dalam sepi matanya.

    Malang, 2017

     

    Pucuk-pucuk Cemara

    1.
    Pagi sudah nampak di
    pucuk-pucuk cemara
    yang menanggung gigil
    sepanjang hujan sore itu.

    Air matanya pernah jatuh
    memenuhi: deras sungai
    di halaman kampus, lapangan
    basket yang kesepian, juga
    tubuhku yang kuyup di dekat
    koridor.

    2.
    Aku pernah mencintai matamu
    yang merah. Taman bunga dan
    kota yang marah seperti sedang
    diputar di sana.

    Kota ini belum pernah menulis
    kasus kebakaran. Pembajakan
    liar atau penebangan hutan. Orang
    -orangnya mencintai dingin dan
    ingin bekerja di dalam rasa malas
    yang memenuhi pagi.

    3.
    Seorang relawan kecil
    yang tidur bersama lapar dan
    kehendak melarikan diri yang
    tak mungkin. Rebah di belahan
    dadamu,

    Bau amis seperti sedang ditumis
    di beranda depan, di tenda-tenda
    korban perang perasaan. Dengki
    dan iri kerap menyalakan api
    di dalam hati. Tak perlu waktu
    lama untuk menghapus nama
    sebuah kota yang kau cintai
    dingin dan wangi paginya.

    4.
    Pada suatu pagi yang keruh kau
    pergi ke sungai. Batu-batu di sana
    seperti sedang meramal ricik
    air. Atau air yang sengaja
    mengeja diam di tubuh batu-batu.

    Tapi kau bertanya tentang untuk
    apa sungai menaruh batu-batu
    dan ricik air di dada(nya).

    5.
    Lalu tampat ini menawarkan dingin
    dimana-mana. Bayang-bayang kadang
    bangkit dan mengenakan selimut, tapi
    kau tetap menjadi diam yang rela
    sekaligus tidak peduli pada ucapan
    kasar dan tajam orang-orang.

    Dingin yang mengambang di lorong
    dalam matamu memutar cerita tentang
    hari-hari yang jatuh ke dalam hati-hati.

    Malang-Lamongan, 2017

     

    Mungkin Matamu yang Menelan Matahari Sore

    Atau mungkin matamu yang
    sudah menelan matahari sore
    yang sempat mengambang
    dua atau tiga senti di atas
    gudang para kuli batu.

    Lalu desa menjadi bilangan
    prima yang habis dibagi
    tubuhnya sendiri dan perihal
    -perihal ganjil: seperti
    kepergianmu setahun
    lalu. Tapi kau menyebutnya
    pulang.

    Gunung kapur hancur lebur
    hutan perdu susut dalam buku
    cerita.

    Tubuh(nya) membelah menjadi
    kotak-kotak kecil yang hendak
    membangun kota dan beberapa
    pusat perbelanjaan. Ia ingin
    menangis tapi tuhan baik hati,
    tak memberi mata apalagi
    air mata.

    Lalu kau sudah pergi ke kota
    bersama pacar baru dan
    kenangan, kau biarkan tinggal
    dan menangis di sudut desa.

    Kota menyediakan apapun yang
    kau bayangkan sejak kecil: cafe
    24 jam, studio musik super berisik,
    jalan raya yang kerap memakan
    nyawa, malam yang menolak sepi,
    dan hari-hari yang penuh warna-warni.

    Sementara desa hanya bayang-bayang
    yang ingin kau lepaskan dari ujung
    kakimu tapi kau tak mampu.

    Lamongan, 2017

     

    Menjadi Firman

    Kadang aku ingin menjadi keping-keping kaca yang pecah. Dan diabadikan firman di dalam kitab. Kau membacaku berkali-kali dan aku keluar masuk dirimu tanpa pernah kau sadar apa maksud yang sebenarnya. Kau tidak mengerti tapi aku tetap menunggu, kebiasaan yang menjelma cinta kasih. Cerita masa lalu, perang antar suku, dan ramalan masa depan saling berkelindan di bait-bait yang kau baca ketika petang menjelang. Aku mengisi kepalamu yang kosong, menghapus segala yang tak mau hangus. Membakar dosa-dosa yang basah bersama resah yang kau pelihara di lorong-lorong sepi tubuhmu. Pada akhirnya aku hanya ingin menjadi cerita, pengisi sore ketika kau berdua saja dengan anakmu yang manja dan belum mengerti apa-apa tentang cinta dan segala hal yang hendak binasa.

    Lamongan, 2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi