Category: opini

  • Masalah Penerjemah dan Penerjemahan: Beberapa Poin Penting

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Masalah penerjemah dengan karya yang diterjemahkan

    Komunikasi sunyi dengan naskah, atau bisa juga dikatakan komunikasi dengan diri sendiri. Karena penerjemah bertanya pada naskah tersebut, dan dijawab oleh dirinya sendiri melalui tafsir, dan tafsir itu bersifat pribadi.

    Penerjemah merenung-renungkan tema dan makna berbagai simbol dalam naskah. Pergulatan penerjemah di sini umumnya lebih intens dibandingkan pergulatan pembaca biasa yang sekadar membaca karya tersebut untuk diri sendiri. Penerjemah lebih cermat memperhatikan segala detail yang bahkan akan terlewatkan oleh pembaca biasa.

    Sedari awal, seorang penerjemah harus menyadari bahwa ia semata-mata penyampai pesan. Artinya, pesan dari penulis harus tersampaikan dengan baik. Tidak menambahi dan tidak mengurangi isi pesan. Kesadaran tentang diri sebagai penyampai pesan ini adalah sekaligus kesadaran akan tanggung jawab profesi. Karena itulah sebagai persiapannya penerjemah harus:

    • mempelajari riwayat hidup pengarang dan serba serbi kepribadiannya,
    • mempelajari kekhasan gaya bertutur si pengarang,
    • menghayati gaya bertutur tersebut, dengan cara seperti menghayati karakter si pengarang,
    • membaca karya lain si pengarang, sebagai pembanding.

    Saat bekerja, penerjemah:

    • menerjemahkan dengan mempertahankan berbagai kekhasan teknis bercerita si pengarang,
    • menerjemahkan dengan cermat dan hati-hati, dan tidak memasukkan kecenderungan gaya pribadi ke dalamnya,
    • bersifat seimbang antara yang literal dan terlalu menafsir. Terlalu menafsir kadang akan membuat karya terjemahan terkesan berlebihan, karena belum tentu si pengarang memaksudkannya sejauh tafsir itu.

    Karena penerjemah berkomunikasi sunyi dengan dirinya sendiri, kadang ia akan merasa tidak berdaya seandainya menghadapi satu titik dimana ia tidak bisa menentukan tafsir terbaik. Secara konkret, disini pengarang telah menggunakan kalimat yang sangat sukar diterjemahkan. Karena komunikasinya sudah demikian intens dengan naskah itu, penerjemah tidak bisa sembarangan bertanya pada orang lain hanya dengan cara menukilkan bagian kalimat yang dipermasalahkan tersebut, karena satu bagian kalimat adalah bagian dari satu jaringan besar pemikiran si pengarang, sedangkan orang lain tersebut tidak membaca keseluruhan karya sebagaimana si penerjemah. Bahkan seandainya orang lain tersebut pernah membaca naskah itu, namun jika mereka tidak sedang memiliki intensitas penghayatan yang sejajar maka akan tetap sia-sia. Penerjemah harus menyelesaikan masalahnya seorang diri. Inilah saya kira, salah satu sebab kenapa karya terjemahan tertentu menjadi gagal.

    Masalah penerjemah dengan editor atau penerbit karya terjemahan

    Penerjemah bergerak dari komunikasi dengan naskah semata menjadi komunikasi dengan pembaca pertama. Editor itulah pembaca pertama naskah hasil terjemahan. Komunikasi ini berbentuk segitiga: naskah – penerjemah – editor.

    Idealnya, hubungan antara penerjemah dan editor atau penerbit adalah hubungan yang menyeimbangkan antara bisnis dengan kerja budaya bersama. Diperlukan adanya pembicaraan lebih lanjut tentang isi naskah hasil terjemahan, dan hubungan mereka tidak hanya berhenti pada pencairan honorarium atau royalti.

    Idealnya pula, komunikasi antara penerjemah dan editor atau penerbit adalah seperti komunikasi antara penulis dan editor/penerbit. Melepaskan naskah hasil terjemahan untuk sepenuhnya ditangani editor tanpa campur tangan penerjemah adalah seperti melepas kepergian seorang balita yang baru saja belajar berjalan, padahal di luar pintu gerbang lalu lintas jalan amatlah ramai. Naskah itu akan mengalami perlakuan yang berbeda secara drastis, karena ia yang baru saja merasakan hangat dan lembutnya tangan penerjemah yang selalu menimangnya tiba-tiba merasakan dingin dan kikuknya tangan si editor, seolah ia adalah budak belian. Penerjemah dalam kondisi itu seperti seorang inang yang terputus hubungan dengan anak asuhannya, dan ia tak tahu lagi akan nasib si anak.

    Penerjemah bisa merasakan kondisi ini karena editor hanya berhubungan dengan hasil terjemahan dan tidak punya hubungan dengan naskah asli yang menjadi pijakan si penerjemah. Beberapa kata atau istilah bisa diubah secara semena-mena oleh editor tanpa sepengetahuan penerjemah, padahal perubahan tersebut tanpa mempertimbangkan seperti apa naskah aslinya.

    Editor seharusnya membandingkan hasil terjemahan dengan naskah asli. Itu akan membuat ia nampak simpatik, karena ia seperti mengenang ibu kandung si balita. Dengan demikian, kehangatan cara penerjemah memperlakukan naskah yang ia kerjakan diimbangi oleh kehangatan cara editor memperlakukan naskah tersebut. Kepindahan si naskah dari tangan penerjemah ke tangan editor pun jadi bilang dibilang kepindahan yang halus.

    Namun saat ini, kondisi yang saya idealkan itu belum tercapai, sehingga penerjemah terpaksa menjadi editor yang tekun bagi naskah hasil terjemahannya sendiri. Ini membuat karyanya menjadi halus, namun secara produktif waktu kerjanya terkuras habis.

    Kalaupun benar bahwa editor membandingkan hasil terjemahan dengan naskah asli, campur tangan penerjemah dalam proses editing tetaplah penting. Karena bagaimanapun hubungan antara editor dengan naskah asli tidaklah seintens hubungan antara penerjemah dengan naskah asli tersebut. Editor hanya mengandalkan logika kalimat, penerjemah mengandalkan rasa.

    Selain itu, hubungan intens antara penerjemah dan editor punya manfaat lain:

    • untuk mengantisipasi jika penerjemah ternyata mengada-ada, memasukkan hal-hal yang tidak ada dalam naskah asli, atau membuang hal-hal seharusnya tetap ada dalam naskah hasil terjemahan,
    • untuk mengantisipasi jika editornya terlalu kuat, misalnya dia sekaligus adalah pengarang, sehingga naskah hasil terjemahannya diubah semena-mena,
    • untuk mengantisipasi jika ada kalimat yang terlalu sulit untuk diterjemahkan. Dengan adanya hubungan ini, kalimat yang sulit itu bisa didiskusikan.

    Masalah penerjemah dengan masyarakat pembaca atau kritikus

    Penerjemah dan penerbit melihat karya terjemahan itu—hasil kerjasama mereka—mulai tersebar luas dan dibaca oleh orang banyak.

    Masalahnya adalah bagaimana terjemahan karya sastra ini diapresiasi. Apakah ia cukup berpengaruh terhadap perkembangan proses kreatif penulis di Indonesia? Jika tidak, mungkin mutu karya terjemahan di Indonesia memang belum cukup baik.

    Perlu diperhatikan bahwa terjemahan yang baik itu tidak sekadar enak dibaca. Ia bahkan tidak harus puitik. Karya terjemahan yang baik harus tepat menyampaikan pesan si pengarang. Perlu ada kritik terhadap karya terjemahan, untuk meneliti hasil karya para penerjemah yang bahkan sudah dianggap baik sekalipun.

    Sampai saat ini, kalaupun ada masih sangat sedikit pengamat yang secara serius mencermati hasil terjemahan dan membandingkan dengan naskah aslinya. Mereka yang tertarik untuk membandingkan cenderungnya adalah para peneliti karya penulis yang bersangkutan.

    Disampaikan oleh Nurul Hanafi dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 155 bertajuk Ruang-ruang Sunyi: Tentang Seni Menyulih Bahasa, yang diselenggarakan Studio Pertunjukan Sastra, Sabtu, 25 Agustus 2018 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana, Balai Bahasa Yogyakarta.

    Foto diambil dari dokumentasi Studio Pertunjukan Sastra

  • Mahasiswa Hari Ini: Sastra, Game, dan Krisis Empati

    author = Muhammad Abdul Hadi

    Masih segar di ingatan kita peristiwa tawuran mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) Februari 2018 lalu. Terdapat dua kelompok mahasiswa; Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) yang terlibat baku-hantam dengan lemparan batu dan bom molotov di kampus mereka sendiri (Detik.com, 05/02/2018).

    Hal ini sangat disayangkan. Mengingat mahasiswa yang sudah berada di fase dewasa awal, dengan kemampuan kognitif yang sempurna, dianggap cukup bijaksana untuk menyelesaikan masalah (coping problem) tanpa menggunakan jalan pintas kekerasan, apalagi sampai di tahap kekerasan massal (tawuran).

    Terjadinya kekerasan antarpemuda—dalam hal ini mahasiswa—tak jarang diawali dari hal sepele. Mudah tersinggung dan emosi yang tak terkendali memicu baku-fisik yang menyebabkan masalah semakin memanas. Apabila tak dikomunikasikan dengan baik, apalagi ditambah dengan intervensi dari teman sebaya, terkadang berujung pada kekerasan massal.

    Salah satu strategi penyelesaian masalah sesama (interpersonal problem), pengendalian emosi, dan hubungan dengan orang lain adalah melalui empati. Hal ini yang mungkin luput menjadi pertimbangan mahasiswa UNM. Dengan berempati kepada orang lain, biasanya letikan emosi akan cepat padam. Sebab empati menuntut pemahaman dan pengertian untuk beralih-tukar posisi dengan orang lain. Bertolak belakang dengan seseorang yang disebut pribadi sumbu-pendek. Sedikit dipantik, mudah tersulut. Amarahnya membuncah-buncah, gegabah, dan mudah dihasut. Bila tidak, pengendalian emosionalnya lemah sehingga mudah melontarkan ujaran kebencian (hate speech), yang pelaku dan jejaknya mudah kita temui di media sosial zaman now.

    Tragisnya, sifat dan sikap negatif di atas marak dijumpai pada pribadi generasi Z. Namun kali ini, saya tidak mengulas keadaan remaja dan pemuda generasi Z secara umum, saya hanya akan mengkerucutkannya kepada generasi mahasiswa yang notabenenya dianggap berpendidikan tinggi, bakal sarjana, hingga calon pekerja berkerah biru di masyarakat yang dianggap mumpuni, klisenya, sebagai agen perubahan (agent of change) yang diharapkan berempati peduli terhadap masalah-masalah sosial di masyarakat.

    Masalahnya, menurut penelitian Anggit Purnowo dari UIN Sunan Kalijaga, empati pada mahasiswa saat ini semakin menurun. Hal ini diakibatkan karena seringnya penggunaan gawai dan teknologi di kalangan mahasiswa. Penurunan empati inilah yang mengakibatkan masalah-masalah interpersonal tidak teratasi dengan baik, dari munculnya perilaku kekerasan, misalnya tawuran antarmahasiswa di atas, sampai ujaran kebencian di media sosial.

    Efek ini seperti pisau bermata dua, gempuran internet dan teknologi tentunya tak dapat dibendung lagi. Selain menawarkan kemudahan, teknologi juga menjadikan pekerjaan manusia cepat dan efisien. Di balik itu, ada dampak negatif yang harus ditebus. Sikap instan dan tidak menghargai proses mudah ditemui dari pengguna teknologi masa kini. Wajar saja empati dan sifat-sifat kemanusiaan mulai terkikis, bahkan mengalami dekadensi.

    Game dan Hiburan Virtual

    Salah satu perubahan paling mencolok akibat gempuran teknologi adalah peralihan permainan tradisional ke arah permainan virtual (game). Wujud hiburan konvensional sedikit demi sedikit ditinggalkan. Nyatanya, deras gempuran teknologi menghantam di semua lini kehidupan. Bahkan di bagian yang paling tersier, seperti pengisi kesenangan di waktu luang. Pilihan yang paling mudah dijangkau adalah aplikasi gaming yang kerap dimainkan mahasiswa untuk melepas jenuh.

    Tak berbeda jauh, bermain game virtual malah menyebabkan penurunan sifat empati pada penggunanya. Alur permainan virtual yang berorientasi mencari kemenangan, memberi jalan pintas untuk menumbuhkan sifat instan. Bahkan di beberapa kasus, memicu sikap agresi dan kekerasan[1]Laksamana Mada: Keterkaitan Intensitas Bermain Video Game dengan Empati, Jurnal Universitas Gunadarma,  September 2015.

    Dalam beberapa game misalnya, demi mencari poin tinggi harus melakukan aksi kekerasan, bunuh-membunuh, atau menyerang musuh yang secara visual mirip manusia. Hal semacam ini yang masih menjadi kontroversi, dan beberapa ahli kejiwaan mengkategorikannya sebagai bentuk dehumanisasi.

    Masuk akal apabila dikaitkan dengan tawuran mahasiswa di atas. Intensitas penggunaan teknologi, hingga sering bermain video game berjalan lurus dengan pengaruh sifat agresif dan penurunan kemampuan komunikasi bagi mahasiswa. Apalagi setelah diusut, ternyata penyebab tawuran mahasiswa antara dua fakultas di Makassar tadi, diakibatkan karena sebaran hoax yang memprovokasi kekerasan antarmahasiswa. Karena teknologi, hoax jadi mudah tersebar, apalagi ditanggapi oleh mahasiswa yang mengalami dekadensi empati. Akibatnya, potensi kekerasan mudah tersulut dan mengakibatkan baku-hantam di kalangan mereka sendiri. Hoax malah menjadi penumpang gelap di balik perkembangan teknologi komunikasi yang amat pesat.

    Tidak hanya itu, menurunnya empati pada mahasiwa juga diteliti oleh Sara H. Konrath, dkk. dari Universitas Michigan dalam Personality and Social Psychology Journal, menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan rasa empati sebanyak 48 persen pada kalangan mahasiswa dalam 10 tahun terakhir di Amerika Serikat. Salah satu penyebabnya adalah interaksi mahasiswa yang semakin intens dengan game dan teknologi.

    Temuan Sara H. Konrath di Amerika Serikat tidak berbeda jauh dengan penelitian Anggit Purnowo di Indonesia. Penggunaan teknologi dan game sedikit demi sedikit mengikis empati di kalangan mahasiswa.

    Sastra dan Empati

    Sastra rupanya memiliki andil dalam membangun empati dan moralitas. Selain dari keindahan bahasanya, sastra juga menjadi ujung tombak dalam menumbuhkan budaya literasi. Hal ini diungkapkan Antonia Ayu dari Universitas Sanata Dharma dalam penelitiannya yang mengungkapkan korelasi positif cerita fiksi terhadap peningkatan empati bagi pembacanya.

    Di sini, penulis menawarkan solusi dengan mengajukan sastra sebagai arus balik dari derasnya godaan teknologi dan hiburan virtual.

    Sastra bertolak belakang dengan teknologi dan video game. Apabila teknologi menyajikan sifat instan, sastra menghadirkan proses. Apabila video game hanya berorientasi kemenangan dengan menyampingkan aspek-aspek lain, sastra menawarkan pengertian, tanpa berusaha menghakimi tokoh cerita, bahkan tokoh antagonis pun dikuak sejarah hidupnya, masa lalu, serta pengalaman yang ia alami. Di sini, pembaca dituntut untuk menelusuri jejak hidup seseorang sebelum menilai dan memberi tanggapan. Bukan semata-mata mencari efisiensi dan rasa instan. Bukan juga kemenangan yang disudahi setelah membunuh atau mengalahkan musuh.

    Oleh sebab itu, negara-negara maju berusaha menanamkan sifat dan sikap empati, salah satunya melalui kurikulum membaca buku-buku sastra. Seperti halnya Inggris, Jepang, dan Finlandia, bahkan Jerman pun menetapkan Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah mereka.

    Tak heran, sastra adalah kado terbaik yang diterima umat manusia, ujar Jen Selinsky. Bagi orang-orang yang menjunjung tinggi budaya literasi, sastra sangat berjasa mengawal kemajuan peradaban manusia. Di tengah gempuran teknologi, game, dan hiburan virtual, sastra adalah oase untuk beristirahat. Merenung dan memikirkan kembali dekadensi moral, simpati, dan sifat-sifat kemanusiaan.

     

    Daftar Pustaka

    Ayu, Antonia. 2017. Pengaruh Membaca Cerita Fiksi pada Peningkatan Simpati. Skripsi, Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta.
    Dua Kelompok Mahasiswa Makassar Tawuran di Kampus UNM Pakai Molotov. Detik.com, 5 Februari 2018.
    Konrath, S.H, Edward, H.O, & Courtney Hsing. 2011. Changes in Dispositional Emphathy in American College Students Over Time: A Meta Analysis. Personality and Social Psychology Journal. Vol. 15 (2): 180-198.
    Mada, Laksamana. 2015. Keterkaitan Intensitas Bermain Video Game dengan Simpati. Jurnal Universitas Gunadarma. September 2015.
    Purnomo, Anggit. 2014. Hubungan antara Kecanduan Gadget (Mobile Phone) dengan Empati pada Mahasiswa. Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1 Laksamana Mada: Keterkaitan Intensitas Bermain Video Game dengan Empati, Jurnal Universitas Gunadarma,  September 2015

  • Mahasiswa, Demonstrasi, dan Pandemi

    author = Abidah Naqiya

    Mahasiswa Sebaiknya Menahan Diri untuk Tidak Demonstrasi di Masa Pandemi. Begitu judul salah satu artikel yang terbit di salah satu media online beberapa waktu lalu. Awalnya, judul dan isi tulisan tersebut membuat saya gusar. Ingin rasanya saya mengajak si penulis artikel untuk berdebat. Namun, pacar saya tidak suka kalau saya melakukan debat kusir di media sosial. Karena saya bucin dan omongan pacar saya memang ada benarnya, saya memutuskan untuk menyatakan keresahan dan ketidaksetujuan saya dengan cara yang lebih mencerminkan akhlaqul karimah. Oleh sebab itu, saya akan merespons tulisan itu dengan tulisan juga.

    Pertama, saya ingin mengkritisi kalimat di dalam artikel itu yang mengatakan bahwa demontrasi mahasiswa merupakan bentuk ketidakpekaan mahasiswa terhadap bangsa yang sedang susah payah menghadapi pandemi. Menurut saya, ini malah menjadi bukti bahwa mahasiswa tetap menjalankan nalar kritisnya di tengah pandemi. Tahukah siapa yang lebih pantas kita tuding sebagai pihak yang tidak peka terhadap penderitaan bangsa yang tengah terseok-seok melawan virus sialan ini? Ya, betul sekali, Bunda: pemerintah kita sendiri.

    Di saat jutaan pekerja di-PHK, angka kematian akibat kelaparan naik, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat, pelajar dan mahasiswa terancam putus sekolah, tenaga kesehatan mati-matian berjuang di garda depan, pemerintah malah membuat kebijakan-kebijakan ngawur yang hanya menguntungkan segelintir orang dan memperkokoh rantai oligarki.

    Bulan Mei lalu, DPR mengecup kening rakyat Indonesia dengan cara mengesahkan UU Minerba yang berpotensi menyebabkan eksploitasi alam besar-besaran, konflik sosial, serta korupsi. Undang-undang ini jelas tidak menguntungkan siapapun kecuali pengusaha tambang kelas kakap. Tak hanya sampai di situ, DPR kemudian mengeluarkan RUUPKS dari Prolegnas dengan alasan yang kocak: pembahasannya terlalu rumit.

    Herannya, mereka toh tetap punya pikiran dan tenaga untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law, yang draft-nya saja sampai lebih dari 1000 halaman. 1000 halaman lho, Hadirin. Itu setara dengan kurang lebih 13 skripsi mahasiswa S1 jurusan Sastra Inggris. Saya bisa jadi sarjana 13 kali! RUU yang cacat hukum ini merupakan karpet merah bagi investor, tetapi menjadi kesengsaraan panjang bagi buruh, petani, dan pekerja di sektor lainnya.

    Yang kedua, artikel tersebut menyertakan pernyataan Ketua BNPB yang mengatakan bahwa aksi unjuk rasa di tengah pandemi dianggap melanggar undang-undang. Jika pada pelaksanaannya massa aksi tidak mematuhi protokol kesehatan, saya sepakat dengan ucapan beliau. Namun, ayo kita pikir bersama: bukankah demonstrasi terjadi sebagai respons bagi pemerintah yang tidak menepati janjinya dalam pasal 27, 31, dan 32 UUD 1945 untuk menjamin kesejahteraan sosial segenap rakyatnya? Jadi, siapa yang lebih patut kita kritik: massa aksi yang melanggar protokol kesehatan karena hak-haknya tidak dipenuhi atau negara yang melanggar janji yang tercantum di konstitusi?

    Hal selanjutnya yang menggelitik saya adalah saat si penulis berkata bahwa demonstrasi seharusnya menjadi jalan terakhir setelah jalur-jalur lain seperti negosiasi tidak menemukan titik terang. Saya sangat sepakat. Kenyataannya, teman-teman mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya memang telah melakukan berbagai cara sebelum akhirnya melakukan unjuk rasa. Audiensi ke pejabat, melakukan kajian, mengadvokasi masyarakat yang membutuhkan bantuan, membuat dapur-dapur umum, membagikan masker, you name it. Namun, apakah itu cukup untuk melakukan perubahan, terutama ketika permasalahan yang kita hadapi sekarang adalah kemiskinan struktural?

    Demonstrasi di masa pandemi tidak semestinya kita sederhanakan menjadi persoalan ketidakpekaan mahasiswa. Ada pepatah yang berkata bahwa situasi krisis akan menunjukkan karakteristik asli seseorang (baca: negara). Oleh karena itu, demonstrasi yang justru semakin marak di masa pandemi seharusnya membuat kita memikirkan ulang mengenai sistem ekonomi dan politik kita saat ini. Sudah sejauh mana negara menjalankan fungsinya? Benarkah pasar bebas berhasil melindungi hak-hak hidup warga negara? Mengapa negara tidak sigap menambah alokasi dana untuk tenaga kesehatan, tetapi mampu mengiyakan penambahan anggaran untuk militer? Pelajar dan mahasiswa yang terancam putus pendidikan; mereka tanggung jawab siapa?

    Demonstrasi dan protes yang lantang justru semakin penting untuk dilakukan di masa-masa sekarang sebagai bukti bahwa kita tetap kritis mengawal proses pembuatan kebijakan publik. Pemerintah tidak boleh dibiarkan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Demonstrasi di masa pandemi adalah pernyataan terbuka bahwa para birokrat tidak akan bebas dari pengawasan rakyat. Ia adalah cara kita menjegal langkah-langkah busuk oknum yang ingin melanggengkan monopoli sumber daya oleh segelintir orang. Ia adalah upaya melindungi buruh, petani, guru, perempuan, dan kaum miskin kota yang semakin tersingkirkan dari arena.

    Utopis? Ya, if you said so. Namun, bukankah kemerdekaan Indonesia, terpilihnya orang kulit hitam sebagai presiden Amerika, dan partisipasi perempuan di ruang politik juga merupakan hal yang dianggap muluk-muluk oleh para pesimis era terdahulu?Oleh karena itu, Kakanda Penulis yang Bersangkutan, izinkan saya merevisi judul artikel Kakanda dengan judul yang menurut saya lebih pro pada perjuangan rakyat: DPR dan Pemerintah Seharusnya Menahan Diri untuk Tidak Membuat Kebijakan Guoblokkk di Masa Pandemi. Kata ‘goblok’-nya pakai huruf u, ya. Huruf k-nya ada tiga. Terima kasih.

  • Kota Menoreh?

    author = About Latief S. Nugraha
    carik di Studio Pertunjukan Sastra dan Balai Bahasa DIY. Buku kumpulan puisinya Menoreh Rumah Terpendam (Interlude, 2016).

    View all posts by Latief S. Nugraha →

    Sebagai sosok yang dilahirkan di Samigaluh, saya merasakan kecemasan tak terperi manakala mengetahui kabar soal pembangunan Kecamatan Samigaluh sebagai kota satelit dengan nama Kota Menoreh. Rencananya akan dilaksanakan kegiatan pembangunan sarana fisik yang bersentuhan langsung dengan publik. Dana desa yang dialokasikan juga besar. Saya tidak menolak, namun saya juga tidak menyepakati rencana tersebut. Hal ini rumit untuk dijelaskan.

     

    Rangkaian pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA), jalur Bedah Menoreh, kota satelit, dan pintu gerbang Borobudur, berkemungkinan akan memberi dampak pada tercerabutnya nilai-nilai kebudayaan dan karakter masyarakat Kulon Progo sebagai pemilik sah bumi Menoreh. Apakah benar masyarakat sudah siap menghadapi perubahan demi perubahan besar itu? Jawabnya tentu saja belum. Siapa yang diuntungkan dengan dijadikannya Kulon Progo sebagai gapura Yogya? Benar. Mereka ialah segelintir orang yang telah dengan berani menindih akronim “BINANGUN”, di belakang Kulon Progo, dengan frasa berbahasa asing “The Jewel of Java” sebagai sebuah merek dagang. Maka, saya tidak pernah “bela beli Kulon Progo”, karena saya tidak akan membela siapa pun yang berani membeli Kulon Progo! Kulon Progo harus menjadi milik orang-orang Kulon Progo sendiri!

     

    Bagaimana bisa desa berubah menjadi kota? Kota adalah bentuk tubuh, bangunan-bangunan fisik, ketika jarak yang sangat dekat akan terasa begitu jauh. Sebaliknya, desa adalah ruh, alam yang permai, ketika jarak yang jauh terasa begitu cepat sampai. Yang seharusnya dibangun adalah mental dan moral! Jika memang tidak bisa tidak bahwa Kulon Progo harus berubah, pemerintah seyogianya lebih dahulu melindungi masyarakat agar tetap berkebudayaan tetapi juga siap bersikap terhadap perkembangan zaman. Jika tidak, saya khawatir kelak akan lahir generasi kagetan dan nggumunan di Kulon Progo.

     

    Namun sebelumnya, saya rasa kita juga perlu merenungkan, jika desa jadi kota lalu akan ke manakah kita mencari kejujuran dan kejernihan? Ketika desa menjadi kota, maka kehidupan masyarakat yang sudah sangat terstruktur akan hancur. Pagi jadi siang, siang jadi malam, malam jadi teramat kelam, dan waktu benar-benar akan terasa sangat cepat mengejar.

     

    Saya yakin, tanpa adanya pembangunan yang akan mengubah desa menjadi kota,  masyarakat perbukitan Menoreh sesungguhnya sudah hidup dengan rasa tenteram. Bukankah yang dicari manusia dalam hidupnya adalah ketenteraman hati dan pikiran? Namun, entah mengapa manusia hari ini mau-maunya dijajah dengan sebuah kata berbunyi kesejahteraan. Sekarang saya mau bertanya, hidup yang sejahtera itu seperti apa? Apakah dengan memiliki banyak uang seseorang bisa dikatakan sejahtera? Sekadar memenuhi keinginan tentu saja tidak akan pernah terwujud apa yang mereka sebut dengan sejahtera itu. Sementara masyarakat desa sudah bisa hidup sangat tenteram dengan terpenuhi kebutuhannya, bukan keinginannya.

     

    Desa adalah ibu kota. Kota adalah anak desa yang durhaka. Sebuah perbandingan terbalik; masyarakat kota begitu merindukan desa, tetapi masyarakat desa justru memimpikan kota.

     

    Di punggung-punggung Bukit Menoreh telah dibentangkan jalur Bedah Menoreh. Sesungguhnya hal tersebut berbahaya! Niat baik untuk menyingkronkan program pembangunan jalan Bedah Menoreh yang digagas Bupati Kulon Progo dengan program pemerintah pusat terkait kawasan strategis Borobudur dan pembangunan bandara internasional di Kecamatan Temon, bagi saya ini sama saja dengan menghancurkan Bukit Menoreh!

     

    Memang benar, Menoreh merupakan nama perbukitan yang membentang-menjulang di Kulon Progo. Namun, dari segi bahasa —yang saya othak athik gathuk dengan ngawur, Menoreh juga memiliki arti tersendiri. Kata dasarnya “toreh”, “menoreh” artinya “mengiris (meretas) supaya terbuka”. Bukankah hal tersebut sama artinya dengan kata “bedah”, yang dalam konteks medis sering disebut operasi. Ingat, operasi ada yang berhasil tetapi ada juga yang gagal dan berakibat fatal. Lebih lagi, dalam bahasa Jawa, “bedhah” artinya sobek besar atau rusak. Semoga salah, tapi frasa “Bedah Menoreh” bisa saja diartikan jadi “merusak”! Apanya yang (di)rusak? Bisa alamnya, namun akan lebih berbahaya jika yang rusak adalah mental dan moral masyarakat umum serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam proyek mahabesar tersebut!

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/opini/kota-menoreh/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featlatief2.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featlatief2-150×150.jpgLatief S. NugrahaOpiniBudaya,kibul,Kota Menoreh,Kulon Progo,Latief S. Nugraha,Opini,YogyakartaSebagai sosok yang dilahirkan di Samigaluh, saya merasakan kecemasan tak terperi manakala mengetahui kabar soal pembangunan Kecamatan Samigaluh sebagai kota satelit dengan nama Kota Menoreh. Rencananya akan dilaksanakan kegiatan pembangunan sarana fisik yang bersentuhan langsung dengan publik. Dana desa yang dialokasikan juga besar. Saya tidak menolak, namun saya juga…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Kopi dan Maskulinitas

    author = Abidah Naqiya

    Asosiasi Kopi dan Maskulinitas

    Sebuah artikel berjudul ‘Coffee Consumption Differs Between Genders, According to This Infographic’ yang diunggah oleh www.thehuffingtonpost.ca memuat sebuah infografis tentang pola konsumsi kopi laki-laki dan perempuan. Infografis ini dibuat berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Zagat, sebuah situs buatan Amerika Serikat yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Hasil survei menunjukkan bahwa 50,8% dari total responden laki-laki mengidentifikasi diri sebagai peminum kopi, sementara responden perempuan yang mengaku peminum kopi hanya sebanyak 32,8% dari total responden. Selain itu, rata-rata responden laki-laki mengonsumsi 2,4 gelas kopi per hari, sementara rata-rata responden perempuan mengonsumsi 1,9 gelas kopi per hari.

    Data di atas seolah memperkuat stereotip masyarakat dunia yang menyatakan bahwa kopi adalah minuman laki-laki dan diasosiasikan erat dengan maskulinitas. Perihal apakah pola konsumsi yang membentuk asosiasi atau apakah asosiasi yang membentuk pola konsumsi, jawabannya masih belum pasti.

    Jika kita membahas lebih jauh, laki-laki seperti apakah yang diasosiasikan dengan kopi? Penulis mencoba mendapatkan jawabannya dengan cara mengetikkan kalimat ‘famous people who drink coffee’ di kolom pencarian Google. Kebanyakan nama yang keluar memang nama laki-laki, tepatnya tokoh-tokoh dunia dari berbagai latar belakang profesi dan era. Beberapa di antara mereka merupakan musisi klasik abad belasan, seperti Johann Sebastian Bach dan Ludwig Van Beethoven. Beberapa merupakan penulis besar, seperti Albert Camus dan Benjamin Franklin. Ada pula tokoh politik dunia seperti Theodore Roosevelt, John F. Kennedy, hingga Bill Clinton. Nama selebriti internasional era modern juga turut muncul, di antaranya adalah Hugh Jackman dan Leonardo DiCaprio. Bagaimana dengan perempuan? Memang benar bahwa ada nama-nama tokoh perempuan yang muncul, seperti Ariana Grande, Miley Cyrus, dan Kim Kardashian. Namun, kebetulan sekali mereka semua adalah selebriti yang hidup di era modern.

    Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa kopi tidak hanya diasosiasikan dengan laki-laki. Lebih daripada itu, kopi dicitrakan sebagai minuman yang dikonsumsi laki-laki pemikir yang cerdas, produktif, dan menghasilkan karya-karya besar. Asosiasi semacam ini tidak ditemukan pada perempuan, karena nama-nama tokoh perempuan yang keluar hanyalah nama-nama selebriti. Bukankah berbagai budaya juga mengasosiasikan selebriti dengan kemewahan, hura-hura, dan tampilan visual yang menarik saja?

    Belum ada jawaban yang pasti tentang mengapa kopi diasosiasikan erat dengan laki-laki. Namun, sebuah penelitian dari University of Akron dan Texas Tech University memberikan sebuah alternatif penjelasan. Penelitian ini memang tidak membahas tentang kopi, melainkan tentang tingginya tingkat konsumsi minuman berenergi pada laki-laki. Salah satu alasan mengapa laki-laki menyukai minuman berenergi adalah karena kandungan kafeinnya yang tinggi dan membantu mereka untuk lebih aktif, produktif, dan kuat. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita memandang kafein sebagai substansi yang mendorong munculnya sifat-sifat maskulin. Karena itulah laki-laki menggemari minuman berkafein seperti minuman berenergi dan, tentu saja, kopi.

    Dampak Asosiasi Kopi dan Maskulinitas

    Stephen Klein, dalam bukunya yang berjudul ‘Learning: Principles and Applications’, menyatakan bahwa asosiasi berarti sebuah aktivitas mental yang menghubungkan konsep-konsep, kejadian-kejadian, atau keadaan-keadaan pikiran, yang biasanya didasarkan dari pengalaman spesifik. Contoh sederhananya adalah ketika kita mendengar kata ‘gajah’, maka yang muncul di kepala kita adalah seekor binatang besar berkaki empat yang punya belalai panjang dan sepasang telinga lebar. Manusia bisa mempunyai konsep asosiasi yang sama, bisa pula berbeda. Asosiasi yang berbeda disebabkan karena pengalaman spesifik individu yang berbeda pula. Misalnya, kata ‘1965’ mungkin mengingatkan seseorang pada PKI, namun memunculkan sosok Soeharto di pikiran orang lainnya. Sementara itu, sekelompok orang bisa mempunyai konsep asosiasi yang sama disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah karena mereka dipengaruhi oleh budaya yang sama. Nalini Ambady, seorang psikolog sosial terkemuka dari India, dalam sebuah tulisannya yang berjudul The Mind in The World: Culture and the Brain, membenarkan bahwa budaya memang dapat mempengaruhi seseorang hingga ke level perilaku dan kognitif.

    Pengaruh budaya dan asosiasi tidak bersifat satu arah. Artinya, bukan hanya budaya yang menciptakan asosiasi tertentu, namun juga sebaliknya, asosiasi dapat menciptakan pola perilaku dan budaya tertentu. Artinya, asosiasi kolektif dapat menciptakan pola perilaku kolektif.

    Budaya patriarki yang terus melanggengkan dan mereproduksi asosiasi laki-laki dan maskulinitas telah menciptakan pola perilaku kolektif tertentu dalam industri kopi. Asosiasi kopi dan maskulinitas membuat masyarakat berpikir bahwa laki-laki adalah pihak yang paling memahami kopi. Sebagai pihak yang dianggap paling memahami kopi, maka laki-laki di industri kopi mendominasi dalam urusan yang bersifat kepemilikan aset, pengambilan keputusan, bisnis, dan keahlian meracik kopi. Hal ini terbukti dengan dominannya mereka dalam profesi-profesi seperti pemilik kebun kopi, manajer kedai kopi, investor, barista, dan roaster.

    Berdasarkan data dari the Food and Agricultural Organization of the United Nation tahun 2016, perempuan yang bekerja di industri kopi mendominasi hanya dalam urusan yang bersifat pekerjaan fisik: menanam kopi, mengurus pohon kopi di kebun, memanen kopi, memilah-milah biji kopi. Fenomena ini ditemui di negara-negara penghasil kopi secara keseluruhan. Dalam dunia ke-barista-an, tidak sekalipun barista perempuan keluar sebagai juara dalam ajang World Barista Championship yang sudah diselenggarakan 18 kali. Bukti lainnya diabadikan dalam sebuah film dokumenter berjudul ‘Women In Coffee’ yang digarap Equal Exchange. Film ini mengangkat isu perempuan di Honduras yang sulit sekali memiliki lahan kopi. Kebanyakan baru bisa memilikinya sebagai warisan dari suami mereka yang sudah meninggal. Data-data ini menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang mempercayakan industri ini di tangan perempuan. Komposisi gender di industri kopi dari hulu ke hilir jauh dari kata seimbang, yang salah satunya disebabkan oleh eratnya asosiasi kopi dan maskulinitas.

    Menghilangkan Stereotip Gender dalam Industri Kopi

    Ketimpangan gender dalam suatu industri akan melanggengkan perspektif yang monoton dalam industri tersebut. Ketimpangan gender juga membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk merepresi gender yang menjadi minoritas dalam industri itu. Represi itu dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti jam kerja yang berlebihan, upah di bawah standar, fasilitas yang tidak memadai, hingga kasus pelecehan seksual yang dibiarkan terjadi berulang-ulang tanpa ada solusi.

    Pengasosiasian kopi dan maskulinitas terbukti telah menciptakan stereotip gender yang negatif terhadap perempuan di industri kopi. Pemikiran semacam ini tentunya harus dihapuskan. Semua pelaku industri kopi harus membuka ruang seluas-luasnya bagi semua gender untuk terjun di industri ini, kemudian mengapresiasi mereka dengan layak. Sebab, pada akhirnya keterlibatan perempuan di industri kopi mulai dari hulu hingga ke hilir akan membuat industri kopi menjadi lebih kaya dan dewasa.

  • Komik Siksa Neraka dan Teknologi Politis Orde Baru

    author = Royyan Julian

    Dalam literatur-literatur otoritatif Islam, imajinasi tentang alam eskatologi dibangun di atas struktur oposisi biner surga dan neraka. Surga adalah lokasi untuk orang-orang patuh, sedangkan neraka merupakan gulag di mana makhluk-makhluk pembangkang dijerumuskan. Para sarjana mencatat bahwa ilustrasi akhirat dalam teks-teks tersebut hanya metafora, sebab surga dan neraka tidak akan mampu dibayangkan dan dirasakan indra manusia di dunia.

        Meski demikian, upaya memvisualisasikan narasi eskatologis dilakukan, salah satunya adalah komik Siksa Neraka. Buku stensilan tersebut lahir dalam kebudayaan populer Indonesia pada 1970-an. Siksa Neraka paling terkenal adalah komik yang digarap Ema Wardhana dan MB Rahimsyah. Deksripsi neraka secara eksplisit dengan disertai keterangan membentuk citra menyeramkan dan memengaruhi psikologi pembaca, terutama anak-anak yang menjadi sasaran konsumen. Gambar-gambar tersebut dikontekstualisasi dengan mendemontrasikan alat-alat seperti setrika, jarum injeksi, gunting raksasa sehingga tampak kian virtual.

        Pada umumnya, komik tersebut dibuka dengan mengisahkan peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad. Surga dan neraka hadir dalam visi sang Nabi ketika sampai di Langit Ketujuh. Pada bagian itulah penampakan aneka siksaan diterakan dengan dramatis oleh pengarang.

    Secara implisit komik tersebut ingin berkata bahwa siksaan Tuhan amat pedih. Tuhan yang tidak tampak merupakan sutradara yang mengoperasikan mesin-mesin siksaan di balik layar. Internalisasi despotisme Ilahi yang dilukiskan dalam komik tersebut membentuk ethics of fear di benak pembaca bahwa agama harus dijalankan dengan penuh ketakutan; bertolak belakang dengan etika spiritualisme kaum sufi yang mencitrakan kerahiman Tuhan lebih besar daripada kemurkaan-Nya.

        Absolutisme kekuasaan Tuhan dalam Siksa Neraka mengingatkan saya akan otoritas raja pada awal sejarah hukuman yang dicatat Michel Foucault dalam karyanya, Discipline and Punish (1975). Pada satu bagian, Foucault membahas siksaan sebagai metode hukuman dalam teknologi politis terhadap tubuh. Teknologi politis mengandaikan tubuh sebagai lokus di mana kekuasaan beroperasi via hukuman. Siksaan merupakan cara menghukum dengan menyentuh tubuh secara langsung. Siksaan menampilkan konfrontasi badaniah. Dalam siksaan, pihak terhukum tidak dipandang sebagai subjek yuridis, tetapi objek fisik yang menjadi sasaran utama sanksi.

    Menurut Foucault penyiksaan berfungsi sebagai upacara ritual pengadilan. Upacara ritual pengadilan dijalankan untuk menghasilkan kebenaran kejahatan individu. Siksaan dilaksanakan setelah dilakukan penyidikan atas dokumen tuduhan yang berisi pengetahuan tentang terdakwa. Proses peradilan tersebut dilakukan secara rahasia, tertutup, dan sentralistik. Keputusan mutlak ada di tangan raja.

    Penyiksaan merupakan mekanisme peradilan lanjutan untuk melegitimasi keputusan raja. Oleh karena itulah penyiksaan berwajah ambigu. Di satu sisi penyiksaan adalah konsekuensi atas keputusan pengadilan. Di sisi lain, rasa sakit penyiksaan diharapkan menghasilkan pengakuan langsung dari mulut yang diadili. Dalam hal ini, teriakan si korban merupakan tanda pengakuan bahwa ia bersalah.

    Dalam satu versi, beberapa panel komik menampilkan adegan organ-organ tubuh yang bersaksi atas kejahatan yang pernah dilakukan pemiliknya. Kesaksian organ-organ tubuh si korban merupakan dokumen pengetahuan individu yang menjadi rujukan pengadilan. Mekanisme tersebut menghasilkan keputusan Tuhan yang mahamutlak dan adil.

    Di neraka yang digambarkan dengan latar api, orang-orang disiksa secara kejam sesuai kualitas dan kuantitas kesalahannya. Dalam sejumlah panel komik, para kriminal menjerit dengan berbagai seruan seperti “Tolong!!!”, “Wuaaa!”, “Arghhh!”, “Tobat!!!”, “Waduh, Biyung!!!”, dan sebagainya. Teriakan-teriakan tersebut merupakan pengakuan tidak langsung atas kejahatan yang dilakukan korban.  

    Bagi Foucault, penyiksaan juga berfungsi sebagai upacara ritual politis. Penyiksaan dijalankan untuk menunjukkan kekuasaan raja. Penyiksaan dilaksanaan sebagai hukuman yang dipertontonkan di hadapan publik untuk menunjukkan relasi asimetris antara raja yang adikuasa (superpower) dan korban yang tunakuasa (powerless). Siksaan yang “dipanggungkan” di depan khalayak menjadi pertunjukan kemegahan raja. Hukum adalah sinonim kekuatan raja. Oleh karena itu, siapa pun yang melanggar hukum, penyiksaan ditimpakan kepadanya sebagai retribusi dendam dan untuk memulihkan kekuasaan raja yang telah dilukai.

    Siksa Neraka mempertontonkan relasi tidak sebanding antara kemahakuasaan Tuhan dengan kedaifan manusia. Dalam komik tersebut, kerentanan manusia terlihat begitu mencolok. Siksaan brutal dilakukan secara bertubi-tubi tanpa henti. Kebengisan itu kian mengerikan karena di akhirat manusia tidak bisa mati meski tubuhnya dihancurkan berkali-kali. Imortalitas manusia membuat siksaan itu semakin menyakitkan.

    Hukuman itu harus menggoreskan bekas di tubuh korban. Bilur, luka, memar, dan daging yang hancur bukan hanya akibat dari tubuh yang disiksa, melainkan penanda bahwa kemuliaan sang penguasa tidak terkalahkan. Dalam Siksa Neraka, tubuh manusia yang menjelma babi, binatang buas, jerangkong, atau berperut buncit adalah stigma atas seluruh kesalahan korban sekaligus penanda politis kemahakuasaan Ilahi.

    Siksaan merupakan anatomi politis kuno di mana kekuasaan dieksekusikan melalui hukum yang berhadapan dengan tubuh secara langsung. Ketaatan diajarkan melalui teror, ancaman, kekerasan, dan disebarkan dengan cara mempertontonkannya kepada publik. Proses disiplin ini diharapkan menghasilkan tubuh yang patuh sebagai syarat utama menjadi individu berguna. Dalam hal ini, visualisasi siksa neraka disebarkan kepada audiens pembaca—khususnya anak-anak—untuk menghasilkan umat yang tunduk.

    Disiplin tubuh ala Siksa Neraka mengingatkan kita kepada mekanisme hukum rezim Orde Baru (Orba). Dengan gaya militeristik dan sewenang-wenang, rezim Orba kerap menghukum orang tanpa diadili—yang menunjukkan keabsolutan penguasa. Kebengisan ditunjukkan dengan cara bagaimana Orba menyiksa dan menghabisi korban yang kebanyakan merupakan pihak yang dianggap musuh politik. Untuk memperoleh kebenaran kejahatan, investigasi kerap dilakukan secara tertutup disertai kekerasan. Pseudoinvestigasi ini menghasilkan pengakuan yang dipaksakan kepada korban. Bahkan, kelahiran rezim Orba dibidani oleh kekejaman terhadap partisan dan orang-orang yang dianggap Komunis. Siksa Neraka yang lolos sensor dan didistribusikan secara masif seolah-olah merepresentasikan realitas hukum pada saat komik itu terbit pertama kali. Narasi Siksa Neraka mewakili banalitas kebrutalan hukum Orba. Pada rezim Soeharto, kekerasan aparat dianggap wajar-wajar saja—termasuk kekejian terhadap masyarakat daerah operasi militer, aktivis proreformasi, dan korban penembak misterius. Bagi tumbal-tumbal politik Orba seperti para penyintas pascakekerasan 65, misalnya, siksa neraka telah mereka rasakan melalui mesin militer sebelum akhirat yang sesungguhnya tiba.

  • Kisah Para Majus dalam Puisi Epik Juvencus

    author = Mario F. Lawi

    Di tahun-tahun terakhir masa SD saya, belasan sampai 20 tahun lalu, para suster dari kongregasi RVM sering datang dan memberikan bantuan pelayanan di kapel St. Fransiskus Xaverius, Naimata. Di salah satu masa, sebagai bagian dari misi pelayanan mereka, mereka mengumpulkan anak-anak berusia SD sampai SMP, membentuk organisasi Sekami (Serikat Kepausan Anak Misioner), dan meminta anak-anak tersebut untuk membawakan drama tentang kelahiran Yesus. Kami dipilih untuk memerankan Yosef, Maria, para Majus, malaikat Gabriel, dan para gembala. Saya dipilih memerankan seorang gembala yang gemar memainkan seruling. Drama Natal tersebut adalah satu dari dua drama yang pernah saya bawakan sebagai anggota Sekami.

    Di bagian penampakan Gabriel kepada para gembala untuk mengabarkan kelahiran Yesus, para suster meminta kami untuk membayangkan hal-hal yang kami takuti sehari-hari. Bertahun-tahun kemudian, saya beranggapan, ketakutan para gembala jauh lebih besar dari yang pernah kami rasakan. Mereka bertemu dengan makhluk yang seumur hidup belum pernah mereka lihat. Di tengah ketakutan tersebut, mereka justru mendengarkan kabar gembira. Drama ditutup dengan adegan kelahiran Yesus dan kedatangan tokoh-tokoh lain mengelilingi kandang tempat Yesus dilahirkan. Tidak ada yang memerankan Bayi Yesus. Penanda kelahiran diganti dengan suara tangisan anak kecil yang direkam dengan kaset pita dan diperdengarkan melalui pengeras suara. 

    Drama Natal adalah salah satu bentuk adaptasi paling populer terhadap kisah kelahiran Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. Di dalam naskah drama, para penulis menambahkan dialog-dialog para tokoh kecil, bagian yang tidak kita temukan dalam keempat Injil. Pada awal Abad Pertengahan, adaptasi terhadap kisah Injil yang dikerjakan para penulis dengan menggunakan bentuk puisi. Sejumlah penyair Romawi yang hidup sejak awal abad ketiga sampai sekitar abad kedelapan Masehi memindahkan kisah-kisah dalam Alkitab ke dalam puisi-puisi mereka. Salah satunya adalah penyair bernama Juvencus.

    Biografi paling terkenal Juvencus kita peroleh dari Santo Hieronimus, penerjemah bahasa Latin Alkitab. Dalam salah satu bagian dari karyanya yang berjudul De viris illustribus (Tentang Orang-Orang Terkenal), Hieronimus menulis begini tentang Juvencus: “Juvencus, nobilissimi generis, Hispanus presbyter, quattuor Evangelia hexametris versibus paene ad verbum transferens, quattuor libros composuit, et nonnulla eodem metro ad sacramentorum ordinem pertinentia. Floruit sub Constantino principe.” Saya sertakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia: “Juvencus, keturunan bangsawan tinggi, imam Spanyol, menerjemahkan empat Injil ke dalam baris-baris heksameter nyaris kata demi kata, menyusun empat buku, dan beberapa karya dalam metrum yang sama yang menyinggung susunan misteri-misteri. Ia berkembang di bawah pemerintahan Konstantinus.”

    Informasi Hieronimus adalah sumber terbesar biografi Juvencus, seorang imam Spanyol yang menulis epik dalam empat buku berdasarkan keempat Injil, terutama Matius. Konstantinus Agung atau Konstantinus I yang dimaksudkan dalam informasi Hironimus tersebut adalah kaisar Romawi yang memerintah dari tahun 306 sampai tahun 337 Masehi. Dari informasi tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Juvencus berkarya pada abad keempat Masehi. Empat buku yang disusun oleh Juvencus adalah puisi epik berjudul Evangeliorum Libri Quattuor (Empat Buku Injil, selanjutnya akan disingkat ELQ). ELQ adalah puisi epik Latin alkitabiah pertama dalam tradisi Barat dari periode Late Antiquity. Dalam tradisi sastra berbahasa Yunani dan Latin, puisi epik ditulis dalam metrum heksameter, metrum yang digunakan oleh Homeros dan Vergilius, dua penulis puisi epik terbesar dari bahasa Yunani dan Latin. Di bagian pembuka epik, Juvencus menyatakan dirinya sebagai penyair epik ahli waris kedua penyair tersebut. Menurut Juvencus, tidak seperti kedua penyair pagan yang mengisahkan dusta, ia tampil sebagai penyair epik yang menyampaikan kebenaran. Jika epik kedua penyair tersebut mendatangkan kemasyhuran jangka panjang, maka si penyair Kristen berpendapat bahwa epiknya pun akan mendatangkan pujian abadi baginya.

    ELQ berjumlah empat buku seperti jumlah Injil Perjanjian Baru, tetapi Juvencus tidak menulis setiap buku epiknya untuk mewakili masing-masing Injil. Sumber utama cerita dalam ELQ adalah Injil Matius. ELQ ditulis dalam bahasa Latin yang digunakan para penyair Romawi sebelumnya, terutama Vergilius dalam karya-karyanya. Sebagai epik Latin biblikal pertama, epik Juvencus adalah standar bagi epik-epik Kristen yang ditulis setelahnya, terutama epik-epik biblikal. Lima epik biblikal lain dari periode Late Antiquity adalah Heptateukhos, Carmen Paschale karya Sedulius, Historia Apostolica karya Arator, Aletheia karya Victorius, dan De Spiritalis Historiae Gestis karya Avitus. Karena menggunakan teks para penyair pagan sebagai referensi untuk mengisahkan ulang cerita-cerita dalam Injil, baris-baris puisi Juvencus merupakan Kontrastimitation, kerja imitasi membuat isi teks baru yang bertentangan dengan, bahkan mengoreksi, teks terdahulu. 

    Menurut catatan Hieronimus, Juvencus memindahkan kisah Injil ke dalam epiknya “paene ad verbum,” nyaris kata demi kata. Saya tidak mengakses Injil versi Vetus Latina (Latin Tua), terjemahan Latin yang digunakan sebelum versi Vulgata Hironimus ada, maupun versi Yunani yang digunakan pada zaman Juvencus. Namun, jika ELQ dibandingkan dengan Injil terjemahan Vulgata maupun bahasa Indonesia, puisi-puisi Juvencus memang jelas terbaca sebagai pemuisian kisah-kisah prosaik dalam Injil secara ketat, yang membentang dari kisah pemberitahuan kelahiran Yohanes Pembaptis dan Yesus di awal buku 1 sampai kisah pengutusan para murid pascakebangkitan di akhir buku 4. Juvencus menulis epiknya dengan memasukkan sedikit komentar, salah satu aspek yang membedakan epiknya dari epik Carmen Paschale karya Sedulius. Dalam Carmen Paschale, komentar Sedulius terhadap kisah-kisah yang ia adaptasi dari Alkitab memiliki porsi lebih banyak.

    Saya akan membahas salah satu bagian dalam ELQ yang berkaitan dengan tiga Majus dari Timur. Gereja Katolik Roma merayakan Epifani atau Hari Raya Penampakan Tuhan setiap tanggal 6 Januari. Peringatan tersebut juga dirayakan sebagai Pesta Tiga Raja atau para Majus. Para Majus adalah pars pro toto dari bangsa-bangsa di dunia yang datang memberikan hadiah bagi Yesus yang baru dilahirkan. Sumber kisah tentang Gaspar, Balthasar dan Melkior—nama ketiganya—dalam puisi epik Juvencus adalah Matius 2:1-12. Kisah para Majus dalam epik ELQ direkam dalam 31 baris di buku pertama, yakni baris 224-254.

    Secara singkat, cerita dalam baris-baris tersebut dapat diparafrasakan sebagai berikut: ketiga Majus adalah orang-orang unggulan dari sebuah bangsa di Timur yang terkenal pandai membaca tanda-tanda bintang (baris 224-226). Ketiganya adalah orang-orang terpilih (delecti) yang menempuh perjalanan panjang ke Yerusalem, bertemu Herodes sang raja setempat dan menanyakan di daerah Yudea sebelah manakah Bayi yang baru lahir itu berada, karena bintang telah menuntun mereka untuk datang menyembah-Nya (baris 227-232). Herodes yang takut (territus Herodes) pun mengumpulkan para imam kepala (culmina vatum) dan ahli Taurat untuk menelusuri naskah-naskah yang ditinggalkan para leluhur guna mencari tahu di manakah tempat lahir Kristus yang telah diramalkan para nabi (baris 233-237). Naskah-naskah tersebut menunjukkan bahwa Ia yang dikabarkan memerintah Israel dengan kekuatan suci dilahirkan di Betlehem (baris 238-240). Herodes meminta kepada para Majus dari Persia tersebut untuk gigih mencari Sang Bayi dan mengabarkan kepadanya tempat kelahiran-Nya (baris 241-242). Di dalam perjalanan mencari tempat lahir, para Majus melihat bintang berekor dan bersyukur atas kehadiran bintang tersebut (baris 243-246). Setelah melihat Si Bayi dalam dekapan ibu-Nya, para Majus merendah ke tanah, bersama mendoakan Sang Bayi. Para Majus juga mempersembahkan tiga hadiah yakni kemenyan, emas dan mur sebagai penghormatan terhadap Sang Bayi sebagai Tuhan, raja dan manusia—“munera trina tus, aurum, murram regique hominique Deoque dona dabant” (baris 247-251). Mimpi buruk memberitahukan para Majus untuk menghindari Herodes sang tiran, sehingga mereka pulang ke tempat mereka lewat jalan berbeda (baris 251-254).

    Meski secara umum kisah ELQ serupa dengan versi Matius, ada enam penjelasan dan perubahan yang ditawarkan Juvencus dalam epiknya, yang dapat saya identifikasi dan tunjukkan. Keenam temuan di bawah juga berfungsi untuk menutup tulisan ini:

    Pertama, Bayi yang dicari oleh para Majus dalam epik ELQ bukanlah raja Yahudi (rex Iudaeorum) seperti versi Matius, melainkan Allah kudus yang muncul di bumi (exortum terris venerabile numen, baris 232). Juvencus menggunakan kata “numen” untuk menunjuk “Allah,” tetapi kata tersebut juga bisa berarti “tanda, kehendak, sabda”, hal-hal yang juga tercakup dalam diri Sang Bayi Natal. Kata yang sama, “numen”, digunakan penulis puisi cento De Verbi Incarnatione, satu puisi biblikal lain dari periode Late Antiquity, untuk menunjukkan “kekuatan tak dikenal” (ignotum numen) yang mengacaukan hati manusia. Dengan perbandingan tersebut, kita mengetahui bahwa dalam dua puisi berbeda dari periode yang sama, satu kata bisa dimaknai secara bertentangan. 

    Kedua, Herodes dalam versi ELQ adalah Herodes yang ketakutan (territus Herodes), bukan Herodes yang sekadar terkejut (turbatus Herodes) seperti versi Matius. Dengan menggunakan kata “territus,” Juvencus memberikan motif lebih kuat bagi anjuran mimpi yang diikuti para Majus dan kejahatan pembunuhan bayi-bayi yang dilakukan Herodes di bagian selanjutnya. 

    Ketiga, Kontrasimitation yang bisa ditemukan dalam narasi para Majus versi ELQ adalah pengubahan konteks kalimat puisi Vergilius untuk menyatakan kekuasaan Kristus. Baris 236 dalam epik ELQ, “quae sint genitalia moenia Christo,” (kota kelahiran Kristus) adalah adaptasi atas epik Aeneis buku 3 baris 100. Dalam konteks Vergilius, baris yang berbunyi “quae sint ea moenia quaerunt” (kota yang orang-orang Troia harapkan) tersebut adalah bagian dari nubuat Apollo. Itulah tempat leluhur, pertiwi purba, “antiqua mater”, yang diminta Apollo untuk ditemukan melalui kalimat imperatif: “antiquam exquirite matrem,”—temukanlah ibu purba kalian! Dalam epik ELQ, konteks nubuat Apollo tentang kota terjanji bagi orang-orang Troia diubah oleh Juvencus menjadi nubuat para nabi Yahudi tentang kota kelahiran Kristus.

    Keempat, kalimat langsung dalam Matius ketika para imam kepala dan ahli Taurat mengabarkan kota kelahiran Kristus diubah Juvencus menjadi kalimat tak langsung dalam epiknya. Adapun kalimat langsung dalam versi Matius berbunyi begini, “Mereka berkata kepadanya: ‘Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena daripadamulah akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.’” Dalam ELQ, informasi tersebut dirumuskan dalam kalimat tak langsung: “Naskah-naskah menunjukkan bahwa Ia yang dikabarkan memerintahkan bangsa kudus Israel dengan kekuatan suci akan (sedang menunggu untuk) dilahirkan di Betlehem.”

    Kelima, penerjemah Latin Injil Matius hanya menggunakan kata “stella” untuk merujuk kata “bintang” yang menuntun para Majus. Dalam epik ELQ, Juvencus menggunakan tiga kata berbeda untuk merujuk “bintang,” secara berurutan, kata-kata tersebut adalah “astrum” (di baris 225, dalam bentuk genitif jamak), “stella” (di baris 230, dalam bentuk genitif tunggal; dan di baris 243, dalam bentuk akusatif tunggal), dan “sidus” (di baris 246, dalam bentuk akusatif tunggal). Ketiga kata tersebut dipakai untuk konteks berbeda: “astrum” untuk menunjukkan keahlian perbintangan para Majus dan orang-orang di Timur sehingga bisa juga diterjemahkan sebagai “konstelasi”; “stella” digunakan dalam pengertian bintang penuntun; sedangkan “sidus” digunakan dalam konteks “bintang sebagai penanda kelahiran” atau “bintang kelahiran”. Pengaruh pilihan kata dan urutan yang digunakan Juvencus bisa kita temukan dalam puisi epik Carmen Paschale karya Sedulius. Sedulius menggunakan tiga kata tersebut sesuai urutan dan maksud yang ditunjukkan Juvencus ketika mengisahkan para Majus dalam buku 2 epiknya, berturut-turut: “astrum” (baris 77), “stella” (baris 78), dan “sidus” (baris 90).Keenam, hadiah kemenyan, emas dan mur yang dipersembahkan para Majus diberi makna oleh Juvencus, informasi yang tidak kita jumpai dalam Injil Matius. Kemenyan adalah persembahan kepada Yesus Sang Allah, emas sebagai persembahan kepada Yesus Sang Raja, dan mur sebagai persembahan kepada Yesus Sang Manusia. Juvencus menderetkan persembahan dan persona yang ditunjukkan persembahan tersebut dalam satu baris “Tus, aurum, murram regique hominique Deoque” (baris 250). Komentar yang lebih panjang tentang makna persembahan tersebut diberikan Sedulius dalam puisi epiknya. Menurut Sedulius: “Mereka mencurahkan hadiah emas bagi raja yang baru lahir” (buku 2 baris 95); “Mereka menyerahkan kemenyan kepada Allah” (baris 96); dan “memberikan mur untuk makamnya” (baris 96). Dalam baris 96 tersebut, “makam” adalah petunjuk kemanusiawian Yesus. Sedulius juga berpendapat bahwa ketiga bersembahan tersebut menunjukkan kekuasaan Allah pada masa lalu, masa kini, dan masa depan (baris 97-101).

    Keterangan gambar: The Adoration of the Magi, Gerard David (circa 1450)

  • Kereta dan Melankolia

    author = Ramayda Akmal

    Saat itu awal bulan januari, pukul 5 sore. Hari sudah sepenuhnya gelap ketika kereta yang saya naiki berhenti di atas rel yang melintasi sungai Elbe, dengan kemiringan sekitar 20 derajat. Semua orang berwajah menunggu dan bertanya, walau tidak ada yang benar-benar bertanya. Sampai kemudian sebuah pengumuman, yang sedikit darinya bisa saya pahami, memberi tahu kereta akan berhenti sepuluh menit dan beralih jalur. Es turun rintik-rintik terdengar menempel di kaca jendela. Permukaan sungai sesekali berkilau. Seorang nenek di depan saya bergumam sambil mengelus-elus anjingnya. Saya cuma bisa paham satu kata, dan kebetulan penting, selbstmord. Saya tidak kaget. Musim dingin musim bunuh diri. Dan pikiran pun mengembara, mengingat banyak hal kemudian.

    Momen terjebak di kereta pada musim dingin itu adalah salah satu momen paling melankolis dalam hidup saya. Tentu saya pernah mengalami situasi serupa, ketika melihat hujan dari jendela rumah orang asing, mendengar lagu sedih yang tidak bersyair, atau mengingat seseorang yang telah pergi bahkan ketika kita belum sempat dekat. Akan tetapi poin-poin yang terakhir ini sangat spesifik pada diri saya, sementara yang terjadi di dalam kereta, adalah yang saya yakin dialami juga oleh jutaan umat manusia lainnya. Kereta dan Anna. Kereta di Gare Saint Lazare dalam kanvas Monet. Kereta dan orang-orang yang diselamatkan Herr Schindler ataupun yang tidak. Kereta dan keroncong Di Tepinya Sungai Serayu di Stasiun Kroya. Kereta dan zombie. Kereta dan perampokan, dan lain-lain, yang kemudian membangkitkan tanya, mengapa kereta tidak henti-henti menjadi objek yang melekat dengan melankolia? Lalu apa sebenarnya melankolis itu? Sifat dari apakah itu?

    Sebuah film garapan Lars Von Trier, dengan judul yang sama, Melancholia (2011), telah membuat saya muntah dan demam selama dua hari setelah menontonnya. Apakah demikian gambaran dan gejala mengalami melankolia? Bisa jadi. Secara sederhana (meskipun memiliki sejarah dan pembicaraan yang kompleks) melankolia dipahami sebagai perasaan yang muncul karena gabungan kondisi-kondisi tertentu, semisal, kesedihan, cinta dan ketakutan. Perasaan itu menimbulkan gejala dari mulai cemas dan gangguan psikis lain sampai muntah-muntah. Perasaan itu bisa muncul kapanpun, pada orang dalam suasana yang berbeda-beda dengan kombinasi yang kadangkala fantastis (silakan tonton Train to Busan (2016) untuk menguji ‘kefantastisan’ itu).   

    Lalu, pada bagian apakah dalam kereta, yang membuatnya jadi sangat sensitif menciptakan gabungan suasana untuk menggerus saya dalam melankolia? Apakah itu karena lanskapnya? Hampir dua tahun, setiap pagi dan sore, saya menggunakan kereta (U-bahn) yang sama, melewati jalur yang sama, dalam waktu-waktu yang juga kurang lebih tetap. Pada menit-menit pertama, kereta melaju menembus hutan kota, lalu masuk ke bawah tanah. Kemudian sepertiga waktu perjalanan dihabiskan di terowongan yang menembus danau Alster, perumahan-perumahan, jalan dan ketika keluar, kereta menambah kecepatan melaju di rel-rel yang nyelip di antara gedung-gedung perkantoran. Terlihat sempurna, bukan? Namun, kereta melaju cukup cepat dengan akselerasi yang tidak terduga, sehingga tidak cukup nyaman untuk melihat lanskap di luar jendela, kecuali ketika berhenti. Akhirnya saya pun selalu meluruskan wajah, mengamati gerbong. Dan saya pun tahu, hampir tidak ada penumpang yang melemparkan pandangan ke jendela. Kalaupun ada, suatu ketika saya mengalaminya sendiri, mereka tidak benar-benar melihat lanskap di luar jendela. Kaca jendela kadangkala masih memantulkan wajah penumpang di sampingnya, dan ketika dua orang saling sama-sama memperhatikan wajah penumpang di depannya, itu menjadi ketidaknyamanan. Dan jika ada orang saling memandang lama, berarti ada sesuatu yang sedang mereka komunikasikan. Setelah itu mungkin mereka akan menyelidik cincin di jari, melihat gerakan mata, dan mungkin tersenyum, atau malah membuang muka. Pernah suatu ketika, di depan saya, sepasang muda-mudi kasmaran duduk dan berciuman. Setiap kali saya meluruskan wajah-yang artinya menghadap mereka, mereka cepat-cepat memandang saya seperti memandang orang tua yang tidak pengertian. Jadi, lanskap di dalam gerbong pun bukan berarti bisa dinikmati tanpa dipilih. Saya hanya bisa memandang kursi yang kosong, layar digital yang berisi informasi dan berita-berita singkat terkini, rute-rute dan kadangkala satu dua iklan yang ditempel. Kecuali tentu saja melihat dengan curi-curi, dengan keberanian, dengan risiko.

    Mungkinkah itu suara dari kereta? Suara dinamis kereta ketika berjalan, suara desis remnya, suara terompetnya, suara peluit masinis, sudah pasti mendukung suasana yang melankolis. Akan tetapi, kereta yang saya tumpangi hampir tidak ada suara sama sekali. Kalaupun ada, itu hanya bunyi alarm ketika pintu akan ditutup atau bunyi pengumuman di setiap stasiun. Juga jarang sekali saya bisa mendengar suara manusia karena jarang orang bercakap-cakap. Ada beberapa gerbong yang bahkan dilarang bagi penumpangnya untuk berbicara. Pernah ada beberapa masa pengecualian, seperti ketika seorang pengemis berorasi meminta uang untuk makan, yang seringkali sangat singkat karena cara itu tidak efektif untuk sekadar mendapat receh. Sebab memberi uang untuk pengemis hukumannya lebih besar daripada menjadi pengemis itu sendiri. Pernah juga, seorang pengamen berbiola, dengan percaya dirinya menggesekkan Salute d’amour di antara perjalanan menembus hutan-hutan. Saya sangat gembira mengenang saat itu. Walau tidak ada satu menit kemudian, seorang laki-laki paruh baya, yang duduk tidak jauh dari tempat pengamen berdiri, dan kebetulan berhadapan jauh dengan tempat saya duduk, mengacungkan jari telunjuknya ke pengamen, menggoyangkan ke kiri dan ke kanan, sementara tangan yang lain mengeluarkan dompet identitas. Ia tidak bangkit dari duduknya dan tidak mengeluarkan suara. Ia berpenampilan seperti layaknya mahasiswa, hanya sedikit lebih baik. Sepatu Tomy Hilfiger, jaket Mammut dan tas Northface (Maafkan kegagalfokusan saya, anggap saya ini tren terbaru dalam mengidentifikasi polisi). Pengamen hanya mengangkat bahu, dan kemudian turun di stasiun berikutnya. Pernah seorang cacat bersama pendampingnya, duduk di depan saya. Ia berusaha berbicara dengan saya, menggunakan bahasa Jerman dengan ketidakjelasan pronounce karena pengaruh cacatnya tersebut. Mendapatkan tiga bentuk kesulitan: keterbatasan bahasa Jerman saya, ditambah dengan pengucapan yang kurang jelas dan rasa khawatir karena bercakap-cakap di kereta, saya berusaha membalas pertanyaan-pertanyaan anak itu sepelan dan sewajar mungkin. Saya ingat, orang cacat tidak boleh dianggap lemah atau diperlakukan berlebihan. Begitu peraturannya. Saya cukup cemas waktu itu, tetapi bukan cemas yang demikian yang menghadirkan melankolia.

    Pernah suatu ketika, suara dan lanskap menyatu dalam jam sibuk yang membuat saya mendapatkan momen langka yang cukup nikmat. Saat itu saya pulang dengan kereta tujuan airport. Kursi penuh sehingga banyak penumpang berdiri. Di saat kacau seperti ini, suara sesekali muncul dan kita bisa memandang lebih bebas ke arah mana saja. Di depan saya, seorang laki-laki menyanding dua koper, berjenggot tebal dan membaca kusyuk novel kriminal yang sangat tebal. Perlu diketahui lebih dari separuh penumpang kereta selalu membaca, baik duduk atau berdiri, lengang atau berdesakan. Di sebelah saya, sepasang kakek nenek terdengar berdebat masalah di stasiun mana mereka akan berhenti. Di depan kakek nenek itu, seorang laki-laki mendengarkan musik melalui ponselnya, tanpa headphone dan cukup keras. Mukanya merah dan matanya berair. Jangan ditanya baunya. Ia tidak berhenti menggoyang-goyangkan kepalanya. Sepertinya ia mabuk kokain. Di pojok jauh, dua orang laki-laki duduk, masing-masing memangku perempuan, yang cantik dan elegan dalam riasan, tetapi tampak lelah dan bosan. Sementara orang terus lalu lalang di setiap pemberhentian. Meski cuma sebentar, karena satu persatu mereka turun, saya menikmati suasana itu. Walau kemudian hening lagi, mencekam lagi.

    Jadi baik lanskap atau suara dari kereta, tidak mendukung hadirnya situasi melankolis, kecuali justru dalam keterbatasannya. Keindahan-keindahan lanskapnya yang samar, yang datang sebentar dan berlalu, kerumunan yang dekat tapi asing, keriuhan yang terdengar tapi tidak bermakna, semuanya menarik kita dalam momen-momen yang terasa indah saat kita sudah kehilangannya. Seperti saya suatu ketika di kereta, yang akhirnya hanya bisa menatap pojokan kursi, mengotak-atik kuku sendiri, merenungi kejadian saat profesor melemparkan proposal penelitian saya dan berkata, “kajian poskolonial di Indonesia itu berlebihan!” sementara lanskap-lanskap berlalu dan suara-suara memudar. Beginikah melankolia? Begitulah melankolia!
    2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Kemesraan Simbolik: Silang Sebuah Pernyataan Kepada Kehidupan

    author = Ichsan Nurseha

    Ada yang menarik buat saya pribadi ketika usai menonton film garapan Richard Oh yang berjudul “Terpana”. Film ini tersiar pada tahun 2016, maklum saya memang menjadi salah seorang yang lamban dalam memerhatikan laju dari arus pergerakkan film, untuk beberapa film saya biasanya hanya bertukar informasi dengan teman-teman, kawan, yang ada di sekitar. Sehingga kemarin, ketika sedang chit-chat atau obrol ringan seputar film di aplikasi WhatsApp(WA), salah-satu kawan karib merekomendasikan saya film tersebut.

    Dalam film tersebut saya tidak ingin mengupas apa yang terjadi di dalamnya. Ada baiknya, jika kalian yang belum sempat menyaksikan film tersebut, ya tinggal cari sendiri saja. Sebab dalam hal ini, saya hanya ingin membahas sebuah pernyataan dalam film tersebut, yang kiranya mampu memberikan impresi yang cukup kental bagi saya dalam singgungannya kali ini dengan suasana hidup kita dewasa ini, bunyi dialognya seperti ini: “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”.

    Kalimat tersebut tengah diucapkan oleh seorang tokoh yang sedang bermain dalam film tersebut. Saya lupa siapa namanya, tetapi apa yang baru saja ia katakan kepada lawan mainnya dan—meskipun ini hanya sebuah film—yang tentu telah mendapatkan porsi dan penempatan dengan penuh perhitungan yang cermat, menandakan bahwa karya ini telah berhasil menyampaikan sebuah pesannya, dan berlanjut akan diakui sebagai kesan oleh para penikmatnya. Sederhananya, karya ini telah dan bisa dikatakan sebagai karya yang bagus. Sebab ia mampu memberikan sebuah sentilan yang mana itu memang menjadi sebuah goal dan tujuan saat karya itu bermula untuk dihadirkan dan dinikmati di kalangan masyarakat.

    Lanjut kita masuk ke dalam pernyataan “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”. Di tengah suasana hidup yang di setiap bagian dan sektor manapun sesak sekali dengan tema pembicaraan wabah akhir-akhir ini, membuat kita seringkali bertanya-tanya pun sekaligus di setiap perjamuan antar kopi(tatap-langsung) maupun via daring telah menjadi tema yang mesti dibahas di setiap pertemuannya. Dan jika saya kaitan fenomena-fenomena akhir-akhir ini dengan satu pernyataan itu sebetulnya ya pasti semuanya akan mengalir dan berjalan ke satu arah. Sehingga mau ada dan timbulnya pelbagai banyak kemungkinan yang seringkali diciptakan oleh manusia di dalam kepalanya, ketika sedang membayangkan, meneroka, dan membuat sebuah prediksi berskala mikro dalam sebuah kejadian yang belum terjadi dalam hidupnya atas wilayah hidup yang sedang dijalani, pasti itu semua akan terjadi sebagaimana hal itu memang sudah lumrah terjadi. Ketika suatu kejadian itu terjadi, pasti kalau tidak “begitu” ya mungkin “begini“, atau “begono“, “begindang” dan lain sebagainya.

    Dari hal tersebut, beberapa kejadian dan fenomena yang sedang terpampang jelas dan nyata di mata kita sebetulnya sedang memberikan sebuah gambarannya, yang hal itu kiranya tidak kurang seperti sebuah deretan, dan dari deretan-gambar tersebut mengandung sebuah kisah di dalamnya. Makna tersirat. Masing-masing di antaranya memiliki jalan dan alurnya sendiri-sendiri, setiap orang, individu, masyarakat, petani, nelayan, tukang bakso, tukang buku, tukang rambut nenek bahkan—sampai anak indigo sekalipun. Hal yang nampak dan kasat mata, yang mampu kita saksikan menjadi sebuah fenomena yang di dalamnya terkandung amanat dan pesan. Jangan bersikap dan menuduh saya sebagai orang yang sok tahu, tapi tak mengapa jika kalian beranggapan demikian. Karena pada dasarnya memang begitu, dan begitu lah semuanya nampak berjalan.

    Seperti apa yang sedang terjadi di sekitar wilayah kehidupan kita seperti pandemi, wabah, PSBB, beberapa kelompok orang yang kabarnya akan siap mengancam(chaos), beberapa wajah daerah yang sempat erupsi, serta-seribu macam getaran yang telah membuat kita cemas dan bersiap akan merisaukan kita kembali pada akhir-akhir ini merupakan sebuah peristiwa yang amat dan sangat momentum. Saya jadi teringat pula akan obrolan singkat Ibu saya dengan temannya, ketika saya sedang disibukkan dalam aktivitas yang istilahnya WFH (Work From Home), kuping saya tidak sengaja mengutil seberkas pertanyaan “Nur, kayaknya dalam hidup kita yang udah tua gini, baru kali ini ya kita ngerasain hal begini (suasana Covid-19)?”.

    Kemudian Ibu saya menjawab “Iya, di masa umur hidup kita yang udah nenek-nenek ini kita baru ngerasain hidup di suasana yang begini”. Kurang lebih seperti itu. Dari hal tersebut, betapa amat dan sangat momentum kita-kita ini yang—bagi saya beruntung—dalam artian mampu menyaksikan dan dihadapkan pada suasana kehidupan yang semula biasa-biasa saja menjadi tidak biasa. Ada sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya pribadi, hidup di tengah suasana seperti ini; semuanya berjalan lebih lambat daripada biasanya. Meskipun dalam hati, saya juga tidak bisa berbohong untuk merasakan kesedihan dan kekurangan di antaranya.

    Itu merupakan sebuah bentuk “probabilitas akan menuju pada yang satu”, akan bermuara pada yang satu. Ketika hal-hal seperti ini, kita sebagai manusia akan lebih dipaksa untuk lebih kreatif lagi dalam menghadapi dan menjawab rentetan persoalan kehidupan. Sejauh mana kita siap memasang kuda-kuda supaya tidak salah dalam melangkah dan mengambil keputusan.

    Kemudian selain itu, di masa ketegangan dan persinggungan kehidupan kita di masa-masa seperti ini, ada baiknya kita simpan dulu beberapa penyesalan, ketakutan, dan—dua ribu tiga ratus empat triliun—kecemasan yang ada di dalam kepala kalian. Coba lah untuk sesekali membuat diri kalian untuk tidak bergantung pada materi yang ada di sekitar kalian, yang mana dari hal tersebut kiranya kalian hanya menyiapkan beberapa telur yang disiapkan untuk menetas dan menghadirkan anak-anak piyik kegalauan, kecemasan, serta seringkali gampang menyalah-nyalahkan bahkan menyudutkan—yang sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dalam kehidupan. Meskipun memang telah menjadi sebuah kewajaran, ada baiknya kita tetap menjaga jarak dalam suasana hidup seperti ini. 

    Ada sebuah makna dan pesan di dalamnya. Bahwa setiap kejadian, untungnya saya selalu mencari dan mencoba mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain, yang mana itu memang berjalan sedemikian rupa; akarnya, sebab-musababnya, dan apa yang ingin disampaikan-Nya. Peristiwa akhir-akhir ini bagi saya pribadi pun merupakan sebuah teguran yang kesekian kali bagi dan untuk umat manusia. Meskipun di antaranya ada yang mengatakan bahwa saya ini termasuk ke dalam orang-orang yang selalu mengaitkan hal apapun itu pada agama, tak mengapa saya sudah terbebas dengan itu. Bahwa kejadian ini memang tentu ada campur tangan Tuhan di dalamnya, saya tidak bisa mengatakan bahwa kejadian ini merupakan dan bersumber pada kegiatan dan aktivitas manusia saja.

    Di sini lah salah satu yang menjadi dan merupakan titik kemesraan-Nya; ketika saya dihadapkan pada sebuah pernyataan “probabilitas akan menuju pada yang satu” di tengah suasana seperti ini kiranya menjadi nyata untuk membuktikan bahwa kita manusia tidak hidup sendiri di alam jagat raya-Nya, bahwa kita sebetulnya kita hanya numpang hidup di wilayah kekuasaan-Nya, nge-kost, nginep dan lain-lain.

    Meskipun kita seringkali merasa bangga akan pemikiran-pemikiran kita untuk menciptakan beberapa kemungkinan, tetapi salah satu diantaranya kita pun juga seringkali ngawur dalam setiap pengambilan dalam menentukan sebuah sikap. Kita ceroboh, dan seringkali kita juga merasa amat sangat “percaya diri” (pede) akan kelakuan kita akhir-akhir ini. Bahwa “pasti masa ini akan berlalu, sebab di masa sekarang dengan kemampuan dan kecanggihan yang sudah dan seringkali dilahirkan oleh tangan-tangan terampil berkat para kaum cerdik dan kaum pandai sekalian, akan segera ditemukan sebuah jurus dan penangkal”. Itu “mungkin” memang alur peristiwanya akan bergerak ke arah sana dan seperti itu, dan juga tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu merupakan sebuah upaya dan usaha dalam bentuk mencari sebuah terobosan.

    Dan apabila nanti ketika kita tidak tengah disibukkan dan tidak merasa galau akan fenomena-fenomena terakhir. Tentu, semuanya itu tidak lain dan tidak bukan hanya lah sebab Ia tidak tega terhadap kita para makhluknya.

    Tetapi seringkali kita abai dan merasa terlalu “ge-er” untuk bisa mendaku bahwa, memang otak manusia lah yang telah menciptakan semuanya itu. Otak manusia mampu melahirkan kembali sebuah peradaban yang telah hilang atau setidaknya otak manusia bisa menimbulkan ragam kecanggihan, dan membuat sebuah kehidupan dengan nuansa yang lebih dari ini.

    Tetapi bagaimana jika kita juga berandai-andai dan membayangkan, dalam kondisi yang cukup mencekam ini kita akan dihadapkan pada sehamparan rentetan dan fenomena-fenomena yang sama sekali tidak kita inginkan? Dan itu memang akan betul-betul terjadi, sebab “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”. Sehingga kita mungkin tidak bisa mengelak lagi, bahwa apa yang mungkin akan terjadi, pasti akan terjadi. Sebuah fenomena yang buruk bagi manusia akan terus dan seringkali bermunculan ke permukaan, sebab kita seringkali mengabaikannya, sebab seringkali kita merasa bahwa Ia telah memiliki semua, sehingga kita tidak perlu lagi berlaku dan melakukan ritus kemesraan antara makhluk(hamba) dengan Sang Pencipta.

    Kita sudah sangat dan bahkan sudah kelewat sangat ge-er!!. Kita tidak pernah memerhatikan bentuk posisi kaca dan mungkin kita juga lupa dan mungkin juga kita tidak tahu bagaimana cara kerjanya.

    Maka sungguh tidak ada yang lebih besar dari kuasa-Nya. Ketika “Kun”, maka terjadilah.

    Tangerang, 2020.

  • Kelindan Rumah Cimanggis dan Amatan pada Hal-hal yang Berhubungan

    author = Tyassanti Kusumo

    “Dua tahun berselang, sudah sejauh mana?”

    ———-

    Bukan, pertanyaan di atas bukan pertanyaan dari seorang kawan terhadap kawan yang lain tentang proses melupakan kekasih atau pengerjaan skripsi. Namun, pertanyaan tentang kejelasan status dan tindak lanjut terhadap Rumah Cimanggis (RC) yang dua tahun lalu sempat geger karena pernyataan dari Wapres saat itu, Jusuf Kalla dan rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di kompleks yang sama. 

    Setelah sempat menulis mengenai hal tersebut di sini, beberapa waktu terakhir saya jadi terhantui pikiran tentang kabar Rumah Cimanggis. Terlebih karena Agustus tahun lalu saya menyempatkan diri untuk mampir dan melihat langsung Rumah Cimanggis, tapi belum keburu membagi cerita kepada kawan-kawan. Saat itu, kondisi bangunan bisa dibilang separuh utuh, dengan keberadaan atap yang amat jarang. Kalau boleh dikata, atap hanya menutupi 10% dari keseluruhan bangunan, sehingga bayangkan, apabila hujan mak bres sok kabeh, interior rumah yang kurang lebih telah berusia 242 tahun tersebut akan langsung narima ing pandum curahan air hujan. 

    Tentu kondisi itu tidak bisa dianggap biasa saja, sebab ketika sebuah bangunan tua, yang kita juga kehilangan jejak modifikasi di dalamnya, terus terpapar hujan dan iklim tropis Indonesia seperti ini, deteriorasi (proses menuju kemunduran atau keadaan yang buruk) akan semakin cepat. Tembok-temboknya akan semakin menyerap air dan ditumbuhi lumut, terlebih sebelum bulan November 2018, kondisi rumah masih seperti reruntuhan di tengah belantara tumbuhan. Warisan lingkungan “kebon” tersebut masih terlihat dari keberadaan beberapa pohon yang menyeruak dari tegel dan yang merambat hingga ke atas ventilasi atau lubang angin. Setidaknya begitu yang saya amati Agustus silam. 

    Sebelumnya, maklumat dulu ya. Saat menulis artikel pertama, saya betul belum pernah melihat langsung mengenai kondisi rumah ini. Jadi, bekal visualnya hanya dari tautan berita dan aneka dokumentasi dari internet. Dan saat itu, saya cukup jauh berada dalam konteks perbincangan tinggalan-tinggalan yang ada di kawasan Jawa Barat. Hal yang mendorong untuk membagikan kegelisahan adalah kemunculan pernyataan dari pejabat publik (dalam hal ini Wapres saat itu) dan juga karena ada beberapa pemberitaan yang menyoal perkara pembangunan UIII. 

    Pada 2014, Pemkot Depok sempat melontarkan wacana tentang pembuatan arboretum (kebun botani berisi aneka pepohonan) di beberapa kawasan di Depok, salah satunya di kompleks RRI, dan akan melibatkan para ahli botani. 

    Namun ternyata pada awal Juni 2018, Presiden Jokowi beserta rombongan hadir di lokasi yang sama untuk melakukan peletakan batu pertama sebagai simbol dimulainya proyek pembangunan UIII. Dalam sambutannya, Jokowi mengungkapkan bahwa rencana pembangunan ini sudah dimatangkan selama dua tahun, berarti kurang lebih telah diinisiasi di 2016. Sehingga, oleh Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Depok, Heri Syaefrudin, pembangunan UIII dianggap melanggar RTRW, yang awalnya dimaksudkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada 2015. Tapi tenang dulu, kita tidak akan menuju ke polemik ini, karena memang bukan ini fokusnya hehe. Intinya, saat itu saya tertarik, lagi-lagi karena ada konflik antara orang-orang yang berkepentingan dengan pembangunan dan bangunan warisan budaya. 

    Semenjak tulisan pertama dirilis, setelahnya saya tak begitu banyak mengikuti kabar Rumah Cimanggis dan proyek yang akan dibangun di kompleks yang sama. Ketika melakukan kunjungan pun, yang ada di kepala hanyalah dolan, main saja, lihat kondisi bangunan yang pernah ditulis dengan observasi ngawang melalui internet. 

    Ternyata, untuk menuju ke sana, agak sedikit rumit. Saya lupa rute pastinya, tapi ketika sudah sampai di dekat kompleks pemancar RRI, tidak tampak tanda ataupun petunjuk jalan untuk menuju ke Rumah Cimanggis. Saat itu, saya ditemani seorang kawan yang Depok tulen, alias lahir dan berdomisili di Depok, harus beberapa kali putar balik karena menemui jalan buntu dan berakhir dengan bertanya pada salah satu ‘orang proyek’ yang berhasil kami temui, setelah sebelumnya bingung mencari akses masuk menuju kompleks pemancar. 

    Mengikuti jalan beton, motor membelah kanan-kiri yang berupa tanah datar seperti hasil rataan hingga menuju bagian yang mulai ditumbuhi pepohonan. Saya masih belum ngeh, sampai tiba-tiba kawan saya memekik. Ah! Ternyata dari kejauhan, satu bangunan yang selama ini disaksikan via pencarian di Google; yang kata sejarawan Depok, JJ Rizal, adalah artefak awal sejarah kota modern sebelum kemunculan kota-kota modern lain bersamaan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos. 

    Rupanya jika dilihat langsung, manglingi tenan. Begini duduk perkaranya, pertama, visual yang saya dapat dari internet adalah kondisi bangunan sebelum dilakukan pembersihan, sehingga tidak begitu jelas batas bangunan dan besar ruangannya, sebab semua tertutupi oleh tumbuhan. Kedua, foto lama dari KITLV, menunjukkan kondisi rumah yang utuh, dengan atap berukuran besar berbentuk limas segi empat. Atap tersebut menutupi hampir separuh dari fasad, sehingga kalau dilihat sekilas, rumah tak nampak begitu besar. Nyatanya, kondisi hari ini di lapangan, dengan dinding tinggi tebal dan pilar-pilar kokoh yang tertinggal, justru menampakkan kesan sebaliknya, grande dan tinggi. 

    Beranjak, sebagaimana yang saya pertanyakan serta beberapa kelompok sejarah di Depok perjuangkan tentang status Rumah Cimanggis, rupanya sudah terpampang jelas. Di samping pintu masuk, terdapat spanduk mencolok berwarna merah yang menunjukkan keterangan bahwa bangunan ini sudah menjadi Cagar Budaya (CB) dan masuk dalam pemeliharaan Disporyata (Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata) Kota Depok. Ketika dicek ke laman registrasi cagar budaya, rupanya sudah terdaftar dengan SK nomor 593/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018 pada September 2018. 

    Alhamdulillah, puji syukur.. tapi lantas, apa selanjutnya?

    Wacana awal dari Depok Heritage Community (DHC) sejak pengawalan isu dimulai adalah untuk memanfaatkan Rumah Cimanggis sebagai museum sejarah Depok. Arsitektur yang khas dan ruang yang luas dianggap sejalan dengan rencana tersebut. 

    Namun, dilansir dari portal berita Liputan 6 diketahui bahwa belum ada rencana terbaru dalam pengelolaan Rumah Cimanggis. JJ Rizal yang diwawancarai dalam tulisan ini juga mengutarakan bahwa seyogyanya ada paparan rencana dari Pemkot, supaya masyarakat mendapat informasi dan syukur-syukur bisa menyumbang pemikiran.

    Lantas, bagaimana jawaban Pemkot Depok? 

    Awal tahun lalu, Wali Kota Depok, M. Idris menyatakan bahwa Pemkot Depok belum mengalokasikan anggaran untuk revitalisasi di anggaran belanja 2019. Sebabnya adalah masih menunggu persetujuan pemilik lahan, yakni Kementerian Agama. FYI, kita harus ingat, ya, bahwa di lahan yang sama juga sedang dilakukan pembangunan UIII. Tambahan lagi, Pemkot juga masih menunggu rampungnya site plan UIII. 

    Nah, sampai di sini, setidaknya ada beberapa poin yang cukup mengganjal dan perlu digaris bawahi, terutama terkait penanganan dan komunikasi. Bagaimanapun juga, suatu cagar budaya pastilah tidak lepas dari adanya konflik, sebab dalam proses pemutusan status, nilai-nilai pentingnya harus disodorkan dan mampu menjadi harga tawar yang menjanjikan. Nilai pentingnya untuk siapa? Ya, bisa saja untuk warga sekitar atau lingkup luasnya, misal, warga se-provinsi. 

    Perkaranya adalah bila nilai tersebut tidak sampai ke masyarakat, ditambah kondisi fisik yang perlu banyak sentuhan serta berada di lahan penuh kepentingan (pembangunan kampus dan pelestarian CB) seperti yang sekarang terpampang nyata di kasus Rumah Cimanggis. 

    Melihat tanggapan Pemkot Depok yang menunggu site plan dari UIII jelas menunjukkan bahwa Pemkot seakan tunduk di bawah otoritas stakeholder, yang dalam hal ini pemilik lahan, Kementerian Agama. Sampai di sini, saya pikir lucu juga, sebab ketika ditetapkan dalam SK CB tingkat kota, keterangan kepemilikan bangunan masih ditera dengan nama ‘RRI’. 

    Asumsinya adalah lahan tersebut pada akhirnya telah diakuisisi oleh Kemenag, yang bila ditelusur lagi, Sertifikat Hak Pakai th 1981 a.n Departemen Penerangan RRI sudah menjadi milik Kemenag dengan no. 0002/Cisalak, peruntukan: Proyek Strategis Nasional pembangunan UIII. Asumsi kedua: meski SHP sudah di tangan Kemenag, kepemilikan bangunan masih atas nama RRI dan karena Pemkot yang mengeluarkan SK CB, maka otoritas bangunan ada di pihak Pemkot. Namun melihat gelagat Pemkot Depok yang seakan menunggu ‘langkah’ dari stakeholder, bisa jadi yang betul adalah asumsi pertama. Bila begitu ceritanya, maka SK CB haruslah segera diperbarui, sebab tidak menutup kemungkinan berpotensi menjadi bukti legal yang menjungkal bila timbul permasalahan menyangkut lahan. 

    Lantas, apa kabar perkembangan site plan UIII? 

    Ah, tidak usah berlama-lama, telah bisa dilihat di video ini. Pada laman lain, Liputan6.com, dijelaskan bahwa kampus akan dibagi dalam tiga zona. Menarik, di zona 3, terdapat kawasan peradaban yang diperuntukkan untuk museum, gedung pertunjukan seni dan budaya Islam serta gedung serbaguna. Berarti bisa jadi RC akan berada di kawasan ini, disandingkan dengan museum UIII atau justru digabungkan. Namun sepertinya tidak akan digabung, mengingat konsep arsitektur UII adalah “futuristik” dan mengusung tema museum yang berbeda. Bila merunut kaidah pelestarian dan tujuan untuk dijadikan museum kota, tentu terasa kurang klop dan nyambung. Butuh banyak narasi dan ejawantah arsitektur untuk bisa menjadikan dua tempat ini terhubung.  

    Kembali lagi, pada perkara penanganan dan komunikasi, site plan UIII, dari yang terlihat di video ataupun tautan-tautan berita, belum ada yang menaruh lokasi gedung ataupun zona secara presisi, sehingga beberapa menyebutnya sebagai master plan. Apapun itu bentuk yang ditentukan secara definitif, nampak jelas di sini perihal absennya komunikasi yang intens antara Pemkot Depok dan pihak UIII terkait RC.

    Pemkot menunggu UIII, sementara dari pihak UIII juga tidak menyertakan gambaran profil keletakan RC secara jelas.  Jadi, sampai kapan harus menunggu adanya tindak lanjut terhadap RC? Ketidakjelasan seperti inilah yang juga merupakan faktor pemicu deteriorasi CB. Semakin lama menunggu dan tanpa juru pelihara yang jelas, tentu akan membuat langkah progresif sebelumnya menjadi sedikit sia-sia dan berdampak buruk pada CB karena pembiaran yang terlampau lama. 

    Hal ini, sedikit banyak menunjukkan pada kita tentang wajah kesiapan dan kerja pemerintah daerah yang belum gercep dalam menangani tinggalan budaya. Bisa dimaklumi, sebab RC merupakan bangunan pertama yang dijadikan Cagar Budaya di Kota Depok, sehingga Pemkot masih sangat asing dengan persoalan dan prosedur penanganan. 

    Beruntung, kehadiran komunitas pemerhati sejarah terus menjamur dan berperan aktif dalam menyuarakan isu terkait, namun tetap saja, seperti yang sudah ditunjukkan dalam kasus RC, Pemkot atau pemda pada akhirnya harus menunjukkan progresivitas yang sama. Terlebih dalam hal-hal formal dan strategis seperti berdialog dengan stakeholder, dalam kasus Kota Depok, yang lebih memiliki posisi untuk bisa berdialog mengenai RC dan rencana pelestarian adalah Pemkot. Namun justru tidak ada taji yang diperlihatkan, tidak ada inisiatif untuk segera menyusun langkah pelestarian. 

    Seharusnya, sedari awal, Pemkot segera menyusun rencana strategis untuk RC, sebab apa guna status CB bila tak ada langkah lebih lanjut (re: pelestarian), apalagi dengan kondisi fisik yang perlu perawatan dan perhatian. Sejauh ini, usulan untuk menjadikan museum kota adalah hal yang masuk akal. Mengingat Kota Depok belum memiliki karakter yang kuat dan seakan kehilangan identitas kota. Narasi jejak peradaban yang tergelar sejak dahulu kala, semakin terhapus dalam wajah kontemporer kota. 

    Membedah perkara ini harus dilakukan dengan jeli dan hati-hati. Di skala yang lebih luas, bisa jadi akan didapati banyak kasus serupa, terutama bagi daerah yang belum pernah berurusan dengan hal tinggalan budaya, kemudian tiba-tiba dihadapkan dengan serangkaian prosedur dan printilan lain yang mengharuskan Pemkot atau yang diwakilkan, paham betul posisi dan tempat berpijak.  

    Tidak bisa dipungkiri, hal-hal yang berkenaan dengan tinggalan budaya memang belum begitu jamak dijadikan perhatian bersama, meski sudah banyak produk hukum dan turunannya yang dibuat. Namun, dalam prakteknya, upaya melakoni dengan harus membentuk TACB tingkat daerah, melakukan pendataan, merumuskan kebijakan, memugar hingga merawat CB adalah proses panjang yang harus dibiasakan dan disebarkan berkali-kali. Siapa yang harus berperan aktif di sini? Pastinya institusi atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada dalam garis koordinasi Kemendikbud, para penyelenggara pemerintahan daerah serta komunitas-komunitas pemerhati sejarah dan pegiat budaya. Kata kuncinya: membentuk ekosistem. Setidaknya ini yang harus dibuat dan dibumikan.

    ——-

    Dua tahun Rumah Cimanggis resmi ditetapkan menjadi Cagar Budaya, semoga tidak hanya sejauh ini saja, atau mandeg terlalu lama. Masih ada dua-tiga-empat tahun di depan untuk kembali menanyakan hal yang sama dan tentunya mengharap dapat jawab yang menggembirakan.