Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Abidah Naqiya
Mahasiswa Sebaiknya Menahan Diri untuk Tidak Demonstrasi di Masa Pandemi. Begitu judul salah satu artikel yang terbit di salah satu media online beberapa waktu lalu. Awalnya, judul dan isi tulisan tersebut membuat saya gusar. Ingin rasanya saya mengajak si penulis artikel untuk berdebat. Namun, pacar saya tidak suka kalau saya melakukan debat kusir di media sosial. Karena saya bucin dan omongan pacar saya memang ada benarnya, saya memutuskan untuk menyatakan keresahan dan ketidaksetujuan saya dengan cara yang lebih mencerminkan akhlaqul karimah. Oleh sebab itu, saya akan merespons tulisan itu dengan tulisan juga.
Pertama, saya ingin mengkritisi kalimat di dalam artikel itu yang mengatakan bahwa demontrasi mahasiswa merupakan bentuk ketidakpekaan mahasiswa terhadap bangsa yang sedang susah payah menghadapi pandemi. Menurut saya, ini malah menjadi bukti bahwa mahasiswa tetap menjalankan nalar kritisnya di tengah pandemi. Tahukah siapa yang lebih pantas kita tuding sebagai pihak yang tidak peka terhadap penderitaan bangsa yang tengah terseok-seok melawan virus sialan ini? Ya, betul sekali, Bunda: pemerintah kita sendiri.
Di saat jutaan pekerja di-PHK, angka kematian akibat kelaparan naik, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat, pelajar dan mahasiswa terancam putus sekolah, tenaga kesehatan mati-matian berjuang di garda depan, pemerintah malah membuat kebijakan-kebijakan ngawur yang hanya menguntungkan segelintir orang dan memperkokoh rantai oligarki.
Bulan Mei lalu, DPR mengecup kening rakyat Indonesia dengan cara mengesahkan UU Minerba yang berpotensi menyebabkan eksploitasi alam besar-besaran, konflik sosial, serta korupsi. Undang-undang ini jelas tidak menguntungkan siapapun kecuali pengusaha tambang kelas kakap. Tak hanya sampai di situ, DPR kemudian mengeluarkan RUUPKS dari Prolegnas dengan alasan yang kocak: pembahasannya terlalu rumit.
Herannya, mereka toh tetap punya pikiran dan tenaga untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law, yang draft-nya saja sampai lebih dari 1000 halaman. 1000 halaman lho, Hadirin. Itu setara dengan kurang lebih 13 skripsi mahasiswa S1 jurusan Sastra Inggris. Saya bisa jadi sarjana 13 kali! RUU yang cacat hukum ini merupakan karpet merah bagi investor, tetapi menjadi kesengsaraan panjang bagi buruh, petani, dan pekerja di sektor lainnya.
Yang kedua, artikel tersebut menyertakan pernyataan Ketua BNPB yang mengatakan bahwa aksi unjuk rasa di tengah pandemi dianggap melanggar undang-undang. Jika pada pelaksanaannya massa aksi tidak mematuhi protokol kesehatan, saya sepakat dengan ucapan beliau. Namun, ayo kita pikir bersama: bukankah demonstrasi terjadi sebagai respons bagi pemerintah yang tidak menepati janjinya dalam pasal 27, 31, dan 32 UUD 1945 untuk menjamin kesejahteraan sosial segenap rakyatnya? Jadi, siapa yang lebih patut kita kritik: massa aksi yang melanggar protokol kesehatan karena hak-haknya tidak dipenuhi atau negara yang melanggar janji yang tercantum di konstitusi?
Hal selanjutnya yang menggelitik saya adalah saat si penulis berkata bahwa demonstrasi seharusnya menjadi jalan terakhir setelah jalur-jalur lain seperti negosiasi tidak menemukan titik terang. Saya sangat sepakat. Kenyataannya, teman-teman mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya memang telah melakukan berbagai cara sebelum akhirnya melakukan unjuk rasa. Audiensi ke pejabat, melakukan kajian, mengadvokasi masyarakat yang membutuhkan bantuan, membuat dapur-dapur umum, membagikan masker, you name it. Namun, apakah itu cukup untuk melakukan perubahan, terutama ketika permasalahan yang kita hadapi sekarang adalah kemiskinan struktural?
Demonstrasi di masa pandemi tidak semestinya kita sederhanakan menjadi persoalan ketidakpekaan mahasiswa. Ada pepatah yang berkata bahwa situasi krisis akan menunjukkan karakteristik asli seseorang (baca: negara). Oleh karena itu, demonstrasi yang justru semakin marak di masa pandemi seharusnya membuat kita memikirkan ulang mengenai sistem ekonomi dan politik kita saat ini. Sudah sejauh mana negara menjalankan fungsinya? Benarkah pasar bebas berhasil melindungi hak-hak hidup warga negara? Mengapa negara tidak sigap menambah alokasi dana untuk tenaga kesehatan, tetapi mampu mengiyakan penambahan anggaran untuk militer? Pelajar dan mahasiswa yang terancam putus pendidikan; mereka tanggung jawab siapa?
Demonstrasi dan protes yang lantang justru semakin penting untuk dilakukan di masa-masa sekarang sebagai bukti bahwa kita tetap kritis mengawal proses pembuatan kebijakan publik. Pemerintah tidak boleh dibiarkan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Demonstrasi di masa pandemi adalah pernyataan terbuka bahwa para birokrat tidak akan bebas dari pengawasan rakyat. Ia adalah cara kita menjegal langkah-langkah busuk oknum yang ingin melanggengkan monopoli sumber daya oleh segelintir orang. Ia adalah upaya melindungi buruh, petani, guru, perempuan, dan kaum miskin kota yang semakin tersingkirkan dari arena.
Utopis? Ya, if you said so. Namun, bukankah kemerdekaan Indonesia, terpilihnya orang kulit hitam sebagai presiden Amerika, dan partisipasi perempuan di ruang politik juga merupakan hal yang dianggap muluk-muluk oleh para pesimis era terdahulu?Oleh karena itu, Kakanda Penulis yang Bersangkutan, izinkan saya merevisi judul artikel Kakanda dengan judul yang menurut saya lebih pro pada perjuangan rakyat: DPR dan Pemerintah Seharusnya Menahan Diri untuk Tidak Membuat Kebijakan Guoblokkk di Masa Pandemi. Kata ‘goblok’-nya pakai huruf u, ya. Huruf k-nya ada tiga. Terima kasih.