Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Tyassanti Kusumo
“Dua tahun berselang, sudah sejauh mana?”
———-
Bukan, pertanyaan di atas bukan pertanyaan dari seorang kawan terhadap kawan yang lain tentang proses melupakan kekasih atau pengerjaan skripsi. Namun, pertanyaan tentang kejelasan status dan tindak lanjut terhadap Rumah Cimanggis (RC) yang dua tahun lalu sempat geger karena pernyataan dari Wapres saat itu, Jusuf Kalla dan rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di kompleks yang sama.
Setelah sempat menulis mengenai hal tersebut di sini, beberapa waktu terakhir saya jadi terhantui pikiran tentang kabar Rumah Cimanggis. Terlebih karena Agustus tahun lalu saya menyempatkan diri untuk mampir dan melihat langsung Rumah Cimanggis, tapi belum keburu membagi cerita kepada kawan-kawan. Saat itu, kondisi bangunan bisa dibilang separuh utuh, dengan keberadaan atap yang amat jarang. Kalau boleh dikata, atap hanya menutupi 10% dari keseluruhan bangunan, sehingga bayangkan, apabila hujan mak bres sok kabeh, interior rumah yang kurang lebih telah berusia 242 tahun tersebut akan langsung narima ing pandum curahan air hujan.
Tentu kondisi itu tidak bisa dianggap biasa saja, sebab ketika sebuah bangunan tua, yang kita juga kehilangan jejak modifikasi di dalamnya, terus terpapar hujan dan iklim tropis Indonesia seperti ini, deteriorasi (proses menuju kemunduran atau keadaan yang buruk) akan semakin cepat. Tembok-temboknya akan semakin menyerap air dan ditumbuhi lumut, terlebih sebelum bulan November 2018, kondisi rumah masih seperti reruntuhan di tengah belantara tumbuhan. Warisan lingkungan “kebon” tersebut masih terlihat dari keberadaan beberapa pohon yang menyeruak dari tegel dan yang merambat hingga ke atas ventilasi atau lubang angin. Setidaknya begitu yang saya amati Agustus silam.
Sebelumnya, maklumat dulu ya. Saat menulis artikel pertama, saya betul belum pernah melihat langsung mengenai kondisi rumah ini. Jadi, bekal visualnya hanya dari tautan berita dan aneka dokumentasi dari internet. Dan saat itu, saya cukup jauh berada dalam konteks perbincangan tinggalan-tinggalan yang ada di kawasan Jawa Barat. Hal yang mendorong untuk membagikan kegelisahan adalah kemunculan pernyataan dari pejabat publik (dalam hal ini Wapres saat itu) dan juga karena ada beberapa pemberitaan yang menyoal perkara pembangunan UIII.
Pada 2014, Pemkot Depok sempat melontarkan wacana tentang pembuatan arboretum (kebun botani berisi aneka pepohonan) di beberapa kawasan di Depok, salah satunya di kompleks RRI, dan akan melibatkan para ahli botani.
Namun ternyata pada awal Juni 2018, Presiden Jokowi beserta rombongan hadir di lokasi yang sama untuk melakukan peletakan batu pertama sebagai simbol dimulainya proyek pembangunan UIII. Dalam sambutannya, Jokowi mengungkapkan bahwa rencana pembangunan ini sudah dimatangkan selama dua tahun, berarti kurang lebih telah diinisiasi di 2016. Sehingga, oleh Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Depok, Heri Syaefrudin, pembangunan UIII dianggap melanggar RTRW, yang awalnya dimaksudkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada 2015. Tapi tenang dulu, kita tidak akan menuju ke polemik ini, karena memang bukan ini fokusnya hehe. Intinya, saat itu saya tertarik, lagi-lagi karena ada konflik antara orang-orang yang berkepentingan dengan pembangunan dan bangunan warisan budaya.
Semenjak tulisan pertama dirilis, setelahnya saya tak begitu banyak mengikuti kabar Rumah Cimanggis dan proyek yang akan dibangun di kompleks yang sama. Ketika melakukan kunjungan pun, yang ada di kepala hanyalah dolan, main saja, lihat kondisi bangunan yang pernah ditulis dengan observasi ngawang melalui internet.
Ternyata, untuk menuju ke sana, agak sedikit rumit. Saya lupa rute pastinya, tapi ketika sudah sampai di dekat kompleks pemancar RRI, tidak tampak tanda ataupun petunjuk jalan untuk menuju ke Rumah Cimanggis. Saat itu, saya ditemani seorang kawan yang Depok tulen, alias lahir dan berdomisili di Depok, harus beberapa kali putar balik karena menemui jalan buntu dan berakhir dengan bertanya pada salah satu ‘orang proyek’ yang berhasil kami temui, setelah sebelumnya bingung mencari akses masuk menuju kompleks pemancar.
Mengikuti jalan beton, motor membelah kanan-kiri yang berupa tanah datar seperti hasil rataan hingga menuju bagian yang mulai ditumbuhi pepohonan. Saya masih belum ngeh, sampai tiba-tiba kawan saya memekik. Ah! Ternyata dari kejauhan, satu bangunan yang selama ini disaksikan via pencarian di Google; yang kata sejarawan Depok, JJ Rizal, adalah artefak awal sejarah kota modern sebelum kemunculan kota-kota modern lain bersamaan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos.
Rupanya jika dilihat langsung, manglingi tenan. Begini duduk perkaranya, pertama, visual yang saya dapat dari internet adalah kondisi bangunan sebelum dilakukan pembersihan, sehingga tidak begitu jelas batas bangunan dan besar ruangannya, sebab semua tertutupi oleh tumbuhan. Kedua, foto lama dari KITLV, menunjukkan kondisi rumah yang utuh, dengan atap berukuran besar berbentuk limas segi empat. Atap tersebut menutupi hampir separuh dari fasad, sehingga kalau dilihat sekilas, rumah tak nampak begitu besar. Nyatanya, kondisi hari ini di lapangan, dengan dinding tinggi tebal dan pilar-pilar kokoh yang tertinggal, justru menampakkan kesan sebaliknya, grande dan tinggi.
Beranjak, sebagaimana yang saya pertanyakan serta beberapa kelompok sejarah di Depok perjuangkan tentang status Rumah Cimanggis, rupanya sudah terpampang jelas. Di samping pintu masuk, terdapat spanduk mencolok berwarna merah yang menunjukkan keterangan bahwa bangunan ini sudah menjadi Cagar Budaya (CB) dan masuk dalam pemeliharaan Disporyata (Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata) Kota Depok. Ketika dicek ke laman registrasi cagar budaya, rupanya sudah terdaftar dengan SK nomor 593/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018 pada September 2018.
Alhamdulillah, puji syukur.. tapi lantas, apa selanjutnya?
Wacana awal dari Depok Heritage Community (DHC) sejak pengawalan isu dimulai adalah untuk memanfaatkan Rumah Cimanggis sebagai museum sejarah Depok. Arsitektur yang khas dan ruang yang luas dianggap sejalan dengan rencana tersebut.
Namun, dilansir dari portal berita Liputan 6 diketahui bahwa belum ada rencana terbaru dalam pengelolaan Rumah Cimanggis. JJ Rizal yang diwawancarai dalam tulisan ini juga mengutarakan bahwa seyogyanya ada paparan rencana dari Pemkot, supaya masyarakat mendapat informasi dan syukur-syukur bisa menyumbang pemikiran.
Lantas, bagaimana jawaban Pemkot Depok?
Awal tahun lalu, Wali Kota Depok, M. Idris menyatakan bahwa Pemkot Depok belum mengalokasikan anggaran untuk revitalisasi di anggaran belanja 2019. Sebabnya adalah masih menunggu persetujuan pemilik lahan, yakni Kementerian Agama. FYI, kita harus ingat, ya, bahwa di lahan yang sama juga sedang dilakukan pembangunan UIII. Tambahan lagi, Pemkot juga masih menunggu rampungnya site plan UIII.
Nah, sampai di sini, setidaknya ada beberapa poin yang cukup mengganjal dan perlu digaris bawahi, terutama terkait penanganan dan komunikasi. Bagaimanapun juga, suatu cagar budaya pastilah tidak lepas dari adanya konflik, sebab dalam proses pemutusan status, nilai-nilai pentingnya harus disodorkan dan mampu menjadi harga tawar yang menjanjikan. Nilai pentingnya untuk siapa? Ya, bisa saja untuk warga sekitar atau lingkup luasnya, misal, warga se-provinsi.
Perkaranya adalah bila nilai tersebut tidak sampai ke masyarakat, ditambah kondisi fisik yang perlu banyak sentuhan serta berada di lahan penuh kepentingan (pembangunan kampus dan pelestarian CB) seperti yang sekarang terpampang nyata di kasus Rumah Cimanggis.
Melihat tanggapan Pemkot Depok yang menunggu site plan dari UIII jelas menunjukkan bahwa Pemkot seakan tunduk di bawah otoritas stakeholder, yang dalam hal ini pemilik lahan, Kementerian Agama. Sampai di sini, saya pikir lucu juga, sebab ketika ditetapkan dalam SK CB tingkat kota, keterangan kepemilikan bangunan masih ditera dengan nama ‘RRI’.
Asumsinya adalah lahan tersebut pada akhirnya telah diakuisisi oleh Kemenag, yang bila ditelusur lagi, Sertifikat Hak Pakai th 1981 a.n Departemen Penerangan RRI sudah menjadi milik Kemenag dengan no. 0002/Cisalak, peruntukan: Proyek Strategis Nasional pembangunan UIII. Asumsi kedua: meski SHP sudah di tangan Kemenag, kepemilikan bangunan masih atas nama RRI dan karena Pemkot yang mengeluarkan SK CB, maka otoritas bangunan ada di pihak Pemkot. Namun melihat gelagat Pemkot Depok yang seakan menunggu ‘langkah’ dari stakeholder, bisa jadi yang betul adalah asumsi pertama. Bila begitu ceritanya, maka SK CB haruslah segera diperbarui, sebab tidak menutup kemungkinan berpotensi menjadi bukti legal yang menjungkal bila timbul permasalahan menyangkut lahan.
Lantas, apa kabar perkembangan site plan UIII?
Ah, tidak usah berlama-lama, telah bisa dilihat di video ini. Pada laman lain, Liputan6.com, dijelaskan bahwa kampus akan dibagi dalam tiga zona. Menarik, di zona 3, terdapat kawasan peradaban yang diperuntukkan untuk museum, gedung pertunjukan seni dan budaya Islam serta gedung serbaguna. Berarti bisa jadi RC akan berada di kawasan ini, disandingkan dengan museum UIII atau justru digabungkan. Namun sepertinya tidak akan digabung, mengingat konsep arsitektur UII adalah “futuristik” dan mengusung tema museum yang berbeda. Bila merunut kaidah pelestarian dan tujuan untuk dijadikan museum kota, tentu terasa kurang klop dan nyambung. Butuh banyak narasi dan ejawantah arsitektur untuk bisa menjadikan dua tempat ini terhubung.
Kembali lagi, pada perkara penanganan dan komunikasi, site plan UIII, dari yang terlihat di video ataupun tautan-tautan berita, belum ada yang menaruh lokasi gedung ataupun zona secara presisi, sehingga beberapa menyebutnya sebagai master plan. Apapun itu bentuk yang ditentukan secara definitif, nampak jelas di sini perihal absennya komunikasi yang intens antara Pemkot Depok dan pihak UIII terkait RC.
Pemkot menunggu UIII, sementara dari pihak UIII juga tidak menyertakan gambaran profil keletakan RC secara jelas. Jadi, sampai kapan harus menunggu adanya tindak lanjut terhadap RC? Ketidakjelasan seperti inilah yang juga merupakan faktor pemicu deteriorasi CB. Semakin lama menunggu dan tanpa juru pelihara yang jelas, tentu akan membuat langkah progresif sebelumnya menjadi sedikit sia-sia dan berdampak buruk pada CB karena pembiaran yang terlampau lama.
Hal ini, sedikit banyak menunjukkan pada kita tentang wajah kesiapan dan kerja pemerintah daerah yang belum gercep dalam menangani tinggalan budaya. Bisa dimaklumi, sebab RC merupakan bangunan pertama yang dijadikan Cagar Budaya di Kota Depok, sehingga Pemkot masih sangat asing dengan persoalan dan prosedur penanganan.
Beruntung, kehadiran komunitas pemerhati sejarah terus menjamur dan berperan aktif dalam menyuarakan isu terkait, namun tetap saja, seperti yang sudah ditunjukkan dalam kasus RC, Pemkot atau pemda pada akhirnya harus menunjukkan progresivitas yang sama. Terlebih dalam hal-hal formal dan strategis seperti berdialog dengan stakeholder, dalam kasus Kota Depok, yang lebih memiliki posisi untuk bisa berdialog mengenai RC dan rencana pelestarian adalah Pemkot. Namun justru tidak ada taji yang diperlihatkan, tidak ada inisiatif untuk segera menyusun langkah pelestarian.
Seharusnya, sedari awal, Pemkot segera menyusun rencana strategis untuk RC, sebab apa guna status CB bila tak ada langkah lebih lanjut (re: pelestarian), apalagi dengan kondisi fisik yang perlu perawatan dan perhatian. Sejauh ini, usulan untuk menjadikan museum kota adalah hal yang masuk akal. Mengingat Kota Depok belum memiliki karakter yang kuat dan seakan kehilangan identitas kota. Narasi jejak peradaban yang tergelar sejak dahulu kala, semakin terhapus dalam wajah kontemporer kota.
Membedah perkara ini harus dilakukan dengan jeli dan hati-hati. Di skala yang lebih luas, bisa jadi akan didapati banyak kasus serupa, terutama bagi daerah yang belum pernah berurusan dengan hal tinggalan budaya, kemudian tiba-tiba dihadapkan dengan serangkaian prosedur dan printilan lain yang mengharuskan Pemkot atau yang diwakilkan, paham betul posisi dan tempat berpijak.
Tidak bisa dipungkiri, hal-hal yang berkenaan dengan tinggalan budaya memang belum begitu jamak dijadikan perhatian bersama, meski sudah banyak produk hukum dan turunannya yang dibuat. Namun, dalam prakteknya, upaya melakoni dengan harus membentuk TACB tingkat daerah, melakukan pendataan, merumuskan kebijakan, memugar hingga merawat CB adalah proses panjang yang harus dibiasakan dan disebarkan berkali-kali. Siapa yang harus berperan aktif di sini? Pastinya institusi atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada dalam garis koordinasi Kemendikbud, para penyelenggara pemerintahan daerah serta komunitas-komunitas pemerhati sejarah dan pegiat budaya. Kata kuncinya: membentuk ekosistem. Setidaknya ini yang harus dibuat dan dibumikan.
——-
Dua tahun Rumah Cimanggis resmi ditetapkan menjadi Cagar Budaya, semoga tidak hanya sejauh ini saja, atau mandeg terlalu lama. Masih ada dua-tiga-empat tahun di depan untuk kembali menanyakan hal yang sama dan tentunya mengharap dapat jawab yang menggembirakan.