Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Mario F. Lawi
Di tahun-tahun terakhir masa SD saya, belasan sampai 20 tahun lalu, para suster dari kongregasi RVM sering datang dan memberikan bantuan pelayanan di kapel St. Fransiskus Xaverius, Naimata. Di salah satu masa, sebagai bagian dari misi pelayanan mereka, mereka mengumpulkan anak-anak berusia SD sampai SMP, membentuk organisasi Sekami (Serikat Kepausan Anak Misioner), dan meminta anak-anak tersebut untuk membawakan drama tentang kelahiran Yesus. Kami dipilih untuk memerankan Yosef, Maria, para Majus, malaikat Gabriel, dan para gembala. Saya dipilih memerankan seorang gembala yang gemar memainkan seruling. Drama Natal tersebut adalah satu dari dua drama yang pernah saya bawakan sebagai anggota Sekami.
Di bagian penampakan Gabriel kepada para gembala untuk mengabarkan kelahiran Yesus, para suster meminta kami untuk membayangkan hal-hal yang kami takuti sehari-hari. Bertahun-tahun kemudian, saya beranggapan, ketakutan para gembala jauh lebih besar dari yang pernah kami rasakan. Mereka bertemu dengan makhluk yang seumur hidup belum pernah mereka lihat. Di tengah ketakutan tersebut, mereka justru mendengarkan kabar gembira. Drama ditutup dengan adegan kelahiran Yesus dan kedatangan tokoh-tokoh lain mengelilingi kandang tempat Yesus dilahirkan. Tidak ada yang memerankan Bayi Yesus. Penanda kelahiran diganti dengan suara tangisan anak kecil yang direkam dengan kaset pita dan diperdengarkan melalui pengeras suara.
Drama Natal adalah salah satu bentuk adaptasi paling populer terhadap kisah kelahiran Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. Di dalam naskah drama, para penulis menambahkan dialog-dialog para tokoh kecil, bagian yang tidak kita temukan dalam keempat Injil. Pada awal Abad Pertengahan, adaptasi terhadap kisah Injil yang dikerjakan para penulis dengan menggunakan bentuk puisi. Sejumlah penyair Romawi yang hidup sejak awal abad ketiga sampai sekitar abad kedelapan Masehi memindahkan kisah-kisah dalam Alkitab ke dalam puisi-puisi mereka. Salah satunya adalah penyair bernama Juvencus.
Biografi paling terkenal Juvencus kita peroleh dari Santo Hieronimus, penerjemah bahasa Latin Alkitab. Dalam salah satu bagian dari karyanya yang berjudul De viris illustribus (Tentang Orang-Orang Terkenal), Hieronimus menulis begini tentang Juvencus: “Juvencus, nobilissimi generis, Hispanus presbyter, quattuor Evangelia hexametris versibus paene ad verbum transferens, quattuor libros composuit, et nonnulla eodem metro ad sacramentorum ordinem pertinentia. Floruit sub Constantino principe.” Saya sertakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia: “Juvencus, keturunan bangsawan tinggi, imam Spanyol, menerjemahkan empat Injil ke dalam baris-baris heksameter nyaris kata demi kata, menyusun empat buku, dan beberapa karya dalam metrum yang sama yang menyinggung susunan misteri-misteri. Ia berkembang di bawah pemerintahan Konstantinus.”
Informasi Hieronimus adalah sumber terbesar biografi Juvencus, seorang imam Spanyol yang menulis epik dalam empat buku berdasarkan keempat Injil, terutama Matius. Konstantinus Agung atau Konstantinus I yang dimaksudkan dalam informasi Hironimus tersebut adalah kaisar Romawi yang memerintah dari tahun 306 sampai tahun 337 Masehi. Dari informasi tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Juvencus berkarya pada abad keempat Masehi. Empat buku yang disusun oleh Juvencus adalah puisi epik berjudul Evangeliorum Libri Quattuor (Empat Buku Injil, selanjutnya akan disingkat ELQ). ELQ adalah puisi epik Latin alkitabiah pertama dalam tradisi Barat dari periode Late Antiquity. Dalam tradisi sastra berbahasa Yunani dan Latin, puisi epik ditulis dalam metrum heksameter, metrum yang digunakan oleh Homeros dan Vergilius, dua penulis puisi epik terbesar dari bahasa Yunani dan Latin. Di bagian pembuka epik, Juvencus menyatakan dirinya sebagai penyair epik ahli waris kedua penyair tersebut. Menurut Juvencus, tidak seperti kedua penyair pagan yang mengisahkan dusta, ia tampil sebagai penyair epik yang menyampaikan kebenaran. Jika epik kedua penyair tersebut mendatangkan kemasyhuran jangka panjang, maka si penyair Kristen berpendapat bahwa epiknya pun akan mendatangkan pujian abadi baginya.
ELQ berjumlah empat buku seperti jumlah Injil Perjanjian Baru, tetapi Juvencus tidak menulis setiap buku epiknya untuk mewakili masing-masing Injil. Sumber utama cerita dalam ELQ adalah Injil Matius. ELQ ditulis dalam bahasa Latin yang digunakan para penyair Romawi sebelumnya, terutama Vergilius dalam karya-karyanya. Sebagai epik Latin biblikal pertama, epik Juvencus adalah standar bagi epik-epik Kristen yang ditulis setelahnya, terutama epik-epik biblikal. Lima epik biblikal lain dari periode Late Antiquity adalah Heptateukhos, Carmen Paschale karya Sedulius, Historia Apostolica karya Arator, Aletheia karya Victorius, dan De Spiritalis Historiae Gestis karya Avitus. Karena menggunakan teks para penyair pagan sebagai referensi untuk mengisahkan ulang cerita-cerita dalam Injil, baris-baris puisi Juvencus merupakan Kontrastimitation, kerja imitasi membuat isi teks baru yang bertentangan dengan, bahkan mengoreksi, teks terdahulu.
Menurut catatan Hieronimus, Juvencus memindahkan kisah Injil ke dalam epiknya “paene ad verbum,” nyaris kata demi kata. Saya tidak mengakses Injil versi Vetus Latina (Latin Tua), terjemahan Latin yang digunakan sebelum versi Vulgata Hironimus ada, maupun versi Yunani yang digunakan pada zaman Juvencus. Namun, jika ELQ dibandingkan dengan Injil terjemahan Vulgata maupun bahasa Indonesia, puisi-puisi Juvencus memang jelas terbaca sebagai pemuisian kisah-kisah prosaik dalam Injil secara ketat, yang membentang dari kisah pemberitahuan kelahiran Yohanes Pembaptis dan Yesus di awal buku 1 sampai kisah pengutusan para murid pascakebangkitan di akhir buku 4. Juvencus menulis epiknya dengan memasukkan sedikit komentar, salah satu aspek yang membedakan epiknya dari epik Carmen Paschale karya Sedulius. Dalam Carmen Paschale, komentar Sedulius terhadap kisah-kisah yang ia adaptasi dari Alkitab memiliki porsi lebih banyak.
Saya akan membahas salah satu bagian dalam ELQ yang berkaitan dengan tiga Majus dari Timur. Gereja Katolik Roma merayakan Epifani atau Hari Raya Penampakan Tuhan setiap tanggal 6 Januari. Peringatan tersebut juga dirayakan sebagai Pesta Tiga Raja atau para Majus. Para Majus adalah pars pro toto dari bangsa-bangsa di dunia yang datang memberikan hadiah bagi Yesus yang baru dilahirkan. Sumber kisah tentang Gaspar, Balthasar dan Melkior—nama ketiganya—dalam puisi epik Juvencus adalah Matius 2:1-12. Kisah para Majus dalam epik ELQ direkam dalam 31 baris di buku pertama, yakni baris 224-254.
Secara singkat, cerita dalam baris-baris tersebut dapat diparafrasakan sebagai berikut: ketiga Majus adalah orang-orang unggulan dari sebuah bangsa di Timur yang terkenal pandai membaca tanda-tanda bintang (baris 224-226). Ketiganya adalah orang-orang terpilih (delecti) yang menempuh perjalanan panjang ke Yerusalem, bertemu Herodes sang raja setempat dan menanyakan di daerah Yudea sebelah manakah Bayi yang baru lahir itu berada, karena bintang telah menuntun mereka untuk datang menyembah-Nya (baris 227-232). Herodes yang takut (territus Herodes) pun mengumpulkan para imam kepala (culmina vatum) dan ahli Taurat untuk menelusuri naskah-naskah yang ditinggalkan para leluhur guna mencari tahu di manakah tempat lahir Kristus yang telah diramalkan para nabi (baris 233-237). Naskah-naskah tersebut menunjukkan bahwa Ia yang dikabarkan memerintah Israel dengan kekuatan suci dilahirkan di Betlehem (baris 238-240). Herodes meminta kepada para Majus dari Persia tersebut untuk gigih mencari Sang Bayi dan mengabarkan kepadanya tempat kelahiran-Nya (baris 241-242). Di dalam perjalanan mencari tempat lahir, para Majus melihat bintang berekor dan bersyukur atas kehadiran bintang tersebut (baris 243-246). Setelah melihat Si Bayi dalam dekapan ibu-Nya, para Majus merendah ke tanah, bersama mendoakan Sang Bayi. Para Majus juga mempersembahkan tiga hadiah yakni kemenyan, emas dan mur sebagai penghormatan terhadap Sang Bayi sebagai Tuhan, raja dan manusia—“munera trina tus, aurum, murram regique hominique Deoque dona dabant” (baris 247-251). Mimpi buruk memberitahukan para Majus untuk menghindari Herodes sang tiran, sehingga mereka pulang ke tempat mereka lewat jalan berbeda (baris 251-254).
Meski secara umum kisah ELQ serupa dengan versi Matius, ada enam penjelasan dan perubahan yang ditawarkan Juvencus dalam epiknya, yang dapat saya identifikasi dan tunjukkan. Keenam temuan di bawah juga berfungsi untuk menutup tulisan ini:
Pertama, Bayi yang dicari oleh para Majus dalam epik ELQ bukanlah raja Yahudi (rex Iudaeorum) seperti versi Matius, melainkan Allah kudus yang muncul di bumi (exortum terris venerabile numen, baris 232). Juvencus menggunakan kata “numen” untuk menunjuk “Allah,” tetapi kata tersebut juga bisa berarti “tanda, kehendak, sabda”, hal-hal yang juga tercakup dalam diri Sang Bayi Natal. Kata yang sama, “numen”, digunakan penulis puisi cento De Verbi Incarnatione, satu puisi biblikal lain dari periode Late Antiquity, untuk menunjukkan “kekuatan tak dikenal” (ignotum numen) yang mengacaukan hati manusia. Dengan perbandingan tersebut, kita mengetahui bahwa dalam dua puisi berbeda dari periode yang sama, satu kata bisa dimaknai secara bertentangan.
Kedua, Herodes dalam versi ELQ adalah Herodes yang ketakutan (territus Herodes), bukan Herodes yang sekadar terkejut (turbatus Herodes) seperti versi Matius. Dengan menggunakan kata “territus,” Juvencus memberikan motif lebih kuat bagi anjuran mimpi yang diikuti para Majus dan kejahatan pembunuhan bayi-bayi yang dilakukan Herodes di bagian selanjutnya.
Ketiga, Kontrasimitation yang bisa ditemukan dalam narasi para Majus versi ELQ adalah pengubahan konteks kalimat puisi Vergilius untuk menyatakan kekuasaan Kristus. Baris 236 dalam epik ELQ, “quae sint genitalia moenia Christo,” (kota kelahiran Kristus) adalah adaptasi atas epik Aeneis buku 3 baris 100. Dalam konteks Vergilius, baris yang berbunyi “quae sint ea moenia quaerunt” (kota yang orang-orang Troia harapkan) tersebut adalah bagian dari nubuat Apollo. Itulah tempat leluhur, pertiwi purba, “antiqua mater”, yang diminta Apollo untuk ditemukan melalui kalimat imperatif: “antiquam exquirite matrem,”—temukanlah ibu purba kalian! Dalam epik ELQ, konteks nubuat Apollo tentang kota terjanji bagi orang-orang Troia diubah oleh Juvencus menjadi nubuat para nabi Yahudi tentang kota kelahiran Kristus.
Keempat, kalimat langsung dalam Matius ketika para imam kepala dan ahli Taurat mengabarkan kota kelahiran Kristus diubah Juvencus menjadi kalimat tak langsung dalam epiknya. Adapun kalimat langsung dalam versi Matius berbunyi begini, “Mereka berkata kepadanya: ‘Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena daripadamulah akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.’” Dalam ELQ, informasi tersebut dirumuskan dalam kalimat tak langsung: “Naskah-naskah menunjukkan bahwa Ia yang dikabarkan memerintahkan bangsa kudus Israel dengan kekuatan suci akan (sedang menunggu untuk) dilahirkan di Betlehem.”
Kelima, penerjemah Latin Injil Matius hanya menggunakan kata “stella” untuk merujuk kata “bintang” yang menuntun para Majus. Dalam epik ELQ, Juvencus menggunakan tiga kata berbeda untuk merujuk “bintang,” secara berurutan, kata-kata tersebut adalah “astrum” (di baris 225, dalam bentuk genitif jamak), “stella” (di baris 230, dalam bentuk genitif tunggal; dan di baris 243, dalam bentuk akusatif tunggal), dan “sidus” (di baris 246, dalam bentuk akusatif tunggal). Ketiga kata tersebut dipakai untuk konteks berbeda: “astrum” untuk menunjukkan keahlian perbintangan para Majus dan orang-orang di Timur sehingga bisa juga diterjemahkan sebagai “konstelasi”; “stella” digunakan dalam pengertian bintang penuntun; sedangkan “sidus” digunakan dalam konteks “bintang sebagai penanda kelahiran” atau “bintang kelahiran”. Pengaruh pilihan kata dan urutan yang digunakan Juvencus bisa kita temukan dalam puisi epik Carmen Paschale karya Sedulius. Sedulius menggunakan tiga kata tersebut sesuai urutan dan maksud yang ditunjukkan Juvencus ketika mengisahkan para Majus dalam buku 2 epiknya, berturut-turut: “astrum” (baris 77), “stella” (baris 78), dan “sidus” (baris 90).Keenam, hadiah kemenyan, emas dan mur yang dipersembahkan para Majus diberi makna oleh Juvencus, informasi yang tidak kita jumpai dalam Injil Matius. Kemenyan adalah persembahan kepada Yesus Sang Allah, emas sebagai persembahan kepada Yesus Sang Raja, dan mur sebagai persembahan kepada Yesus Sang Manusia. Juvencus menderetkan persembahan dan persona yang ditunjukkan persembahan tersebut dalam satu baris “Tus, aurum, murram regique hominique Deoque” (baris 250). Komentar yang lebih panjang tentang makna persembahan tersebut diberikan Sedulius dalam puisi epiknya. Menurut Sedulius: “Mereka mencurahkan hadiah emas bagi raja yang baru lahir” (buku 2 baris 95); “Mereka menyerahkan kemenyan kepada Allah” (baris 96); dan “memberikan mur untuk makamnya” (baris 96). Dalam baris 96 tersebut, “makam” adalah petunjuk kemanusiawian Yesus. Sedulius juga berpendapat bahwa ketiga bersembahan tersebut menunjukkan kekuasaan Allah pada masa lalu, masa kini, dan masa depan (baris 97-101).
Keterangan gambar: The Adoration of the Magi, Gerard David (circa 1450)