Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Ichsan Nurseha
Ada yang menarik buat saya pribadi ketika usai menonton film garapan Richard Oh yang berjudul “Terpana”. Film ini tersiar pada tahun 2016, maklum saya memang menjadi salah seorang yang lamban dalam memerhatikan laju dari arus pergerakkan film, untuk beberapa film saya biasanya hanya bertukar informasi dengan teman-teman, kawan, yang ada di sekitar. Sehingga kemarin, ketika sedang chit-chat atau obrol ringan seputar film di aplikasi WhatsApp(WA), salah-satu kawan karib merekomendasikan saya film tersebut.
Dalam film tersebut saya tidak ingin mengupas apa yang terjadi di dalamnya. Ada baiknya, jika kalian yang belum sempat menyaksikan film tersebut, ya tinggal cari sendiri saja. Sebab dalam hal ini, saya hanya ingin membahas sebuah pernyataan dalam film tersebut, yang kiranya mampu memberikan impresi yang cukup kental bagi saya dalam singgungannya kali ini dengan suasana hidup kita dewasa ini, bunyi dialognya seperti ini: “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”.
Kalimat tersebut tengah diucapkan oleh seorang tokoh yang sedang bermain dalam film tersebut. Saya lupa siapa namanya, tetapi apa yang baru saja ia katakan kepada lawan mainnya dan—meskipun ini hanya sebuah film—yang tentu telah mendapatkan porsi dan penempatan dengan penuh perhitungan yang cermat, menandakan bahwa karya ini telah berhasil menyampaikan sebuah pesannya, dan berlanjut akan diakui sebagai kesan oleh para penikmatnya. Sederhananya, karya ini telah dan bisa dikatakan sebagai karya yang bagus. Sebab ia mampu memberikan sebuah sentilan yang mana itu memang menjadi sebuah goal dan tujuan saat karya itu bermula untuk dihadirkan dan dinikmati di kalangan masyarakat.
Lanjut kita masuk ke dalam pernyataan “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”. Di tengah suasana hidup yang di setiap bagian dan sektor manapun sesak sekali dengan tema pembicaraan wabah akhir-akhir ini, membuat kita seringkali bertanya-tanya pun sekaligus di setiap perjamuan antar kopi(tatap-langsung) maupun via daring telah menjadi tema yang mesti dibahas di setiap pertemuannya. Dan jika saya kaitan fenomena-fenomena akhir-akhir ini dengan satu pernyataan itu sebetulnya ya pasti semuanya akan mengalir dan berjalan ke satu arah. Sehingga mau ada dan timbulnya pelbagai banyak kemungkinan yang seringkali diciptakan oleh manusia di dalam kepalanya, ketika sedang membayangkan, meneroka, dan membuat sebuah prediksi berskala mikro dalam sebuah kejadian yang belum terjadi dalam hidupnya atas wilayah hidup yang sedang dijalani, pasti itu semua akan terjadi sebagaimana hal itu memang sudah lumrah terjadi. Ketika suatu kejadian itu terjadi, pasti kalau tidak “begitu” ya mungkin “begini“, atau “begono“, “begindang” dan lain sebagainya.
Dari hal tersebut, beberapa kejadian dan fenomena yang sedang terpampang jelas dan nyata di mata kita sebetulnya sedang memberikan sebuah gambarannya, yang hal itu kiranya tidak kurang seperti sebuah deretan, dan dari deretan-gambar tersebut mengandung sebuah kisah di dalamnya. Makna tersirat. Masing-masing di antaranya memiliki jalan dan alurnya sendiri-sendiri, setiap orang, individu, masyarakat, petani, nelayan, tukang bakso, tukang buku, tukang rambut nenek bahkan—sampai anak indigo sekalipun. Hal yang nampak dan kasat mata, yang mampu kita saksikan menjadi sebuah fenomena yang di dalamnya terkandung amanat dan pesan. Jangan bersikap dan menuduh saya sebagai orang yang sok tahu, tapi tak mengapa jika kalian beranggapan demikian. Karena pada dasarnya memang begitu, dan begitu lah semuanya nampak berjalan.
Seperti apa yang sedang terjadi di sekitar wilayah kehidupan kita seperti pandemi, wabah, PSBB, beberapa kelompok orang yang kabarnya akan siap mengancam(chaos), beberapa wajah daerah yang sempat erupsi, serta-seribu macam getaran yang telah membuat kita cemas dan bersiap akan merisaukan kita kembali pada akhir-akhir ini merupakan sebuah peristiwa yang amat dan sangat momentum. Saya jadi teringat pula akan obrolan singkat Ibu saya dengan temannya, ketika saya sedang disibukkan dalam aktivitas yang istilahnya WFH (Work From Home), kuping saya tidak sengaja mengutil seberkas pertanyaan “Nur, kayaknya dalam hidup kita yang udah tua gini, baru kali ini ya kita ngerasain hal begini (suasana Covid-19)?”.
Kemudian Ibu saya menjawab “Iya, di masa umur hidup kita yang udah nenek-nenek ini kita baru ngerasain hidup di suasana yang begini”. Kurang lebih seperti itu. Dari hal tersebut, betapa amat dan sangat momentum kita-kita ini yang—bagi saya beruntung—dalam artian mampu menyaksikan dan dihadapkan pada suasana kehidupan yang semula biasa-biasa saja menjadi tidak biasa. Ada sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya pribadi, hidup di tengah suasana seperti ini; semuanya berjalan lebih lambat daripada biasanya. Meskipun dalam hati, saya juga tidak bisa berbohong untuk merasakan kesedihan dan kekurangan di antaranya.
Itu merupakan sebuah bentuk “probabilitas akan menuju pada yang satu”, akan bermuara pada yang satu. Ketika hal-hal seperti ini, kita sebagai manusia akan lebih dipaksa untuk lebih kreatif lagi dalam menghadapi dan menjawab rentetan persoalan kehidupan. Sejauh mana kita siap memasang kuda-kuda supaya tidak salah dalam melangkah dan mengambil keputusan.
Kemudian selain itu, di masa ketegangan dan persinggungan kehidupan kita di masa-masa seperti ini, ada baiknya kita simpan dulu beberapa penyesalan, ketakutan, dan—dua ribu tiga ratus empat triliun—kecemasan yang ada di dalam kepala kalian. Coba lah untuk sesekali membuat diri kalian untuk tidak bergantung pada materi yang ada di sekitar kalian, yang mana dari hal tersebut kiranya kalian hanya menyiapkan beberapa telur yang disiapkan untuk menetas dan menghadirkan anak-anak piyik kegalauan, kecemasan, serta seringkali gampang menyalah-nyalahkan bahkan menyudutkan—yang sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dalam kehidupan. Meskipun memang telah menjadi sebuah kewajaran, ada baiknya kita tetap menjaga jarak dalam suasana hidup seperti ini.
Ada sebuah makna dan pesan di dalamnya. Bahwa setiap kejadian, untungnya saya selalu mencari dan mencoba mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain, yang mana itu memang berjalan sedemikian rupa; akarnya, sebab-musababnya, dan apa yang ingin disampaikan-Nya. Peristiwa akhir-akhir ini bagi saya pribadi pun merupakan sebuah teguran yang kesekian kali bagi dan untuk umat manusia. Meskipun di antaranya ada yang mengatakan bahwa saya ini termasuk ke dalam orang-orang yang selalu mengaitkan hal apapun itu pada agama, tak mengapa saya sudah terbebas dengan itu. Bahwa kejadian ini memang tentu ada campur tangan Tuhan di dalamnya, saya tidak bisa mengatakan bahwa kejadian ini merupakan dan bersumber pada kegiatan dan aktivitas manusia saja.
Di sini lah salah satu yang menjadi dan merupakan titik kemesraan-Nya; ketika saya dihadapkan pada sebuah pernyataan “probabilitas akan menuju pada yang satu” di tengah suasana seperti ini kiranya menjadi nyata untuk membuktikan bahwa kita manusia tidak hidup sendiri di alam jagat raya-Nya, bahwa kita sebetulnya kita hanya numpang hidup di wilayah kekuasaan-Nya, nge-kost, nginep dan lain-lain.
Meskipun kita seringkali merasa bangga akan pemikiran-pemikiran kita untuk menciptakan beberapa kemungkinan, tetapi salah satu diantaranya kita pun juga seringkali ngawur dalam setiap pengambilan dalam menentukan sebuah sikap. Kita ceroboh, dan seringkali kita juga merasa amat sangat “percaya diri” (pede) akan kelakuan kita akhir-akhir ini. Bahwa “pasti masa ini akan berlalu, sebab di masa sekarang dengan kemampuan dan kecanggihan yang sudah dan seringkali dilahirkan oleh tangan-tangan terampil berkat para kaum cerdik dan kaum pandai sekalian, akan segera ditemukan sebuah jurus dan penangkal”. Itu “mungkin” memang alur peristiwanya akan bergerak ke arah sana dan seperti itu, dan juga tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu merupakan sebuah upaya dan usaha dalam bentuk mencari sebuah terobosan.
Dan apabila nanti ketika kita tidak tengah disibukkan dan tidak merasa galau akan fenomena-fenomena terakhir. Tentu, semuanya itu tidak lain dan tidak bukan hanya lah sebab Ia tidak tega terhadap kita para makhluknya.
Tetapi seringkali kita abai dan merasa terlalu “ge-er” untuk bisa mendaku bahwa, memang otak manusia lah yang telah menciptakan semuanya itu. Otak manusia mampu melahirkan kembali sebuah peradaban yang telah hilang atau setidaknya otak manusia bisa menimbulkan ragam kecanggihan, dan membuat sebuah kehidupan dengan nuansa yang lebih dari ini.
Tetapi bagaimana jika kita juga berandai-andai dan membayangkan, dalam kondisi yang cukup mencekam ini kita akan dihadapkan pada sehamparan rentetan dan fenomena-fenomena yang sama sekali tidak kita inginkan? Dan itu memang akan betul-betul terjadi, sebab “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu”. Sehingga kita mungkin tidak bisa mengelak lagi, bahwa apa yang mungkin akan terjadi, pasti akan terjadi. Sebuah fenomena yang buruk bagi manusia akan terus dan seringkali bermunculan ke permukaan, sebab kita seringkali mengabaikannya, sebab seringkali kita merasa bahwa Ia telah memiliki semua, sehingga kita tidak perlu lagi berlaku dan melakukan ritus kemesraan antara makhluk(hamba) dengan Sang Pencipta.
Kita sudah sangat dan bahkan sudah kelewat sangat ge-er!!. Kita tidak pernah memerhatikan bentuk posisi kaca dan mungkin kita juga lupa dan mungkin juga kita tidak tahu bagaimana cara kerjanya.
Maka sungguh tidak ada yang lebih besar dari kuasa-Nya. Ketika “Kun”, maka terjadilah.
Tangerang, 2020.