Category: opini

  • Penculikan dan Kehancuran Negara: Mengenang Ditya Kalamarica

    author = Ody Dwicahyo

    Para pecinta wayang atau wisatawan sekaligus penonton sendratari Ramayana di Prambanan tampaknya sepakat bahwa epos Ramayana berpusar pada tiga tokoh ini: Prabu Rama, Dewi Sita, dan Rahwana. Di lapis kedua cerita terdapat tiga third-wheel yang tak boleh dilupakan: Raden Laksmana, adik Rama; pahlawan kita semua: Anoman, kera putih dan komandan bala tentara wanara; dan Kumbakarna, adik Rahwana yang selalu digambarkan berperawakan lebih besar daripada kakaknya. Di lapis ketiga, berdiri para pendukung setia dari masing-masing faksi: Serpakenaka, adik perempuan Rahwana yang sekaligus menjadi perawat Sita; serta Sugriwa dan Subali, yang keduanya adalah deputi dari Anoman dalam urusan gempur-menggempur Kerajaan Alengka. 

    Banyak orang percaya bahwa epos Ramayana memiliki pesan moral yang berotasi di sekitar kisah asmara Rama, Sita, dan Rahwana. Tak ubahnya periode pasca-pemilu di Indonesia, penikmat cerita mengalami perpecahan dalam urusan membela Rama dan Rahwana. Bayangkan jika kedua raja ini adalah laki-laki di dalam jagat twitter Indonesia. Tak satupun akan selamat dari slomotan komen pedas para warganet. 

    Rama memang begitu sungguh-sungguh menjaga Sita meskipun di akhir hari menjelma menjadi lelaki yang akan dihujat oleh jagat twitter Indonesia karena mempersoalkan kesucian Sita setelah ia diculik oleh Prabu Rahwana. Rahwana juga tak bisa lolos dari hujatan karena manifestasi rasa cintanya ditunjukkan dengan tindakan toxic berupa penculikan Dewi Sita. Kita belum menyoal pembunuhannya terhadap Jatayu yang akan menjadikannya sasaran empuk dari perundungan para pecinta hewan. 

    Kemudian kita menyadari salah satu peristiwa yang menjadi titik temu dari kisah dua Prabu posesif ini adalah penculikan terhadap Dewi Sita. Pesan moral soal kesetiaan, asmara, dan kepercayaan yang dapat dipetik dari epos Ramayana nampaknya sudah terlalu sering diulang-ulang atau menurut istilah anak gaul Jakarta Selatan: overrated. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendekonstruksi lapisan-lapisan di paragraf pertama. Kisah cinta akan diletakkan terlebih dahulu dan kisah penculikan akan dikedepankan. Ditya Kalamarica, sang penculik berbulu rusa, adalah tokoh utama cerita ini. 

    Ditya Kalamarica atau Marica adalah sesosok raksasa yang dikenal sebagai penjaga Hutan Dandaka. Menurut cerita pewayangan, sosok awal Marica adalah manusia biasa yang karena kutukan berubah menjadi raksasa pemakan bangkai manusia. Kutukan ini menimpa Marica ketika ia membela ayahnya, Sunda, yang dilukai oleh seorang resi. Tidak hanya Marica yang terkena kutukan, Tataka, ibundanya yang awalnya berparas cantik jelita juga harus berubah menjadi raseksi. 

    Perjumpaan Marica dengan Rama dan Laksmana juga tidak hanya terjadi ketika ia harus menculik Sita. Sebelumnya, Rama pernah memburu Marica dan ibundanya. Ibundanya meregang nyawa di tangan Rama sementara Marica berhasil melarikan diri. Kedua kalinya, Marica dan teman sepergaulannya, Subahu, dihukum oleh Laksmana karena telah berbuat onar di sebuah tempat upacara keagamaan. Marica dan Subahu mengotori tempat itu dengan daging mentah dan darah dan memancing kemarahan Laksmana, yang mungkin kala itu menjabat sebagai komandan sebuah front pembela agama. Laskmana lantas memanah Subahu dan membuang Marica ke laut. 

    Lelah kucing-kucingan dengan Rama dan Laksmana, Marica kemudian mengiyakan ajakan Rahwana untuk menjadi patihnya. Preman yang diberi jabatan mentereng, tidak asing kan? Pada posisi sebagai patih inilah Marica menjalankan penculikan terhadap Sita. Kita mungkin familiar dengan pilihan Marica untuk menyamar sebagai seekor rusa bernama Kidang Kencana untuk menarik perhatian Sita. Mungkin Sita sebelumnya berdomisili di sekitar Istana Bogor sehingga membuat hatinya bungah ketika melihat seekor rusa. 

    Satu hal yang jarang diungkap adalah bagaimana Marica pada awalnya menolak perintah raja raksasa berwajah sepuluh itu. Marica percaya bahwa penculikan terhadap Dewi Sita akan menjadi awal bagi keruntuhan Kerajaan Alengka. Nampak jelas bahwa Marica bukanlah tipe penculik  ala (sinetron) Indonesia yang selalu berujar, “Siap, bos!” Marica berani menyampaikan nubuatnya kepada komandannya. Ia percaya bahwa sebuah tindakan penculikan, betapapun di kemudian hari dapat ditutupi atau dibersihkan dengan bantuan para pengicau istana, akan meruntuhkan kedigdayaan Alengka dan para raksasa pada umumnya. 

    Seperti kita tahu, akhirnya Marica tetap memutuskan untuk kembali ke hutan, wilayah operasionalnya sebelum ia diangkat menjadi patih. Kesediaan Marica dalam menjalankan perintah Prabu Rahwana konon didorong oleh hasutan Serpakenaka yang berhasil meyakinkan Ditya Marica bahwa adik Rahwana itu telah dihinakan oleh Rama dan Laksmana.  Berbekal kemarahan abadi kepada Rama dan Laksmana yang sudah mencoba membunuhnya berkali-kali, Ditya Kalamarica berangkat untuk menculik Dewi Sita dengan berubah wujud menjadi Kidang Kencana. Keputusan Marica dalam memenuhi perintah Rahwana membuatnya meregang nyawa. Hidupnya hilang bersama dengan nasihat yang telah ia sampaikan kepada atasannya. 

    Kematian Marica membuat Rahwana bisa terbang melenggang ke angkasa bersama Sita yang terpaksa menuruti kemauannya. Setelah dihantam isu miring karena bersedia mengangkut kuda besi milik seorang pejabat di Ayodya, Garuda Jatayu tetap melaksanakan tugas Sri Rama untuk mencegah penerbangan Rahwana. Pertempuran udara terjadi dengan sengit. Jatayu keok dan jatuh ke bumi. Rahwana berhasil memboyong Dewi Sita ke istananya. Singkat cerita, Rama dan Laksmana bersitegang, Anoman berangkat menyeberang lautan dan membawa Dewi Sita kembali ke Ayodya. Kemudian, nubuat Marica terbukti benar, Alengka hancur berantakan diosak-asik pasukan kera yang tidak sepenuhnya kera. Beberapa prajurit Wanara sesungguhnya adalah kapi: makhluk-makhluk hibrida kera dengan sapi, burung, kambing, kepiting, hingga singa. Lebih repotnya, para kapi ini bermain api (secara harfiah) dan membakar seluruh istana Alengka. 

    Tokoh utama cerita kita, Ditya Kalamarica, mungkin sudah membusuk di hutan. Ia wafat kesakitan karena terhujam panah Sri Rama yang sebelumnya selalu berhasil ia hindari. Tempat kejadian perkaranya tak kalah menyedihkan: hutan, sebuah tempat di mana semua trauma masa lalunya tercipta. Kehilangan ayah, ibu, dan rekan sepergaulannya: Ditya Subahu. Anggaplah Ditya Kalamarica adalah pahlawan, maka kematiannya harus kita maknai. 

    Jika Kalamarica punya aji pancasona seperti atasannya, Rahwana, pastilah ia masih hidup dan menjalankan kutukan keduanya. Ia akan hidup di negara yang sudah hancur semata-mata karena sang raja tak mendengarkan nasihatnya. Ia mungkin akan tetap disiagakan sebagai perwira dinas penculikan. Alengka sudah binasa, target operasi Marica berikutnya mungkin saja tidak berdasarkan pada kisah asmara atasannya tetapi untuk mengamankan para kawula dan wadyabala yang buka suara karena merasa sudah memperingatkan Rahwana tentang kebinasaan yang sebenarnya bisa dicegah. Tetapi Marica mati, menyusul Tataka, Sunda, dan Ditya Subahu. Gunungan ditancapkan di tengah. Cerita selesai. 

  • Merayakan Rindu bersama Maluku

    author = Ody Dwicahyo

    “Kalau saya terlahir kembali dan boleh memilih suku bangsa; saya ingin jadi orang Maluku”

    Kutipan di atas adalah harapan liar saya setelah tiga kali memutar lagu “rame-rame” yang dinyanyikan oleh Glenn Fredly. Melalui Glenn dan saudara-saudari Malukunya di layar kaca, imaji anak Jawa seperti saya terhadap mereka (yang sering mengalami penyempitan terminologi menjadi orang Ambon) sangatlah merdu. Perbandingannya mungkin setara dengan imaji anak kulit putih AS terhadap warga keturunan Afrika setelah mereka menonton Sister Act yang dibintangi oleh Whoopi Goldberg. Orang Maluku bersuara sangat indah; suaranya pun universal alias bisa dinikmati oleh berbagai macam telinga. Berbeda dengan suara sinden Jawa, sebagai contoh, yang selalu bisa membuat penonton wayangan topang dagu, menguap, dan kemudian tergelincir ke alam mimpi. 

    Di dalam agama yang saya anut, tidak ada konsep reinkarnasi. Manusia tidak akan dilahirkan sebagai manusia lain di kehidupan berikutnya. Berarti, mimpi saya untuk menjadi Ody Samaniri [1]Nama fam Maluku imajiner saya yang sangat indah. Biasa juga ditulis samanerey gagal sudah. Satu hal yang pasti, Allah mengabulkan doa hambanya kapanpun dipanjatkan (dengan penekanan khusus pada jeda antara dua kutbah di shalat jumat, sepertiga malam, dan waktu-waktu serta tempat-tempat baik lainnya). Oleh karena itu, Ia mengabulkan doa saya untuk “menjadi orang Maluku” dengan membiarkan saya ke Belanda. 

    Sejujurnya, saya sangat awam terhadap Maluku. Seorang mahasiswa Doktoral di universitas tempat saya belajar sangat penasaran mengapa tidak banyak orang Jawa pergi ke Maluku. Dalam sebuah borrel (tradisi minum-minum dan menyantap kudapan a la Belanda), saya menjelaskan dengan alasan klasik nan relevan; “tiket pesawat ke Ambon sangat mahal. Perjalanan ke Kuala Lumpur atau Singapura jauh lebih murah”. Ia mengangguk dengan dahi mengernyit: nampaknya hanya setengah mengerti. 

    Sebab rasa awam itu, saya tertarik melihat representasi dari satu atau lebih episode sejarah Orang Maluku yang terpampang di Belanda. Satu momen yang membuat saya lebih dekat untuk melihat nukilan itu adalah perayaan HUT RI di Sekolah Indonesia Den Haag. Sekitar dua minggu sebelum perayaan, saya bertamu ke kantor asisten atase pertahanan RI di kompleks kedutaan besar RI di Den Haag. PBU, begitu sebutan bagi asisten atase pertahanan, yang saya temui sangat gemar bercerita. Salah satunya adalah bagaimana pendukung Republik Maluku Selatan di Belanda sering berdemo. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, demo itu dilakukan di depan kanselerai KBRI atau Wisma Duta. “Kalau di Indonesia kan sulit berbuat seperti itu broer, kalau di sini bebas-bebas saja. Dia mengibarkan benderanya, kita lanjut bekerja” ujarnya sembari tersenyum. 

    Kemudian memori saya berlari mundur dan mengingat bahwa suatu waktu Presiden SBY memutuskan untuk tidak berangkat ke Belanda karena “alasan RMS”.  KBRI Den Haag terkejut dan beberapa diaspora Indonesia di Belanda angkat bicara di media. Beberapa diaspora justru menambah angker suasana dengan menyebut bahwa itu bukan RMS melainkan Satu Darah, geng motor bergaya Hell’s Angel yang lahir di Belanda dan dipelopori oleh orang-orang Maluku serta beberapa orang kulit putih. Beberapa simpatisan Satu Darah memang membordir  badge bendera RMS di rompinya meskipun di saat yang bersamaan Satu Darah memiliki cabang di Jakarta dan Bali, dua cabang resmi di wilayah Republik Indonesia. Apapun penjelasan yang diberikan, Pak SBY yang sudah berada di terminal keberangkatan Halim Perdanakusuma memutuskan untuk tidak naik tangga pesawat. 

    Kacamata keamanan memang selalu lebih pesimis dibandingkan dengan kacamata kemanusiaan. Maluku sebagaimana ditunjukkan oleh Glenn Fredly di video musik rame-rame ternyata memiliki pendar yang berbeda di mata banyak orang. Orang Maluku di Belanda (dianggap) sudah pasti RMS atau paling tidak anggota Satu Darah. Pandangan semacam ini tiba-tiba ditegaskan oleh penyerangan tak beralasan terhadap asrama mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Bagaimana kita, atau setidaknya saudara-saudara Jawa saya, betah melabeli saudara-saudara sebangsa dengan begitu buruk?

    Pemerintah Indonesia dan banyak anggota di Grup Whatsapp keluarga besar kita sering curiga bahwa Belanda senantiasa mendukung RMS. Faktanya, Belanda pun pernah direpoti dengan pemuda-pemuda RMS yang militan. Salah satu puncaknya adalah tahun 1977 ketika pemuda RMS memutuskan untuk menyandera sebuah kereta dan sekolah dasar di Drenthe. Tidak hanya polisi dan marechaussee, Belanda perlu menerjunkan Korps Marinir untuk mengakhiri drama pembajakan tersebut. John Wattilette, pengacara dan presiden RMS yang eksil di Belanda, berpendapat bahwa militansi itu tidak unik. “Tahun-tahun itu, PLO dan organisasi pergerakan lainnya juga sangat militan. Tidak hanya RMS” ucap beliau kepada wartawati RNW dalam Bahasa Indonesia. 

    Masyarakat Maluku yang lain, sebagaimana nyong-nyong berbadan tegap yang mengamankan perayaan HUT RI, menerima bahwa Maluku adalah bagian dari Republik Indonesia. Satu hal yang pasti, dari setiap cerita mereka tentang tanah Maluku pasti terselip rasa rindu. Terkadang, rindu tersebut sering dipertanyakan keabsahannya. Sebab banyak keturunan Maluku di Belanda yang tidak pernah mengunjungi pulau-pulau tempat leluhurnya lahir dan hidup.

    Sejujurnya saya sendiri tidak menyukai dikotomi yang saya tulis sendiri di atas. Jika tidak ambil bagian dalam RMS atau Satu Darah, warga Maluku tetap selalu ambil bagian dalam urusan-urusan yang spaneng. Sebagaimana diungkap oleh dokumenter vice Indonesia, masyarakat Maluku hidup di dalam stigma. Stigma ini, menurut hemat saya, lebih tua dari usia provinsi DKI Jakarta. Bahwa Orang Maluku itu hanya punya parang dan salawaku (perisai khas Maluku) atau dalam istilah lain; suku dengan DNA kekerasan yang kental. Toch, semua suku memiliki senjata tradisional. Setidak-tidaknya menurut RPUL yang diterbitkan di zaman Orde Baru. 

    Menurut hemat saya, segala aspirasi orang Maluku di Belanda bisa diringkas dalam satu kata; rindu. Bentuk dan manifestasinya memang beragam. Namun, dari raut wajah para sesepuh Maluku di Belanda yang pernah saya temui atau pandangi dari jauh nampaknya menyimpan perasaan ingin pulang. Rasa ini begitu kuat, sebagaimana tertuang dalam lagu “Oh le sio Sayange” yang kerap dibawakan oleh Andy Tielman dari Tielman brothers. Begini nukilan liriknya “Oh le sio sayange, rasa sayang-sayange, Tanah Ambon sudah jauh… rasa sayang-sayange….”

    Leiden, 9-9-2019

    Ditulis setelah membaca selebaran MuMA – Museum Maluku di Belanda.

    References

    References
    1 Nama fam Maluku imajiner saya yang sangat indah. Biasa juga ditulis samanerey

  • Merenungkan Musik Indonesia di Luar Negeri

    author = Michael H.B. Raditya

    Jika kita mempertanyakan sejauh mana musik luar negeri mendapat perhatian di Indonesia, maka dapat dikatakan hampir semua musik Indonesia adalah hasil hibriditas dari musik luar negeri, baik Timur ataupun Barat. Musik dangdut, misalnya, yang mendapat asupan organologi hingga musikalitas dari Timur Tengah, India, hingga Barat. Atau musik keroncong yang mendapat pengaruh dari Portugis.

    Alasan terjadinya hibriditas (percampuran) pun beragam. Ada musik yang memang dikonstruksi oleh kebudayaan kolonial ketika era kelam penjajahan Belanda. Ditandai dengan munculnya klub malam yang memainkan musik yang sedang berkembang di Eropa, seperti musik jazz, klasik, dsb. Ada juga pelanggengan musik luar negeri di era modern lewat televisi, seperti MTv (Music Television) milik Amerika yang sangat tenar di era 1990an. Ada pula gelombang Korea yang terepresentasikan melalui drama serta boyband dan girlband-nya belakangan ini. Setidaknya, pola itulah yang membuat musik Indonesia hingga kini mengalami saling silang budaya.

    Tidak hanya dari efek media, secara politik, baik sadar ataupun sebaliknya, musik Indonesia turut dikonstruksi oleh penguasa. Seperti halnya ketika Soekarno menghentikan distribusi musik Barat yang telah berkembang di Indonesia. Persisnya di tahun 1959, ia menyebutnya sebagai musik ‘ngak ngik ngok’, dan sekejap kebudayaan Barat ‘diusir’ pergi dari Indonesia. Dengan upayanya tersebut, Soekarno berharap dapat menumbuhkan semangat berdikari, dan seni musik nasional yang berkepribadian (Varia, 1965).

    Sebelum terjadinya ‘pengusiran budaya luar’ tersebut, musik Barat hidup subur di Indonesia. Bing Crosby, Perry Come, Elvis Persley, Tielman Brothers, The Beatles menjadi idola masyarakat—khususnya pemuda. Lalu, setelah Soekarno menutup akses Barat—walau aroma politis tetap melatarbelakangi, Soekarno berharap menemukan dan menghidupkan kembali musik di Indonesia. Namun, sejalannya Indonesia mencari musik yang ‘Indonesia’, ia banyak membuka sekolah konservatori bergaya Barat untuk musik tradisi Indonesia. Alhasil, sekolah-sekolah musik tradisi dibangun untuk menyelaraskan asa dan semangat yang ia rancang. Sedangkan di era Orde Baru, otoritas penguasa berlaku sebaliknya dengan membuka kembali kemungkinan Barat memasuki pasar Indonesia. Keputusan ini berdampak pada pengaruh musik Barat yang kembali masuk, bahkan lebih masif dan acak (Raditya, 2013). Setidaknya potret tersebutlah yang sekilas dapat kita lihat atas relasi musik luar negeri dan Indonesia dari segi politik yang dilakukan negara.

    Telah umumnya pembahasan akan relasi musik luar negeri di Indonesia dengan pelbagai sudut pandang ternyata justru membenamkan perihal penting lainnya, yakni ketika musik Indonesia yang mendapat perhatian di luar negeri. Sejujurnya catatan tersebut tidak banyak terjadi, namun tetap tertuliskan oleh beberapa sejarawan, seperti Claire Holt ataupun James R Brandon di bukunya masing-masing. Dari catatan etnografis mereka berdua, setidaknya catatan musik yang mereka tuliskan adalah catatan musik Indonesia yang dilihat oleh orang luar ketika datang dalam rangka kunjungan dan pariwisata. Musik Indonesia (lazimnya disertai pertunjukan tari) yang dikirimkan pemerintah—entah kolonial ataupun era kemerdekaan—adalah dalam upaya mengisi misi kebudayaan di luar negeri.

    Mengenai hal tersebut, Joss Wibisono (2012:12-13). turut menuliskan bahwa, “Pagelaran gamelan pada l’Exposition Universelle (Pameran Semesta) yang digelar di Paris pada 1889 untuk memperingati 100 tahun revolusi Perancis… dipentaskan gamelan Sunda Sari Oneng dari desa Parakan Salak, dekat Sukabumi, antara lain untuk juga mengiringi empat gadis penari kraton Mangkunegaran, Solo… Pameran Semesta bisa menarik sampai 875 ribu pengunjung.” Dari catatan tersebut, jelas bahwa musik Indonesia telah dikenali oleh dunia sejak lampau, walaupun terasa inferior, di mana Indonesia hanya menjadi objek komoditas. Adapun contoh lainnya adalah tembang Jawa bertajuk “Puspawarna” terpilih menjadi salah satu lagu dari album Voyager Golden Record yang dikirimkan ke pesawat ruang angkasa Voyager 1, dan dikumandangkan di angkasa lepas.

    Tidak hanya tentang konten musik, organologi musik dari Indonesia turut mempunyai tempat yang istimewa, di mana hampir semua universitas terkemuka dunia mempunyai satu set gamelan sebagai bukti lambang peradaban logam tertinggi di zamannya (Soedarsono, 1999). Dari contoh-contoh di atas, memang tidak dapat dipungkiri bahwa musik tradisilah yang menempati posisi kuat sebagai ‘pencuri’ perhatian di luar negeri.

    Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena global menggiring para musisi Indonesia kini berkontestasi pada musik yang dibentuk di era sekarang. Sebut saja, Anggun C Sasmi di musik pop, Agnez Mo (Agnes Monica) di musik pop dan R&B, atau musisi Jazz muda yang cukup bersinar tahun 2016 lalu, Joy Alexander, dan sejumlah musisi Indonesia lainnya, kendati mereka tidak merepresentasikan musik tradisi Indonesia. Hal ini memang perlu dipertanyakan kepada mereka musisi Indonesia yang berkompetisi dalam kancah global, namun juga perlu dipertanyakan ulang, apakah musik tradisi yang dikenal di luar negeri telah merepresentasikan Indonesia? Bukankah ketika l’Exposition Universelle itu mewakili negara Belanda untuk menyatakan bahwa negara yang mereka jajah baik-baik saja. Atau dugaan lainnya adalah karena orang Barat menyukai eksotika yang dipunya oleh orang Timur kebanyakan. Lantas apakah musik Indonesia? Apakah musik yang sebatas teks Indonesia? Apakah tubuh penyanyi Indonesia yang bernyanyi? Apakah musik tradisi sudah pasti mewakili musik Indonesia?

    Oleh karena itu, ulak alik inilah yang lantas menarik untuk kita simak lebih lanjut dengan mempertanyakan apakah musik Indonesia yang mendapatkan perhatian dari/di luar negeri sudah mewakili ciri khas musik Indonesia.

     

    Mencermati Musik Indonesia dan Negosiasinya

    Nampaknya kita perlu disudutkan pada sebuah keadaan di mana kontak budaya antarnegara di era lampau tidaklah setulus inkulturasi yang mencoba untuk mengakomodasi kebudayaan setempat dan diterapkan pada produk budaya yang baru. Kontak budaya khususnya negara di Asia dengan Eropa telah terjadi sejak abad ke-15. Kontak budaya tersebut melahirkan catatan-catatan etnografis yang ternyata turut digunakan negara di Eropa untuk menjajah negara lain. Bahkan pada permulaan abad ke 19 (fase kedua ilmu Antropologi), para sarjana yang tertarik untuk datang ke tanah Asia memutuskan bahwa evolusi mereka dibanding bangsa Eropa mengalami ketertinggalan, yang setelahnya timbul terma “primitif”. Tidak dapat dipungkiri bahwa Asia menjadi komoditas objek penelitian dari para peneliti Barat karena “keprimitifan” atau “keeksotikan”-nya. Itupun baru telaah dari Antropologi sebagai sebuah cabang keilmuan. Jika merujuk Tourism Studies kita juga akan diantarkan pada stigma pariwisata Timur adalah bentukan selera Barat.

    Dalam hal ini, menarik garis panjang stigma ‘lama’ yang ditempatkan kebanyakan orang luar negeri memandang Asia, khususnya Indonesia, pun tidak saya tempatkan sebagai upaya menakut-nakuti atau menstimulasi phobia—layaknya phobia komunisme, namun ide menarik stigma tersebut muncul agar kita dapat berpikir kritis dalam melakukan negosiasi budaya—khususnya seni—ketika di luar negeri. Hal ini tidak sepele. Salah kaprah pun kerap terjadi. Sebagai contoh, negosiasi yang dilakukan oleh Sal Murgiyanto. Ketika di New York, Sal diminta untuk mempertunjukan tarian “Panji”, namun untuk menggambarkan orang mabuk. Lantas Sal tidak mau melakukan hal tersebut dan memberikan pernyataan tegas bahwa kebudayaan tidak dapat serta-merta digunakan sesukanya. Julie Taymor selaku pihak pengundang menjadi muram dibuatnya, dan akhirnya mengalah (via Dibia, 2016: 286). Jika anda Sal, maka apa yang anda lakukan?

    Hal tersebut turut membuat I Wayan Dibia berlaku serupa ketika ia diminta untuk memerankan seorang pendeta demi membuka sebuah peresmian gedung. Dibia menolak dan menawarkan sebuah tarian lain yang lebih representatif (2016:286). Sal dan Dibia dapat melakukan negosiasi dengan betul, namun mereka satu di antara seribu. Tidak dapat dipungkiri bahwa berapa banyak orang menjual budayanya sendiri demi kemaslahatan pribadi supaya terkenal di luar negeri. Ini yang terjadi ketika l’Exposition Universelle, yang mana karena permintaan, Gamelan Sunda harus mengiringi tari Surakarta. Jika dirujuk sebagai upaya kreativitas, hal ini pastilah memiliki nilai positif, hanya saja yang terjadi di pameran tersebut sebaliknya, yakni pemerintah kolonial memamerkan hasil jajahannya—kuasa untuk memberi perintah.

    Bertolak dari contoh negosiasi budaya tersebut, agaknya dapat kita petik hal penting dan menerapkannya pada persoalan musik, yakni: bukan sejauh mana musik Indonesia mendapatkan perhatian dari luar negeri, melainkan bagaimana musik Indonesia dapat mewakili kebudayaan Indonesia dengan tepat. Tidak pandang apakah musik tradisi ataupun musik modern (entah melalui organologi, konten musik tradisi, bahasa daerah, konten kultural), yang penting ialah pernyataan sikap.

    Sikap untuk memahami musik secara mendalam, baik pada penggunaan dan musikalitas (tekstual), maupun dalam nilai, esensi, relasi dengan masyarakat (kontekstual). Sikap yang dinyatakan secara jelas kepada pihak peminta—yang dalam konteks ini adalah luar negeri. Namun, apakah jika sikap ini ditekuni akan menarik perhatian luar negeri? Tentu tidak semua orang akan peduli. Tetapi yang perlu dicatat adalah juga tidak semua orang tidak peduli. Gelagat tersebut bukan berarti membuat kita hilang nyali untuk menyampaikan sikap kita.

    Alhasil, jika dipertanyakan sejauh mana musik Indonesia dikenal oleh luar negeri, dan itu hanya sebatas musik gamelan ataupun musik tradisi lain yang dimainkan berdasarkan permintaan semata, tentu itu belum mewakili ciri khas musik Indonesia. Yang mewakili ciri khas musik Indonesia adalah mereka yang bersikap dengan pendekatan kebudayaan, yang tahu bagaimana musik itu dimainkan, sehingga musik tidak hanya menjadi sarana presentasi semata, melainkan memberi warna dan pengaruh pada kebudayaan dunia.

     

    Rujukan

    Dibia, I Wayan. 2016. “Dua Bulan di Kota New York: Kenangan Manis Bersama Mas Sal”, dalam Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari, oleh Michael H.B. Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Komunitas Senrepita.

    Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

    Majalah Varia edisi 10 Juni 1965.

    Raditya, Michael H.B. 2013. “Esensi Senggakan pada Dangdut Koplo sebagai Identitas Musikal”, Tesis pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

    Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

    Wibisono, Joss. 2012. Saling Silang Indonesia-Eropa: dari diktator musik, hingga bahasa. Jakarta: Marjin Kiri.

     

    *gambar adalah lukisan Drummer And Friends karya Debra Hurd

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Menyoal Lathi, Paradigma dan Kebertahanan Budaya Jawa.

    author = Arif Fadillah

    Dalam beberapa waktu terakhir jagad twitter diramaikan dengan tagar #LathiChallenge. Ramainya tagar ini disebabkan cuitan dari seorang yang mengatakan bahwa challenge ini berbahaya karena menurutnya mengandung setengah budaya Jawa yang syirik dan khurafat. Selain itu, si penulis mengatakan bahwa challenge sama seperti memanggil kuntilanak serta roh kuda kepang. 

    Sontak hal ini membuat riuh rendah tagar ini di Twitter. Ribuan orang menuliskan ketidaksetujuannya akan pendapat seseorang yang merupakan publik figur ini. Kebanyakan merupakan warga Indonesia dan warga Malaysia sendiri yang menganggap cuitan tersebut kurang bijak dan menyudutkan budaya Jawa. Pada akhirnya si penulis menghapus unggahan tersebut dan meminta maaf atas kesalahan dalam pemilihan kata tersebut. 

    Polemik yang mengatakan budaya Jawa kental dengan takhayul dan hal-hal negatif lainnya bukanlah narasi baru. Bukan hanya terjadi di Malaysia, namun juga di negeri asalnya: Indonesia. Tercatat pula narasi macam ini selalu berhasil dipatahkan oleh sejarawan, ahli sastra Jawa dan tokoh-tokoh macam Cak Nun dan lainnya. Meskipun demikian, narasi semacam ini masih ada dan tak jarang sering muncul ke permukaan. 

    Dalam kasus atau yang lebih bijak dikatakan fenomena #LathiChallenge ini, menunjukan bahwa stereotip tentang budaya Jawa yang negatif tetap masih ada. Sebagian orang yang tidak paham turut meng-iya-kan stereotip ini. Kebanyakan orang-orang ini hanya melihat secara kasat mata tanpa mencari tahu makna sebenarnya dari budaya yang ada di Jawa. Sialnya orang-orang semacam ini punya jumlah yang tak sedikit. Lebih jauh hal ini memantik pertanyaan bagaimana sebenarnya budaya Jawa itu sendiri? bagaimana orang-orang ini memahami budaya Jawa?

    Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Akan tetapi perlu diketahui bahwa Jawa memiliki banyak kebudayaan. Dari mulai kebudayaan yang berbasis ke kasunanan dan kasultanan, panaragan, hingga ke pesisir timur pulau Jawa yang memiliki kekayaan corak budaya yang unik. Berkaitan dengan budaya, tradisi dan kesenian juga subur di Jawa. Menurut Yudoyono (1984:33) tradisi biasanya merupakan cerminan hubungan apa yang ada dalam diri manusia dengan kekuatan yang berasal dari luar diri manusia. Dengan demikian tradisi di Jawa merupakan bentuk ikatan antara manusia dengan lingkungan Jawa. 

    Bentuk kebudayaan Jawa juga tidak hanya terikat pada jenis tertentu, namun juga seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan ketika dari kandungan, seorang bayi sudah lekat dengan tradisi yang merupakan sendi dalam kebudayaannya. Di Jawa, ketika anak masih berada di dalam kandungan ada tradisi telonan (diadakan ketika bayi berumur tiga bulan) kemudian ada pula tradisi tingkeban (khusus anak pertama dan diadakan ketika kandungan berumur tujuh bulan).

    Dalam tingkeban tidak sembarang makanan dapat disajikan, melainkan sudah ada pakem tersendiri. Biasanya dalam tingkeban terdapat aturan tidak tertulis berupa makanan tertentu yang harus ada. Makanan ini biasanya meliputi nasi putih, nasi kuning, tumpeng kecil berjumlah tujuh, sego golong, rujak legi, tanaman polo pendem, jenang (putih, abang, campuran/sengkala). Semua makanan ini hadir bukan tanpa alasan. Di dalamnya terdapat makna yang luhur dan perlu pemahaman tersendiri. Nasi putih melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta, sego golong melambangkan penghormatan kepada wali songo, tanaman polo pendem melambangkan hasil bumi, serta masing-masing jenang yang memiliki makna yang berbeda-beda berupa: jenang putih melambangkan air dari sang ibu, jenang merah melambangkan air dari sang ayah dan campuran melambangkan campuran keduanya (Geertz, 1966:41).

    Jika pada contoh sebelumnya menyoal tentang tradisi dalam proses kelahiran manusia, selanjutnya merupakan tradisi yang berkaitan dengan kesenian khususnya musik. Membicarakan Jawa, sangat tidak lengkap apabila tidak menyinggung gamelan. Gamelan menurut Yudoyono (1984:15) adalah kumpulan dari alat-alat musik tradisional di Jawa yang menimbulkan pernyataan musikal. Menurut Spiller (2004:53) mengatakan gamelan adalah kelompok pemain musik yang menggunakan instrumen yang berasal dari perunggu. 

    Gamelan juga disebut gangsa. Nama gangsa lahir dari kandungan arti gong atau gang yang dapat dimaknakan sebagai gegandulaning urip ‘bergantungnya hidup’ dan sa  atau rasa (Yudoyono, 1984:17). Keduanya apabila disatukan mengandung makna bahwa masyarakat Jawa memiliki pegangan utama berupa rasa. Dari sinilah kita dapat sedikit menyalakan pijar untuk memahami manusia Jawa. 

    Dari dua contoh diatas saja, kita dapat mengetahui budaya Jawa mengandung nilai yang tersirat bukan tersurat dan tersembunyi dalam keindahannya. Untuk memahaminya perlu perenungan dan tingkatan-tingkatan yang tidak bisa bisa dilompati. Seperti pendapat Mulyono tentang bagaimana tingkatan penonton wayang (Yudoyono, 1984:41) yang bermula dari sekadar  menganggap wayang sebagai hiburan, lalu naik menganggap wayang sebagai bentuk seni, naik lagi menganggap wayang sebagai pendidikan, lalu naik lagi menganggap wayang sebagai objek kajian penelitian, hingga puncaknya menganggap wayang sebagai lambang kehidupan manusia. Dari contoh wayang ini, kita sadar bahwa budaya Jawa bukan hanya perihal seni, akan tetapi juga tentang laku manusia itu sendiri. 

    Suram dan Seman Paradigma Tentang Jawa

    Fenomena #LathiChallenge diatas menunjukan bahwa masih ada pandangan yang tidak tepat dalam memahami budaya Jawa. Pada era kiwari tentunya hal ini berbahaya bagi kebudayaan Jawa itu sendiri. Melalui peran media sosial, pandangan buram tentang budaya Jawa ini dapat menjangkit generasi muda Jawa. Ditambah lagi jika pandangan semacam ini disebarkan oleh tokoh publik. Ini bisa menjadi dasar legitimasi generasi muda Jawa untuk meninggalkan kekayaan leluhurnya. Tentunya hal ini tidak kita harapkan. 

    Perihal pandangan mistis dan seram tentang budaya Jawa sebenarnya sudah terjadi beberapa lama. Tentunya kita masih mengingat lagu lingsir wengi yang dijadikan –boleh saya sebut-ikon salah satu film horor di Indonesia. Lagu tersebut mengandung kehororan tersendiri bagi setiap pendengarnya. Padahal apabila kita melihat liriknya, tidak ada yang mengandung pemanggilan setan –kecuali kesengajaan untuk mengubahnya-. Dampak dari lagu ini cukup berpengaruh hingga akhirnya muncul pandangan bagi bahwa lagu berbahasa Jawa dengan nada tertentu merupakan media untuk memanggil makhluk halus. Tentunya ini merupakan kesesatan yang segera harus diinsyafkan. Tembang yang sering dikaitkan sebagai lagu dari Jawa memang lazim menggunakan nada yang mendayu–saya belum menemukan kosakata yang sesuai–dimungkinan untuk menimbulkan kesan emosional tertentu bagi pendengarnya. 

    Cara pandang yang tidak sempurna macam ini perlu segera dibenahi. Mengingat apabila terus terjadi maka generasi muda Jawa akan menganggap budaya leluhurnya tidak sesuai dan rawan ditinggalkan. Apabila budaya sudah ditinggalkan maka nilai-nilainya juga tidak akan terpakai. Tentunya ini akan menjadi kerontokan budaya Jawa. Contoh kecil bayangkan saja saat anak cucu kita tidak lagi menggunakan standar sopan santun yang selama ini kita ugemi. Mengutip dari sebuah perkataan dosen, bahwa generasi macam ini dapat diibaratkan seperti pohon yang kehilangan akar, akan terombang oleh gelombang zaman. 

    Pembenahan agar generasi muda Jawa tetap mempunyai cara pandang yang benar tentang budayanya memang susah. Akan tetapi kita mungkin bisa meniru filosofi orang menonton wayang. Salah satu caranya kita bisa menyesuaikan zaman dengan membuat animasi yang berlatar budaya Jawa. Harapannya dengan adanya animasi yang mengisahkan kisah berlatar budaya Jawa nantinya anak-anak akan terhibur, kemudian menganggapnya sebagai seni, lalu sebagai unsur pendidikan, kelak ketika dewasa menjadi peneliti dengan kajian berlatar serial tersebut, hingga akhirnya ia sadar bahwa kisah tersebut adalah sebuah perlambang insani. 

    Selain animasi, ada pula media musik yang dapat digunakan sebagai upaya mengenalkan kebudayaan Jawa. Hari ini musik merupakan kesenian yang paling sering diputar generasi muda. Lagu berjudul Lathi dari Weird Genius memberi setidaknya pengetahuan tentang pepatah Jawa yang dijadikan lirik yakni ajining diri ana ing lathi. Melalui lirik tersebut generasi muda Jawa banyak mencari tahu maknanya. Ini menjadi angin segar bahwa sebenarnya generasi muda masih penasaran dan mau mencari makna sesungguhnya dari sebuah ungkapan. 

    Harapannya lewat tangan kreatif macam ini dapat menjadi serangan balik yang mematikan bagi pemikiran negatif tentang budaya Jawa. Semoga saja lahir karya-karya lain yang mampu mengedukasi, bukan hanya generasi muda Jawa saja, namun juga masyarakat secara umum. Muaranya pemikiran yang mengatakan budaya Jawa kental dengan takhayul dan hal-hal negatif lainnya akan luntur. Bukankah dengan mengenal kita akan dekat?

  • Menulis Seperti Membuat Pematang

    author = Mahfud Ikhwan

    disampaikan sebagai pengantar Workshop Kepenulisan Novel dalam pra-acara rangkaian kegiatan Joglitfest (Festival Sastra Yogyakarta) yang diselenggarakan Klub Buku Yogyakarta, bekerjasama dengan Kibul.in dan Gerak Budaya Yogyakarta di Toko Buku Gerak Budaya Yogyakarta, tanggal 21 Agustus 2019.

    Hanya beberapa jam
    sebelum saya menuliskan ini, seorang peserta dalam sebuah kelompok diskusi
    menulis—yang mengaku sebagai penulis pemula—mengeluh kepada saya bahwa ia
    terbiasa menulis dan kemudian menghapusnya, menulis lagi dan kemudian
    menghapusnya lagi. Keluhan itu kemudian dipungkasi dengan pertanyaan: “Apa
    tipsnya, Mas?”

    Itu keluhan dan
    pertanyaan yang sangat sering saya dengar—saya lebih dua tahun terlibat dengan
    sebuah gerakan yang mengorganisir secara sederhana sebuah kelas menulis di
    Jogja. Dan, boleh jadi, pada satu masa, beberapa tahun lalu, di acara seminar
    atau diskusi tentang menulis yang sudah tidak saya ingat, saya menanyakan hal
    yang sama. Jadi, tentu saja saya tidak kaget. Itu kegelisahan yang sangat
    tipikal dari para penulis pemula.

    Yang mungkin tidak
    mereka (para penulis pemula itu) ketahui, membuat awal yang bagus, memulai
    kalimat dengan mantap, sebenarnya adalah kegelisahan semua penulis. Segaek apa
    pun dia. Seterkenal apa pun dia. Yang membedakan kenapa penulis pemula selalu
    bertanya tentang itu sementara penulis yang bukan pemula tidak bukanlah bahwa
    yang disebut belakangan tidak lagi punya masalah dengan kalimat pertama.
    Pengalaman, itulah yang membedakannya.

    ***

    Ada anekdot yang sudah
    nyaris menjadi dongeng bahwa cerpenis terbesar dunia, Anton Chekov, setiap
    menyelesaikan setiap ceritanya, akan memotong cerita tersebut menjadi dua dan
    kemudian membuang separoh yang pertama, dan menjadikan awal kalimat dari
    separoh akhir cerita yang dipertahankan tersebut sebagai kalimat pembukanya.

    Anekdot lain
    mengatakan, John Steinbeck, novelis terbesar Amerika, membutuhkan
    berlembar-lembar kertas untuk dicoretinya, ditulisinya, tentang apa saja
    (biasanya ia menuliskan deskripsi ruangan tempatnya menulis), hanya untuk
    dibuangnya ke bak sampah. Setelah merasa cukup melemaskan tangan dan menemukan feel-nya
    (kalau pakai istilah anak sekarang), ia baru mulai menulis betulan, memperjuangkan
    kalimat pertamanya.

    Baik kisah Chekov
    maupun cerita soal Steinbeck menunjukkan bahwa penulis, sehebat apa pun, harus
    berjuang untuk mendapatkan kalimat pertamanya yang dianggap tepat. Bakat
    mungkin membuat mereka tak semenderita kita-kita yang tak seberapa terberkati
    ini. Tapi, hal yang paling besar berperan dalam hal ini adalah bahwa
    orang-orang hebat itu sudah mengalami “kesulitan khas pemula” itu berkali-kali
    dan karena itu punya metode khusus untuk mengatasinya. Dan itu karena
    pengalaman.

    ***

    Orang-orang mungkin
    punya resep ces-pleng tentang pertanyaan “khas penulis pemula” itu.
    (“Menulis itu gampang,” kata salah seorang penulis tua; “menulis itu asyik,”
    kata banyak penulis yang tulisannya tidak terlalu asyik.) Tapi, saya selalu
    merasa bahwa pertanyaan macam itu tak bisa diberikan jawabannya oleh orang
    lain. Seseorang harus menemukan jawabannya sendiri, di kalimat-kalimat yang
    telah dihapusnya, dan dituliskannya kembali, dan kemudian dihapusnya lagi. Ia
    harus menemukan jawaban itu di kalimat-kalimat lain yang dihasilkan tangannya
    sendiri, di kalimat-kalimat lain yang pada akhirnya dipertahankannya.

    Klise mungkin. Tapi
    saya selalu berpikir bahwa kemampuan menulis bagi penulis tak berbeda dengan
    kemampuan membuat pematang bagi petani atau kemampuan mengontrol bola untuk
    pemain sepakbola. Keahlian menulis, kecakapan membuat pematang, atau kelihaian
    menggocek bola, hanya bisa didapatkan oleh banyaknya latihan, banyaknya
    mengulangi dan salah dan mengulangi dan salah dan mengulangi, dan begitu
    seterusnya.

    Ya, seperti kalimat
    pertama seorang penulis pemula, pematang pertama untuk seorang petani pemula
    juga selalu sulit. Jangan dulu memikirkan apakah pematang itu akan tampak mulus
    dan kokoh, ia bahkan harus periksa dulu apakah caranya memegang pacul  sudah benar atau belum; atau, apakah ayunan
    cangkul itu sudah pas apa belum. Kadang, si petani pemula menemukan bagian
    tanah yang terlalu keras untuk dicangkul, sehingga si petani mesti mengerahkan
    tenaga lebih memapasnya. Tapi lain kali, tanah yang dicangkkulnya terlalu
    lembek, sehingga sulit untuk dibentuk dan dipadatkan. Ada kalanya ia salah
    dalam membuat cangkulan. Cangkulan yang seharusnya kecil saja, ia unjam
    dalam-dalam. Untuk itu si petani pemula kudu menambalnya. Ada kalanya,
    cangkulan yang seharusnya tegak lurus ia lakukan terlalu landai, sehingga
    cangkulannya melenceng, dan ia mesti mengulanginya. Dan mungkin akan begitu
    lagi. Dan lagi.

    Dan kesulitan itu hanya
    untuk satu tempat saja, sementara pematang itu bermeter-meter panjangnya,
    dengan tiap jengkal pematang mungkin masalahnya bisa berbeda-beda. Namun bisa
    dipastikan, semakin panjang pematang yang telah dikerjakannya, semakin si
    petani pemula tahu apa saja macam persoalan-persoalan dalam membuat pematang
    dan untuk itu ia akan belajar bagaimana cara mengatasinya. Setelah satu petak
    selesai, dan ia melewatinya dengan baik, maka ketika ia mengerjakan pematang di
    petak yang lain, ia kini adalah petani pemula yang lebih baik.

    Dan begitu juga seorang
    penulis pemula.

    ***

    Tapi ada sedikit
    masalah—sedikit besar, mungkin lebih tepatnya. Membuat pematang hanya salah
    satu masalah saja, dan itu mungkin kecil, di antara banyak masalah lain seorang
    petani, baik itu pemula maupun yang sudah puluhan tahun. Masalah-masalah itu
    ada di setiap sudut petak sawahnya, di setiap tahapan menanamnya, dan bahkan
    tidak hanya di tanah yang digarapnya saja. Masalah itu ada di musim. Ada juga
    di rantai industri (entah di sistem distibusi pupuk atau cerapan pasar hasil
    pertanian).

    Begitu juga yang akan
    dihadapi penulis, baik pemula maupun sudah legenda. Seorang penulis opini atau
    penulis laporan akademik akan mendapati bahwa setelah ia lolos dari jerat
    kalimat pertama, ia mesti ditantang untuk menaklukkan persoalan kohenrensi
    antarkalimat, membangun premis-premis yang logis dan kokoh, dan
    simpulan-simpulan yang tepat dari rumusan masalah yang mesti diselesaikannya.
    Seorang wartawan, misalnya, setelah mampu membuat lead yang hebat, ia
    harus menghadapi sulitnya mentransformasikan hasil wawancara yang bagus dengan
    narasumber menjadi tulisan dengan narasi yang runtut dan enak dibaca, atau
    setidaknya menjaganya tetap menjadi tulisan berita dan bukan sebuah surat
    pembaca.

    Dan mungkin para
    penulis pemula belum cukup tahu bahwa masalah yang lebih besar para penulis
    fiksi, misalnya, bukanlah bagaimana membuat kalimat pertama, tapi bagaimana
    membuat kalimat terakhir.

    Makanya, menurut saya,
    sebagian besar masalah dalam menulis tidak bisa dicari solusinya pada satu-dua
    jawaban pendek dan (seakan-akan) ampuh dari seorang pembicara dalam kelas menulis,
    apalagi dalam sebuah jumpa fan pembaca dan penulis. Ia mungkin berguna sebagai
    pembanding saja. Sebab, sebagian besar tips-tips menulis dari penulis lain,
    jika bukan hasil melebih-lebihkan atau menggampang-gampangkan, setidaknya
    merupakan hasil refleksi dari pengalaman menulis orang lain yang mungkin sama
    sekali berbeda dengan yang akan dialami si penulis yang bertanya. Maka, pada
    akhirnya, sebagian, atau sebagian besar malah, masalah menulis mesti dialami
    dan setelah itu dilalui. Satu demi satu. Sendiri.  

    ***

    Menulis itu hal mulia,
    tapi boleh jadi tak lebih mulia dari kebanyakan hal yang dilakukan manusia
    lainnya. Makanya, saya sepakat saja dengan semboyan yang mengatakan bahwa
    “semua orang bisa menulis”. Tapi, pada saat yang sama, saya pikir tak perlulah
    semua orang mesti menulis. Toh menulis bukan satu-satunya hal mulia yang bisa
    dilakukan manusia. Maka, barang siapa yang misalnya sangat ingin jadi penulis
    namun setelah mencoba berkali-kali membuat kalimat pertama dan gagal, bikin
    lagi dan gagal lagi, bikin lagi, gagal lagi, kenapa tidak mencoba hal lain?
    Jadi dokter, misalnya. Jadi psikolog juga tak apa.

    Sebagaimana bertani,
    tak perlu semua orang jadi petani. Yang tak mampu bikin pematang, setelah
    berkali-kali mencoba, mending letakkan cangkul. Coba ambil joran, pergi ke
    danau, dan memancing. Siapa tahu, Anda mungkin lebih cocok kerja di air.

    Meski demikian, sebagai
    anak petani yang pernah belajar memegang cangkul dan membuat pematang, dan
    merasa tidak mampu, harus dengan bangga saya katakan bahwa sejauh ini menulis
    memang pekerjaan yang mengasyikkan. Setidaknya, dibanding bertani yang tak
    mampu saya lakukan. Setidaknya, dibanding menata pematang dan senewen, saya
    merasa jauh lebih nyaman mengolah kalimat, memadatkan ide, lalu menggarap
    cerita.

    Jadi, apakah ada yang
    masih tertarik menulis? Kalau tidak, tak apa-apa. Mari memancing saja.

  • Menelisik Fenomena Sastra dan Bersastra di Yogyakarta

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Sejak pasca kemerdekaan hingga kini, banyak seniman dan sastrawan Indonesia & Jawa yang berdomisili di Yogyakarta sukses mencatatkan prestasi berkarya di tingkat lokal, regional, dan nasional. Dimungkinkan, berkat prestasi merekalah Yogyakarta memiliki prestis kebudayaan cukup tinggi sampai menyandang gelar “kawah candradimuka” bagi calon seniman dan sastrawan di Indonesia.

    Khusus untuk sastra Indonesia & Jawa, prestasi kesastraan tersebut secara kasar dapat dibuktikan dengan terwujudnya pencapaian sebagai berikut:

    1. Sastrawan Indonesia & Jawa di Yogyakarta cukup produktif berkarya dan giat menyiarkannya. Hasilnya, karya mereka banyak dimuat media massa lokal maupun nasional, sehingga namanya pun dikenal luas oleh masyarakat sastra.
    2. Karya sastrawan Indonesia & Jawa dari Yogyakarta sering mendapat pujian para kritisi/akademisi, menerima anugerah/penghargaan di tingkat lokal dan nasional, memperoleh apresiasi positif dari kalangan sastra, dan berhasil memberi warna pada zamannya.
    3. Dari generasi ke generasi senantiasa muncul sastrawan dari Yogyakarta yang menjadi tokoh panutan dan menginspirasi masyarakat sastra secara luas.
    4. Banyak orang muda dari berbagai daerah di Indonesia sukses menempuh proses kreatif bersastra di Yogyakarta hingga mendapat pengakuan sebagai sastrawan.
    5. Walaupun belum tercatat dan dicatat secara pasti, kreator dan apresiator sastra aktif dan pasif, dikenal dan tidak terkenal, jumlahnya cukup besar di Yogyakarta. Untuk sekadar informasi, pada masa Persada Studi Klub (1969-1977), Ragil Suwarna Pragolapati mencatat tidak kurang 1.500 nama yang sempat berproses di komunitas ini. Generasi muda Madura yang menjalani studi di Yogyakarta dan mulai merambah dunia sastra pada era-2000an mencapai puluhan orang.
    6. Secara berkala di Yogyakarta muncul gerakan serta even bersastra yang berkelanjutan dan melegenda sehingga dapat dijadikan bukti bahwa denyut kehidupan sastra di kota ini tak pernah mengalami stagnasi, apalagi mati.

    Karena munculnya prestasi berasal dari karya yang dibuat di Yogyakarta oleh sastrawan dari Yogyakarta, dimungkinkan berbagai fenomena (hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah, atau sesuatu yang luar biasa; keajaiban) yang terdapat di Yogyakarta pun juga memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan tersebut. Sejumlah faktor yang diperkirakan cukup berpengaruh dalam menunjang pencapaian prestasi sastra dan kesastraan para sastrawan di Yogyakarta selama ini, antara lain:

    1. Spirit bersastra dan berkesenian yang diwariskan para pendahulu (guru). Misalnya: semangat belajar, pengembangan diri dalam mencipta, etos kreatif, kemandirian, dll. Para sastrawan Yogyakarta umumnya menyadari potensi tersebut sangat diperlukan sebagai penguatan pribadi, sehingga berusaha memiliki karena proses bersastra merupakan kegiatan individual (bukan kelompok). Caranya bisa dengan meneladani nilai-nilai yang diwariskan sastrawan pendahulunya.
    2. Kehidupan sosial kemasyarakatan di Yogyakarta. Banyak kalangan mengakui bahwa iklim kehidupan sosial kemasyarakatan di Yogyakarta cukup kondusif untuk menunjang kegiatan bersastra. Misalnya, sikap masyarakat yang cukup terbuka, apresiatif terhadap dunia seni sastra, mudah berkomunikasi, toleransinya tinggi, suka menolong/membantu, pengaruh keberadaan keraton, standar hidup yang relatif terjangkau bagi kalangan bawah, dll.
    3. Keberadaan berbagai cabang seni budaya di Yogyakarta. Bagi sastrawan, kekayaan seni budaya Yogyakarta mampu memberikan nuansa khas dan nyaman. Seperti menambah pengalaman dan wawasan, memunculkan berbagai pemikiran baru, mempertajam cita rasa seni, menstimulir kreativitas, dll.
    4. Komunitas dalam berkesenian dan bersastra. Hingga kini masyarakat sastra di Yogyakarta memiliki tradisi membangun komunitas. Baik yang dibentuk secara mandiri, dalam lingkungan kampus, maupun yang menjadi binaan instansi/lembaga pemerintah dan swasta. Dalam komunitas inilah para orang muda membangun spirit bersastra serta melakukan proses belajar bersama (komunalisme kreatif) secara nonformal. Seperti diskusi terbuka, pentas sastra, mengumpulkan dan menerbitkan karya, dll. Dalam komunitas ini setiap anggota dapat berperan ganda dalam kehidupan bersama maupun olah kreatif. Seperti menjadi teman, orang tua, guru, kritikus, sekaligus “musuh”. Artinya, pada komunitas sastra terjadi proses “asah-asih-asuh” dalam pengertian luas.
    5. Keberadaan media massa yang memiliki komitmen pada dunia sastra. Hampir seluruh media massa pemerintah maupun swasta di  Yogyakarta selalu membuka rubrik sastra dan seni budaya. Seperti koran/mingguan, majalah, jurnal, buletin, radio, televisi, termasuk media online. Dari pemuatan karya mereka para sastrawan memperoleh sekadar honorarium yang besarnya sesuai dengan kemampuan media massa yang bersangkutan.
    6. Dunia pendidikan dan perguruan tinggi. Langsung tak langsung dunia pendidikan dan perguruan tinggi telah memberikan dukungan nyata bagi berlangsungnya proses bersastra serta upaya menimba keilmuan bagi generasi muda sejak dini. Guru-guru bahasa dan sastra maupun para dosen, jelas sangat berperan  terhadap tumbuh kembangnya regenerasi sastrawan Yogyakarta dari waktu ke waktu.
    7. Institusi/lembaga pemerintah dan swasta.  Keberadaan institusi/lembaga pemerintah dan swasta sangat berperan dalam menopang gerak kehidupan bersastra di kota ini. Misalnya, Balai Bahasa, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, Taman Budaya, telah memberikan dukungan dana dan fasilitas terhadap tumbuh kembangnya kesastraan Indonesia & Jawa di Yogyakarta selama ini.
    8. Dunia perbukuan dan perpustakaan. Peran dunia perbukuan dan perpustakaan di Yogyakarta cukup besar dalam menunjang prestasi bersastra para sastrawan. Seperti aktif dalam penerbitan buku teori sastra dan karya sastra. Perpustakaan pemerintah dan swasta menyediakan buku-buku dan ruang baca. Munculnya buku murah sejak masa shoping center Senopati, pemasaran buku online, pameran buku, dll. Dengan diterbitkannya karya sastra menjadi buku persebarannya makin luas dan tidak lagi terbatas seperti media massa.

    Dari sekian faktor penunjang terwujudnya prestasi bersastra di Yogyakarta yang tergambar di atas, tampak bahwa yang mampu dilahirkan, digarap, dikelola, ditangani oleh para sastrawan hanyalah “spirit bersastra” dan “komunitas sastra”. Artinya, selain kedua aspek tadi para sastrawan nyaris tidak dapat melakukan “intervensi” serta memasukkan ide-ide secara total karena di luar  wewenangnya.

    Mungkin, inilah salah satu alasan mengapa orang muda dan sastrawan di Yogyakarta tetap melanjutkan tradisi berkomunitas hingga kini. Walaupun setiap komunitas nyaris menggunakan format beragam/berbeda sesuai dengan pemikiran masing-masing. Namun, dari  berbagai komunitas yang pernah dan masih ada di kota ini ternyata telah lahir semangat bersastra (mencipta/menulis) bagi generasi muda hingga menghasilkan karya-karya yang berkualitas standar di tingkat lokal, regional, dan nasional.

    Beberapa ciri komunitas-komunitas sastra yang pernah ada dan masih ada di Yogyakarta, antara lain:

    1. Komunitas sastra di Yogyakarta biasanya lahir dari ide para penggerak sastra yang memiliki semangat komunal/kebersamaan/patembayatan, dalam mewujudkan cita-cita bersama, khususnya bersastra. Hasilnya, dari komunitas sastra lahir sosok-sosok kreator dan apresiator sastra pada zamannya.
    2. Setiap komunitas sastra selalu memiliki tokoh/patron yang  dijadikan panutan komunitasnya.
    3. Bentuk organisasi relatif sederhana, hanya semacam perkumpulan atau paguyuban yang tidak memiliki badan hukum. Kantor atau pusat kegiatan biasa menumpang pada rumah tokoh penggerak atau anggota komunitas.
    4. Terbuka bagi siapa pun ikut berpartisipasi/terlibat tanpa persyaratan formal mengikat.  Asal yang bersangkutan sedia menjalin persahabatan dan kekeluargaan dengan anggota yang lain, serta mengikuti tradisi komunitas tadi.
    5. Bersifat mandiri, sehingga pemenuhan kebutuhan komunitas cenderung diperoleh dari gotong-royong (sumbangan/donasi) yang tidak mengikat. Kecuali komunitas sastra kampus atau komunitas yang dibina oleh instansi/lembaga pemerintah maupun swasta (LSM) akan memperoleh dukungan fasilitas dari “pengayom”nya.
    6. Format kegiatan jarang terprogram kokoh dan lebih menyesuaikan pada ide-ide yang berkembang di tingkat internal maupun eksternal.
    7. Jika tokoh penggerak atau ada anggota pindah dari Yogyakarta karena mempunyai kegiatan lain, atau merasa tidak memerlukan berproses di sana lagi, mereka dapat meninggalkan komunitasnya. Maka tidak mengherankan jika ada komunitas sastra yang umurnya cukup lama, tetapi banyak juga yang sekian waktu kemudian bubar.
    8. Setiap komunitas jarang mendokumentasikan secara lengkap profil komunitas, ide-ide yang melatarbelakangi pergerakannya, kegiatan yang dilakukan, serta data-data penting lainnya.
    Catatan akhir

    Mengingat Yogyakarta sebagai: 1) salah satu pusat sastra di Indonesia dan 2) penghasil kreator sastra Indonesia & Jawa, dari semacam oncek-oncek mengenai fenomena sastra dan bersastra di Yogyakarta, mungkin ada beberapa catatan yang layak jadi bahan renungan bersama. Antara lain:

    1. Ternyata peran dan jasa komunitas sastra di Yogyakarta selama ini cukup besar. Maka, upaya mengumpulkan data-data mengenai profil, kegiatan, prestasi, serta sastrawan yang sempat berproses dalam setiap komunitas perlu digerakkan dengan dukungan instansi/lembaga terkait. Karena dokumentasi tersebut diperlukan banyak pihak sebagai bahan kajian pada masa-masa berikutnya.
    2. Dalam arti luas, Yogyakarta sesungguhnya juga merupakan “komunitas besar” yang mewadahi kehidupan bersastra bagi paguyubanpaguyuban sastra Indonesia & Jawa di kawasan ini. Mungkinkah Yogyakarta merintis berdirinya semacam  percontohan “Komite Sastra”, “Pusat Dokumentasi Sastra Yogyakarta”, diterbitkannya “Sejarah Sastra Indonesia & Jawa Pasca Kemerdekaan di Yogyakarta”, sebagai referensi dan sarana meningkatkan prestasi sastra dan bersastra  ke depannya?
    3. Silaturahmi sastrawan Indonesia dan sastrawan Jawa di Yogyakarta seyogyanya diintensifkan untuk mengembangkan wawasan dan kreativitas mereka. Dengan harapan, sastrawan dari suku bangsa Jawa yang mencipta dalam bahasa Indonesia juga bersedia mencipta sastra dalam bahasa Jawa; demikian juga sebaliknya.
    4. Yogyakarta merupakan salah satu daerah tujuan wisata terbesar di Indonesia. Mungkinkah dirintis upaya penerjemahan karya-karya sastra berbahasa Indonesia & Jawa kontemporer untuk turis mancanegara? Juga pemasaran buku-buku sastra untuk turis domestik?

     

    Catatan Redaksi:
    Ditulis dan disampaikan oleh Iman Budhi Santosa, Penyair dan Budayawan Yogyakarta.
    Pada acara Bincang-Bincang Sastra edisi 154, Kamis 26 Juli 2018 di Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta.

  • Mendudukan Marwah Sastra, Agama dan Negara

    author = Zainul Arifin

    Saat transisi otoritarianisme Orde Baru ke demokrasi, memang kondisi kebudayaan Indonesia yang sarat dengan antropologi keyakinan tidak diperhitungkan. Ketika itu belum terbayangkan konflik-konflik horizontal terutama berbasis agama akan mewarnai situasi sosial-politik di era reformasi sekarang. Artinya, keterbukaan demokrasi saat ini justru seakan-akan membuat kita menyesal, sebab ongkos konflik horizontal atas dasar politik identitas (terutama agama) harus ditanggung oleh keterbukaan tersebut (Naipospos: 2009: 172). Antropologi keyakinan masyarakat terutama narasi-narasi agama termanifestasikan juga di dalam karya sastra. Akibatnya moral agama mayoritas menjadi official ideology negara dalam kebijakan, perda dan sebagainya [1]Bahkan ada institusi agama negara, MUI, kementrian Agama dan juga perda-perda syariah di beberapa wilayah Indonesia. Institusi-institusi tersebut semacam ideological state apparatus dalam istilah … Continue reading. Padahal Indonesia (Hatta: 2014: 7) didirikan dengan cita-cita kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan ayat (suci). Sastra yang seharusnya berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran kedaulatan rakyat sekarang harus terkooptasi dan tertundukkan oleh narasi agama. Fanatisme agama sungguh mengancam kemajemukan plural dan juga kebebasan berpikir masyarakat bahkan intelektual di ruang publik [2]Seperti kasus kontroversi Disertasi dari UIN Sunan Kalijaga tentang hubungan seksual non-marital. Sang penulis Abdul Aziz dihujat secara moral oleh publik. Padahal moral akademis hanyalah tidak boleh … Continue reading. Padahal perbedaan adalah alasan fundamental dari ke-Indonesia-an. Apabila nyaman dalam obsesi semacam ini, maka lambat tapi pasti konsekuensinya adalah Indonesia akan menjadi negara otoriter kembali dengan basis agama. Untuk itu mendudukan kembali marwah sastra, agama dan kehidupan bernegara pada jalan pikiran ke-Indonesia-an adalah upaya minimum bagi pemerhati (akademisi) sastra.

    ***

    Sebelum melangkah lebih jauh tampaknya pemetaan corak narasi agama dalam karya sastra perlu diulas terlebih dahulu. Berdasar pemetaan Hairus Salim dalam diskusi ‘Agama dan Kesusasteraan’ (2009), terdapat tiga corak narasi agama dalam karya sastra Indonesia. Pertama, sastra sebagai sarana untuk mengekspresikan keagamaan dan menjadikan agama sebagai solusi kehidupan, semacam doktrin kehidupan. Corak ini adalah bentuk penarasian agama dan sastra beberapa tahun terakhir, dapat dilihat dari karya-karya penulis yang berteduh dalam naungan Forum Lingkar Pena (FLP) yang menganut pemurnian ajaran agama dengan cenderung mendiskreditkan agama lain. Kedua, corak mistis-sufistik yang dimulai dari Godlob karya Danarto, Gus Jakfar karya Mustofa Bisri dan para penerusnya yang tentu sedikit berbeda namun dalam ramuan tradisi yang sama, yakni pemahaman bahwa semua agama adalah jembatan menuju Tuhan. Yang ketiga, corak sastra sebagai kritik terhadap agama. Corak narasi ini berperan melakukan interupsi terhadap formalisasi kehidupan beragama yang tertutup, kaku dan represif. Corak ini dapat dilihat pada pengarang-pengarang perempuan Indonesia, yakni Dewi Lestari dengan Supernova, Ayu Utami melalui Bilangan Fu, Ani Sekarningsih dengan Memburu Kalacakra, Clara Ng melalui Tujuh Musim Setahun dan masih banyak lagi. Reaksi terhadap sastra bercorak narasi kritik agama dalam sejarah pernah berdampak negatif pada pengarangnya, seperti H.B Jassin pernah masuk penjara karena cerpen Ki Panji Kusmin dan juga fatwa mati oleh Khomeini terhadap Salman Rushdie atas novel The Satanic Verses-nya.

    Dari sini tergambarkan pertarungan narasi dalam ruang publik dengan pola fanatik, moderat maupun kritis terhadap agama melalui sastra. Sastra adalah ruang publik imajiner. Ruang publik (Habermas: 1992) tidak boleh diisi oleh obsesi absolut apapun, seperti ideologi totaliter, agama dan rasisme. Itulah konsekuensi dari demokrasi dengan basis kedaulatan rakyat. Fanatisme kemungkinan menjadi watak inheren agama. Itu sangat sah sejauh tidak didistribusikan dalam ruang publik. Tentu saja setiap orang berhak sangat fanatik terhadap keyakinannya, tetapi esoterisme agama tersebut tidak boleh dipaksakan menjadi pengatur ruang publik di suatu negara yang memilih demokrasi dan pluralisme sebagai basis komunikasi sosialnya. Dengan begitu, memaksakan fanatisme di ruang publik, termasuk sastra, artinya menginginkan demokrasi berakhir. 

    Lebih jauh lagi, corak narasi agama yang moderat maupun kritis terhadap agama tampaknya tidak toleran terhadap pandangan hidup kaum ateis di Indonesia. Padahal, keyakinan adalah pengalaman sangat unik secara individual. Hati nurani sepenuhnya misteri paling intim yang hanya dimengerti sang pemiliknya. Demokrasi hanya menjamin ‘hak’ sipil untuk berkeyakinan atas dasar hati nuraninya, bukan menjamin kebenaran ‘isi’ suatu ajarannya. Oleh sebab itu, keyakinan agama tidak boleh diedarkan sebagai paksaan dalam bentuk langsung maupun narasi di ruang publik. Untuk itu, sebaiknya ruang publik imajiner yang bernama sastra itu tidak diisi oleh narasi keyakinan ideologis apapun. Sebab obsesi tersebut sebetulnya adalah fantasi (ideologi) pengarang—dalam istilah Slavoj Zizek (2009). Fantasi agama itu hanya boleh berada di ruang privat masing-masing orang, dalam berdoa, sembahyang, dzikir, dll. Dengan demikian, representasi agama/keyakinan paling fanatik sekalipun dapat dituliskan di sastra selama hanya untuk konsumsi fantasi pribadi. Apabila terjadi di ruang publik, maka yang berlangsung sebenarnya sekadar pertarungan ideologi, bukan suatu the real dari permasalahan publik. Begitulah jalan pikirannya atas dasar teoritis.

    Dasar pikiran secara empiris ke-Indonesia-an adalah rumusan Sumpah Pemuda. Tujuh belas tahun sebelum merdeka, kebudayaan dipersiapkan supaya toleran terhadap semua jenis perbedaan primordial, seperti agama, etnis, dan suku.  Pada rumusan itulah disadari bahwa bersatu hanya atas dasar ‘Tanah Air’, ‘Bangsa’, ‘Bahasa’ Indonesia. Artinya, sebelum bertransformasi menjadi warga negara Indonesia, identitas primordial dalam percakapan publik harus dikikis. Atas dasar itu, memelihara toleransi adalah suatu keharusan. Hal ini paralel dengan tidak lagi menarasikan agama dalam ruang publik imajiner (sastra). Yang seharusnya dinarasikan dalam sastra adalah urusan-urusan publik, seperti ketidakadilan sosial, kekerasan, diskriminasi minoritas dan sebagainya sebagai politics of recognition. 

    Politics of recognition diupayakan dalam sastra agar rasa iba terhadap ketidakadilan yang dialami pihak tertentu dikenali masyarakat banyak. Dari sana harapannya adalah penyelenggaraan keadilan terlaksana oleh negara. Sekarang agama mayoritas Islam melalui sastra justru menuntut rekognisi, bukan untuk urusan keadilan sosiologis, tetapi keadilan teologis yakni menuntut obsesi paradigma moral agama mereka dalam kehidupan bernegara. Dampaknya warganegara yang baik sekarang tidak dinilai seberapa sering menolong tetangga atau membayar pajak, tetapi diukur kesalehan sosial yang ditentukan dari seberapa banyak dia berdoa. Segi hukum pun bergeser, orang dihukum sekarang bukan karena ‘bersalah’ tetapi karena ‘berdosa’ [3]Kasus-kasus penistaan agama seperti Ahok, perda syariat dan seterusnya menjadi permasalahan, sebab di daerah tersebut tentu dihuni oleh berbagai kepercayaan, bahkan aliran kebatinan. Mereka terpaksa … Continue reading. Padahal bersalah adalah kondisi sosiologis, berdosa itu kondisi teologis. Hukum hanya menghukumi masalah kehidupan sosial, bukan kehidupan spiritual. 

    Politics of recognition ini perlu diupayakan dalam sastra, bukan berarti saya hendak memberi batasan yang rigid pada proses kreatif pengarang. Tetapi tulisan ini dibangun atas dasar kehidupan bernegara bahwa kemerdekaan ada karena menghendaki keluar dari penderitaan kolonial. Hal itu terdapat dalam pidato Genta Suara Revolusi Bung Karno 17 Agustus 1963 bahwa adanya rel revolusi kemerdekaan Indonesia dasarnya adalah penderitaan rakyat. Dengan kata lain, Indonesia didirikan untuk memerdekakan penderitaan rakyat. Hal ini sejalan dengan sastra yang menyuarakan ketidakadilan, supaya berkurang dari hari ke hari. Hanya atas dasar itu saya berargumen atau lebih tepatnya menyarankan sebaiknya sastra tidak menarasikan agama—sebagai bentuk toleransi—tetapi menarasikan ketidakadilan sosial—sebagai kelanjutan cita-cita kemerdekaan.

    ***

    Sekali lagi, alasan fundamental berdirinya Indonesia adalah untuk mewadahi perbedaan. Mengelola fakta perbedaan tersebut secara adil adalah tugas negara. Agama hanya mengakomodir kebenaran ajarannya yang tunggal. Karena itu agama dapat dijalankan secara bebas hanya di wilayah individual. Negara harus bersikap netral terhadap wilayah itu. Sebab toleransi dalam Sumpah Pemuda adalah basis berdirinya negara Indonesia. Toleransi seharusnya menjadi kemestian final dari keberagaman kebudayaan. Imajinasi kebudayaan dapat bersumber dari sastra. Untuk itu, sastra sebagai ruang publik imajiner seharusnya tidak menarasikan agama, tetapi menarasikan ketidakadilan kemanusiaan supaya ketidakadilan terkikis sedikit demi sedikit. Dari situlah marwah sastra, agama dan negara didudukkan.

    Tulisan ini meraih juara 1 dalam Penulisan Esai Nasional Bulan Bahasa UGM 2019 dengan tema ‘Representasi Agama dalam Karya Sastra’. Tulisan ini telah melalui penyuntingan dan ditambah beberapa hal. Dipublikasikan kembali sebagai upaya membagi perspektif.

    Daftar Pustaka

    Habermas, Jurgen. 1992. Further Reflections on the Public Sphere. dalam C. Calhoun (ed.). Habermas and the Public Sphere. London: The MIT Press

    Hatta, Mohammad. 2014. Demokrasi Kita. Bandung: Sega Arsy

    Naipospos, Bonar Tigor dan Robertus Robet (ed.). 2009. Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: Publikasi Setara Institute

    Salim, Hairus. 2009. Agama dalam Sastra: Pertemuan dan Persimpangannya. Pengantar diskusi ‘Agama dan Kesusastraan’ di Balai Budaya Soedjatmoko, Solo.

    Zizek, Slavoj. 2009. The Sublime Object of Ideology. London & New York: Verso.

    References

    References
    1 Bahkan ada institusi agama negara, MUI, kementrian Agama dan juga perda-perda syariah di beberapa wilayah Indonesia. Institusi-institusi tersebut semacam ideological state apparatus dalam istilah Althusser untuk mengendalikan publik.
    2 Seperti kasus kontroversi Disertasi dari UIN Sunan Kalijaga tentang hubungan seksual non-marital. Sang penulis Abdul Aziz dihujat secara moral oleh publik. Padahal moral akademis hanyalah tidak boleh plagiat, tetapi sekarang harus menghadapi moral komunal masyarakat. Lalu, dimana kebebasan intelektual dalam meneliti untuk memajukan ilmu pengetahuan apabila harus diatur.
    3 Kasus-kasus penistaan agama seperti Ahok, perda syariat dan seterusnya menjadi permasalahan, sebab di daerah tersebut tentu dihuni oleh berbagai kepercayaan, bahkan aliran kebatinan. Mereka terpaksa menuruti moral keyakinan lain.

  • Mencetak Masa Lalu Ampenan: Fantasi atau Pembebasan?

    author = Muhammad Nur Hanif

    Melalui kumpulan puisi Di Ampenan,
    Apa Lagi Yang Kau Cari?
    (2017), Kiki Sulistyo secara khusus menyoroti
    fenomena sosial yang terjadi di Ampenan, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
    Fenomena-fenomena tersebut sering kali hadir bersama nama latar lokal seperti
    Simpang Lima, Pantai Ampenan, Kubur Dende, Bioskop Ramayana, Kelayu, dan
    lain-lain. Puisi-puisi semacam itu seolah membawa saya berdiri di tengah
    Ampenan.

    Selanjutnya, Kiki mengajak saya mengenal lebih jauh individu maupun
    masyarakat serta gerak peradaban di Ampenan. Hal tersebut barangkali tidak
    terlepas dari kenyataan bahwa Kiki tumbuh di sana. Karena itu, hubungan
    aku-lirik dengan keluarga maupun kerabatnya tidak jarang ditemui dalam kumpulan
    puisi tersebut. Misalnya, hubungan dengan bapak, ibu, paman, bibi, serta Ida
    (perempuan berambut merah, satu-satunya tokoh yang seolah memberikan sentuhan
    romantisme kepada aku-lirik).

    Hubungan-hubungan tersebut terjadi beriringan dengan perubahan di Ampenan,
    baik dari segi sosial (masyarakat) maupun Ampenan itu sendiri sebagai sebuah
    kota. Beberapa puisi memberikan informasi tentang hubungan dua keluarga yang
    semula dekat menjadi retak dan bertentangan karena suatu permasalahan. Beberapa
    puisi juga membicarakan perubahan antara Ampenan yang dulu dan yang sekarang.

    Untuk menandai perbedaan waktu (yang dulu dan yang sekarang), Kiki berupaya
    memperhatikan segi kronologis puisi-puisi dalam bukunya. Hal tersebut terbukti
    dari penataan isi yang dibagi berdasar tiga fragmen; Ampenan yang dulu;
    orang-orang di Ampenan; serta Ampenan yang sekarang. Dengan begitu, puisi-puisi
    dalam buku tersebut seakan menjadi serba berkaitan. Kaitan tersebut, misalnya,
    bukan hanya mengenai keadaan yang membuat aku-lirik bertindak, namun juga
    akibat yang ditimbulkan tindakan aku-lirik. Karena itu, saya sering merasa
    tidak cukup membaca satu puisi saja. Misalnya, saya baru puas membaca puisi
    “simpang lima” setelah membaca juga puisi “bioskop ramayana”.

    Respons Kiki terhadap perubahan Ampenan dapat diketahui dari tindakan
    maupun pandangan aku-lirik di dalam kumpulan puisi tersebut. Misalnya, tindakan
    dan pandangan aku-lirik pada tiga puisi yang saya anggap cukup representatif,
    yakni puisi “simpang lima”, “rencana membunuh paman”, dan “di ampenan, apa lagi
    yang kaucari?”.

    Puisi yang dibahas pertama berjudul “simpang lima”. Bait pertama puisi
    tersebut menceritakan pengalaman aku-lirik dalam dunia Ampenan yang dulu,
    sedangkan bait kedua berisi aku-lirik dalam Ampenan yang sekarang.

    di sini dulu ada terminal, tempat para petarung berkumpul
    sebelum tanggal tahun-tahun dan pisau tajam menumpul
    … (Sulistyo, 2017: 12)

    Dulu, Simpang Lima seolah sarat persaingan dengan adanya terminal yang
    menjadi tempat perkumpulan para petarung.
    Saya menduga bahwa mereka berkumpul untuk bersaing (mana yang lebih hebat?)
    sekalipun para petarung dapat
    diasosiasikan sebagai para sopir atau kernet. Nuansa persaingan tersebut
    akhirnya “menajamkan” pisau para
    petarung sebelum tanggal tahun-tahun yang
    sarat persaingan dan pisau yang tajam
    itu akhirnya menumpul. Kata menumpul hadir
    untuk mengingatkan bahwa kata tajam
    memiliki batas waktu.


    pernah seseorang membohongi ibunya dengan durhaka kecil
    maka kakinya terkilir setelah jatuh di selokan kering
    ibu, seseorang itu aku, tak pergi mengaji
    sebab tergoda poster bioskop petang hari
    melupakan yang harus diantar; rantang, juga tang besi
    kerja bapak si tukang reparasi
    … (Sulistyo, 2017: 12)

    Pada larik selanjutnya, aku-lirik melakukan pembangkangan dengan membohongi ibunya. Aku-lirik tidak pergi mengaji dan melupakan tanggung jawabnya hanya karena
    tergoda poster bioskop. Membaca
    kutipan tersebut, saya jadi bertanya-tanya: mengapa aku-lirik menuruti godaan
    poster bioskop? Bagaimanakah bioskop saat itu hingga posternya saja dapat
    menggoda aku-lirik untuk mendatanginya? Apakah bioskop saat itu begitu
    menggoda?

    Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali dapat ditemukan
    dalam puisi “bioskop ramayana”. Demikian kutipannya.


    penonton ramai di akhir pekan
    putaran kedua dimulai jam delapan
    jam utama di mana orang-orang bebas dari tugas
    … (Sulistyo, 2017: 16)

    penonton ramai di akhir pekan

    putaran kedua dimulai jam delapan

    jam utama di mana orang-orang
    bebas dari tugas

    … (Sulistyo, 2017: 16)

    Lewat kutipan tersebut, diketahui bahwa masyarakat juga tergoda oleh
    bioskop. Buktinya, penonton ramai di
    akhir pekan
    . Dapat diduga bahwa masyarakat menganggap bioskop sebagai
    “tempat pelarian” dari rutinitas pekerjaan atau tugas. Sebab, orang-orang bebas dari tugas (hanya)
    saat akhir pekan. Selain itu, ada jam utama di antara jam-jam lain di
    bioskop tersebut, yakni jam delapan,
    meski sudah putaran kedua. Kata utama seolah merujuk pada jam yang lebih
    penting daripada jam-jam yang lain. Mengapa ada jam yang utama?
    Barangkali, pada jam itulah para penonton datang karena mereka telah bebas dari tugas.

    Lalu, bagaimana kaitannya dengan aku-lirik dalam puisi “simpang lima”?
    Rupanya, sikap masyarakat dan aku-lirik terhadap bioskop memiliki kesamaan.
    Baik masyarakat maupun aku-lirik menganggap bioskop sebagai “tempat pelarian”
    dari tanggung jawab yang “mengekang” mereka. Masyarakat pergi ke bioskop karena
    tugas-tugas yang mengekang mereka. Aku-lirik menuruti godaan poster bioskop
    karena pekerjaan yang (barangkali) juga mengekangnya, yakni mengaji dan mengantarkan
    barang kepada bapaknya.

    Perbedaannya, masyarakat memilih pergi ke bioskop setelah tugas mereka
    selesai (bebas), sedangkan aku-lirik menuruti godaan poster bioskop ketika
    dirinya sedang mengemban tugas. Aku-lirik saat itu tidak peduli tugasnya tidak
    selesai. Bagi aku-lirik, yang penting adalah datang ke bioskop.

    Datang ke bioskop dapat diasumsikan sebagai suatu cara bagi aku-lirik untuk
    mengejar “kebebasan”. Dengan kata lain, mengaji dan mengantarkan barang kepada
    bapak adalah hal yang mengekang aku-lirik. Sebab, hal itu dilakukan bukan
    semata-mata karena keinginan aku-lirik. Dengan menuruti godaan poster bioskop,
    lalu datang ke bioskop, aku-lirik seolah mampu melakukan hal yang berasal dari
    keinginannya sendiri dan membebaskan diri dari pekerjaan yang mengekangnya.
    Yang menjadi pertanyaan: apakah aku-lirik benar-benar bebas?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pandangan aku-lirik terhadap poster dan
    bioskop perlu diamati lebih dulu. Aku-lirik bisa jadi tahu bahwa poster
    hanyalah gambar dan (film) bioskop sekadar gambar bergerak yang disertai
    suara-suara. Namun, aku-lirik mengalihkan kenyataan tersebut karena seolah
    tidak sanggup menerima kenyataan bahwa menonton gambar bergerak yang disertai
    suara-suara tidak akan memberinya sebuah “kebebasan”. Karena itu, aku-lirik
    memungkiri pengetahuannya mengenai kenyataan tersebut dengan menyatakan bahwa
    “poster bisa menggoda” dan “datang ke bioskop dapat memberikan kebebasan”.
    Pengalihan tersebut dilakukan aku-lirik supaya dirinya dapat menikmati fantasi
    membebaskan diri dari perkerjaan yang mengekangnya dengan cara menuruti godaan
    poster bioskop, lalu datang ke bioskop. Melalui kenikmatan berfantasi tersebut,
    aku-lirik sekaligus mengklaim masih memiliki keinginan yang berasal dari
    dirinya sendiri.

    Fantasi yang dilakukan aku-lirik itu kemudian justru membuatnya semakin
    terkekang karena “rasa bersalah”. Aku-lirik seolah telah melanggar “norma”
    sebagaimana kutipan berikut.


    pernah seseorang membohongi ibunya dengan durhaka kecil
    maka kakinya terkilir setelah jatuh di selokan kering
    … (Sulistyo, 2017: 12)

    Aku-lirik “mengaku bersalah” dengan menyebut tindakannya sebagai durhaka
    kecil. Aku-lirik juga menganggap bahwa kualat
    yang dialami dirinya, yakni kakinya
    terkilir setelah jatuh di selokan kering
    , adalah akibat dari durhaka kecil­nya. Durhaka dan kualat tersebut
    menjadi perwujudan norma yang semakin mengekang aku-lirik.

    Beranjak ke bait kedua, aku-lirik berpindah ke Ampenan yang sekarang,
    menemukan Ampenan yang telah jauh berubah.


    di sini, sekarang aku berdiri, di simpang lima
    melihat lampu jalan dan waktu berjalan pelan
    sudah tak ada siapa-siapa, apa-apa yang dulu pernah ada
    (Sulistyo, 2017: 12)

    Simpang Lima dulu memang memiliki banyak hal untuk aku-lirik. Misalnya,
    terminal, tempat mengaji, dan poster bioskop. Dengan begitu, aku-lirik terbiasa
    menjumpai orang-orang di sekitarnya seperti para sopir, kernet, guru mengaji,
    dan para penonton bioskop. Hal itu menyibukkan aku-lirik dalam petualangannya
    sendiri sehingga waktu pun terasa berjalan cepat baginya. Namun, sekarang,
    ketika menyadari sudah tak ada
    siapa-siapa, apa-apa yang dulu pernah ada
    di Simpang Lima, aku-lirik seolah
    tersiksa hingga waktu berjalan pelan
    baginya
    . Aku-lirik tidak lagi dapat bertindak, apalagi menyingkirkan
    situasi yang menyiksanya.

    Puisi yang dibahas selanjutnya berjudul “rencana membunuh paman”.
    Sebagaimana judulnya, puisi tersebut bercerita mengenai serangkaian strategi
    sadis yang dimaksudkan untuk membunuh paman. Membaca puisi ini, saya tidak
    mendapatkan emosinya karena pikiran saya telanjur dibelit oleh pertanyaan:
    mengapa paman tiba-tiba mau dibunuh? Rupanya, jawabannya terdapat dalam puisi
    “rumah ladang, paman kami”.


    seperti sekerjap: rumah warisan dan perkara pembagian
    yang mengalah berpindah-pindah
    yang menang sesaat senang
    sebelum sengsara tiba-tiba merupa berpuluh roda
    paman tak berani pulang ke rumahnya
    seakan hantu-hantu ladang menanti di sana
    paman meraung-raung dan mati tiba-tiba
    disergap hipertensi
    … (Sulistyo, 2017: 21-22)

    Ternyata, paman hendak dibunuh karena menjadi “biang keladi” atas retaknya
    hubungan dua keluarga, yakni keluarga aku-lirik dan keluarga paman itu sendiri.
    Keretakan itu dipicu oleh sengketa tanah warisan sebagaimana yang tertera dalam
    kutipan di atas. Kedua keluarga juga menemui kesengsaraannya masing-masing.


    kadang kami membenci paman. kami percaya paman sejenis
    jahanam
    dan tempat yang pantas untuknya adalah dalam nampan panas
    paman gemar mengasah parang dan samar di matanya kilatan
    mata parang
    bagai taring ular yang berbaring di kerimbunan belukar
    … (Sulistyo, 2017: 40)

    Kembali ke puisi “rencana membunuh paman”, rupanya, aku-lirik tidak lagi
    sendirian. Aku-lirik meneguhkan posisinya, yakni membela keluarganya sendiri.
    Peneguhan posisi aku-lirik diwujudkan dengan kata kami. Bahkan, aku-lirik menganggap pamannya-lah yang bersalah
    hingga ingin membunuhnya.

    Rencana pembunuhan itu dinyatakan aku-lirik yang telah bergabung bersama
    keluarganya melalui kata kami. Namun,
    hal itu, tampaknya, tidak membuat mentalnya semakin kukuh. Terbukti, kami masih menggunakan kata kadang dalam menyatakan kebencian kepada
    paman. Artinya, masih ada waktu ketika kami
    (termasuk aku-lirik) tidak membenci paman. Meski begitu, kami tetap bermaksud membunuh paman. Yang cukup mengagetkan
    kemudian, kami menyadari bahwa
    keinginan membunuh paman itu tidak akan pernah tercapai karena paman telah
    mati, bahwa keinginan tersebut akan berhenti pada “sekadar” maksud. Berikut
    kutipannya.


    kami bersorak, riang bagai katak di musim penghujan
    merasa telah mengusir bagian paling menyedihkan dari sebuah
    kisah
    tapi itu terjadi hanya dalam bayangan kami. sampai kelak paman
    mati
    diam-diam kami memendam sesal, kenapa bukan kami yang
    memberinya ajal
    (Sulistyo, 2017: 40)

    Setidaknya, ada dua tindakan aku-lirik yang saya temukan dalam puisi
    “rencana membunuh paman”. Aku-lirik memilih berpihak pada keluarganya melalui
    kata kami, bukan pada keluarga
    pamannya, bukan pula berada di tengah-tengah, lalu berencana membunuh pamannya.
    Dalam hal ini, aku-lirik seolah menganggap kenyataan bahwa pamannya telah mati
    bukanlah hal yang penting. Yang penting bagi aku-lirik adalah keinginan membunuh
    paman karena dengan begitu dia sejalan dengan keluarganya (kami). Padahal, sebenarnya aku-lirik sangat tahu bahwa keinginan
    tersebut tidak akan pernah tercapai. Aku-lirik kemudian mengingkari
    pengetahuannya, dan tetap menyatakan ingin membunuh paman.

    Aku-lirik yang memilih membela keluarganya juga seolah menyatakan bahwa
    dirinya setia kepada keluarga. Namun, hal itu diduga hanyalah suatu pengalihan
    karena aku-lirik tidak dapat menjadi mediator di antara keluarganya dan
    keluarga pamannya sebagai upaya mencapai “kedamaian” karena, sekali lagi, paman
    telah mati. Singkatnya, aku-lirik seakan telah memiliki “kesetiaan” yang
    diperoleh dari upaya membela keluarganya untuk menutupi kenyataan menyakitkan
    bahwa dirinya gagal meraih “kedamaian”. Kedua tindakan aku-lirik, yakni membela
    keluarga dan keinginan membunuh paman, tidak lain adalah fantasi.

    Puisi terakhir yang hendak saya bahas berjudul “di ampenan, apa lagi yang
    kaucari?”. Puisi tersebut diletakkan dalam fragmen ketiga: Ampenan yang
    sekarang (kepulangan Kiki ke Ampenan). Saya kira, pembaca akan tahu melalui
    fragmen tersebut bahwa Kiki pernah meninggalkan Ampenan. Kemudian, melalui
    fragmen itu pula, pembaca akan tahu bahwa Kiki telah pulang ke Ampenan.

    Puisi yang sekaligus menjadi judul buku tersebut disajikan dalam bentuk
    monolog. Aku-lirik seolah berbicara kepada dirinya sendiri.

    di Ampenan, apalagi yang kaucari?
    kota tua yang hangus oleh sepi
    kali kecil menjalar di tengah mimpi
    di mana masa kecil mengalir tak henti
    … (Sulistyo, 2017: 59)

    Melalui kutipan tersebut, aku-lirik tampak membuktikan bahwa dirinya
    benar-benar tak punya daya untuk mengunjungi kembali Ampenan dengan kali kecil
    yang menampung masa kecil-nya. Yang
    ada tinggal kota tua yang hangus oleh
    sepi
    . Kali kecil yang dirindukan
    aku-lirik hanya berada di tengah mimpi, tak bisa ditemuinya lagi. Secara tidak
    langsung, masih ada yang hendak dicari oleh aku-lirik, yakni masa lalunya dalam
    dunia Ampenan yang dulu.

    Selanjutnya, aku-lirik mengamati gerak peradaban yang terjadi di Ampenan
    yang sekarang. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.


    hanya angin yang resah
    mondar-mandir dengan kaki patah
    dan di simpang lima itu
    akan kau temui kembali
    riwayat keluarga
    yang terus menggelepar
    di ingatanmu.
    (Sulistyo, 2017: 59)

    Bagi saya, angin dalam kutipan
    itu merujuk pada sebuah pergerakan. Artinya, masih ada peradaban yang bergerak
    di Ampenan ketika aku-lirik pulang ke sana. Namun, orang-orang di dalamnya
    resah. Antusiasme mereka pada masa lalu kini lenyap. Bahkan, peradaban yang
    dulu bagi aku-lirik begitu kuat dan mengesankan, sekarang, ketika dia pulang,
    menjadi timpang karena kaki-nya patah.

    Berdasar kutipan di atas pula, barangkali yang mendorong aku-lirik pulang
    ke Ampenan hanyalah kenangan keluarga
    yang terus menggelepar
    dalam ingatannya. Mungkin, kali ini, tindakan
    kepulangan aku-lirik berasal dari keinginannya sendiri. Namun, di sisi lain,
    aku-lirik ingin mendapatkan kembali masa
    kecil
    -nya lewat kepulangannya. Padahal, aku-lirik tahu bahwa masa kecil-nya tidak akan bisa diraih
    kembali dan selamanya hanya akan tinggal di tengah mimpi. Karena itu, beberapa
    pertanyaan kemudian muncul: mengapa aku-lirik tetap pulang ke Ampenan? Apakah
    aku-lirik sekadar ingin menyapa Ampenan yang pernah dia tinggalkan? Apakah
    aku-lirik sekadar hendak mengingat? Apakah aku-lirik menganggap Ampenan sebagai
    temannya? Apakah aku-lirik menganggap Ampenan adalah dirinya sendiri, karena
    keduanya sama-sama berubah?

    Saya berasumsi, aku-lirik pulang ke Ampenan untuk membuktikan kepada
    dirinya sendiri bahwa dirinya masih ada, sebagaimana Ampenan yang juga masih
    ada. Dengan kata lain, aku-lirik melihat (ada dan tidaknya) dirinya sendiri
    melalui Ampenan. Namun, aku-lirik sinis terhadap kenyataan yang dia ketahui
    bahwa sebenarnya dirinya dan Ampenan sudah tidak ada dan tak akan bisa
    ditemukan kembali. Sebab, bagi aku-lirik, dirinya adalah dirinya yang dulu dan
    Ampenan adalah Ampenan yang dulu. Karena itu, kepulangan aku-lirik adalah
    sebuah fantasi yang menyediakan pengakuan bagi aku-lirik dan Ampenan bahwa keduanya
    masih ada.

    Karena ketiga puisi yang telah dibahas di atas saya pilih berdasar daya
    representatifnya, saya dapat mengatakan bahwa upaya Kiki menulis puisi Di Ampenan, Apa Lagi Yang Kau Cari?
    (2017) merupakan semacam fantasi untuk mendamaikan dua gejolak dalam dirinya,
    yakni kehilangan traumatis akan masa
    lalunya
    serta kegagalan untuk
    mendapatkan kembali masa lalunya
    .

    Sumber:

    Sulistyo, Kiki. 2017. Di Ampenan, Apa Lagi Yang Kau Cari? Yogyakarta:
    Basabasi.

  • Membangun Ruang untuk Kenangan dengan Membiarkan Api Membakar Seluruh Kota

    author = Esha Tegar Putra

    Hadir dari ketidak-terikatan terhadap pola pengucapan tradisi lisan adalah sebuah tantangan sekaligus keberuntungan dalam proses perpuisian Aan Mansyur. Dengan ketidak-terikatan tersebut ia bebas memadu-padankan model-model perpuisian modern di Indonesia dan pencariannya terhadap sumber perpuisian dunia. Terkadang, dengan ketidak-terikatan itu pula pola perpuisiannya terasa keras-kepala, tergoda dengan gerak rima, dan berusaha memadankan keluwesan struktur puisinya dengan pola berbahasa dalam kelisanan.

    Dalam beberapa kali perbincangan saya dengan Aan Mansyur, ia memang mengakui bahwa tubuh dan pikirannya tidak hadir dari tradisi perpuisian di mana rajutan kata-kata njelimet, kemegahan bunyi, dan keketatan pola menjadi piranti utama dalam praktik penghadiran puisi-puisinya. Sebuah proses yang sangat berbeda dengan generasi penyair yang lahir dari pola kelisanan. Di mana keketatan struktur, rima, hingga sampai pengaturan napas keterbacaan kata menjadi barang mewah yang musti turut dijaga sedemikian rupa ketika sebuah puisi dituliskan. Pola yang rata-rata biasa kita temukan pada generasi penyair Sumatera, Jawa, dan Madura.

    Jika memperhatikan proses perpuisian Aan Mansyur dari periode 2005-an maka akan terlihat jelas modus-modus seperti apa yang digunakannya dalam menyiasati ketidak-terikatannya tersebut. Kita dapat menyimak penuturan Aan Mansyur di berbagai perbincangan bahwa ia sendiri dalam proses berbahasa bermasalah dengan tata bahasa Indonesia di awal proses keepenyairannya. Ada kegamangan, sekaligus kesadaran penuh, bahwa penggunaan piranti bahasa Indonesia tidak semudah ketika ia menggunakan bahasa Bugis sebagai ‘bahasa ibu’[1]Catatan terbaru mengenai persoalan bahasa ini dapat dibaca pada tulisan berjudul “Lapis Pikiran M. Aan Mansyur” di https://beritagar.id/artikel/figur/lapisan-pikiran-m-aan-mansyur (diakses 26 … Continue reading. Barangkali hal ini pula membuat Aan Mansyur tampak menonjol dan mencuri perhatian pada periode 2005-an hingga kini. Ia datang dari sebuah jeda, dari kerumpangan proses regenerasi kepenyairan di Sulawesi Selatan. Periode di mana kita akan sulit sekali menemukan dan membaca puisi-puisi karya orang muda dari daerah tersebut. Beberapa nama lintas generasi yang sempat saya baca karya mereka seperti Aspar Paturusi, Mochtar Pabotinggi, Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Nurba, dan Tri Astoto Kodarie[2]Beberapa nama bahkan sulit melacak karya mereka karena jarang menerbitkan di media pada periode tersebut. Salah satu buku membuat kumpulan puisi pilihan penyair muda dari Sulawesi Selatan adalah buku … Continue reading. Pasca kemunculan Aan Mansyur, kini mungkin kita sudah dapat melirik nama-nama lain dari Sulawesi Selatan yang belakangan kerap muncul karyanya di beerbagai media atau dalam buku antologi puisi tunggal.

    Kegamangan Aan Mansyur pada proses awal perpuisian itu pula barangkali yang membuat ia kemudian musti terikat dengan stuktur atau kebenaran stuktur bahasa Indonesia. Ia lebih banyak memunculkan warna pengucapan puisi bebas dengan kalimat-kalimat terkesan lengkap dan utuh. Komposisi puisinya adalah upaya untuk menuju kesederhanaan dan kewajaran dalam sebuah kalimat. Sebagaimana pernah diungkapkan Zen Hae dalam catatan berjudul “Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja” bahwa Aan Mansyur dalam puisi-puisinya berusaha untuk menyuguhkan kemudahan pemaknaan[3]Lihat catatan Zen Hae berjudul Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja, diterbitkan Koran Tempo secara bersambung dalam dua kali penerbitan, tanggal 13 dan 20 Juli 2018. . Ia tidak berupaya untuk mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas), sebagaimana banyak penyair segenerasi Aan Mansyur, yang berupaya menghadirkan tumpukan dan kocokan kata untuk mencapai keajaiban dan keganjilan. Sesekali, ia memang menampilkan permainan rima, tapi bukan merupakan pembayangan dari pantun dan syair.

    Ketidak-terikatan Aan terhadap pola pengucapan lisan, usaha menuju kesederhanan dan kewajaran, dan upaya untuk menyuguhkan kemudahan pemaknaan itulah yang kemudian membuat puisi-puisi Aan tampak bebas bergerak. Ia tidak lagi ambil pusing dengan bagaimana menata bahasa berima dari larik, bait, hingga keseluruhan puisi. Ia juga tampak bebas menyusun larik-larik puisi, seakan tidak terikat pada keketatan bentuk, dan membebaskan puisinya dari anasir pemaknaan bahwa puisi adalah kesubliman bahasa. Pendapat Sapardi Djoko Damono[4]Lihat catatan pembuka Sapardi Djoko Damono untuk buku puisi Melihat Api Bekerja, Gramedia Pustaka Utama, 2015 ada benarnya ketika kita memandang bagaimana wujud visual puisi Aan. Bahwa, melalui wujud visual puisi Aan kita akan sulit mengenali bagaimana posisi puisi modern sebagai sebuah bentuk komunikasi dalam perkembangan kesusastraan. Wujud visual puisi yang pada hari ini masih dianggap sebagai ciri utama puisi adalah berupa larik dan bait, yang menurut Sapardi, banyak orang mengatakan ketika berita di koran kalau dipotong-potong menjadi larik dan bait akan berubah menjadi puisi.

    Dan memang, kita tidak akan menemukan hal tersebut pada puisi Aan. Puisi-puisinya telah membebaskan diri dari ciri wutama ujud puisi yang masih dipahami sampai hari ini. Pada puisi-puisi yang akan dibahas kali ini kita juga akan dapat melihat bahwa puisi-puisi Aan bebas bentuk. Ia dapat disesuaikan wujudnya dalam berbagai ruang media pembacaan. Agaknya, lima puisi yang dikirimkan untuk diskusi di PKKH UGM merupakan bentuk asli dari yang pernah saya baca sebelumnya. Perihal ini yang membuat saya melacak kembali ke belakang mengenai bagaimana Aan berupaya untuk ‘bermain’ dalam puisi, mulai dari bentuk hingga ide penghadiran puisi. Barangkali perihal itulah yang kemudian membuat Aan menemukan formula di mana ia dapat mengabaikan atau membebaskan bentuk puisinya. Kita dapat melihat pada suatu ketika Aan dapat membuat judul-judul puisinya dengan kalimat memanjang yang seharusnya menjadi satu paragraf. Kita juga akan dapat membaca bagaimana suatu ketika ia mereproduksi teks dari media lain, foto dan lagu misalnya, ke dalam bentuk puisi bebas.

     

    Manusia, Kota, Ruang Banal

    Komposisi puisi Aan Mansyur dalam upaya menuju kesederhaan dan kewajaran dapat dilihat dalam lima puisi yang dikirimkan Aan Mansyur untuk diskusi ini. Masing-masing puisi berjudul “Menunggu Perayaan”, “Memimpikan Hari Libur”, “Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam”, “Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia”, “Melihat Api Bekerja”. Lima puisi ini pernah tergabung di dalam buku Melihat Api Bekerja (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Namun struktur (tipografi) puisi dalam buku tersebut berbeda ketika dibandingkan dengan puisi-puisi yang saya terima. Agaknya terdapat penyesuaian tata letak di dalam buku supaya seimbang dengan gambar-gambar perupa yang bekolaborasi dengan Aan Mansyur untuk buku tersebut[5]Kutipan dalam catatan ini merujuk puisi yang dikirimkan oleh Aan Mansyur. Di dalam buku Melihat Api Bekerja lebih ramping sedangkan yang dikirimkan untuk diskusi ini sepertinya merupakan versi awal … Continue reading. Saya pernah menuliskan catatan mengenai puisi Aan Mansyur berjudul Banalitas Ruang dan catatan kali ini merupakan bagian sekaligus kelanjutannya.

    Pada catatan sebelumnya saya mengungkapkan bahwa puisi “Melihat Api Bekerja” merupakan pintu untuk memasuki puisi-puisi lain dalam buku yang judulnya memakai puisi tersebut. Ada satu peristiwa pembacaan ketika saya memasuki puisi Aan Mansyur berjudul “Melihat Api Bekerja” tersebut. Peristiwa ini merupakan sebuah ketaksengajaan ketika saya menemukan hubungan interteks puisi Aan dengan karya lain. Puisi tersebut mengingatkan saya pada satu adegan dalam novel Norwegian Wood, karya Haruki Murakami.

    Adegan ketika tokoh Watanabe berkunjung ke rumah Midori di distrik Toshima. Saat itu terjadi kebakaran dekat rumah Midori. Mereka berdua naik ke lantai tiga rumah, tempat penjemuran, dan dari ketinggian itu mereka memandang daerah sekeliling. Mereka menonton kebakaran terjadi di rumah salah satu tetangga Midori. Puisi “Melihat Api Bekerja” langsung mengantarkan pikiran saya ke bagian adegan yang saya anggap sangat banal—dan kebanalan memang kerap dihadirkan Murakami dalam Norwegian Wood. Meskipun Aan Mansyur secara tidak sadar melakukan reproduksi teks terhadap adegan novel Murakami, tetapi teks dalam puisi-puisi Aan Mansyur sejauh pembacaan saya terhadap beberapa puisinya yang dimuat di halaman sastra media massa, atau dalam lima puisi yang dikirimkan untuk diskusi ini, cenderung menegasikan banalitas ruang.

    Aku-puisi Aan Mansyur kerap lahir dan memunculkan ruang dengan kepungan struktur atau sebuah sistem yang kian lama kian menjenuhkan. Mengekang dan mengikat erat tubuh dan pikiran aku-puisi (tokoh) di dalamnya. Sehingga aku-puisi dan tokoh lain dalam puisinya menciptakan realitas lain dalam kebanalan ruang tersebut. Aku-puisi Aan Mansyur terkadang berupaya untuk mengasingkan tubuh dan pikiran dari keruwetan sebuah ruang, kota misalnya. Aku-puisi berupaya menciptakan kebahagiaan lain di luar keberbahagiaan yang dirasakan orang kebanyakan. Begitu juga ketika menciptakan kesedihan. Seolah-olah kebahagian dan kesedian tersebut ingin diungkap dengan cara lebih intim. Kebahagiaan dan kesedihan seolah-olah perihal personal, bukan milik publik, dan barangkali tiap-tiap orang punya kebahagian dan kesedihan masing-masing yang sebenarnya tidak dapat dibagi dengan orang lain. Kebahagiaan dan kesediahan ‘aku’ yang tidak benar-benar dapat ‘kamu’ dan ‘kalian’ rasakan.

    Dalam adegan Norwegian Wood dapat kita baca, bagaimana narasi ketika Watanebe dan Midori santai minum kopi di lantai tiga rumah sambil melihat kebakaran. Api melahap rumah tetangga Midori dan asap sedang membumbung tinggi.  Mereka melihat api tersebut bekerja. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung-raung dari jalanan. Orang-orang di sekitar kebakaran turut melihat api bekerja. Watanabe dan Midori masih sempat berciuman dalam situasi seperti begitu. Mereka berdua cengengesan. Tiada rasa simpati dari dua tokoh tersebut muncul dalam narasi tersebut.

    Korelasi mengenai banalitas ruang dapat kita temui dalam lima puisi Aan Mansyur yang didiskusikan untuk hari ini—sebagaimana dapat kita temukan juga hampir pada keseluruhan buku Melihat Api Bekerja. Banalitas ruang memang menjadi kecurigaan saya terhadap konsep penciptaan puisi-puisi Aan Mansyur. Aan memiuh lirik puisi secara timpa-bertimpa mengenai beberapa peristiwa, meski kerap muncul aku-kamu-puisi yang apabila dibaca sepintas akan terkesan menyempit pemaknaannya, hanya akan memunculkan kausalitas aku-kamu-puisi. Namun, ketika puisi Aan terus dimasuki, aku-puisi secara terang-benderang menjadi representasi dari peristiwa yang mewakili realitas ruang bersama kita. Lihat bagaimana bait pertama puisi “Melihat Api Bekerja”:

    Di kota ini ruang bermain adalah sesuatu yang hilang dan tak seorang pun berharap menemukannya. Anak-anak tidak butuh permainan. Mereka akan memilih kegemaran masing-masing setelah dewasa. Menjadi dewasa bukan menunggu negara bangun. Menjadi dewasa adalah menu favorit di restoran cepat saji.

    Dalam bait tersebut ‘kota’ telah menjadi ruang banal dan menciptakan manusia dengan ketidakberperasaan (senselessness)—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang dalam Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003)—manusia yang tidak mampu lagi merasakan dan lahirlah “anak-anak” yang tidak lagi membutuhkan ruang “permainan”. Manusia yang membiarkan “ruang bermain” hilang begitu saja dan tidak berharap lagi menemukan ruang kegembiraan tersebut. Manusia dengan cara berpikir yang dipengaruhi hasrat untuk lebih praktis seperti “restoran cepat saji”, di mana mereka tidak lagi memerlukan permenungan, refleksi, dan sublimasi dalam menelaah kemanusiaan mereka.

    Bait kedua puisi Melihat Api Bekerja seakan mempertegas sosok manusia yang hadir dalam banalitas ruang. Bait puisi tersebut membenturkan mengenai kebutuhan dan hasrat besar manusia akan ‘pagar’ (rumah) ketimbang ‘pendidikan’. Manusia yang lebih memilih membangun ‘pagar’ dibanding ‘sekolah’.  ‘Sekolah’ seakan hanya jadi ruang beristirahat dari kesuntukan perkelahian di ‘rumah’:

    Para tetangga lebih butuh pagar tinggi daripada pendidikan. Sekolah adalah cara terbaik untuk istirahat berkelahi di rumah. Anak-anak membeli banyak penghapus dan sedikit buku. Terlalu banyak hal yang mereka katakan dan gampang jatuh cinta. Mereka menganggap jatuh cinta sebagai kata kerja dan ingin mengucapkannya sesering mungkin. Mereka tidak tahu jatuh cinta dan mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda.

     

    Saya teringat sebuah esai Avianti Armand dalam buku Arsitektur yang Lain[6]Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur (Gramedia, 2011)ketika simbolisasi ‘pagar’ sebagai bagian dari ruang banal dihadirkan Aan Mansyur dalam puisi tersebut. “Mungkin memang ada fungsi simbolis selain fungsi praktis yang dihadirkan oleh pagar. Menegaskan hierarki, misalnya…” tulis Avianti tentang pagar rumah masyarakat di sebuah kota. Avianti memaknai kebutuhan manusia akan pagar tinggi adalah fenomena masyarakat yang paranoid. Fenomena tersebut dianggap sebagai cerminan keadaan sosial yang lebih luas: disparitas dalam masyarakat, ketimpangan kaya-miskin, dan tak adanya penegakan hukum yang baik. Masyarakat terpaksa mengambil tindakan sendiri untuk menjaga hak miliknya dan melindungi dirinya dari bahaya. Kota telah berkembang menjadi ancaman dan pagar sekedar bentuk tangible (nyata) dari rasa ketidakamanan dan ketidak percayaan yang akut.

    Simbol ‘pagar’ tinggi yang dimaksud Avianti baik mengenai masyarakat paranoid, ketimpangan sosial, dan tak adanya penegakan hukum yang baik barangkali hampir sama dengan “hidup dalam kehilangan”, “harapan”, dan “hidup tanpa curiga” yang dianggap sebagai “hidup yang terkutuk” dalam bait puisi “Melihat Api Bekerja” selanjutnya:

    Jalan-jalan dan rumah kian lebar. Semakin banyak orang hidup dalam kehilangan. Harapan adalah kalimat larangan, sesuatu yang dihapus para polisi setiap mereka temukan di pintu-pintu toko. Hidup tanpa curiga adalah hidup yang terkutuk. Kawan adalah lawan yang tersenyum kepadamu.

    Tiga bait puisi “Melihat Api Bekerja” di atas seakan terus memperlihatkan dan bahkan mempertegas bagaimana cara Aan Mansyur selaku penyair untuk terus menghadirkan bagian dari banalitas ruang (kota) melalui teks puisi. Aan Mansyur seakan merancang arsitektur untuk ruang privat dan kolektif yang penuh dengan kebanalan. Ia membenturkan realitas kehidupan di dalamnya lantas menciptakan sebuah realitas lain yang sebenarnya semu. Dalam kondisi tersebut, pada bait puisi selanjutnya, aku-puisi muncul di tengah kondisi ruang banal dengan citraan masyarakat yang tidak berperasaan. Aku-puisi hadir  di tengah masyarakat yang dalam istilah Yasraf telah menjadi mesin-mesin paranoia global. Masyarakat yang membentangkan semacam diseminasi global semiotik (global semiotic dissimination) dengan menyebarkan citra kekerasan, ketakutan, kecurigaan, kebencian dan kutukan, dalam skala besar dengan segala manipulasi dan simulasinya. Lihat bagaimana aku-puisi muncul dalam bait keempat puisi “Melihat Api Bekerja”:

    Selebihnya tanpa mereka tahu, sepasang kekasih diam-diam ingin mengubah kota ini jadi abu. Aku mencintaimu dan kau mencintaiku—meskipun tidak setiap waktu. Kita menghabiskan tabungan pernikahan untuk beli bensin. Kita akan berciuman sambil melihat api bekerja.

    Aku-puisi dan seseorang lain dengan sebutan ‘kekasih’ hadir sebegai sepasang manusia sadar akan ruang. Sepasang kekasih dengan cara diam-diam berkeinginan mengubah kota menjadi abu. Sepasang kekasih yang berencana menghabiskan tabungan pernikahannya untuk membeli bensin dan mereka akan melakukan adegan seperti Watanabe dan Midori dalam novel Norwegian Wood. Jika ‘api bekerja’ dalam novel Murakami adalah semacam peristiwa yang kebetulan belaka, maka ‘api bekerja’ dalam puisi Aan Mansyur merupa niat dan keinginan aku-puisi dan ‘kekasih’ untuk menghabisi seluruh kota dengan api. Menjadikan kota sebagai abu. Niat atau sebuah usaha untuk menghancurkan apa yang dianggap sebagai realitas  semu  oleh aku-puisi dan kekasihnya.

    Jika kita menelusuri karya Aan yang lain, kita dapat menyimak bagaimana puisi-puisinya selalu berupaya untuk menghadirkan citraan banalitas manusia-manusia kota, serta keterasingan tubuh mereka dengan lingkungan mereka sendiri. Hal tersebut dapat kita temui di empat puisi Aan yang lain untuk diskusi kali ini. Khusus puisi Melihat Api Bekerja, jika pembaca dengan telitik proses perkembangan karya Aan, kita juga akan dapat melihat, betapa puisi ini turut mempengaruhi pengembangan cerita karyanya yang lain, yaitu cerpen berjudul Saya yang Membakar Kota M Sekali Lagi[7]Dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 23 Januari 2016..

    Kota, manusia kota, dan banalitas ruang dapat kita lihat pula pada puisi “Memimpikan Hari Libur”. Pada puisi tersebut, terlapat lompatan-lompatan peristiwa, seperti kolase di mana komposisi artistik beberapa peristiwa timpa-bertimpa dan memunculkan bagaimana aku-puisi di dalamnya memimpikan sebuah hari libur. Saya membayangakn betapa aku-puisi dalam puisi tersebut seakan kian terasing, tubuh dan pikirannya direbut oleh situasi kota, hingga untuk sebuah hari libur saja si aku-puisi hanya dapat memimpikannya. Pada bait pembuka puisi tersebut kita dapat melihat bagaimana gambaran manusia kota memaknai hari libur. Gambaran yang turut membuat pembayangan kita seakan dibangun dari kolase “bunga”, “liburan”, “macet”, “supermarket”, “pelaburan udara”, “pantai”:

    Bunga-bunga di beranda tertawa melihat orang-orang melintas membawa kendaraan berlibur ke tempat ramai. Kemacetan, supermarket, pelabuhan udara, atau pantai. Hujan bergegas pulang ke langit setelah bekerja keras semalaman.

    Simbol-simbol penggambaran situasi manusia kota kemudian pada bait selanjutnya ditimpa dengan kehadiran aku-kamu-puisi di mana “aku” dan “kamu (kau)” juga disusupkan dan barangkali menelusup jauh dalam situasi manusia kota. Di bagian tersebut pula puisi Aan hendak menghadapkan romantisme manusia kota dan bagaimana manusia kota seakan berupaya menemukan sesuatu tentang dirinya pada barang, benda, atau sifat dari benda. Kita dapat melihat bagaimana “puisi” menjadi benda di mana “kamu (kau)” memanifestasikan bagian dari tubuhnya sendiri. Bagaimana “kamu (kau)” dihadirkan “tenggelam di halaman koran Minggu, membiarkan sejumlah puisi berisi masa depan dan masa lalu membaca matamu”. Ada dua kemungkinan penggambaran yang diberikan atas “kamu (kau)” dalam puisi tersebut. “Kamu (kau)” yang benar-benar berhasrat untuk “terbenam” dam menyelam dalam puisi di halaman koran Minggu, atau barangkali “kamu (kau)” hany berhasrat pada tubuhnya seeendiri, “kamu (kau)” hanya hendak menerka-nerka bahwa puisi tersebut memanifestasikan “mata”-nya: “Kau mengenali puisi-puisi itu. Puisi ini meniru mataku, katanya sembari mengulang-ulang nama penulisnya. Namaku”.

    Salah satu kegemaran Aan memang memadukan peristiwa banal dengan romantisme. Barangkali hal tersebut yang membuat puisi-puisi Aan dapat menempati posisi strategis di mana ketika puisinya berkisah tentang “cinta” dan  “kesepian” antara “aku” dan “kamu”, puisinya tidak terjebak pada ungkapan cinta semenjana dan tidak kehilangan pukau puitiknya. Posisi strategis tersebut dapat kita lihat dari bagaimana Aan dari awal puisi tidak pernah menghadirkan aku-puisi beresama dengan kamu-puisi dalam pusaran peristiwa puisi. Aku-puisi hadir pada kamu-puisi hanya dari keterwakilan “koran” dan “puisiku”, koran Minggu yang memuat puisi-puisi si aku-puisi dalam puisi Memimpikan Hari Libur. Aku-puisi dan kau-puisi dibuat sebagai dua orang terpisah, tidak saling mengenal, sama-sama berupaya memaknai bagaimana seharusnya mereka menikmati hari libur dan hanya dipertemukan melalui puisi di koran Minggu. Perihal tersebut dapat kita lihat pada bait ke tiga, empat, dan satu baris penghabisan puisi:

    Astaga! Kau mengagetkan pagi seperti kota membangunkan kesepian. Koran dan puisiku jatuh menimpa dan menumpahkan buah-buahan dari gelas yang telah menempuh usia dan perjalanan jauh demi menjilat lidahmu.

    Aku bangun seperti hujan yang pulang ke langit. Kepalaku tidak berada di tempat yang tepat. Aku berjalan ke kamar mandi bersama potongan-potongan mimpi. Pikiranku seperti lukisan Frida Kahlo atau kisah-kisah Italo Calvino. Aku memasukkan diriku ke dalam hari libur dan harapan bisa menemukan siapa namamu.

    Sejak hari itu, aku tidak bisa tidur lagi. Juga kau dan kesepian barangkali.

    Kita dapat membaca pada bait-bait di atas bagaimana aku-puisi dan kamu-puisi hadir dalam dua peristiwa dan dalam ruang berbeda pula. Kamu-puisi dengan peristiwa koran dan puisi jatuh dilanjutkan dengan kalimat mujarab “gelas yang telah menempuh usia dan perjalanan jauh demi menjilat lidahmu”—kalimat ini saya anggap strategis ketika Aan bermain dengan puisi romantis, aku tidak langsung dihadirkan, tapi melalui pengandaian benda lain untuk mencapai kamu-puisi. Atau barangkali sebenarnya kamu-puisi berada dalam mimpi aku-puisi? “Kamu” tidak benar-benar ada, hanya pembayangan dari “aku” dalam mimpi, dan peristiwa mengenai “kamu” itulah sebenarnya sebuah upaya untuk “memimpikan hari libur” yang menjadi tajuk dari puisi tersebut. Hari libur hanya dapat dinikmati ketika “aku” memimpikan “kamu”, tidak dapat diraih sebagai mana usaha manusia-manusia kota lain meraih hari liburnya, dengan “berkendaraan ke tempat ramai”.

    Dan ketika “aku” terbangun dari tidurnya? Di tahapan ini aku-puisi seakan kehilangan sebuah peristiwa, barangkali hari libur yang hanya bisa ia mimpikan tercerabut karena terbangun, dan peristiwa kehilangan tersebut digambarkan seperti “hujan yang pulang ke langit”. Saya membayangkan peristiwa ini seperti proses evaporasi (penguapan), proses pembentukan awal hujan, di mana ketika proses akhir limpasan, air menguap naik hingga menjadi awan. Dan mimpi aku-puisi tentang hari libur dan peristiwa hadirnya “kamu” sebagaimana diumpamakan “hujan” menguap kembali pada “langit”. Pada bagian ini aku-puisi juga terbangun dengan pembayangan bahwa kepalanya “tidak berada pada tempat yang tepat”, ia berjalan “ke kamar mandi bersama potongan-potongan mimpi” yang dibangun dari awal dari peristiwa seperti kolase. Kondisi “kepala”, “potongan-potongan mimpi”, serta “pikiran” aku-puisi ketika terbangun turut didukung oleh pnghadiran bahwa ia sedang dalam kondisi seperti dalam lukisan Frida Kahlo atau kisah Italo Calvino.

    Marxism Will Give Health to The Sick 1954 – Frida Kahlo

    Kita dapat sedikit mereka-reka apa yang dimaksud aku-puisi Aan ketika pikirannya seperti lukisan Frida Kahlo. Penghadiran satu lukisan Frida Kahlo di atas merupakan pembayangan, di antara sebagian besar lukisan Kahlo bercorak surealis, di mana di dalam satu bingkai hadir beragam simbol-simbol berserakan. Begitu juga dengan kisah Italo Calvino, hadir mendampingi Frida Kahlo dalam untuk menggambarkan kondisi pikiran aku-puisi, Calvino yang kerap dirujuk sebagai seeorang pascamodernis di mana ia kerap mengekplorasi permainan tanda-tanda dalam karyanya.

    Barangkali puisi “Memimpikan Hari Libur” memparafrasekan peristiwa manusia kota di mana hari libur terbaik berada di dalam mimpi. Sebagimana aku-puisi dengan peristiwa seperti kolase dipenuhi simbol-simbol di kepalanya ketika ia terbangun dari peristiwa mimpi. Ia berharap dapat masuk lagi ke peristiwa mimpi, ke dalam “hari libur”, di mana ia berharap “bisa menemukan siapa namamu”. Tapi aku-puisi, sejak ia tebangun dengan kondisi yang barangkali sureal, ia tidak dapat tidur lagi. Ia tidak dapat menemukan hari libur lagi dan tidak bisa kembali menemui “kamu”. “aku”, “kau (kamu), dan “kesepian” dalam pengakhiran puisi tersebut dihadirkan tidak lagi dapat tidur. Saya membayangkan bagaimana sebuah “kesepian” tidak dapat tidur untuk memasuki hari liburnya. Sungguh sebuah peristiwa banal dan sureal untuk penggambaran manusia-manusia kota dengan kompleksitas permasalahan ruangnya.

    Puisi “Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia” dan “Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam” membawa persoalan hampir sama dengan “Melihat Api Bekerja” dan “Memimpikan Hari Libur”. Ada peristiwa-peristiwa banal yang kemudian menginterupsi bagian-bagian dari puisi Aan yang bercerita perihal cinta dan kenangan.

     

    References

    References
    1 Catatan terbaru mengenai persoalan bahasa ini dapat dibaca pada tulisan berjudul “Lapis Pikiran M. Aan Mansyur” di https://beritagar.id/artikel/figur/lapisan-pikiran-m-aan-mansyur (diakses 26 Maret 2018).
    2 Beberapa nama bahkan sulit melacak karya mereka karena jarang menerbitkan di media pada periode tersebut. Salah satu buku membuat kumpulan puisi pilihan penyair muda dari Sulawesi Selatan adalah buku tak ada yang mencintaimu setulus kematian (Logung Pustaka & Akar indonesia, 2004). Buku tersebut merupakan program Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta,  berupa penerbitan karya para penyair dan cerpenis Indonesia yang tampil di Taman Ismail Marzuki, 14-17 September 2004. Program ini menerbitkan tujuh buku (puisi dan cerpen) dari tujuh provinsi pilihan dan empat penyair muda Sulawesi Selatan terpilih Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Wahyu Nurba, dan Tri Astoto Kodarie, untuk diterbitkan puisi-puisi mereka dalam satu buku.
    3 Lihat catatan Zen Hae berjudul Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja, diterbitkan Koran Tempo secara bersambung dalam dua kali penerbitan, tanggal 13 dan 20 Juli 2018.
    4 Lihat catatan pembuka Sapardi Djoko Damono untuk buku puisi Melihat Api Bekerja, Gramedia Pustaka Utama, 2015
    5 Kutipan dalam catatan ini merujuk puisi yang dikirimkan oleh Aan Mansyur. Di dalam buku Melihat Api Bekerja lebih ramping sedangkan yang dikirimkan untuk diskusi ini sepertinya merupakan versi awal dengan struktur seperti prosa, menyesuaikan dengan marjin pengetikan.
    6 Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur (Gramedia, 2011
    7 Dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 23 Januari 2016.

  • Membaca Tipu Daya Kitab Kritik Sastra Maman S. Mahayana

    author = Afid Baroroh

    Tahun 2015 sampai ke tahun 2017 sebenarnya hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk bisa dikatakan ganjil, meski kedua tahun tersebut memang sudah ganjil. Namun, tepat di tahun ini saya rasa keganjilan itu makin menjadi saja ketika membaca Kitab Kritik Sastra karya Maman S. Mahayana. Kitab tersebut terbit tahun 2015. Saya baru membacanya ulang di tahun 2017. Tahun yang sama-sama ganjil.  

    Sebagian pembaca mungkin akan bertanya-tanya apa keunggulan dari kitab ini? Silakan. Apabila pembaca berpegang teguh pada kitab tersebut, mulailah dengan membaca pada bagian sampul belakang—sudah tertulis secara pragmatis untuk membobol kantong (calon) pembaca agar segera membelinya, dan dimiliki layaknya al-kitab sebagai pedoman. Ditambah lagi, dalam kitab yang ditulis Mahayana ada bahasan mengenai “Langkah Menuju (Praktik) Kritik Sastra: Sembilan Langkah Mangkus dan Satu Jurus Pamungkas!”. Khasiat-khasiat yang terkandung di dalamnya perlu dibagikan secara cuma-cuma, sebab Naveau dalam Kata Pengantar di buku Mahayana mengatakan bahwa, “Sudah waktunya pembaca coba membuka buku Mahayana.” Hasilnya? Bagi saya pribadi, sembilan langkah dan satu jurus pamungkas itu mampu membentuk pembaca seperti saya (mahasiswa biasa) terkatung-katung dalam tipu daya. Bahaya, jika saya mengkonsumsi kitab ini hanya seorang diri. Saya perlu membagikannya agar tidak disebut sesat atau salah kaprah seperti yang dikatakan Mahayana (2015: xi).

    Mahayana mengatakan pandangan keliru itu berdasarkan pada hakekat dan fungsi kritik sastra yang hanya berada dalam wilayah sakral dunia akademik. Atas dasar itu, Mahayana mengklasifikasikan jenis kritik sastra menjadi dua: ilmiah dan umum. Adapun yang dimaksud kritik sastra ilmiah adalah kritik yang biasanya hadir dalam penelitian sastra, seperti yang dilakukan oleh para akademisi sastra. Berbeda dengan kritik sastra ilmiah, kritik sastra umum dituliskan dengan media yang digunakan, bisa berupa majalah, surat kabar, dsb., selama itu difungsikan untuk masyarakat berbagai kalangan dengan latar belakang pendidikan yang beraneka ragam. Kritik sastra umum tidak hanya dituliskan bagi kalangan akademisi, tetapi masyarakat luas juga dapat menulis kritik sastra.

    Klasifikasi ini ditunjukkan agar tidak ada lagi anggapan bahwa kritik sastra dianggap sakral hanya untuk kalangan akademikus saja. Saya pribadi tidak berkehendak menggolongkannya pada dua klasifikasi itu, sebab mengklasifikasikan jenis kritik sastra sungguh membutuhkan tanggung jawab yang cukup berani di dalamnya. Oleh karenanya, saya hanya berintensi untuk melihat tanggung jawab yang barangkali tercermin di dalam Kitab Kritik Sastra yang ditulis oleh Mahayana. Tanggung jawab inilah yang akan terus diuji dalam bayang-bayang tipu daya.

    ***

    Layaknya sebuah kitab, Kitab Kritik Sastra sarat dengan ajaran-ajaran tertentu. Mahayana menunjukkan hal itu dengan sembilan langkah mangkus dan satu jurus pamungkas. Sakti! Walaupun tidak ada yang menjamin jurus pamungkas itu berhasil atau tidak, yang jelas kata “sakti” cukup untuk menyandingkan sembilan langkah dan satu jurus yang ada pada Kitab Kritik Sastra, sebagai bentuk apresiasi. Akan tetapi, hal pertama yang harus saya lakukan sebelum menjadi orang sakti adalah menyelamatkan diri saya (dan juga pembacaan kritik sastra saya) terlebih dahulu dari tipu daya yang bekerja di dalam kitab tersebut.

    Dengan cara apa? Saya akan berusaha menuliskan kembali sembilan langkah mangkus dan satu jurus pamungkas itu dengan cara yang lain. Mengapa demikian? Sebab, menurut Mahayana,  “Pertanyaan klasik yang acap dilontarkan beberapa mahasiswa, guru, dan teman-teman sastrawan atau mereka yang ingin menulis kritik sastra di antaranya adalah bagaimana cara menulis kritik sastra? Apa yang mesti ditulis dan bagaimana saja yang perlu dijadikan sasaran kritik? Lalu, bagaimana pula cara melakukan penilaian atas sebuah karya, dan seterusnya, dan seterusnya …” (2015: xxxi). Pertanyaan itu juga mungkin akan hadir dalam tulisan ini. Meski entah mau sampai kapan “dan seterusnya” itu hadir, tapi patutlah diapresisasi sembilan langkah mangkus dan satu jurus pamungkas yang berusaha ditulis oleh Mahayana sebagai jawaban atas pertanyaan yang selalu hadir di pergaulan sastra mereka. Dan, saya menuliskannya dengan cara yang lain. Mari membaca.

     

    Pertama: Membaca Tuntas Karya Sastra

    Mahayana, menganjurkan pembacaan karya sastra secara tuntas. Seperti yang dikatakannya dengan lugas, “Bagaimana mungkin dapat melakukan kritik sastra tanpa membaca bahan yang hendak dikritiknya?” Maka, membaca karya sastra secara tuntas adalah hal yang diutamakan dalam pembacaan pertama. Memang membaca karya secara tuntas merupakan tonggak utama dalam menulis kritik sastra, akan tetapi, apakah pembacaan tersebut hanya bersifat konstruktif? Bagi Mahayana, pembacaan secara konstruktif itu diperlukan untuk keberlangsungan apresiasi sastra. Kritik sastra adalah apresiasi atas satu (atau beberapa) karya sastra (2015: xxxii).

    Konstruktivitas tersebut dikedepankan oleh Mahayana dengan menunjukkan kritik sastra yang objektif, dengan tidak menunjukkan kritik hanya sekadar suka atau tidak suka. Mahayana juga mengatakan bahwa membaca karya sastra sebagai bahan tulisan kritik adalah menjauhkan dari pemberhalaan pada teori-teori sastra. Pengetahuan dan pemahaman pada sejumlah teori sastra tentu saja sangat penting, namun memberhalakan teori itu secara berlebihan dan menempatkan diri sebagai penganut teguh yang penuh dengan ke-taklid-an sungguh tidak elok.

    Elok (tidak elok) dan memberhalakan teori (atau pun tidak) sama saja sebagai tipu daya konstruktif dalam kritik sastra. Sebenarnya tidak ada yang keliru dari kerja kritik sastra yang konstruktif. Tapi, sejauh manakah konstruksi yang hendak dibangun dalam kritik sastra pada pembacaan pertama adalah hal yang patut diragukan bagi sebuah pembacaan kritik sastra. Jangan biarkan pembacaan dalam kritik sastra dikoyak-koyak ke-ngawur-an yang entah di mana ia bertumpu, dan kemana ia bekerja sebagai kritik sastra. Bagi Mahayana, dalam pembacaan pertama dianjurkan untuk, “(Mem)biarkan proses pembacaan karya sastra berlangsung alamiah, mengalir wajar.” Alamiah? Mengalir wajar?

    Jika demikian adanya, apa objektivitas kritik sastra yang dimaksud? Bagi Mahayana, cukup hanya menanggalkan prasangka suka atau tidak suka. Apakah itu cukup utuk menunjukkan keobjektifan dalam pembacaan karya yang akan menciptakan penulisan kritik sastra?

    Sastra adalah milik bahasa. Jika kita masih bertumpu pada Kitab Kritik Sastra Mahayana, seharusnya pembacaan karya sastra tidak untuk mengkonstruksi pengarang ataupun karyanya secara berlebihan untuk menunjukkan “kelebihannya” semata. Terlebih lagi konstruksi dalam elaborasi para kritikus sastra. Jika hal ini terjadi, maka karya dan kritik sastra tidak dialogis terhadap pembaca lainnya. Dengan kata lain, kritik sastra hanya dipekerjakan untuk tipu daya kritis sebagai bentuk konstruksi yang bersandar pada satu titik tumpu saja.

    Mengenai muatan karya yang terkandung, keunikan, dan segala bentuk tema-tema permasalahan yang diangkat di dalamnya, cukuplah ditangguhkan terlebih dahulu untuk menandainya. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan apa yang-lain dalam kerja pengarang, karya dan kritikus yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari konteksnya. Di sinilah tanggung jawab kritik bagi pembaca sekelas mahasiswa seperti saya yang akan menuliskan kritik sastra. Pembacaan tidak hanya sekadar bertujuan mengkonstruksi karya, tapi menguji konstruksi apa di dalamnya sekaligus.

    Dengan demikian pembacaan pertama seharusnya adalah “melipat-gandakan” pembacaan secara menyeluruh dengan mencermati apa yang seharusnya hadir, dan apa yang senyatanya hadir dan tidak dihadirkan. Apa yang memungkinkan untuk terjalinnya makna secara tekstual dan apa yang mengingkari maknanya ketika konteks dan referens di dalam karya terbuka sebagai suatu pembacaan kritik sastra.

    Mengapa melibatkan konteks dan referens? Konteks untuk menunjukkan kondisi teks, yang melibatkan pengarang di dalamnya. Kondisi ini juga melingkupi pada apa yang terkandung di dalam teks. Konteks memungkinkan untuk adanya jalinan yang menggunakan pelbagai referens di dalamnya. Referens yang sebagai teks dan (teks di dalam) konteks merupakan pondasi kuat untuk terciptanya makna yang diusung dalam sebuah karya, bahkan sampai pada teks kritik sastra.

    Bagaimana cara mengetahui hal itu? Tentu tidak hanya dengan mengasingkan perasaan suka atau tidak suka untuk menunjukkan keobjektifan kritik sastra, atau yang hanya sekadar apresiasi sastra yang bersifat konstruktif—betapa pun hal ini dibiarkan begitu saja mengalir pada proses pembacaan pertama seperti yang dikatakan Mahayana, sehingga efek dari pada itu adalah terjadi hingar. Mahayana menyebut hingar (noise), pembacaan terhadap karya tidak dapat masuk-menyatu dalam dunia yang digambarkan teks sastra.

    Oleh karenaya, cara mengetahui terjadinya konteks dan referens di dalam teks itu dengan menggunakan wawasan dan pengetahuan terhadap teks, referens dan konteks. Pada titik ini, pendekatan dari teori tertentu digunakan untuk mendapatkan hal tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari tipu daya kritik dengan melakukan objektivikasi secara kompeten sejak dalam pembacaan; pembacaan yang mampu membuat jarak antara pengarang dan karyanya dan pembacaan yang mampu menciptakan sistem yang heterogen. Ini memungkinkan untuk melakukan pembacaan pertama dengan terus melibatkan diri pada konteks dan referens di dalam teks untuk menelisik konstruksi makna.

     

    Kedua: Menanggulangi Miskomunikasi

    Sebenarnya, tidak harus kiranya menanggulangi miskomunikasi jika dalam pembacaan pertama si pembaca sudah disiplin. Pendisiplinan diri dalam pembacaan karya dapat dilakukan dengan tidak membiarkan proses pembacaan mengalir begitu saja tanpa arah, tanpa basis pengetahuan kritik sastra dan pengetahuan mengenai referens dan konteks yang terkandung di dalam karya.

    Miskomunikasi atau hingar itu terjadi ketika langkah kedua mungkas Mahayana tidak memiliki basis kritik sastra yang jelas. Alih-alih berusaha menegaskan dalam penelitian yang berbentuk ilmiah untuk tidak memberhalakan teori, atau berusaha mengobjektifkan suatu pembacaan untuk karya sastra. Memang hal itu diperlukan, akan tetapi dengan membiarkan pembacaan karya sastra tanpa basis kritik sastra merupakan kecelakaan yang sengaja dibentuk dalam konstruksi pembacaan karya. Kecelakaan ini berimplikasi pada minimnya wawasan di dalam diri si pembaca untuk mengetahui konteks dan referens di dalamnya.

    Apabila hal itu secara sengaja tetap dibiarkan “tertulis” dalam Kitab Kritik Sastra, tidak heran rasanya apabila Mahayana terlalu menyudutkan bahasa, metafora dan makna-makna yang diciptakan oleh pengarang sebagai problem dari miskomunikasi di dalam pembacaan. Pembaca seolah-olah tidak mampu berhadapan dengan puisi yang syarat dengan permainan metafora dan sarana puitika di dalamnya; tidak mampu berhadapan dengan dunia absurd di dalam karya-karya Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma.

    Menanggulangi hal itu, Mahayana menganjurkan untuk meninggalkan kesadaran kita tentang prinsip logika formal, hukum kausalitas, dan peristiwa faktual yang lazim untuk ditinggalkan. Sebagai gantinya, langkah utama yang perlu ditempuh adalah, “Baca saja dulu kalimat demi kalimat; nikmati peristiwa sebagai sebuah dongeng; masuk dan berintegrasi dengan kehidupan yang dikisahkan dalam teks.” (2015: xxxvii)

    Lagi, Mahayana justru membiarkan pembacaan sekelas mahasiswa seperti saya tetap berada di ambang. Langkah kedua ini lagi-lagi tidak pernah secara tegas untuk melakukan kritik sastra dengan baik. Apabila kita menyadari bahwa karya dan teks kritik sastra itu milik bahasa, maka, dengan arti lain, bahasalah yang menjadi penggerak mewujudnya suatu karya. Mengapa harus repot menanggulangi miskomunikasi? Miskomunikasi di sisi lain juga diperlukan untuk membentuk sistem heterogen dalam kritik sastra. Artinya, kritik yang dilakukan tidak hanya membangun sirkulasi diskursus dan kritik sastra yang hanya sekadar mengkonstruksi karya. Akan tetapi menunjukkannya dengan cara lain, atau mengganti makna yang diproduksi di dalam karya untuk mengakuisisinya sebagai kerja kritik yang tentu membutuhkan wawasan dan pengetahuan mengenai ilmu linguistik dan ilmu sastra.

    Kejelasan basis kritik sastra sangat diperlukan. Hal ini akan nampak pada aktulisasinya untuk melakukan identifikasi tokoh dan peristiwa dalam teks (berdasarkan pengalaman), serta menjadi bagian dari keseluruhan teks seperti yang dikatakan Mahayana. Hanya saja, tidaklah perlu menggunakan tipu daya kritik dengan gaya hiperbolis: “Laksana manunggal ing kawula gusti, imajinasi kita menjamahi setiap tokoh, setiap peristiwa.”

    Basis kritik sastra yang mumpuni berguna tidak hanya untuk menanggulangi miskomunikasi, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab dari kerja kritik sastra.  Apabila dalam pembacaan kritik sastra dibiarkan begitu saja mengalir tanpa arah dengan dalih menjamahi setiap tokoh dan peristiwa di dalamnya (pada novel-novel absurd misalnya), maka yang terjadi hanya mengulang kerja kritik sastra di era 70-an seperti Dami N. Toda.

    Contoh kasus ada pada Dami N. Toda dalam kritik sastranya yang membahas dan mencanangkan karya-karya di era 70-an sebagai wawasan estetika baru. Toda tidak menggunakan strategi pembacaan kritik sastra dengan berpegang teguh pada pendekatan teori dan topik yang hendak diulas. Toda membiarkan kritik sastranya terbawa arus pada apa yang dinyatakan pengarang, dengan membentuk sirkulasi diskursus pada penggunaan referens teori yang didomplengnya. Referens digunakan hanya untuk mengungkapkan apa yang sekiranya cocok saja. Hal itu terjadi apabila kita membiarkan kerja kritik sastra pada pembacaan pertama tanpa wawasan dengan pengetahuan akan kritik sastra.

    Lantas, masih diperlukankah bahasa yang hiperbolis untuk menanggulangi miskomunikasi? Satu yang seharusnya dipertegas kembali adalah jangan membiarkan proses pembacaan hanya mengalir begitu saja. Apabila hal ini tetap terjadi, maka proses menanggulangi atas ketidakpahaman akan kritik sastra akan terus terjadi. Pada titik inilah—sejak memulai pembacaan atas kerja kritik sastra—ia dituntut dengan bertanggung jawab atas kritiknya.

     

    Ketiga: Pembaca sebagai Subjek Kritik

    Langkah ketiga ini diperuntukkan pada pembacaan yang menuju kritik sastra. Mahayana  menganjurkan hal tersebut dengan menempatkan diri (pembaca) sebagai pembaca kritis. Satu yang menjadi titik keberangkatan sebagai pembaca kritis adalah menandai bagian-bagian yang penting di dalam teks, dan menyusun semacam daftar pertanyaan yang nantinya akan diuji secara kritis. Apabila hal ini dapat terealisasikan, menurut Mahayana, pembaca menempati dirinya sebagai pembaca konkret dengan mengungkapkan catatan kritisnya secara tertulis (2015: xxxix).

    Setelah langkah petama dan kedua dituliskan dalam Kitab Kritik Sastra, baru dilangkah ketigalah pembaca sebagai subjek kritik sastra ditekankan. Mengapa hal itu tidak dilakukan sejak dalam pembacaan pertama? Misalnya menandai setiap bagian teks sebagai bahan analisis yang dapat juga dilakukan pada saat pembacaan karya. Dengan dibekali wawasan kritik sastra yang jelas, pembaca sebagai subjek kritik sastra pun dapat dipertanggungjawabkan secara kritis.

    Seperti yang dinyatakan oleh Mahayana, bahwa segala ungkapan, kalimat, atau peristiwa yang menarik perhatian yang terdapat dalam teks sebagaimana digunakan oleh pengarang, seharusnya dapat digunakan juga untuk pembacaan kritis terhadap subjek kritik sastra. Dengan arti lain, kita dapat membaca kembali subjek Mahayana yang dengan jurus-jurusnya mampu menulis Kitab Kritik Sastra.  Tidak hanya berlaku untuk pembacaan terhadap teks pengarang, Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra-nya pun layak untuk diuji kembali apa yang penting dan meragukan di dalam argumentasinya.

     

    Keempat: Pembacaan Ulang

    Mengapa harus ada pembacaan ulang terhadap karya? Apa urgensi dari pembacaan ulang? Dalam istilah Mahayana, pembacaan ulang adalah pembacaan kedua. Di langkah keempat ini, Mahayana menekankan untuk adanya pembacaan ulang agar memperoleh makna baru atau makna lain yang lebih “terterima” dari pembacaan pertama. Fokus dari pembacaan kedua ini adalah memberi keyakinan, bahwa pemaknaan atas karya yang diperoleh pembacaan pertama dapat dipertanggungjawabkan.

    Begitulah kiranya pembacaan terjadi berkali-kali hanya demi mengkonfirmasi atas apa yang telah dibaca. Pembacaan ulang adalah perlu. Tidak bisa tidak, dalam kerja kritik sastra, konfirmasi terhadap makna secara tekstual terus diuji keberadaannya, baik secara makna di dalam referens dan konteks yang terjalin di dalamnya. Namun, urgensi dari pembacaan ulang ini untuk apa? Jika Mahayana menekankannya hanya pada “kelebihan” yang terkandung di dalam karya, apakah mengungkapkan kekurangan di dalam karya tidak sebagai kerja kritik sastra? Bagi Mahayana (2015: xxxix), kelebihan itulah yang perlu diungkapkan lebih luas dan mendalam dibandingkan mengungkapkan kekurangannya.

    Tujuan dari pembacaaan ulang adalah guna menemukan hal lain—makna baru atau aspek lain—yang memungkinkan luput dalam proses pembacaan pertama (2015: xl). Perihal ini lebih ditekankan pada proses analisis puisi. Hanya saja, apakah tidak diperuntukkan juga pada subjek pengkritik sastra atau yang menuliskan Kitab Kritik Sastra itu sendiri? Apakah itu tidak juga diberlakukan? Hal lain, makna baru atau aspek lain, apakah tidak juga untuk mengungkapkan kelemahannya, baik di dalam karya maupun di dalam subjek pengarang dan kritikus sastra? Apabila, kritik sastra hanya bersifat konstruktif (baik pada) kelebihannya saja? Apakah Kitab Kritik Sastra ini melarang untuk mengungkapkan kelemahan di dalam karya sebagai bentuk analisis? Apakah hal ini sengaja dibentuk sebagai tipu daya untuk melanggengkan khazanah dan kandungan Kitab Kritik Sastra yang tertutup pada bentuk kritik terhadap dirinya?

    Pembacaan ulang diperlukan secara terus menerus dengan menuliskannya dalam bentuk yang lain, dan mengungkap bagaimana dan apa konstruksi makna di dalamnya. Begitupun halnya pembacaan ulang atas Kitab Kritik Sastra perlu untuk dikaji lebih lanjut sebagai bentuk kritik sastra.

     

    Kelima: Membaca Konteks

    Konteks dalam langkah mangkus Mahayana menjadi titik sentral dalam pembacaan karya sastra. Mahayana menggunakan konteks untuk membandingkan karya yang satu dan karya yang lainnya dalam proses kreatif pengarang. Mahayana menyadari bahwa betapa pentingnya konteks untuk melakukan kajian secara meluas. Konteks ditempatkan dalam pemetaan karya untuk mengkaji karya secara intrinsik; apakah karya yang dianalisis menawarkan aspek baru atau kebaruan lainnya yang berkaitan pada perjalanan sejarahnya. Bagi saya, mawas diri sejak pembacaan pertama dengan melibatkan konteks pun menjadi sangat perlu. Jika wawasan konteks hanya sebatas pada intensitas untuk menunjukkan kebaruan atau aspek baru, saya rasa ini akan menjadi problem dalam analisis kritik sastra.

    Saya akan mencoba memahami “konteks” yang dimaksud oleh Mahayana dengan beberapa poin: (1) Membaca konteks, untuk membaca karya dalam perjalanan sejarahnya; (2) Membaca konteksnya, untuk menghadirkan pertanyaan secara intrinsik di dalam karya yang menawarkan aspek baru dan kebaruan lainnya; (3) Membaca konteks karya, tidak hanya cukup untuk melakukan satu pendekatan. Oleh karenanya dibutuhkan pendekatan lain. Menambahkan pendekatan lain ini disinyalir dari bentuk karya dengan semangat eksperimen di dalamnya.

    Ketiga pemahaman konteks ini diberlakukan dalam langkah kelima mangkus. Saya menyebutnya sebagai langkah paling ganjil. Di samping angka lima adalah angka ganjil, saya menemukan keganjilan lain, yakni keberadaan konteks yang terpinggirkan. Konteks sebagai bahan analisis digunakan hanya untuk menopang apa yang baru. Bagaimana suatu karya bisa disebut baru?

    Kata baru menyiratkan akan adanya makna baru. Makna yang dioperasikan dari sistem pembedaan tertentu: oposisi biner. Dalam tradisi strukturalis, oposisi biner dilakukan untuk menopang keberadaan makna. Dalam hal ini, tentu makna berada dalam posisi ke-baru-an dengan melewati pembedaan di dalamnya. Karya yang satu dan yang lainnya dibedakan demi pencarian sebuah makna baru. Oposisi ini terjadi tidak hanya di dalam karya yang satu pada karya yang lainnya dalam membaca konteks, tapi juga dapat terjadi sejak dalam penguraian tentang konteks.

    Konteks karya dengan perjalanan sejarahnya dan konteks sebagai konteks di dalam karya jelas sebagai oposisi biner. Namun, pertanyaan lain terhadap oposisi biner adalah apakah konteks tidak mampu merepresi kondisi di dalam teks? Sederhananya, konteks dapat ditelisik kembali dengan kondisi teks di dalam karya. Misalnya, setiap karya memiliki referens tekstual di dalamnya yang mengikat terhadap makna-makna kebahasaan atau bahkan sampai pada permainan metafora.

    Makna secara referensial adalah belenggu institusional yang dihadirkan di dalam proses kreatif pengarang. Konteks di luar teks (karya) mampu menopang apa yang terkandung di dalam referens yang sudah termanifestasi dalam bentuk makna (oposisi biner di dalam teks yang membentuk makna). Konteks yang berada di luar inilah apabila difungsikan kembali ke dalam pembacaan dan kerja kritik sastra mampu menunjukkan identitas lain di dalam makna—referens dan teks merupakan strukturalitas dan keterbukaan yang inheren di dalam bahasa.

    Kehadiran konteks di dalam bahasa juga analisis terhadap karya bukan untuk menunjukkan kebaruan yang hanya didompleng dengan perjalanan sejarah, tetapi untuk membuka kemungkinan lain atas apa yang dinyatakan oleh subjek pengarang dan kritikus di dalam teksnya. Pemahaman mengenai konteks secara mendasar mampu mengingkari belenggu oposisi biner yang hanya berintensi pada makna tunggal, makna yang diperuntukkan sebagai pencarian kelebihan suatu karya saja. Konteks mampu membongkar operasi referens yang bekerja di dalam teks yang memiliki tipu daya kritik.

    Selanjutnya, kita dituntut untuk bertanggung jawab atas pemahaman mengenai referens dan konteks. Apakah kritik sastra yang hendak dituliskan hanya berlandaskan pada kelebihannya saja, yang pada akhirnya akan menunjukkan ketidakobjektifan kritik sastra dengan suka atau tidak suka, atau melibatkan referens dan konteks untuk membongkar teks secara cermat? Inilah kiranya yang dibutuhkan dalam kerja kritik sastra ilmiah, atau kritik sastra umum.

     

    Keenam: Penerapan Teori

    Penerapan teori dalam langkah keenam ini diberlakukan ketika seseorang hendak melakukan kritik sastra ilmiah. Mahayana (2015: xlii) memberikan tahap selanjutnya, yakni mencari dan menemukan teori, pendekatan, atau gagasan dari disiplin ilmu lain yang dianggap cocok. Mengutip bagian teks yang diteliti dan menjelaskannya berdasarkan teori, pendekatan, atau disiplin ilmu lain pun, menjadi hal yang tak terhindarkan. Mahayana menunjukkan tahap ini untuk memfungsikan teori atau pendekatan yang digunakan agar dapat mengungkapkan kekayaan teks yang tidak terpisah dari analisis terhadap teks yang bersangkutan. Dengan demikian, teori atau pendekatan itu menjadi menyatu sebagai alat urai dan analisis atas teks, tidak terpisah seperti minyak dan air.

    Melihat tipu daya dalam langkah keenam ini, dapat dirujuk kembali pada langkah-langkah sebelumnya. Saya akan menelisiknya dari  penggunaan kiasan “minyak dan air” sebagai representasi dari kritik Mahayana terhadap kondisi kritik sastra yang mampu “menyatu”. Dengan arti lain, teori atau pendekatan dan objek yang hendak diteliti keduanya tidak saling terpisahkan. Memang tidak terpungkiri apabila keduanya dapat dilakukan dalam kerja kritik sastra, namun pada langkah ini, saya menaruh perhatian pada kata “menyatu”, tidak terpisahkan seperti minyak dan air.

    Mahayana berpretensi untuk menunjukkan bahwa kritik sastra dilakukan dengan cara melakukan kerja kritik yang apresiatif terhadap karya. Artinya, langkah-langkah sebelumnya pun menjadi rujukan atas “menyatu”-nya teori atau pendekatan terhadap karya. Langkah ketiga dan kelima menjadi hal yang tepat untuk ditelisik kembali layaknya Mahayana pun menganjurkan untuk merujuknya pada langkah tersebut.  

    Langkah ketiga adalah langkah menuju pembaca yang kritis dan konkret, dengan cara menandai bagian-bagian yang penting di dalam teks, dan menyusun semacam daftar pertanyaan yang nantinya akan diuji secara kritis. Akan tetapi, bagaimana hal itu dilakukan tanpa pemahaman akan kritik sastra? Kealpaan pemahaman ini sudah lebih dulu hadir sejak pembacaan pertama yang dibiarkan mengalir begitu saja. Di samping itu, apabila menelisik kembali langkah kelima yang di dalamnya melibatkan konteks karya, namun keterlibatan konteks hanya diperuntukkan untuk menunjukkan kebaruan, maka pemahaman konteks terlihat dipaksakan agar menyatu di dalam kerja kritik sastra.

    Langkah ketiga dan kelima, keduanya dilakukan untuk memaksakan dirinya tanpa pemahaman kritik sastra agar terlihat menyatu-padu. Lagi pula, konstruksi di dalam kedua langkah ini tentunya hanya berlandaskan pengangkatan “kebaruan” dan kelebihan di dalam karya. Tidak ada ruang untuk kerja kritik sastra yang mampu menunjukkan kelemahan atau kekurangan karya sastra, maupun teks kritik sastra.

    Karakteristik kritik sastra yang dikatakan apresiatif (di dalam dirinya tentu menjadi problem di dalam kritik sastra dengan tidak terbuka terhadap kritik).  Penerapan teori yang menurut Mahayana  mampu memadukan di dalam kerja kritik sastra ilmiah, secara otomatis sudah menyiratkan bahwa penerapannya untuk menopang kebaruan (makna lain), menutup dirinya terhadap kritik sastra. Dengan demikian, apa tipu daya yang bekerja di dalam kiasan yang berusaha dibalut secara rapi dalam Kitab Kritik Sastra ini adalah memaksakan proses penyatuan teori atau pendekatan di dalam analisis kritik sastra? Dengan kata lain, argumentasi Mahayana pun sebenarnya tidak mampu menyatupadukannya seperti minyak dan air.

     

    Ketujuh: Beberapa Langkah dalam Kritik Sastra Umum

    Ada beberapa langkah dalam kritik sastra umum yang berusaha disuguhkan oleh Mahayana (2015: xlii). Langkah pertama adalah membuat semacam resume, sinopsis atau ikhtisar karya sastra yang telah dibaca. Jika objeknya adalah novel, maka ikhtisar yang dibuat sekitar dua atau tiga paragraf. Jika antologi cerpen, deskripsikan ada berapa cerpen di dalamnya dan buatlah gambaran umum tentang tema-temanya. Begitupun halnya dengan antologi puisi. Namun, yang patut ditegaskan kembali adalah menghindari pengungkapan tema yang berkepanjangan (terlalu panjang lebar menjelaskan tema).

    Langkah di atas menunjukkan bahwa dalam kritik sastra ilmiah atau pun umum Mahayana mengedepankan kritik sastra dalam bentuk apresiatif. Konstruksi di dalamnya dilihat dari apa yang menonjol (sebagai makna baru) sebagai pintu masuk analisis. Misalnya, dalam kritik sastra umum dikatakan oleh Mahayana, bahwa pendeskripsian terhadap tema dimaksudkan agar pembaca memperoleh gambaran serba-sedikit tentang karya sastra berikut isinya. Apa yang diizinkan dari pendeskripsian ini? Mahayana mengatakan bahwa hal-hal yang menarik, khas, dan menonjol sebagai isyarat tentang kelebihan karya tersebut adalah hal yang boleh dilakukan dalam pendeskripsiannya. Setelah langkah ini dilakukan, analisis segera disiapkan dalam kerja kritik sastra umum.

     

    Kedelapan: Yang Ideal dalam Praktik Kritik Sastra

    Ada empat hal yang secara ideal diberlakukan dalam praktik kritik sastra, yaitu  deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi. Mahayana menjelaskannya dalam beberapa hal. Deskripsi berfungsi untuk memperkenalkan karya sebagai mana adanya. Misalnya, data publikasi, posisi pengarang, muatan isi, dan gambaran umum tentang karya sastra yang hendak diteliti. Di samping itu, analisis yang disertai penafsiran (interpretasi). Mengingat bahwa karya sastra bermain pada tataran konotatif, penafsiran pun tak dapat dihindarkan dalam analisis (2015: xliii).

    Analisis dan penafsiran merupakan bagian penting dalam praktik kritik sastra. Lebih lugas, Mahayana menegaskan bahwa wawasan pengetahuan dan pengalaman seorang kritikus sebenarnya dapat dilihat dari caranya melakukan analisis dan penafsiran. Kedalaman dan kedangkalan analisis dan penafsiran seorang merepresentasikan luas-cetaknya wawasan pengetahuan dan pengalamannya. Adapun evaluasi atau penilaian, bagi Mahayana, hal itu bergantung pada semangat kritikus dalam memperlakukan teks. Bagi sebagian kritikus beranggapan bahwa penilaian tidak diperlakukan dalam praktik kritik sastra, sebab dari kedalaman analisis dan penafsiran itu saja sudah akan tampak keunggulan atau kelebihan karya. Namun, ada juga sebagian kritik yang memandang bahwa hakekat kritik sastra tidak lain adalah penilaian. Oleh karenanya, penilaian sebagai hal yang penting dalam praktik kritik sastra.

    Langkah kedelapan ini, apabila mengikuti Mahayana, dapat dikatakan sebagai bentuk yang ideal dari praktik kritik sastra. Tidak diragukan lagi dari bentuk idealitas yang telah dipaparkan tadi (selain menguji ulang setiap argumentasinya). Bagaimana Mahayana menafsirkan tentang konstruksi karya dalam praktik kritik sastra? Apakah konstruksi hanya diperuntukkan sebagai apresiasi untuk menunjukkan keunggulan atau kelebihan suatu karya? Kenapa pemahaman mengenai konteks hanya sebagai lingkup karya yang “men-sejarah” untuk menunjukkan kebaruan di dalam karya atau analisis yang hendak dilakukan? Terakhir, apakah Kitab Kritik Sastra yang ditulis oleh Mahayana ini menunjukkan wawasan dan pengalaman seorang kritikus?

    Terlepas dari itu, pembaca harus membaca ulang kitab yang ditulis olehMahayana sebelum mempraktikkan kerja kritik sastra agar Kitab Kritik Sastra ini pun tidak hadir sebagai “pedoman” yang telah terberi. Sebab, ia adalah bagian dari objek kritik sastra, bukan sebagai kesatuan yang stabil dan menyatu-padu, yang dengan serta merta menunjukkan langkah-langkah praktik dan satu jurus dalam kritik sastra.

     

    Kesembilan: Perkuat Analisis

    Dari uraian di atas, kiranya dalam membaca tipu daya dalam Kitab Kritik Sastra, kita akan mengambil apa yang dinyatakan oleh Mahayana sebagai: perkuat analisis. Untuk memperkuatnya, Mahayana sudah lebih dahulu menganjurkannya dengan memberi kutipan teks sebagai alat bukti. Dengan demikian, kerja kritik sastra dapat membongkar tipu daya apa yang terselubung di dalam teks.

    Tentu hal tersebut juga tidak dilepaskan dari argumentasi-argumentasi dari penafsiran kita terhadap teks. Oleh karenanya, kita perlu mendasari diri kita dengan basis kritik yang mumpuni, pendekatan dan teori yang mampu digunakan sebagai alat bedah. Jangan biarkan pembacaan kritik sastra mengalir tanpa arah, tanpa pemahaman kritik sastra yang mumpuni. Tetap libatkan teks, konteks dan referens di dalamnya yang bersembunyi di balik konstruksi makna.

    ***

    Kesembilan langkah yang sudah diurai dengan sekelumit tipu daya yang terselubung,  sampailah kita pada satu jurus pamungkas yang diberikan oleh Mahayana. Apakah satu jurus pamungkas itu? Apakah jurus ini dapat dikatakan ampuh? Ya, ampuh atau tidaknya tentu tidak ada yang menjamin. Akan tetapi, jurus ini perlu dilakukan. Sebab Mahayana mengatakan bahwa satu jurus pamungkas itu adalah: “Selamat mencoba!”

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/