Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Arif Fadillah
Dalam beberapa waktu terakhir jagad twitter diramaikan dengan tagar #LathiChallenge. Ramainya tagar ini disebabkan cuitan dari seorang yang mengatakan bahwa challenge ini berbahaya karena menurutnya mengandung setengah budaya Jawa yang syirik dan khurafat. Selain itu, si penulis mengatakan bahwa challenge sama seperti memanggil kuntilanak serta roh kuda kepang.
Sontak hal ini membuat riuh rendah tagar ini di Twitter. Ribuan orang menuliskan ketidaksetujuannya akan pendapat seseorang yang merupakan publik figur ini. Kebanyakan merupakan warga Indonesia dan warga Malaysia sendiri yang menganggap cuitan tersebut kurang bijak dan menyudutkan budaya Jawa. Pada akhirnya si penulis menghapus unggahan tersebut dan meminta maaf atas kesalahan dalam pemilihan kata tersebut.
Polemik yang mengatakan budaya Jawa kental dengan takhayul dan hal-hal negatif lainnya bukanlah narasi baru. Bukan hanya terjadi di Malaysia, namun juga di negeri asalnya: Indonesia. Tercatat pula narasi macam ini selalu berhasil dipatahkan oleh sejarawan, ahli sastra Jawa dan tokoh-tokoh macam Cak Nun dan lainnya. Meskipun demikian, narasi semacam ini masih ada dan tak jarang sering muncul ke permukaan.
Dalam kasus atau yang lebih bijak dikatakan fenomena #LathiChallenge ini, menunjukan bahwa stereotip tentang budaya Jawa yang negatif tetap masih ada. Sebagian orang yang tidak paham turut meng-iya-kan stereotip ini. Kebanyakan orang-orang ini hanya melihat secara kasat mata tanpa mencari tahu makna sebenarnya dari budaya yang ada di Jawa. Sialnya orang-orang semacam ini punya jumlah yang tak sedikit. Lebih jauh hal ini memantik pertanyaan bagaimana sebenarnya budaya Jawa itu sendiri? bagaimana orang-orang ini memahami budaya Jawa?
Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Akan tetapi perlu diketahui bahwa Jawa memiliki banyak kebudayaan. Dari mulai kebudayaan yang berbasis ke kasunanan dan kasultanan, panaragan, hingga ke pesisir timur pulau Jawa yang memiliki kekayaan corak budaya yang unik. Berkaitan dengan budaya, tradisi dan kesenian juga subur di Jawa. Menurut Yudoyono (1984:33) tradisi biasanya merupakan cerminan hubungan apa yang ada dalam diri manusia dengan kekuatan yang berasal dari luar diri manusia. Dengan demikian tradisi di Jawa merupakan bentuk ikatan antara manusia dengan lingkungan Jawa.
Bentuk kebudayaan Jawa juga tidak hanya terikat pada jenis tertentu, namun juga seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan ketika dari kandungan, seorang bayi sudah lekat dengan tradisi yang merupakan sendi dalam kebudayaannya. Di Jawa, ketika anak masih berada di dalam kandungan ada tradisi telonan (diadakan ketika bayi berumur tiga bulan) kemudian ada pula tradisi tingkeban (khusus anak pertama dan diadakan ketika kandungan berumur tujuh bulan).
Dalam tingkeban tidak sembarang makanan dapat disajikan, melainkan sudah ada pakem tersendiri. Biasanya dalam tingkeban terdapat aturan tidak tertulis berupa makanan tertentu yang harus ada. Makanan ini biasanya meliputi nasi putih, nasi kuning, tumpeng kecil berjumlah tujuh, sego golong, rujak legi, tanaman polo pendem, jenang (putih, abang, campuran/sengkala). Semua makanan ini hadir bukan tanpa alasan. Di dalamnya terdapat makna yang luhur dan perlu pemahaman tersendiri. Nasi putih melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta, sego golong melambangkan penghormatan kepada wali songo, tanaman polo pendem melambangkan hasil bumi, serta masing-masing jenang yang memiliki makna yang berbeda-beda berupa: jenang putih melambangkan air dari sang ibu, jenang merah melambangkan air dari sang ayah dan campuran melambangkan campuran keduanya (Geertz, 1966:41).
Jika pada contoh sebelumnya menyoal tentang tradisi dalam proses kelahiran manusia, selanjutnya merupakan tradisi yang berkaitan dengan kesenian khususnya musik. Membicarakan Jawa, sangat tidak lengkap apabila tidak menyinggung gamelan. Gamelan menurut Yudoyono (1984:15) adalah kumpulan dari alat-alat musik tradisional di Jawa yang menimbulkan pernyataan musikal. Menurut Spiller (2004:53) mengatakan gamelan adalah kelompok pemain musik yang menggunakan instrumen yang berasal dari perunggu.
Gamelan juga disebut gangsa. Nama gangsa lahir dari kandungan arti gong atau gang yang dapat dimaknakan sebagai gegandulaning urip ‘bergantungnya hidup’ dan sa atau rasa (Yudoyono, 1984:17). Keduanya apabila disatukan mengandung makna bahwa masyarakat Jawa memiliki pegangan utama berupa rasa. Dari sinilah kita dapat sedikit menyalakan pijar untuk memahami manusia Jawa.
Dari dua contoh diatas saja, kita dapat mengetahui budaya Jawa mengandung nilai yang tersirat bukan tersurat dan tersembunyi dalam keindahannya. Untuk memahaminya perlu perenungan dan tingkatan-tingkatan yang tidak bisa bisa dilompati. Seperti pendapat Mulyono tentang bagaimana tingkatan penonton wayang (Yudoyono, 1984:41) yang bermula dari sekadar menganggap wayang sebagai hiburan, lalu naik menganggap wayang sebagai bentuk seni, naik lagi menganggap wayang sebagai pendidikan, lalu naik lagi menganggap wayang sebagai objek kajian penelitian, hingga puncaknya menganggap wayang sebagai lambang kehidupan manusia. Dari contoh wayang ini, kita sadar bahwa budaya Jawa bukan hanya perihal seni, akan tetapi juga tentang laku manusia itu sendiri.
Fenomena #LathiChallenge diatas menunjukan bahwa masih ada pandangan yang tidak tepat dalam memahami budaya Jawa. Pada era kiwari tentunya hal ini berbahaya bagi kebudayaan Jawa itu sendiri. Melalui peran media sosial, pandangan buram tentang budaya Jawa ini dapat menjangkit generasi muda Jawa. Ditambah lagi jika pandangan semacam ini disebarkan oleh tokoh publik. Ini bisa menjadi dasar legitimasi generasi muda Jawa untuk meninggalkan kekayaan leluhurnya. Tentunya hal ini tidak kita harapkan.
Perihal pandangan mistis dan seram tentang budaya Jawa sebenarnya sudah terjadi beberapa lama. Tentunya kita masih mengingat lagu lingsir wengi yang dijadikan –boleh saya sebut-ikon salah satu film horor di Indonesia. Lagu tersebut mengandung kehororan tersendiri bagi setiap pendengarnya. Padahal apabila kita melihat liriknya, tidak ada yang mengandung pemanggilan setan –kecuali kesengajaan untuk mengubahnya-. Dampak dari lagu ini cukup berpengaruh hingga akhirnya muncul pandangan bagi bahwa lagu berbahasa Jawa dengan nada tertentu merupakan media untuk memanggil makhluk halus. Tentunya ini merupakan kesesatan yang segera harus diinsyafkan. Tembang yang sering dikaitkan sebagai lagu dari Jawa memang lazim menggunakan nada yang mendayu–saya belum menemukan kosakata yang sesuai–dimungkinan untuk menimbulkan kesan emosional tertentu bagi pendengarnya.
Cara pandang yang tidak sempurna macam ini perlu segera dibenahi. Mengingat apabila terus terjadi maka generasi muda Jawa akan menganggap budaya leluhurnya tidak sesuai dan rawan ditinggalkan. Apabila budaya sudah ditinggalkan maka nilai-nilainya juga tidak akan terpakai. Tentunya ini akan menjadi kerontokan budaya Jawa. Contoh kecil bayangkan saja saat anak cucu kita tidak lagi menggunakan standar sopan santun yang selama ini kita ugemi. Mengutip dari sebuah perkataan dosen, bahwa generasi macam ini dapat diibaratkan seperti pohon yang kehilangan akar, akan terombang oleh gelombang zaman.
Pembenahan agar generasi muda Jawa tetap mempunyai cara pandang yang benar tentang budayanya memang susah. Akan tetapi kita mungkin bisa meniru filosofi orang menonton wayang. Salah satu caranya kita bisa menyesuaikan zaman dengan membuat animasi yang berlatar budaya Jawa. Harapannya dengan adanya animasi yang mengisahkan kisah berlatar budaya Jawa nantinya anak-anak akan terhibur, kemudian menganggapnya sebagai seni, lalu sebagai unsur pendidikan, kelak ketika dewasa menjadi peneliti dengan kajian berlatar serial tersebut, hingga akhirnya ia sadar bahwa kisah tersebut adalah sebuah perlambang insani.
Selain animasi, ada pula media musik yang dapat digunakan sebagai upaya mengenalkan kebudayaan Jawa. Hari ini musik merupakan kesenian yang paling sering diputar generasi muda. Lagu berjudul Lathi dari Weird Genius memberi setidaknya pengetahuan tentang pepatah Jawa yang dijadikan lirik yakni ajining diri ana ing lathi. Melalui lirik tersebut generasi muda Jawa banyak mencari tahu maknanya. Ini menjadi angin segar bahwa sebenarnya generasi muda masih penasaran dan mau mencari makna sesungguhnya dari sebuah ungkapan.
Harapannya lewat tangan kreatif macam ini dapat menjadi serangan balik yang mematikan bagi pemikiran negatif tentang budaya Jawa. Semoga saja lahir karya-karya lain yang mampu mengedukasi, bukan hanya generasi muda Jawa saja, namun juga masyarakat secara umum. Muaranya pemikiran yang mengatakan budaya Jawa kental dengan takhayul dan hal-hal negatif lainnya akan luntur. Bukankah dengan mengenal kita akan dekat?