Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Menulis Seperti Membuat Pematang

author = Mahfud Ikhwan

disampaikan sebagai pengantar Workshop Kepenulisan Novel dalam pra-acara rangkaian kegiatan Joglitfest (Festival Sastra Yogyakarta) yang diselenggarakan Klub Buku Yogyakarta, bekerjasama dengan Kibul.in dan Gerak Budaya Yogyakarta di Toko Buku Gerak Budaya Yogyakarta, tanggal 21 Agustus 2019.

Hanya beberapa jam
sebelum saya menuliskan ini, seorang peserta dalam sebuah kelompok diskusi
menulis—yang mengaku sebagai penulis pemula—mengeluh kepada saya bahwa ia
terbiasa menulis dan kemudian menghapusnya, menulis lagi dan kemudian
menghapusnya lagi. Keluhan itu kemudian dipungkasi dengan pertanyaan: “Apa
tipsnya, Mas?”

Itu keluhan dan
pertanyaan yang sangat sering saya dengar—saya lebih dua tahun terlibat dengan
sebuah gerakan yang mengorganisir secara sederhana sebuah kelas menulis di
Jogja. Dan, boleh jadi, pada satu masa, beberapa tahun lalu, di acara seminar
atau diskusi tentang menulis yang sudah tidak saya ingat, saya menanyakan hal
yang sama. Jadi, tentu saja saya tidak kaget. Itu kegelisahan yang sangat
tipikal dari para penulis pemula.

Yang mungkin tidak
mereka (para penulis pemula itu) ketahui, membuat awal yang bagus, memulai
kalimat dengan mantap, sebenarnya adalah kegelisahan semua penulis. Segaek apa
pun dia. Seterkenal apa pun dia. Yang membedakan kenapa penulis pemula selalu
bertanya tentang itu sementara penulis yang bukan pemula tidak bukanlah bahwa
yang disebut belakangan tidak lagi punya masalah dengan kalimat pertama.
Pengalaman, itulah yang membedakannya.

***

Ada anekdot yang sudah
nyaris menjadi dongeng bahwa cerpenis terbesar dunia, Anton Chekov, setiap
menyelesaikan setiap ceritanya, akan memotong cerita tersebut menjadi dua dan
kemudian membuang separoh yang pertama, dan menjadikan awal kalimat dari
separoh akhir cerita yang dipertahankan tersebut sebagai kalimat pembukanya.

Anekdot lain
mengatakan, John Steinbeck, novelis terbesar Amerika, membutuhkan
berlembar-lembar kertas untuk dicoretinya, ditulisinya, tentang apa saja
(biasanya ia menuliskan deskripsi ruangan tempatnya menulis), hanya untuk
dibuangnya ke bak sampah. Setelah merasa cukup melemaskan tangan dan menemukan feel-nya
(kalau pakai istilah anak sekarang), ia baru mulai menulis betulan, memperjuangkan
kalimat pertamanya.

Baik kisah Chekov
maupun cerita soal Steinbeck menunjukkan bahwa penulis, sehebat apa pun, harus
berjuang untuk mendapatkan kalimat pertamanya yang dianggap tepat. Bakat
mungkin membuat mereka tak semenderita kita-kita yang tak seberapa terberkati
ini. Tapi, hal yang paling besar berperan dalam hal ini adalah bahwa
orang-orang hebat itu sudah mengalami “kesulitan khas pemula” itu berkali-kali
dan karena itu punya metode khusus untuk mengatasinya. Dan itu karena
pengalaman.

***

Orang-orang mungkin
punya resep ces-pleng tentang pertanyaan “khas penulis pemula” itu.
(“Menulis itu gampang,” kata salah seorang penulis tua; “menulis itu asyik,”
kata banyak penulis yang tulisannya tidak terlalu asyik.) Tapi, saya selalu
merasa bahwa pertanyaan macam itu tak bisa diberikan jawabannya oleh orang
lain. Seseorang harus menemukan jawabannya sendiri, di kalimat-kalimat yang
telah dihapusnya, dan dituliskannya kembali, dan kemudian dihapusnya lagi. Ia
harus menemukan jawaban itu di kalimat-kalimat lain yang dihasilkan tangannya
sendiri, di kalimat-kalimat lain yang pada akhirnya dipertahankannya.

Klise mungkin. Tapi
saya selalu berpikir bahwa kemampuan menulis bagi penulis tak berbeda dengan
kemampuan membuat pematang bagi petani atau kemampuan mengontrol bola untuk
pemain sepakbola. Keahlian menulis, kecakapan membuat pematang, atau kelihaian
menggocek bola, hanya bisa didapatkan oleh banyaknya latihan, banyaknya
mengulangi dan salah dan mengulangi dan salah dan mengulangi, dan begitu
seterusnya.

Ya, seperti kalimat
pertama seorang penulis pemula, pematang pertama untuk seorang petani pemula
juga selalu sulit. Jangan dulu memikirkan apakah pematang itu akan tampak mulus
dan kokoh, ia bahkan harus periksa dulu apakah caranya memegang pacul  sudah benar atau belum; atau, apakah ayunan
cangkul itu sudah pas apa belum. Kadang, si petani pemula menemukan bagian
tanah yang terlalu keras untuk dicangkul, sehingga si petani mesti mengerahkan
tenaga lebih memapasnya. Tapi lain kali, tanah yang dicangkkulnya terlalu
lembek, sehingga sulit untuk dibentuk dan dipadatkan. Ada kalanya ia salah
dalam membuat cangkulan. Cangkulan yang seharusnya kecil saja, ia unjam
dalam-dalam. Untuk itu si petani pemula kudu menambalnya. Ada kalanya,
cangkulan yang seharusnya tegak lurus ia lakukan terlalu landai, sehingga
cangkulannya melenceng, dan ia mesti mengulanginya. Dan mungkin akan begitu
lagi. Dan lagi.

Dan kesulitan itu hanya
untuk satu tempat saja, sementara pematang itu bermeter-meter panjangnya,
dengan tiap jengkal pematang mungkin masalahnya bisa berbeda-beda. Namun bisa
dipastikan, semakin panjang pematang yang telah dikerjakannya, semakin si
petani pemula tahu apa saja macam persoalan-persoalan dalam membuat pematang
dan untuk itu ia akan belajar bagaimana cara mengatasinya. Setelah satu petak
selesai, dan ia melewatinya dengan baik, maka ketika ia mengerjakan pematang di
petak yang lain, ia kini adalah petani pemula yang lebih baik.

Dan begitu juga seorang
penulis pemula.

***

Tapi ada sedikit
masalah—sedikit besar, mungkin lebih tepatnya. Membuat pematang hanya salah
satu masalah saja, dan itu mungkin kecil, di antara banyak masalah lain seorang
petani, baik itu pemula maupun yang sudah puluhan tahun. Masalah-masalah itu
ada di setiap sudut petak sawahnya, di setiap tahapan menanamnya, dan bahkan
tidak hanya di tanah yang digarapnya saja. Masalah itu ada di musim. Ada juga
di rantai industri (entah di sistem distibusi pupuk atau cerapan pasar hasil
pertanian).

Begitu juga yang akan
dihadapi penulis, baik pemula maupun sudah legenda. Seorang penulis opini atau
penulis laporan akademik akan mendapati bahwa setelah ia lolos dari jerat
kalimat pertama, ia mesti ditantang untuk menaklukkan persoalan kohenrensi
antarkalimat, membangun premis-premis yang logis dan kokoh, dan
simpulan-simpulan yang tepat dari rumusan masalah yang mesti diselesaikannya.
Seorang wartawan, misalnya, setelah mampu membuat lead yang hebat, ia
harus menghadapi sulitnya mentransformasikan hasil wawancara yang bagus dengan
narasumber menjadi tulisan dengan narasi yang runtut dan enak dibaca, atau
setidaknya menjaganya tetap menjadi tulisan berita dan bukan sebuah surat
pembaca.

Dan mungkin para
penulis pemula belum cukup tahu bahwa masalah yang lebih besar para penulis
fiksi, misalnya, bukanlah bagaimana membuat kalimat pertama, tapi bagaimana
membuat kalimat terakhir.

Makanya, menurut saya,
sebagian besar masalah dalam menulis tidak bisa dicari solusinya pada satu-dua
jawaban pendek dan (seakan-akan) ampuh dari seorang pembicara dalam kelas menulis,
apalagi dalam sebuah jumpa fan pembaca dan penulis. Ia mungkin berguna sebagai
pembanding saja. Sebab, sebagian besar tips-tips menulis dari penulis lain,
jika bukan hasil melebih-lebihkan atau menggampang-gampangkan, setidaknya
merupakan hasil refleksi dari pengalaman menulis orang lain yang mungkin sama
sekali berbeda dengan yang akan dialami si penulis yang bertanya. Maka, pada
akhirnya, sebagian, atau sebagian besar malah, masalah menulis mesti dialami
dan setelah itu dilalui. Satu demi satu. Sendiri.  

***

Menulis itu hal mulia,
tapi boleh jadi tak lebih mulia dari kebanyakan hal yang dilakukan manusia
lainnya. Makanya, saya sepakat saja dengan semboyan yang mengatakan bahwa
“semua orang bisa menulis”. Tapi, pada saat yang sama, saya pikir tak perlulah
semua orang mesti menulis. Toh menulis bukan satu-satunya hal mulia yang bisa
dilakukan manusia. Maka, barang siapa yang misalnya sangat ingin jadi penulis
namun setelah mencoba berkali-kali membuat kalimat pertama dan gagal, bikin
lagi dan gagal lagi, bikin lagi, gagal lagi, kenapa tidak mencoba hal lain?
Jadi dokter, misalnya. Jadi psikolog juga tak apa.

Sebagaimana bertani,
tak perlu semua orang jadi petani. Yang tak mampu bikin pematang, setelah
berkali-kali mencoba, mending letakkan cangkul. Coba ambil joran, pergi ke
danau, dan memancing. Siapa tahu, Anda mungkin lebih cocok kerja di air.

Meski demikian, sebagai
anak petani yang pernah belajar memegang cangkul dan membuat pematang, dan
merasa tidak mampu, harus dengan bangga saya katakan bahwa sejauh ini menulis
memang pekerjaan yang mengasyikkan. Setidaknya, dibanding bertani yang tak
mampu saya lakukan. Setidaknya, dibanding menata pematang dan senewen, saya
merasa jauh lebih nyaman mengolah kalimat, memadatkan ide, lalu menggarap
cerita.

Jadi, apakah ada yang
masih tertarik menulis? Kalau tidak, tak apa-apa. Mari memancing saja.