Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Tren Astrologi yang Tidak Pernah Mati, dan Bisnis yang Itu-itu Saja

author = Muhammad Lutfi

Hayoo, sudah berapa tulisan-tulisan tentang zodiak yang kalian baca hari ini di media sosial? Sudah merasa beruntung atau tetap saja ditimpa kesialan? Sudah merasa cocok dengan pasangan, atau malah sadar kalau hubungan kalian tidak akan lama? Rezeki kapan turunnya, padahal tiap hari katanya beruntung terus. Ya, demikianlah, ternyata kita tida tidak bisa melepaskan belenggu kecemasan kita pada masa depan, dan betapa kita tidak mengenal diri kita lebih baik dari ramalan-ramalan zodiak. Ironisnya, keberuntungan ternyata malah dikeruk oleh para penjaja kata-kata zodiak, yang mengaku astrolog bahkan tanpa sertifikat dan referensi yang akurat.

Tidak bisa dipungkiri lagi, fenomena ramalan zodiak di media sosial adalah lompatan kijang untuk mendapatkan follower yang banyak. Tidak penting seberapa tepat ramalan itu, karena berawal dari kontroversi, setiap orang akan tertarik dan kemudian mengafirmasi. Pasalnya, bisnis yang dilakukan nampak tidak ada perkembangan dan berkutat pada hal itu-itu saja: paid promote, endorsement dkk. Itulah mengapa, astrologi di Indonesia jarang sekali dibahas secara serius dan mendalam, dan melulu pada topik-topik keseharian yang mungkin relate pada beberapa orang. Sementara itu, astrologi sebagai ilmu masih jauh dari kata tuntas diketahui khalayak luas.

Bahkan dalam penggunaan istilah, seringkali para copywriter (ya, karena kebanyakan hanya copas dari tulisan-tulisan yang sudah ada) salah kaprah. Zodiak yang ditulis mereka berdasarkan tanggal dan bulan lahir itu merupakan sun sign. Zodiak adalah 12 simbol dari mitologi Yunani, dan dalam pemaknaannya harus ditandai pada planet-planet yang melingkupinya.  Misalnya, zodiak gemini pada tanda matahari, zodiak virgo pada tanda bulan, venus, mars, merkurius dan blah, blah blaaaah. Ini perkara yang sangat elementer, dan belum berubah sampai hari ini. Itulah mengapa, di Indonesia pembahasan hanya sekadar menyangkut tanda mataharinya, tidak mengaitkan pada tanda bulan, dan planet-planet yang lainnya. Astrologi memang sangatlah rumit, namun terlihat begitu sepele ketika masuk ke budaya populer kita, karena ya memang, cuma untuk dapat follower dan cuan dari endorse-an.

Di India, ada beberapa sekolah yang membahas tentang astrologi, sebut saja Institute of Vedic Astrology yang mempelajari, palmistry, tarot dan astrologi. Oxford juga membuat summer school di Faculty of Astrological Studies, yang akan memfasilitasi peserta untuk menjadi astrolog profesional. Di Indonesia? Ada yang mengaku ahli astrolog hanya gara-gara live di youtube dengan artis-artis dan populer di Instagram, pembahasannya tidak lebih dari sekadar kecocokan baju bagi setiap zodiak (baju endorse-an). Dari fenomena ini, kita bisa melihat bagaimana kebudayaan populer menggerus akar tradisi keilmuan. Popularisme telah menjadi nabi bagi setiap insan. Dan popularisme adalah obat sekaligus racun bagi setiap kecemasan. Hari ini kecemasan kita telah dikapitalisasi oleh astrologi populer khas Indonesia, yang selalu membuang aspek-aspek keilmuan dari akarnya, agar mudah dikunyah dan menjadi tai massa.

Bisnis yang itu-itu saja, membuat astrologi di Indonesia jalan di tempat. Pembahasan astrologi di rubrik pun hanya sekadar pancingan untuk masuk ke halaman dan meng-klik iklan. Karena bisnis tetap berjalan, walau dengan cara yang membosankan. Di mana Ptolemy pernah dibahas? Padahal bukunya yang berjudul tetrabiblos menjadi tonggak pondasi astrologi. Di mana Carl G. Jung ditempatkan? Padahal di dalam seminarnya, Jung membahas keterkaitan astrologi dengan psikoanalisis, dan menjadi pedoman dalam konsultasi astrologi sampai hari ini. 

Bisnis astrologi ini bisa jadi akan nampak begitu berbahaya dampaknya, jika dijadikan satu-satunya pedoman hidup karena sedikit demi sedikit telah menyerang alam bawah sadar kita. Keilmuan yang belum tuntas dalam pembahasannya, mengakibatkan diagnosa-diagnosa ngawur yang malah menambah kecemasan massa. Bukan hanya karena terkenal, seseorang bisa menjadi astrolog. Coba bayangkan, betapa banyaknya astrolog-astrolog kecil hari ini, yang bisa membaca karaktermu, walau hanya berpedoman postingan di Instagram. Lalu, bukan berarti bahwa kita harus membuang astrologi di dalam kehidupan dan mementahkannya, tapi alangkah lebih bijak para konten kreator akun-akun perzodiakan belajar secara serius tentang membuat interpretasi astrologi dari buku-buku atau kursus online. Sebagai salah satu cabang keilmuan tertua di dunia, astrologi tidak seremeh yang kita kira.Astrologi merupakan kombinasi dari filsafat, astronomi, psikologi dan seni nampak tidak pernah dibahas tuntas. Mungkin karena cabang-cabang tersebut tidak akan populer dan memiliki kerumitan luar biasa, sehingga setiap orang mencari jalan mudah dengan tulisan-tulisan ngawur tanpa landasan. Jadi jangan salahkan setiap orang yang menganggap bahwa astrologi merupakan barnum effect, karena data-data empiriknya tidak pernah dikupas mendalam. Dan yang senyatanya adalah, astrologi di Indonesia adalah makanan empuk untuk setiap konsumen yang butuh konspirasi dan cocok-cocokan, karena sebuah kepastian rasanya begitu menyesakkan. Akan tetapi, di balik itu semua, membaca ramalan zodiak di media sosial dapat membuatmu tenang dus menghiburmu dari peliknya masalah kehidupan dan politik nasional. Apalagi, di masa pandemi ini, mungkin kita memang membutuhkan sebuah harapan, meski nyalanya samar-samar.