Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Zainul Arifin
Saat transisi otoritarianisme Orde Baru ke demokrasi, memang kondisi kebudayaan Indonesia yang sarat dengan antropologi keyakinan tidak diperhitungkan. Ketika itu belum terbayangkan konflik-konflik horizontal terutama berbasis agama akan mewarnai situasi sosial-politik di era reformasi sekarang. Artinya, keterbukaan demokrasi saat ini justru seakan-akan membuat kita menyesal, sebab ongkos konflik horizontal atas dasar politik identitas (terutama agama) harus ditanggung oleh keterbukaan tersebut (Naipospos: 2009: 172). Antropologi keyakinan masyarakat terutama narasi-narasi agama termanifestasikan juga di dalam karya sastra. Akibatnya moral agama mayoritas menjadi official ideology negara dalam kebijakan, perda dan sebagainya [1]Bahkan ada institusi agama negara, MUI, kementrian Agama dan juga perda-perda syariah di beberapa wilayah Indonesia. Institusi-institusi tersebut semacam ideological state apparatus dalam istilah … Continue reading. Padahal Indonesia (Hatta: 2014: 7) didirikan dengan cita-cita kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan ayat (suci). Sastra yang seharusnya berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran kedaulatan rakyat sekarang harus terkooptasi dan tertundukkan oleh narasi agama. Fanatisme agama sungguh mengancam kemajemukan plural dan juga kebebasan berpikir masyarakat bahkan intelektual di ruang publik [2]Seperti kasus kontroversi Disertasi dari UIN Sunan Kalijaga tentang hubungan seksual non-marital. Sang penulis Abdul Aziz dihujat secara moral oleh publik. Padahal moral akademis hanyalah tidak boleh … Continue reading. Padahal perbedaan adalah alasan fundamental dari ke-Indonesia-an. Apabila nyaman dalam obsesi semacam ini, maka lambat tapi pasti konsekuensinya adalah Indonesia akan menjadi negara otoriter kembali dengan basis agama. Untuk itu mendudukan kembali marwah sastra, agama dan kehidupan bernegara pada jalan pikiran ke-Indonesia-an adalah upaya minimum bagi pemerhati (akademisi) sastra.
***
Sebelum melangkah lebih jauh tampaknya pemetaan corak narasi agama dalam karya sastra perlu diulas terlebih dahulu. Berdasar pemetaan Hairus Salim dalam diskusi ‘Agama dan Kesusasteraan’ (2009), terdapat tiga corak narasi agama dalam karya sastra Indonesia. Pertama, sastra sebagai sarana untuk mengekspresikan keagamaan dan menjadikan agama sebagai solusi kehidupan, semacam doktrin kehidupan. Corak ini adalah bentuk penarasian agama dan sastra beberapa tahun terakhir, dapat dilihat dari karya-karya penulis yang berteduh dalam naungan Forum Lingkar Pena (FLP) yang menganut pemurnian ajaran agama dengan cenderung mendiskreditkan agama lain. Kedua, corak mistis-sufistik yang dimulai dari Godlob karya Danarto, Gus Jakfar karya Mustofa Bisri dan para penerusnya yang tentu sedikit berbeda namun dalam ramuan tradisi yang sama, yakni pemahaman bahwa semua agama adalah jembatan menuju Tuhan. Yang ketiga, corak sastra sebagai kritik terhadap agama. Corak narasi ini berperan melakukan interupsi terhadap formalisasi kehidupan beragama yang tertutup, kaku dan represif. Corak ini dapat dilihat pada pengarang-pengarang perempuan Indonesia, yakni Dewi Lestari dengan Supernova, Ayu Utami melalui Bilangan Fu, Ani Sekarningsih dengan Memburu Kalacakra, Clara Ng melalui Tujuh Musim Setahun dan masih banyak lagi. Reaksi terhadap sastra bercorak narasi kritik agama dalam sejarah pernah berdampak negatif pada pengarangnya, seperti H.B Jassin pernah masuk penjara karena cerpen Ki Panji Kusmin dan juga fatwa mati oleh Khomeini terhadap Salman Rushdie atas novel The Satanic Verses-nya.
Dari sini tergambarkan pertarungan narasi dalam ruang publik dengan pola fanatik, moderat maupun kritis terhadap agama melalui sastra. Sastra adalah ruang publik imajiner. Ruang publik (Habermas: 1992) tidak boleh diisi oleh obsesi absolut apapun, seperti ideologi totaliter, agama dan rasisme. Itulah konsekuensi dari demokrasi dengan basis kedaulatan rakyat. Fanatisme kemungkinan menjadi watak inheren agama. Itu sangat sah sejauh tidak didistribusikan dalam ruang publik. Tentu saja setiap orang berhak sangat fanatik terhadap keyakinannya, tetapi esoterisme agama tersebut tidak boleh dipaksakan menjadi pengatur ruang publik di suatu negara yang memilih demokrasi dan pluralisme sebagai basis komunikasi sosialnya. Dengan begitu, memaksakan fanatisme di ruang publik, termasuk sastra, artinya menginginkan demokrasi berakhir.
Lebih jauh lagi, corak narasi agama yang moderat maupun kritis terhadap agama tampaknya tidak toleran terhadap pandangan hidup kaum ateis di Indonesia. Padahal, keyakinan adalah pengalaman sangat unik secara individual. Hati nurani sepenuhnya misteri paling intim yang hanya dimengerti sang pemiliknya. Demokrasi hanya menjamin ‘hak’ sipil untuk berkeyakinan atas dasar hati nuraninya, bukan menjamin kebenaran ‘isi’ suatu ajarannya. Oleh sebab itu, keyakinan agama tidak boleh diedarkan sebagai paksaan dalam bentuk langsung maupun narasi di ruang publik. Untuk itu, sebaiknya ruang publik imajiner yang bernama sastra itu tidak diisi oleh narasi keyakinan ideologis apapun. Sebab obsesi tersebut sebetulnya adalah fantasi (ideologi) pengarang—dalam istilah Slavoj Zizek (2009). Fantasi agama itu hanya boleh berada di ruang privat masing-masing orang, dalam berdoa, sembahyang, dzikir, dll. Dengan demikian, representasi agama/keyakinan paling fanatik sekalipun dapat dituliskan di sastra selama hanya untuk konsumsi fantasi pribadi. Apabila terjadi di ruang publik, maka yang berlangsung sebenarnya sekadar pertarungan ideologi, bukan suatu the real dari permasalahan publik. Begitulah jalan pikirannya atas dasar teoritis.
Dasar pikiran secara empiris ke-Indonesia-an adalah rumusan Sumpah Pemuda. Tujuh belas tahun sebelum merdeka, kebudayaan dipersiapkan supaya toleran terhadap semua jenis perbedaan primordial, seperti agama, etnis, dan suku. Pada rumusan itulah disadari bahwa bersatu hanya atas dasar ‘Tanah Air’, ‘Bangsa’, ‘Bahasa’ Indonesia. Artinya, sebelum bertransformasi menjadi warga negara Indonesia, identitas primordial dalam percakapan publik harus dikikis. Atas dasar itu, memelihara toleransi adalah suatu keharusan. Hal ini paralel dengan tidak lagi menarasikan agama dalam ruang publik imajiner (sastra). Yang seharusnya dinarasikan dalam sastra adalah urusan-urusan publik, seperti ketidakadilan sosial, kekerasan, diskriminasi minoritas dan sebagainya sebagai politics of recognition.
Politics of recognition diupayakan dalam sastra agar rasa iba terhadap ketidakadilan yang dialami pihak tertentu dikenali masyarakat banyak. Dari sana harapannya adalah penyelenggaraan keadilan terlaksana oleh negara. Sekarang agama mayoritas Islam melalui sastra justru menuntut rekognisi, bukan untuk urusan keadilan sosiologis, tetapi keadilan teologis yakni menuntut obsesi paradigma moral agama mereka dalam kehidupan bernegara. Dampaknya warganegara yang baik sekarang tidak dinilai seberapa sering menolong tetangga atau membayar pajak, tetapi diukur kesalehan sosial yang ditentukan dari seberapa banyak dia berdoa. Segi hukum pun bergeser, orang dihukum sekarang bukan karena ‘bersalah’ tetapi karena ‘berdosa’ [3]Kasus-kasus penistaan agama seperti Ahok, perda syariat dan seterusnya menjadi permasalahan, sebab di daerah tersebut tentu dihuni oleh berbagai kepercayaan, bahkan aliran kebatinan. Mereka terpaksa … Continue reading. Padahal bersalah adalah kondisi sosiologis, berdosa itu kondisi teologis. Hukum hanya menghukumi masalah kehidupan sosial, bukan kehidupan spiritual.
Politics of recognition ini perlu diupayakan dalam sastra, bukan berarti saya hendak memberi batasan yang rigid pada proses kreatif pengarang. Tetapi tulisan ini dibangun atas dasar kehidupan bernegara bahwa kemerdekaan ada karena menghendaki keluar dari penderitaan kolonial. Hal itu terdapat dalam pidato Genta Suara Revolusi Bung Karno 17 Agustus 1963 bahwa adanya rel revolusi kemerdekaan Indonesia dasarnya adalah penderitaan rakyat. Dengan kata lain, Indonesia didirikan untuk memerdekakan penderitaan rakyat. Hal ini sejalan dengan sastra yang menyuarakan ketidakadilan, supaya berkurang dari hari ke hari. Hanya atas dasar itu saya berargumen atau lebih tepatnya menyarankan sebaiknya sastra tidak menarasikan agama—sebagai bentuk toleransi—tetapi menarasikan ketidakadilan sosial—sebagai kelanjutan cita-cita kemerdekaan.
***
Sekali lagi, alasan fundamental berdirinya Indonesia adalah untuk mewadahi perbedaan. Mengelola fakta perbedaan tersebut secara adil adalah tugas negara. Agama hanya mengakomodir kebenaran ajarannya yang tunggal. Karena itu agama dapat dijalankan secara bebas hanya di wilayah individual. Negara harus bersikap netral terhadap wilayah itu. Sebab toleransi dalam Sumpah Pemuda adalah basis berdirinya negara Indonesia. Toleransi seharusnya menjadi kemestian final dari keberagaman kebudayaan. Imajinasi kebudayaan dapat bersumber dari sastra. Untuk itu, sastra sebagai ruang publik imajiner seharusnya tidak menarasikan agama, tetapi menarasikan ketidakadilan kemanusiaan supaya ketidakadilan terkikis sedikit demi sedikit. Dari situlah marwah sastra, agama dan negara didudukkan.
Tulisan ini meraih juara 1 dalam Penulisan Esai Nasional Bulan Bahasa UGM 2019 dengan tema ‘Representasi Agama dalam Karya Sastra’. Tulisan ini telah melalui penyuntingan dan ditambah beberapa hal. Dipublikasikan kembali sebagai upaya membagi perspektif.
Habermas, Jurgen. 1992. Further Reflections on the Public Sphere. dalam C. Calhoun (ed.). Habermas and the Public Sphere. London: The MIT Press
Hatta, Mohammad. 2014. Demokrasi Kita. Bandung: Sega Arsy
Naipospos, Bonar Tigor dan Robertus Robet (ed.). 2009. Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: Publikasi Setara Institute
Salim, Hairus. 2009. Agama dalam Sastra: Pertemuan dan Persimpangannya. Pengantar diskusi ‘Agama dan Kesusastraan’ di Balai Budaya Soedjatmoko, Solo.
Zizek, Slavoj. 2009. The Sublime Object of Ideology. London & New York: Verso.
References[+]
↑1 | Bahkan ada institusi agama negara, MUI, kementrian Agama dan juga perda-perda syariah di beberapa wilayah Indonesia. Institusi-institusi tersebut semacam ideological state apparatus dalam istilah Althusser untuk mengendalikan publik. |
---|---|
↑2 | Seperti kasus kontroversi Disertasi dari UIN Sunan Kalijaga tentang hubungan seksual non-marital. Sang penulis Abdul Aziz dihujat secara moral oleh publik. Padahal moral akademis hanyalah tidak boleh plagiat, tetapi sekarang harus menghadapi moral komunal masyarakat. Lalu, dimana kebebasan intelektual dalam meneliti untuk memajukan ilmu pengetahuan apabila harus diatur. |
↑3 | Kasus-kasus penistaan agama seperti Ahok, perda syariat dan seterusnya menjadi permasalahan, sebab di daerah tersebut tentu dihuni oleh berbagai kepercayaan, bahkan aliran kebatinan. Mereka terpaksa menuruti moral keyakinan lain. |