Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Esha Tegar Putra
Hadir dari ketidak-terikatan terhadap pola pengucapan tradisi lisan adalah sebuah tantangan sekaligus keberuntungan dalam proses perpuisian Aan Mansyur. Dengan ketidak-terikatan tersebut ia bebas memadu-padankan model-model perpuisian modern di Indonesia dan pencariannya terhadap sumber perpuisian dunia. Terkadang, dengan ketidak-terikatan itu pula pola perpuisiannya terasa keras-kepala, tergoda dengan gerak rima, dan berusaha memadankan keluwesan struktur puisinya dengan pola berbahasa dalam kelisanan.
Dalam beberapa kali perbincangan saya dengan Aan Mansyur, ia memang mengakui bahwa tubuh dan pikirannya tidak hadir dari tradisi perpuisian di mana rajutan kata-kata njelimet, kemegahan bunyi, dan keketatan pola menjadi piranti utama dalam praktik penghadiran puisi-puisinya. Sebuah proses yang sangat berbeda dengan generasi penyair yang lahir dari pola kelisanan. Di mana keketatan struktur, rima, hingga sampai pengaturan napas keterbacaan kata menjadi barang mewah yang musti turut dijaga sedemikian rupa ketika sebuah puisi dituliskan. Pola yang rata-rata biasa kita temukan pada generasi penyair Sumatera, Jawa, dan Madura.
Jika memperhatikan proses perpuisian Aan Mansyur dari periode 2005-an maka akan terlihat jelas modus-modus seperti apa yang digunakannya dalam menyiasati ketidak-terikatannya tersebut. Kita dapat menyimak penuturan Aan Mansyur di berbagai perbincangan bahwa ia sendiri dalam proses berbahasa bermasalah dengan tata bahasa Indonesia di awal proses keepenyairannya. Ada kegamangan, sekaligus kesadaran penuh, bahwa penggunaan piranti bahasa Indonesia tidak semudah ketika ia menggunakan bahasa Bugis sebagai ‘bahasa ibu’[1]Catatan terbaru mengenai persoalan bahasa ini dapat dibaca pada tulisan berjudul “Lapis Pikiran M. Aan Mansyur” di https://beritagar.id/artikel/figur/lapisan-pikiran-m-aan-mansyur (diakses 26 … Continue reading. Barangkali hal ini pula membuat Aan Mansyur tampak menonjol dan mencuri perhatian pada periode 2005-an hingga kini. Ia datang dari sebuah jeda, dari kerumpangan proses regenerasi kepenyairan di Sulawesi Selatan. Periode di mana kita akan sulit sekali menemukan dan membaca puisi-puisi karya orang muda dari daerah tersebut. Beberapa nama lintas generasi yang sempat saya baca karya mereka seperti Aspar Paturusi, Mochtar Pabotinggi, Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Nurba, dan Tri Astoto Kodarie[2]Beberapa nama bahkan sulit melacak karya mereka karena jarang menerbitkan di media pada periode tersebut. Salah satu buku membuat kumpulan puisi pilihan penyair muda dari Sulawesi Selatan adalah buku … Continue reading. Pasca kemunculan Aan Mansyur, kini mungkin kita sudah dapat melirik nama-nama lain dari Sulawesi Selatan yang belakangan kerap muncul karyanya di beerbagai media atau dalam buku antologi puisi tunggal.
Kegamangan Aan Mansyur pada proses awal perpuisian itu pula barangkali yang membuat ia kemudian musti terikat dengan stuktur atau kebenaran stuktur bahasa Indonesia. Ia lebih banyak memunculkan warna pengucapan puisi bebas dengan kalimat-kalimat terkesan lengkap dan utuh. Komposisi puisinya adalah upaya untuk menuju kesederhanaan dan kewajaran dalam sebuah kalimat. Sebagaimana pernah diungkapkan Zen Hae dalam catatan berjudul “Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja” bahwa Aan Mansyur dalam puisi-puisinya berusaha untuk menyuguhkan kemudahan pemaknaan[3]Lihat catatan Zen Hae berjudul Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja, diterbitkan Koran Tempo secara bersambung dalam dua kali penerbitan, tanggal 13 dan 20 Juli 2018. . Ia tidak berupaya untuk mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas), sebagaimana banyak penyair segenerasi Aan Mansyur, yang berupaya menghadirkan tumpukan dan kocokan kata untuk mencapai keajaiban dan keganjilan. Sesekali, ia memang menampilkan permainan rima, tapi bukan merupakan pembayangan dari pantun dan syair.
Ketidak-terikatan Aan terhadap pola pengucapan lisan, usaha menuju kesederhanan dan kewajaran, dan upaya untuk menyuguhkan kemudahan pemaknaan itulah yang kemudian membuat puisi-puisi Aan tampak bebas bergerak. Ia tidak lagi ambil pusing dengan bagaimana menata bahasa berima dari larik, bait, hingga keseluruhan puisi. Ia juga tampak bebas menyusun larik-larik puisi, seakan tidak terikat pada keketatan bentuk, dan membebaskan puisinya dari anasir pemaknaan bahwa puisi adalah kesubliman bahasa. Pendapat Sapardi Djoko Damono[4]Lihat catatan pembuka Sapardi Djoko Damono untuk buku puisi Melihat Api Bekerja, Gramedia Pustaka Utama, 2015 ada benarnya ketika kita memandang bagaimana wujud visual puisi Aan. Bahwa, melalui wujud visual puisi Aan kita akan sulit mengenali bagaimana posisi puisi modern sebagai sebuah bentuk komunikasi dalam perkembangan kesusastraan. Wujud visual puisi yang pada hari ini masih dianggap sebagai ciri utama puisi adalah berupa larik dan bait, yang menurut Sapardi, banyak orang mengatakan ketika berita di koran kalau dipotong-potong menjadi larik dan bait akan berubah menjadi puisi.
Dan memang, kita tidak akan menemukan hal tersebut pada puisi Aan. Puisi-puisinya telah membebaskan diri dari ciri wutama ujud puisi yang masih dipahami sampai hari ini. Pada puisi-puisi yang akan dibahas kali ini kita juga akan dapat melihat bahwa puisi-puisi Aan bebas bentuk. Ia dapat disesuaikan wujudnya dalam berbagai ruang media pembacaan. Agaknya, lima puisi yang dikirimkan untuk diskusi di PKKH UGM merupakan bentuk asli dari yang pernah saya baca sebelumnya. Perihal ini yang membuat saya melacak kembali ke belakang mengenai bagaimana Aan berupaya untuk ‘bermain’ dalam puisi, mulai dari bentuk hingga ide penghadiran puisi. Barangkali perihal itulah yang kemudian membuat Aan menemukan formula di mana ia dapat mengabaikan atau membebaskan bentuk puisinya. Kita dapat melihat pada suatu ketika Aan dapat membuat judul-judul puisinya dengan kalimat memanjang yang seharusnya menjadi satu paragraf. Kita juga akan dapat membaca bagaimana suatu ketika ia mereproduksi teks dari media lain, foto dan lagu misalnya, ke dalam bentuk puisi bebas.
Komposisi puisi Aan Mansyur dalam upaya menuju kesederhaan dan kewajaran dapat dilihat dalam lima puisi yang dikirimkan Aan Mansyur untuk diskusi ini. Masing-masing puisi berjudul “Menunggu Perayaan”, “Memimpikan Hari Libur”, “Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam”, “Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia”, “Melihat Api Bekerja”. Lima puisi ini pernah tergabung di dalam buku Melihat Api Bekerja (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Namun struktur (tipografi) puisi dalam buku tersebut berbeda ketika dibandingkan dengan puisi-puisi yang saya terima. Agaknya terdapat penyesuaian tata letak di dalam buku supaya seimbang dengan gambar-gambar perupa yang bekolaborasi dengan Aan Mansyur untuk buku tersebut[5]Kutipan dalam catatan ini merujuk puisi yang dikirimkan oleh Aan Mansyur. Di dalam buku Melihat Api Bekerja lebih ramping sedangkan yang dikirimkan untuk diskusi ini sepertinya merupakan versi awal … Continue reading. Saya pernah menuliskan catatan mengenai puisi Aan Mansyur berjudul Banalitas Ruang dan catatan kali ini merupakan bagian sekaligus kelanjutannya.
Pada catatan sebelumnya saya mengungkapkan bahwa puisi “Melihat Api Bekerja” merupakan pintu untuk memasuki puisi-puisi lain dalam buku yang judulnya memakai puisi tersebut. Ada satu peristiwa pembacaan ketika saya memasuki puisi Aan Mansyur berjudul “Melihat Api Bekerja” tersebut. Peristiwa ini merupakan sebuah ketaksengajaan ketika saya menemukan hubungan interteks puisi Aan dengan karya lain. Puisi tersebut mengingatkan saya pada satu adegan dalam novel Norwegian Wood, karya Haruki Murakami.
Adegan ketika tokoh Watanabe berkunjung ke rumah Midori di distrik Toshima. Saat itu terjadi kebakaran dekat rumah Midori. Mereka berdua naik ke lantai tiga rumah, tempat penjemuran, dan dari ketinggian itu mereka memandang daerah sekeliling. Mereka menonton kebakaran terjadi di rumah salah satu tetangga Midori. Puisi “Melihat Api Bekerja” langsung mengantarkan pikiran saya ke bagian adegan yang saya anggap sangat banal—dan kebanalan memang kerap dihadirkan Murakami dalam Norwegian Wood. Meskipun Aan Mansyur secara tidak sadar melakukan reproduksi teks terhadap adegan novel Murakami, tetapi teks dalam puisi-puisi Aan Mansyur sejauh pembacaan saya terhadap beberapa puisinya yang dimuat di halaman sastra media massa, atau dalam lima puisi yang dikirimkan untuk diskusi ini, cenderung menegasikan banalitas ruang.
Aku-puisi Aan Mansyur kerap lahir dan memunculkan ruang dengan kepungan struktur atau sebuah sistem yang kian lama kian menjenuhkan. Mengekang dan mengikat erat tubuh dan pikiran aku-puisi (tokoh) di dalamnya. Sehingga aku-puisi dan tokoh lain dalam puisinya menciptakan realitas lain dalam kebanalan ruang tersebut. Aku-puisi Aan Mansyur terkadang berupaya untuk mengasingkan tubuh dan pikiran dari keruwetan sebuah ruang, kota misalnya. Aku-puisi berupaya menciptakan kebahagiaan lain di luar keberbahagiaan yang dirasakan orang kebanyakan. Begitu juga ketika menciptakan kesedihan. Seolah-olah kebahagian dan kesedian tersebut ingin diungkap dengan cara lebih intim. Kebahagiaan dan kesedihan seolah-olah perihal personal, bukan milik publik, dan barangkali tiap-tiap orang punya kebahagian dan kesedihan masing-masing yang sebenarnya tidak dapat dibagi dengan orang lain. Kebahagiaan dan kesediahan ‘aku’ yang tidak benar-benar dapat ‘kamu’ dan ‘kalian’ rasakan.
Dalam adegan Norwegian Wood dapat kita baca, bagaimana narasi ketika Watanebe dan Midori santai minum kopi di lantai tiga rumah sambil melihat kebakaran. Api melahap rumah tetangga Midori dan asap sedang membumbung tinggi. Mereka melihat api tersebut bekerja. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung-raung dari jalanan. Orang-orang di sekitar kebakaran turut melihat api bekerja. Watanabe dan Midori masih sempat berciuman dalam situasi seperti begitu. Mereka berdua cengengesan. Tiada rasa simpati dari dua tokoh tersebut muncul dalam narasi tersebut.
Korelasi mengenai banalitas ruang dapat kita temui dalam lima puisi Aan Mansyur yang didiskusikan untuk hari ini—sebagaimana dapat kita temukan juga hampir pada keseluruhan buku Melihat Api Bekerja. Banalitas ruang memang menjadi kecurigaan saya terhadap konsep penciptaan puisi-puisi Aan Mansyur. Aan memiuh lirik puisi secara timpa-bertimpa mengenai beberapa peristiwa, meski kerap muncul aku-kamu-puisi yang apabila dibaca sepintas akan terkesan menyempit pemaknaannya, hanya akan memunculkan kausalitas aku-kamu-puisi. Namun, ketika puisi Aan terus dimasuki, aku-puisi secara terang-benderang menjadi representasi dari peristiwa yang mewakili realitas ruang bersama kita. Lihat bagaimana bait pertama puisi “Melihat Api Bekerja”:
Di kota ini ruang bermain adalah sesuatu yang hilang dan tak seorang pun berharap menemukannya. Anak-anak tidak butuh permainan. Mereka akan memilih kegemaran masing-masing setelah dewasa. Menjadi dewasa bukan menunggu negara bangun. Menjadi dewasa adalah menu favorit di restoran cepat saji.
Dalam bait tersebut ‘kota’ telah menjadi ruang banal dan menciptakan manusia dengan ketidakberperasaan (senselessness)—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang dalam Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003)—manusia yang tidak mampu lagi merasakan dan lahirlah “anak-anak” yang tidak lagi membutuhkan ruang “permainan”. Manusia yang membiarkan “ruang bermain” hilang begitu saja dan tidak berharap lagi menemukan ruang kegembiraan tersebut. Manusia dengan cara berpikir yang dipengaruhi hasrat untuk lebih praktis seperti “restoran cepat saji”, di mana mereka tidak lagi memerlukan permenungan, refleksi, dan sublimasi dalam menelaah kemanusiaan mereka.
Bait kedua puisi Melihat Api Bekerja seakan mempertegas sosok manusia yang hadir dalam banalitas ruang. Bait puisi tersebut membenturkan mengenai kebutuhan dan hasrat besar manusia akan ‘pagar’ (rumah) ketimbang ‘pendidikan’. Manusia yang lebih memilih membangun ‘pagar’ dibanding ‘sekolah’. ‘Sekolah’ seakan hanya jadi ruang beristirahat dari kesuntukan perkelahian di ‘rumah’:
Para tetangga lebih butuh pagar tinggi daripada pendidikan. Sekolah adalah cara terbaik untuk istirahat berkelahi di rumah. Anak-anak membeli banyak penghapus dan sedikit buku. Terlalu banyak hal yang mereka katakan dan gampang jatuh cinta. Mereka menganggap jatuh cinta sebagai kata kerja dan ingin mengucapkannya sesering mungkin. Mereka tidak tahu jatuh cinta dan mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda.
Saya teringat sebuah esai Avianti Armand dalam buku Arsitektur yang Lain[6]Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur (Gramedia, 2011)ketika simbolisasi ‘pagar’ sebagai bagian dari ruang banal dihadirkan Aan Mansyur dalam puisi tersebut. “Mungkin memang ada fungsi simbolis selain fungsi praktis yang dihadirkan oleh pagar. Menegaskan hierarki, misalnya…” tulis Avianti tentang pagar rumah masyarakat di sebuah kota. Avianti memaknai kebutuhan manusia akan pagar tinggi adalah fenomena masyarakat yang paranoid. Fenomena tersebut dianggap sebagai cerminan keadaan sosial yang lebih luas: disparitas dalam masyarakat, ketimpangan kaya-miskin, dan tak adanya penegakan hukum yang baik. Masyarakat terpaksa mengambil tindakan sendiri untuk menjaga hak miliknya dan melindungi dirinya dari bahaya. Kota telah berkembang menjadi ancaman dan pagar sekedar bentuk tangible (nyata) dari rasa ketidakamanan dan ketidak percayaan yang akut.
Simbol ‘pagar’ tinggi yang dimaksud Avianti baik mengenai masyarakat paranoid, ketimpangan sosial, dan tak adanya penegakan hukum yang baik barangkali hampir sama dengan “hidup dalam kehilangan”, “harapan”, dan “hidup tanpa curiga” yang dianggap sebagai “hidup yang terkutuk” dalam bait puisi “Melihat Api Bekerja” selanjutnya:
Jalan-jalan dan rumah kian lebar. Semakin banyak orang hidup dalam kehilangan. Harapan adalah kalimat larangan, sesuatu yang dihapus para polisi setiap mereka temukan di pintu-pintu toko. Hidup tanpa curiga adalah hidup yang terkutuk. Kawan adalah lawan yang tersenyum kepadamu.
Tiga bait puisi “Melihat Api Bekerja” di atas seakan terus memperlihatkan dan bahkan mempertegas bagaimana cara Aan Mansyur selaku penyair untuk terus menghadirkan bagian dari banalitas ruang (kota) melalui teks puisi. Aan Mansyur seakan merancang arsitektur untuk ruang privat dan kolektif yang penuh dengan kebanalan. Ia membenturkan realitas kehidupan di dalamnya lantas menciptakan sebuah realitas lain yang sebenarnya semu. Dalam kondisi tersebut, pada bait puisi selanjutnya, aku-puisi muncul di tengah kondisi ruang banal dengan citraan masyarakat yang tidak berperasaan. Aku-puisi hadir di tengah masyarakat yang dalam istilah Yasraf telah menjadi mesin-mesin paranoia global. Masyarakat yang membentangkan semacam diseminasi global semiotik (global semiotic dissimination) dengan menyebarkan citra kekerasan, ketakutan, kecurigaan, kebencian dan kutukan, dalam skala besar dengan segala manipulasi dan simulasinya. Lihat bagaimana aku-puisi muncul dalam bait keempat puisi “Melihat Api Bekerja”:
Selebihnya tanpa mereka tahu, sepasang kekasih diam-diam ingin mengubah kota ini jadi abu. Aku mencintaimu dan kau mencintaiku—meskipun tidak setiap waktu. Kita menghabiskan tabungan pernikahan untuk beli bensin. Kita akan berciuman sambil melihat api bekerja.
Aku-puisi dan seseorang lain dengan sebutan ‘kekasih’ hadir sebegai sepasang manusia sadar akan ruang. Sepasang kekasih dengan cara diam-diam berkeinginan mengubah kota menjadi abu. Sepasang kekasih yang berencana menghabiskan tabungan pernikahannya untuk membeli bensin dan mereka akan melakukan adegan seperti Watanabe dan Midori dalam novel Norwegian Wood. Jika ‘api bekerja’ dalam novel Murakami adalah semacam peristiwa yang kebetulan belaka, maka ‘api bekerja’ dalam puisi Aan Mansyur merupa niat dan keinginan aku-puisi dan ‘kekasih’ untuk menghabisi seluruh kota dengan api. Menjadikan kota sebagai abu. Niat atau sebuah usaha untuk menghancurkan apa yang dianggap sebagai realitas semu oleh aku-puisi dan kekasihnya.
Jika kita menelusuri karya Aan yang lain, kita dapat menyimak bagaimana puisi-puisinya selalu berupaya untuk menghadirkan citraan banalitas manusia-manusia kota, serta keterasingan tubuh mereka dengan lingkungan mereka sendiri. Hal tersebut dapat kita temui di empat puisi Aan yang lain untuk diskusi kali ini. Khusus puisi Melihat Api Bekerja, jika pembaca dengan telitik proses perkembangan karya Aan, kita juga akan dapat melihat, betapa puisi ini turut mempengaruhi pengembangan cerita karyanya yang lain, yaitu cerpen berjudul Saya yang Membakar Kota M Sekali Lagi[7]Dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 23 Januari 2016..
Kota, manusia kota, dan banalitas ruang dapat kita lihat pula pada puisi “Memimpikan Hari Libur”. Pada puisi tersebut, terlapat lompatan-lompatan peristiwa, seperti kolase di mana komposisi artistik beberapa peristiwa timpa-bertimpa dan memunculkan bagaimana aku-puisi di dalamnya memimpikan sebuah hari libur. Saya membayangakn betapa aku-puisi dalam puisi tersebut seakan kian terasing, tubuh dan pikirannya direbut oleh situasi kota, hingga untuk sebuah hari libur saja si aku-puisi hanya dapat memimpikannya. Pada bait pembuka puisi tersebut kita dapat melihat bagaimana gambaran manusia kota memaknai hari libur. Gambaran yang turut membuat pembayangan kita seakan dibangun dari kolase “bunga”, “liburan”, “macet”, “supermarket”, “pelaburan udara”, “pantai”:
Bunga-bunga di beranda tertawa melihat orang-orang melintas membawa kendaraan berlibur ke tempat ramai. Kemacetan, supermarket, pelabuhan udara, atau pantai. Hujan bergegas pulang ke langit setelah bekerja keras semalaman.
Simbol-simbol penggambaran situasi manusia kota kemudian pada bait selanjutnya ditimpa dengan kehadiran aku-kamu-puisi di mana “aku” dan “kamu (kau)” juga disusupkan dan barangkali menelusup jauh dalam situasi manusia kota. Di bagian tersebut pula puisi Aan hendak menghadapkan romantisme manusia kota dan bagaimana manusia kota seakan berupaya menemukan sesuatu tentang dirinya pada barang, benda, atau sifat dari benda. Kita dapat melihat bagaimana “puisi” menjadi benda di mana “kamu (kau)” memanifestasikan bagian dari tubuhnya sendiri. Bagaimana “kamu (kau)” dihadirkan “tenggelam di halaman koran Minggu, membiarkan sejumlah puisi berisi masa depan dan masa lalu membaca matamu”. Ada dua kemungkinan penggambaran yang diberikan atas “kamu (kau)” dalam puisi tersebut. “Kamu (kau)” yang benar-benar berhasrat untuk “terbenam” dam menyelam dalam puisi di halaman koran Minggu, atau barangkali “kamu (kau)” hany berhasrat pada tubuhnya seeendiri, “kamu (kau)” hanya hendak menerka-nerka bahwa puisi tersebut memanifestasikan “mata”-nya: “Kau mengenali puisi-puisi itu. Puisi ini meniru mataku, katanya sembari mengulang-ulang nama penulisnya. Namaku”.
Salah satu kegemaran Aan memang memadukan peristiwa banal dengan romantisme. Barangkali hal tersebut yang membuat puisi-puisi Aan dapat menempati posisi strategis di mana ketika puisinya berkisah tentang “cinta” dan “kesepian” antara “aku” dan “kamu”, puisinya tidak terjebak pada ungkapan cinta semenjana dan tidak kehilangan pukau puitiknya. Posisi strategis tersebut dapat kita lihat dari bagaimana Aan dari awal puisi tidak pernah menghadirkan aku-puisi beresama dengan kamu-puisi dalam pusaran peristiwa puisi. Aku-puisi hadir pada kamu-puisi hanya dari keterwakilan “koran” dan “puisiku”, koran Minggu yang memuat puisi-puisi si aku-puisi dalam puisi Memimpikan Hari Libur. Aku-puisi dan kau-puisi dibuat sebagai dua orang terpisah, tidak saling mengenal, sama-sama berupaya memaknai bagaimana seharusnya mereka menikmati hari libur dan hanya dipertemukan melalui puisi di koran Minggu. Perihal tersebut dapat kita lihat pada bait ke tiga, empat, dan satu baris penghabisan puisi:
Astaga! Kau mengagetkan pagi seperti kota membangunkan kesepian. Koran dan puisiku jatuh menimpa dan menumpahkan buah-buahan dari gelas yang telah menempuh usia dan perjalanan jauh demi menjilat lidahmu.
Aku bangun seperti hujan yang pulang ke langit. Kepalaku tidak berada di tempat yang tepat. Aku berjalan ke kamar mandi bersama potongan-potongan mimpi. Pikiranku seperti lukisan Frida Kahlo atau kisah-kisah Italo Calvino. Aku memasukkan diriku ke dalam hari libur dan harapan bisa menemukan siapa namamu.
Sejak hari itu, aku tidak bisa tidur lagi. Juga kau dan kesepian barangkali.
Kita dapat membaca pada bait-bait di atas bagaimana aku-puisi dan kamu-puisi hadir dalam dua peristiwa dan dalam ruang berbeda pula. Kamu-puisi dengan peristiwa koran dan puisi jatuh dilanjutkan dengan kalimat mujarab “gelas yang telah menempuh usia dan perjalanan jauh demi menjilat lidahmu”—kalimat ini saya anggap strategis ketika Aan bermain dengan puisi romantis, aku tidak langsung dihadirkan, tapi melalui pengandaian benda lain untuk mencapai kamu-puisi. Atau barangkali sebenarnya kamu-puisi berada dalam mimpi aku-puisi? “Kamu” tidak benar-benar ada, hanya pembayangan dari “aku” dalam mimpi, dan peristiwa mengenai “kamu” itulah sebenarnya sebuah upaya untuk “memimpikan hari libur” yang menjadi tajuk dari puisi tersebut. Hari libur hanya dapat dinikmati ketika “aku” memimpikan “kamu”, tidak dapat diraih sebagai mana usaha manusia-manusia kota lain meraih hari liburnya, dengan “berkendaraan ke tempat ramai”.
Dan ketika “aku” terbangun dari tidurnya? Di tahapan ini aku-puisi seakan kehilangan sebuah peristiwa, barangkali hari libur yang hanya bisa ia mimpikan tercerabut karena terbangun, dan peristiwa kehilangan tersebut digambarkan seperti “hujan yang pulang ke langit”. Saya membayangkan peristiwa ini seperti proses evaporasi (penguapan), proses pembentukan awal hujan, di mana ketika proses akhir limpasan, air menguap naik hingga menjadi awan. Dan mimpi aku-puisi tentang hari libur dan peristiwa hadirnya “kamu” sebagaimana diumpamakan “hujan” menguap kembali pada “langit”. Pada bagian ini aku-puisi juga terbangun dengan pembayangan bahwa kepalanya “tidak berada pada tempat yang tepat”, ia berjalan “ke kamar mandi bersama potongan-potongan mimpi” yang dibangun dari awal dari peristiwa seperti kolase. Kondisi “kepala”, “potongan-potongan mimpi”, serta “pikiran” aku-puisi ketika terbangun turut didukung oleh pnghadiran bahwa ia sedang dalam kondisi seperti dalam lukisan Frida Kahlo atau kisah Italo Calvino.
Kita dapat sedikit mereka-reka apa yang dimaksud aku-puisi Aan ketika pikirannya seperti lukisan Frida Kahlo. Penghadiran satu lukisan Frida Kahlo di atas merupakan pembayangan, di antara sebagian besar lukisan Kahlo bercorak surealis, di mana di dalam satu bingkai hadir beragam simbol-simbol berserakan. Begitu juga dengan kisah Italo Calvino, hadir mendampingi Frida Kahlo dalam untuk menggambarkan kondisi pikiran aku-puisi, Calvino yang kerap dirujuk sebagai seeorang pascamodernis di mana ia kerap mengekplorasi permainan tanda-tanda dalam karyanya.
Barangkali puisi “Memimpikan Hari Libur” memparafrasekan peristiwa manusia kota di mana hari libur terbaik berada di dalam mimpi. Sebagimana aku-puisi dengan peristiwa seperti kolase dipenuhi simbol-simbol di kepalanya ketika ia terbangun dari peristiwa mimpi. Ia berharap dapat masuk lagi ke peristiwa mimpi, ke dalam “hari libur”, di mana ia berharap “bisa menemukan siapa namamu”. Tapi aku-puisi, sejak ia tebangun dengan kondisi yang barangkali sureal, ia tidak dapat tidur lagi. Ia tidak dapat menemukan hari libur lagi dan tidak bisa kembali menemui “kamu”. “aku”, “kau (kamu), dan “kesepian” dalam pengakhiran puisi tersebut dihadirkan tidak lagi dapat tidur. Saya membayangkan bagaimana sebuah “kesepian” tidak dapat tidur untuk memasuki hari liburnya. Sungguh sebuah peristiwa banal dan sureal untuk penggambaran manusia-manusia kota dengan kompleksitas permasalahan ruangnya.
Puisi “Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia” dan “Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam” membawa persoalan hampir sama dengan “Melihat Api Bekerja” dan “Memimpikan Hari Libur”. Ada peristiwa-peristiwa banal yang kemudian menginterupsi bagian-bagian dari puisi Aan yang bercerita perihal cinta dan kenangan.
References[+]
↑1 | Catatan terbaru mengenai persoalan bahasa ini dapat dibaca pada tulisan berjudul “Lapis Pikiran M. Aan Mansyur” di https://beritagar.id/artikel/figur/lapisan-pikiran-m-aan-mansyur (diakses 26 Maret 2018). |
---|---|
↑2 | Beberapa nama bahkan sulit melacak karya mereka karena jarang menerbitkan di media pada periode tersebut. Salah satu buku membuat kumpulan puisi pilihan penyair muda dari Sulawesi Selatan adalah buku tak ada yang mencintaimu setulus kematian (Logung Pustaka & Akar indonesia, 2004). Buku tersebut merupakan program Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, berupa penerbitan karya para penyair dan cerpenis Indonesia yang tampil di Taman Ismail Marzuki, 14-17 September 2004. Program ini menerbitkan tujuh buku (puisi dan cerpen) dari tujuh provinsi pilihan dan empat penyair muda Sulawesi Selatan terpilih Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Wahyu Nurba, dan Tri Astoto Kodarie, untuk diterbitkan puisi-puisi mereka dalam satu buku. |
↑3 | Lihat catatan Zen Hae berjudul Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja, diterbitkan Koran Tempo secara bersambung dalam dua kali penerbitan, tanggal 13 dan 20 Juli 2018. |
↑4 | Lihat catatan pembuka Sapardi Djoko Damono untuk buku puisi Melihat Api Bekerja, Gramedia Pustaka Utama, 2015 |
↑5 | Kutipan dalam catatan ini merujuk puisi yang dikirimkan oleh Aan Mansyur. Di dalam buku Melihat Api Bekerja lebih ramping sedangkan yang dikirimkan untuk diskusi ini sepertinya merupakan versi awal dengan struktur seperti prosa, menyesuaikan dengan marjin pengetikan. |
↑6 | Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur (Gramedia, 2011 |
↑7 | Dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 23 Januari 2016. |