Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Ody Dwicahyo
Para pecinta wayang atau wisatawan sekaligus penonton sendratari Ramayana di Prambanan tampaknya sepakat bahwa epos Ramayana berpusar pada tiga tokoh ini: Prabu Rama, Dewi Sita, dan Rahwana. Di lapis kedua cerita terdapat tiga third-wheel yang tak boleh dilupakan: Raden Laksmana, adik Rama; pahlawan kita semua: Anoman, kera putih dan komandan bala tentara wanara; dan Kumbakarna, adik Rahwana yang selalu digambarkan berperawakan lebih besar daripada kakaknya. Di lapis ketiga, berdiri para pendukung setia dari masing-masing faksi: Serpakenaka, adik perempuan Rahwana yang sekaligus menjadi perawat Sita; serta Sugriwa dan Subali, yang keduanya adalah deputi dari Anoman dalam urusan gempur-menggempur Kerajaan Alengka.
Banyak orang percaya bahwa epos Ramayana memiliki pesan moral yang berotasi di sekitar kisah asmara Rama, Sita, dan Rahwana. Tak ubahnya periode pasca-pemilu di Indonesia, penikmat cerita mengalami perpecahan dalam urusan membela Rama dan Rahwana. Bayangkan jika kedua raja ini adalah laki-laki di dalam jagat twitter Indonesia. Tak satupun akan selamat dari slomotan komen pedas para warganet.
Rama memang begitu sungguh-sungguh menjaga Sita meskipun di akhir hari menjelma menjadi lelaki yang akan dihujat oleh jagat twitter Indonesia karena mempersoalkan kesucian Sita setelah ia diculik oleh Prabu Rahwana. Rahwana juga tak bisa lolos dari hujatan karena manifestasi rasa cintanya ditunjukkan dengan tindakan toxic berupa penculikan Dewi Sita. Kita belum menyoal pembunuhannya terhadap Jatayu yang akan menjadikannya sasaran empuk dari perundungan para pecinta hewan.
Kemudian kita menyadari salah satu peristiwa yang menjadi titik temu dari kisah dua Prabu posesif ini adalah penculikan terhadap Dewi Sita. Pesan moral soal kesetiaan, asmara, dan kepercayaan yang dapat dipetik dari epos Ramayana nampaknya sudah terlalu sering diulang-ulang atau menurut istilah anak gaul Jakarta Selatan: overrated. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendekonstruksi lapisan-lapisan di paragraf pertama. Kisah cinta akan diletakkan terlebih dahulu dan kisah penculikan akan dikedepankan. Ditya Kalamarica, sang penculik berbulu rusa, adalah tokoh utama cerita ini.
Ditya Kalamarica atau Marica adalah sesosok raksasa yang dikenal sebagai penjaga Hutan Dandaka. Menurut cerita pewayangan, sosok awal Marica adalah manusia biasa yang karena kutukan berubah menjadi raksasa pemakan bangkai manusia. Kutukan ini menimpa Marica ketika ia membela ayahnya, Sunda, yang dilukai oleh seorang resi. Tidak hanya Marica yang terkena kutukan, Tataka, ibundanya yang awalnya berparas cantik jelita juga harus berubah menjadi raseksi.
Perjumpaan Marica dengan Rama dan Laksmana juga tidak hanya terjadi ketika ia harus menculik Sita. Sebelumnya, Rama pernah memburu Marica dan ibundanya. Ibundanya meregang nyawa di tangan Rama sementara Marica berhasil melarikan diri. Kedua kalinya, Marica dan teman sepergaulannya, Subahu, dihukum oleh Laksmana karena telah berbuat onar di sebuah tempat upacara keagamaan. Marica dan Subahu mengotori tempat itu dengan daging mentah dan darah dan memancing kemarahan Laksmana, yang mungkin kala itu menjabat sebagai komandan sebuah front pembela agama. Laskmana lantas memanah Subahu dan membuang Marica ke laut.
Lelah kucing-kucingan dengan Rama dan Laksmana, Marica kemudian mengiyakan ajakan Rahwana untuk menjadi patihnya. Preman yang diberi jabatan mentereng, tidak asing kan? Pada posisi sebagai patih inilah Marica menjalankan penculikan terhadap Sita. Kita mungkin familiar dengan pilihan Marica untuk menyamar sebagai seekor rusa bernama Kidang Kencana untuk menarik perhatian Sita. Mungkin Sita sebelumnya berdomisili di sekitar Istana Bogor sehingga membuat hatinya bungah ketika melihat seekor rusa.
Satu hal yang jarang diungkap adalah bagaimana Marica pada awalnya menolak perintah raja raksasa berwajah sepuluh itu. Marica percaya bahwa penculikan terhadap Dewi Sita akan menjadi awal bagi keruntuhan Kerajaan Alengka. Nampak jelas bahwa Marica bukanlah tipe penculik ala (sinetron) Indonesia yang selalu berujar, “Siap, bos!” Marica berani menyampaikan nubuatnya kepada komandannya. Ia percaya bahwa sebuah tindakan penculikan, betapapun di kemudian hari dapat ditutupi atau dibersihkan dengan bantuan para pengicau istana, akan meruntuhkan kedigdayaan Alengka dan para raksasa pada umumnya.
Seperti kita tahu, akhirnya Marica tetap memutuskan untuk kembali ke hutan, wilayah operasionalnya sebelum ia diangkat menjadi patih. Kesediaan Marica dalam menjalankan perintah Prabu Rahwana konon didorong oleh hasutan Serpakenaka yang berhasil meyakinkan Ditya Marica bahwa adik Rahwana itu telah dihinakan oleh Rama dan Laksmana. Berbekal kemarahan abadi kepada Rama dan Laksmana yang sudah mencoba membunuhnya berkali-kali, Ditya Kalamarica berangkat untuk menculik Dewi Sita dengan berubah wujud menjadi Kidang Kencana. Keputusan Marica dalam memenuhi perintah Rahwana membuatnya meregang nyawa. Hidupnya hilang bersama dengan nasihat yang telah ia sampaikan kepada atasannya.
Kematian Marica membuat Rahwana bisa terbang melenggang ke angkasa bersama Sita yang terpaksa menuruti kemauannya. Setelah dihantam isu miring karena bersedia mengangkut kuda besi milik seorang pejabat di Ayodya, Garuda Jatayu tetap melaksanakan tugas Sri Rama untuk mencegah penerbangan Rahwana. Pertempuran udara terjadi dengan sengit. Jatayu keok dan jatuh ke bumi. Rahwana berhasil memboyong Dewi Sita ke istananya. Singkat cerita, Rama dan Laksmana bersitegang, Anoman berangkat menyeberang lautan dan membawa Dewi Sita kembali ke Ayodya. Kemudian, nubuat Marica terbukti benar, Alengka hancur berantakan diosak-asik pasukan kera yang tidak sepenuhnya kera. Beberapa prajurit Wanara sesungguhnya adalah kapi: makhluk-makhluk hibrida kera dengan sapi, burung, kambing, kepiting, hingga singa. Lebih repotnya, para kapi ini bermain api (secara harfiah) dan membakar seluruh istana Alengka.
Tokoh utama cerita kita, Ditya Kalamarica, mungkin sudah membusuk di hutan. Ia wafat kesakitan karena terhujam panah Sri Rama yang sebelumnya selalu berhasil ia hindari. Tempat kejadian perkaranya tak kalah menyedihkan: hutan, sebuah tempat di mana semua trauma masa lalunya tercipta. Kehilangan ayah, ibu, dan rekan sepergaulannya: Ditya Subahu. Anggaplah Ditya Kalamarica adalah pahlawan, maka kematiannya harus kita maknai.
Jika Kalamarica punya aji pancasona seperti atasannya, Rahwana, pastilah ia masih hidup dan menjalankan kutukan keduanya. Ia akan hidup di negara yang sudah hancur semata-mata karena sang raja tak mendengarkan nasihatnya. Ia mungkin akan tetap disiagakan sebagai perwira dinas penculikan. Alengka sudah binasa, target operasi Marica berikutnya mungkin saja tidak berdasarkan pada kisah asmara atasannya tetapi untuk mengamankan para kawula dan wadyabala yang buka suara karena merasa sudah memperingatkan Rahwana tentang kebinasaan yang sebenarnya bisa dicegah. Tetapi Marica mati, menyusul Tataka, Sunda, dan Ditya Subahu. Gunungan ditancapkan di tengah. Cerita selesai.