Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Pengaruh Peristiwa ’65 pada Kondisi Kesehatan Jiwa Masyarakat Indonesia

author = Mustaqim Aji Negoro

Peristiwa ‘65 merupakan salah satu cerita sejarah terbesar di Indonesia yang terjadi pada abad ke-20. Peristiwa ini diawali dengan adanya penculikan dan pembunuhan enam orang perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada malam 30 September 1965. Jenazah para perwira ini kemudian ditemukan di sebuah sumur tua yang ada di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur tak lama setelahnya. PKI dituduh oleh Angkatan Darat sebagai biang keladi di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan ini.

Segera setelah berita pembunuhan terhadap para Jenderal Angkatan Darat ini menyebar, kondisi stabilitas politik dan keamanan nasional menjadi tidak stabil dan berubah mencekam. Berlangsung aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan beberapa organisasi masyarakat anti-PKI dan anti-Soekarno yang dibekingi militer di beberapa kota besar tak lama setelahnya. Tuntutan mereka jelas, yakni pembubaran PKI dan pembersihan kabinet Soekarno dari unsur-unsur Kiri. 

Hal yang perlu menjadi catatan penting di sini adalah, aksi protes dan demonstrasi tersebut, diikuti dengan persekusi, perburuan, penangkapan, dan pembunuhan massal terhadap para anggota PKI, simpatisan, atau orang-orang yang sekedar dituduh sebagai simpatisannya di mana-mana beberapa hari sampai jauh berbulan-bulan berikutnya.  

***

Siapa sangka peristiwa berdarah yang berlangsung mulai Oktober 1965 sampai akhir 1966 ini ternyata tidak hanya membawa dampak pada insiden pembunuhan massal atau masalah lain yang tampak secara fisik semata. Akan tetapi, lebih daripada itu, juga berdampak langsung terhadap kondisi psikologis dan kesehatan jiwa orang-orang yang hidup di zaman tersebut. 

Contoh penggambaran paling baik dari kasus ini adalah data yang berhasil dihimpun oleh Dr. Mikail Bharya (salah seorang psikiater tersohor yang hidup pada masa itu) dalam artikelnya di “Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 3 Juli 1972” mengenai kejadian percobaan bunuh diri yang menimpa seorang wanita sunda-muslim berinisial (N) yang mencoba memotong urat nadi di pergelangan tangannya sendiri akibat dituduh komunis dan dihindari kehadirannya oleh para tetangga di sekitarnya pasca peristiwa pada tahun 1965 tersebut (hlm. 65).

(Sumber foto: Dokumentasi penulis, Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 3 Juli 1972, hlm. 65)

Dalam kasus itu, wanita berinisial (N) mulai memiliki konflik dengan tetangganya  disebabkan oleh hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Yakni, ketika keluar untuk bergaul dengan tetangganya, wanita tersebut merasa bahwa para tetangga menganggap dirinya sebagai seorang komunis, dan dia yakin bahwa para tetangganya tersebut menghindari kehadirannya karena sebab itu. Semenjak cap komunis melekat pada dirinya ia merasa terasing dan putus pengharapan. Kondisi kesehatan jiwanya menjadi menurun. Kondisi ini terus berlangsung hingga pada suatu hari, karena tekanan batin yang luar biasa tersebut, tanpa suatu niatan khusus sebelumnya, akhirnya ia memutuskan untuk mencoba memotong nadi di pergelangan tangannya. 

Disebutkan pula dalam tulisan itu, latar belakang keluarga wanita yang coba melakukan bunuh diri tersebut adalah orang tidak mampu, ia memiliki dua belas saudara yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal apapun dan tak pernah tergabung dalam organisasi partai politik manapun (termasuk PKI tentu saja).

Cerita mengenai orang tak bersalah yang tidak memiliki afiliasi apapun dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) lalu dituduh komunis oleh para tetangga, atau orang-orang di lingkungan di sekitarnya merupakan cerita yang lumrah terjadi pada waktu-waktu tersebut (lihat misalnya penggambaran yang menakjubkan di buku berjudul Palu Arit di Ladang Tebu). 

Karena dalam hal ini, basis data yang digunakan untuk dapat mengatakan seseorang merupakan simpatisan atau anggota partai komunis sendiri tidaklah jelas dari mana asalnya.  Lalu, kalaupun benar mereka merupakan anggota partai komunis atau simpatisannya, atas dasar justifikasi apa orang-orang desa yang tidak tahu duduk perkara apa-apa mengenai dunia politik itu bebas untuk dibantai sedemikian rupa tanpa proses peradilan? Data-data menyebut jumlah korban keganasan sentimen anti-komunis tersebut tak kurang dari 500.000 orang, bahkah ada yang menyebut sampai 2 juta orang.

Cerita lain adalah apa yang menimpa Yunus Tan Liang Seng (37 tahun) yang pergi ke Jakarta sejak 11 Juli 1980. Hingga berita dalam Kompas yang terbit pada 22 Oktober 1980, ia belum kembali ke rumahnya di Bogor. Diketahui, Yunus dahulu sempat duduk sampai Tingkat IV sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UI sebelum akhirnya menderita gangguan jiwa akibat syok yang dialaminya sewaktu berlangsung demonstrasi mahasiswa dan sentimen anti-PKI pasca peristiwa ’65.Sementara itu, dalam buku yang berjudul Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa yang ditulis oleh dr. Denny Thong, spKJ yang bercerita tentang sejarah hidup Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro (seseorang yang dijuluki Bapak Psikiatri Indonesia) menyebut bahwa pada masa pergolakan politik yang sedang terjadi pada 1965-1966 tersebut juga membawa dampak yang signifikan pada kondisi penanganan kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Di samping itu, sebagaimana hasil wawancara dr. Thong dengan dr. W. M. Roan SpKJ, teman seperjuangan Prof. Kusumanto Setyonegoro juga menyebut telah terjadi kebingungan di kalangan para psikiater, khususnya yang ada di Jakarta mengenai kondisi tersebut. Berikut kutipan hasil wawancaranya:

“Masa itu (1965-1968) sangat tidak menguntungkan bagi kami, para psikiater. Beliau (Prof. Kusumanto) berpendapat agar kami tidak terlibat dalam masalah politik. Prahara politik memunculkan banyak ketegangan yang berdampak pada munculnya gangguan jiwa yang terkontaminasi politik. Misalnya, ada orang yang mengaku komunis (pasien bernama H), padahal ia adalah penderita gangguan jiwa di sebuah RSJ Jakarta.” Kenang Roan

(hlm. 49)

Sebagai tambahan, dalam tulisannya yang berjudul, “Sejarah Kesehatan Jiwa di Indonesia” di Majalah Psikiatri Jiwa edisi No. 1 Januari 1976, Prof Kusumanto Setyonegoro secara implisit menulis kalimat, “sesudah kabut G30S mulai mereda dan menipis, bagi Direktorat Kesehatan Jiwa tercipta kemungkinan untuk secara lebih tegas meletakkan landasan-landasan yang kokoh bagi perkembangan suatu instansi kesehatan jiwa yang modern.”(hlm. 84).

Jika kita cermati kalimat tersebut, maka disimpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh Prof. Kusumanto di atas—yang pada saat itu menjadi bagian langsung dari Direktorat Kesehatan Jiwa—bahwasanya peristiwa G30S juga memberikan dampak langsung terhadap institusi tempatnya bekerja untuk melakukan modernisasi dan peningkatan pelayanan kesehatan jiwa. Terjadi stagnasi di sana sebagai akibat dari peristiwa tersebut.

Sementara itu, data resmi yang berhasil dihimpun oleh Sanatorium Dharmawangsa (salah satu rumah sakit jiwa swasta pertama yang ada di Indonesia) sebagaimana yang termuat dalam “Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 2 April 1968” mengenai jumlah pasien yang berobat ke sana dalam kurun waktu 1962-1966. Tercatat telah terjadi lonjakan yang signifikan pada kurun waktu 1965-1966, yakni terjadi penambahan 126 orang pasien baru pada 1965 dan 189 orang pada tahun 1966. Padahal penambahan pasien yang berobat ke sana pada tahun-tahun sebelumnya tak mencapai 100 orang pasien per-tahun. Data yang hampir sama terdapat di Klinik Psikiatri RSCM-FKUI mengenai penambahan jumlah pasien yang ada di sana pada tahun 1965 sampai dengan 1966. Tercatat, terdapat penambahan 220 pasien penderita gangguan jiwa pada 1965, yang lalu meningkat jumlahnya menjadi 260 orang pada 1966 (ibid., hlm 77).

Di sisi yang lain, pendapat yang sedikit berbeda datang dari Prof. Sasanto Wibisono dalam sesi wawancara pribadi dengan penulis. Ia menyebut bahwasanya tak ada korelasi langsung yang dapat dibuktikan secara ilmiah antara isu kesehatan jiwa dengan huru-hara politik yang terjadi pada tahun 1965-1966 tersebut. Apalagi sampai dapat meningkatkan jumlah penderita gangguan jiwa yang ada  pada waktu itu. Kalaupun dalam beberapa kasus didapati penambahan, katanya, itu hanya terjadi dalam skala kecil dan dalam kasus gangguan kesehatan jiwa yang ringan sampai sedang, seperti stress dan gangguan kecemasan karena situasi yang terjadi. Perlu diungkapkan di sini, pada saat gejolak politik dan pembantaian besar-besaran tersebut berlangsung, Prof. Sasanto Wibisono muda sedang menempuh studi lanjutan khusus psikiatri di Amerika Serikat (1964-1966).

(Wawancara pribadi penulis dengan Prof. Sasanto Wibisono di tempat kerjanya di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada tanggal 30 Januari 2020, pukul 11.30)

Adanya perbedaan pandangan di kalangan psikiatri ini sebenarnya lebih disebabkan karena belum adanya data-base resmi, dan sarana informasi yang lengkap serta ilmiah di bidang psikiatri yang ada di Indonesia waktu itu. Jadi, pendapat dan argumen yang mereka katakan lebih banyak bersumber dari pengalaman pribadi sehari-hari mereka ketika bertemu pasien dan ketika melihat apa kejadian yang sedang terjadi di sekeliling mereka sendiri. Di samping itu, Prof Sasanto Wibisono pada saat terjadinya peristiwa berdarah-darah tersebut tidak sedang berada di Indonesia. Ia pada 1964-1966 sedang menempuh studi lanjutan psikiatrinya di Amerika. Berbeda dengan pernyataan senior sekaligus koleganya, Prof. Kusumanto Setyonegoro yang pada saat itu aktif sebagai seorang psikiater dan pengajar di jurusan Psikiatri FK-UI dan bagian langsung dari Direktorat Kesehatan Jiwa. Ataupun juga, data-data yang berhasil dihimpun oleh Dr. Mikail Barya dan kolega di “Majalah Psikiatri Jiwa” yang pada saat kejadian berlangsung memang sedang berada dan bertugas menjadi psikiater di Indonesia.

Daftar Pustaka

Sumber Majalah dan Koran Sezaman

Kompas, edisi 22 Oktober 1980.

Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 2 April 1968.

Majalah Psikiatri Jiwa, edisi. No. 1 Januari 1976.

Majalah Psikiatri Jiwa No. 3 Juli 1972.

Buku Bacaan Terkait

Denny Thong, et al. 2011. Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa. (Jakarta: Gramedia).

Wawancara dengan tokoh terkait

Wawancara pribadi dengan Prof. Sasanto Wibisono di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Tanggal 30 Januari 2020, Pukul 11.30.