Category: opini

  • Puasa Terakhir Pelacur Kramat Tunggak

    author = Bambang Widyonarko

    Siang itu di sebuah kelas yang
    terletak di pojok gedung tua kampus tertua di Yogyakarta, seorang sejarawan
    yang mendalami sejarah kriminalitas berkata, “Pelacur, mata-mata, dan serdadu
    adalah tiga pekerjaan tertua seumur peradaban manusia.” Beberapa tahun terakhir
    masa kuliah, ucapan dosen tadi menggenapi teori Jared Diamond tentang bisnis
    seks sebagai bagian dari petualangan hidup manusia. Selama manusia hidup dengan
    nafsunya, di sanalah penjaja seks akan hadir melekat layaknya bakteri dalam
    tubuh. Ia bukanlah patogen pembawa penyakit, namun bagian dari mikro-organisme
    yang menyusun tubuh kehidupan.

    Berbicara mengenai penjaja seks,
    ingatanku menarik memori masa silam pada sebuah tempat. Tempat itu hanya
    selemparan tombak dari tempat tinggalku di pesisir utara Jakarta. Tak elok bila
    hanya disebut ‘tempat’, lebih tepatnya lagi kawasan. Kawasan yang menjadi
    tujuan para petualang cinta satu malam. Kramat Tunggak yang melegenda.

    Adalah Ali Sadikin yang
    ‘menciptakan’ Kramat Tunggak. Pada saat ia menjadi orang nomor satu di Jakarta,
    ia gusar akan kehadiran para pelacur yang berkeliaran hingga ring satu ibukota.
    Pelacur-pelacur yang awalnya hanya menjajakan diri di sekitar Segitiga Emas
    Senen, berani merambah hingga Sarinah dan Menteng. Sepulang dari lawatan ke Bangkok,
    Ali Sadikin lantas membuat lokalisasi tersendiri yang menampung para pelacur
    itu agar mudah dikontrol dan mengurangi efek kumuh ibukota. Maklum dibawah Orde
    Baru developmentalism adalah
    panglima, sehingga apapun yang mengganggu estetika pembangunan akan ‘ditata’.

    Kawasan Kramat Tunggak ini berada di
    wilayah Koja, Jakarta Utara. Hanya sepertiga gowesan sepeda jengki dari muka Pelabuhan Tanjung
    Priok. Kala itu, Kramat Tunggak pernah diklaim sebagai lokalisasi terbesar di
    Asia Tenggara mengalahkan Patpong di Thailand. Klaim ini dengan bangga
    didengungkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota sebagai branding wisata lucah di Jakarta. Bak daya tarik magnet pula,
    perempuan berduyun-duyun datang ke Kramat Tunggak untuk ikut ambil bagian dalam
    semarak rengkuhan birahi. Tak dipungkiri, sebagian besar dari mereka terjebak
    dalam masalah ekonomi. Kebanyakan diiming-imingi tawaran bekerja di pabrik
    dekat pelabuhan, namun nasib memperdaya mereka di tangan mucikari.
    Perempuan-perempuan itu kebanyakan datang dari daerah-daerah sekitar Pantai
    Utara Jawa.

    Kramat Tunggak menjelma menjadi
    sebuah kata kunci nun sakti yang semua orang Tanjung Priok paham. Bila para
    pelaut-pelaut itu sudah mendarat, tukang ojek sepeda dengan tangkas
    mengantarkan mereka ke mami-mami di
    sekitar pondok cinta. Sekali tarik layar, dalam semalam pelaut dan pelacur itu
    sudah mengarungi samudera nafsu. Lepas itu, giliran buruh-buruh pabrik sekitar
    pelabuhan yang datang menjajal keperkasaan mereka. Silih berganti kelas bawah
    pekerja membuang lendir di Kramat Tunggak. Begitu terus setiap hari.

    ***

    Pada tahun 1980-an, sebuah langgar
    kecil berdiri hanya lima langkah kaki di depan bilik asmara. Dalam langgar itu,
    bermukim seorang alim yang biasa dipanggil Kang Ali. Ia adalah santri jebolan
    pondok di Tasikmalaya. Pada awal kedatangannya, Kang Ali seolah ditelanjangi
    oleh tatapan sinis para mucikari. Mucikari ini seakan bertanya pada Tuhan, “Bagaimana mungkin di taman surga dunia,
    Engkau turunkan wali? Salah tempat bukan?

    Langgar kecil itu tak pernah
    berisik. Azan yang berkumandang selalu terasa senyap dibanding lenguhan dan
    desahan yang terdengar lantang. Pelita yang ada dalam langgar, juga tak kalah
    redup dengan keremangan bilik di kanan-kirinya. Kang Ali adalah anomali.

    Beberapa waktu berselang, segelintir
    gadis tanggung datang menemui Kang Ali. Mereka ingin belajar agama setelah
    merasa hari-harinya penuh berlumur dosa. Kang Ali hanya tersenyum, senyum yang
    tak menghakimi nasib mereka. Sore itu, ia berkisah tentang seorang pelacur yang
    dijamin surga oleh Tuhan lantaran berbuat kebaikan. Begitupun mereka, Tuhan tak
    pernah memilih-milih dalam berkasih sayang.

    Tatkala aparat militer Orde Baru
    merangsek masuk mengusik kehidupan malam Kramat Tunggak, tak ada siapapun yang
    berani menghentikan laju sepatu lars mereka. Para preman dan centeng yang biasanya memasang tampang
    garang di depan pondok cinta, ciut bagaikan kerupuk yang tersiram air.
    Aparat-aparat itu meminta retribusi tinggi seraya menggerayangi para pelacur.
    Kang Ali berdiri tegak melawan kesewenang-wenangan itu. Nada suaranya keras,
    mengutuk tindakan biadab dengan qira’at
    tertinggi seorang santri. Sayup-sayup pemerintah pusat menengok berita tentang
    ini. Kontrol militer atas kawasan ini dikurangi, kontrol kesehatan ditingkatkan
    demi melindungi para penjaja seks di sana.

    Ketika Ramadhan tiba, lambat laun
    Kramat Tunggak mulai berbenah. Bila sebelumnya bulan suci itu tak ada berbeda
    dengan sebelas bulan lainnya, saat Ramadhan pondok-pondok cinta berangsur
    menutup tirainya. Perlahan walau sedikit yang memulai, jam operasional hotel esek-esek dikurangi jam tidurnya.
    Gadis-gadis dengan terbata melantunkan bait demi bait firman Tuhan. Sebagian
    besar dari mereka berpuasa, hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh
    mereka.

    Tak lupa Kang Ali berbagi
    pengetahuan akan ketrampilan hidup. Beberapa gadis diajarkan untuk mengolah
    masakan dengan bantuan ibu-ibu pengajian kampung sebelah. Tak ketinggalan
    mereka juga diajarkan menjahit dan mengelola binatu. Dalam hati kecil Kang Ali,
    ia yakin suatu saat keterampilan ini berguna bagi mereka.

    Kehadiran Kang Ali yang sempat
    dianggap anomali, pada akhirnya mengetuk sanubari. Ia tak kenal aji mumpung untuk membuat para pelacur
    itu hijrah kembali di jalan yang benar.
    Baginya, hidup adalah pilihan. Seperti tukang gorengan yang menjajakan makanan,
    begitu pun pekerjaan pelacur-pelacur itu. Siapapun tak pernah punya impian
    menjadi tukang gorengan atau bahkan pelacur. Nasib dan takdir membawa mereka
    pada pilihan berbeda. Sekali lagi bukan salah mereka, nasib ini hanya sedikit
    karunia Tuhan di dunia. Walaupun terkadang misoginis, Kang Ali selalu punya
    cara mengangkat harkat dan martabat para pelacur sebagai perempuan. Perempuan
    yang menduduki singgasana mulia dalam Islam. Itu yang sering diulang.

    Nun jauh di sana, Tuhan mengutus
    manusia jatmika seperti Kang Ali. Hidup bersama kaum marjinal perkotaan,
    menjadi bagian dari masyarakat yang terpinggirkan. Tersisih dan dikerdilkan
    oleh rezim pembangunan. Ya, di Yogyakarta bermukim seorang wali kinasih sohor dengan nama Sang Burung Manyar.

    ***

    Saat Sutiyoso menjabat Gubernur
    Jakarta, ia dengan bangganya meratakan Kramat Tunggak lantas menggantinya
    dengan sebuah bangunan megah bernama Jakarta Islamic Centre.
    Perempuan-perempuan penghuni bilik asmara, tercerai dari induk semangnya.
    Mereka terdesak dan semakin termarjinalkan. Pekerjaan hilang, begitupun dengan
    rumah mereka. Sebagian yang beruntung dapat menyambung hidup kembali di
    klub-klub karaoke seberang pelabuhan. Atlantika, Presiden, Borneo, dan sederet
    nama lain dari ‘rumah’ baru mereka. Tak sedikit pula dari mereka lari ke Rawa
    Malang, suaka baru yang bisa memberikan penghidupan.

    Bangunan megah bernama Jakarta
    Islamic Centre itu resmi berdiri tahun 2003. Masjid itu menjadi lambang
    kemenangan orang-orang suci memberantas najis di hadapan mereka. Najis-najis itu tercabut dari
    kehidupannya setelah nasib baik tak pernah berpihak. Kali kedua mereka
    dikalahkan lagi oleh kuasa patriarki. Dicabuli oleh negara setelah sebelumnya
    oleh lelaki ‘pelanggan’ mereka. Apakah yang lebih menyedihkan dari setelah
    diperkosa, diusir dari rumah, dan menjadi papa?

    Toh nyatanya setelah aku beranjak dewasa, aku sering mendengar
    transaksi birahi di sekeliling bedeng-bedeng
    yang menempel pada tembok tinggi masjid. Pemukiman kumuh yang selalu kebanjiran
    saat musim penghujan, sangat kontras dengan hijaunya rumput di halaman masjid.
    Anak-anak kecil berperut buncit berlarian dengan riang di belakang tembok itu.
    Saluran air yang mampat dan menghitam, jelas menghantarkan aroma tersendiri
    pada indera penciuman. Tak ada lagi pelacur-pelacur Kramat Tunggak, mereka
    sudah menjadi “mantan pelacur” di kampung kumuh itu. Begitulah pemandangan
    sehari-hari yang aku ulangi sepulang sekolah dengan seragam putih abu-abu
    melintasi kawasan tersebut.

    Masjid besar itu bukanlah langgar yang sebelumnya didirikan Kang Ali. Bangunan hanya semiotika belaka. Simbol transformasi tempat ‘kotor’ menjadi tempat ‘suci’. Ia hanya sekadar tempat sujud orang-orang beriman tanpa pernah menyisakan sedikit bentangan sajadah untuk para mustadh’afin yang tersisihkan. Kotak-kotak amal dengan gembok besar mengingatkan pada peti-peti harta milik Qarun. Si miskin yang tak bisa mencicipi hak miliknya. Masjid besar merepresentasikan ketaatan agung terhadap Tuhan, tapi terkadang abai dengan perkara minor kemanusiaan. Kembali lagi, sekali lagi, dan untuk terakhir kali, para pelacur itu ‘hilang’ dari kisah mereka sendiri.

    Sungguh
    puasa terakhir para pelacur di Kramat Tunggak adalah saat Kang Ali masih hidup.
    Mungkin, mereka akan belajar berpuasa kembali saat Imam Mahdi turun ke bumi.
    Entahlah.

  • Pregnancy Fetishism dalam Foto Sampul Demi Moore 1991

    author = Amalya Suchy Mustika Purnama

    Suatu hari saya bertanya pada kawan perempuan saya,

    “Apa yang kamu pikirkan ketika kamu melihat foto ini?”

    “Jijik ih. Ngapain coba lagi hamil difoto-foto”, ujarnya.

    “Jijiknya kenapa?”, tanya saya lebih lanjut.

    “Ya kan kalau sedang hamil badan sedang kelebihan.”

    “Kelebihan? Maksudmu, jadi gak estetis dilihat?”

    “Iya, betul ga estetis.”

    Bisa jadi hal yang serupa juga ada di pikiran sebagian orang di era 90an yang menghujat tajam sampul majalah Vanity Fair edisi Agustus 1991. Mengusung headline More Demi Moore, edisi tersebut menampilkan Demi Moore yang dengan bangga (dilihat dari tatapan matanya) menunjukkan dengan apa adanya perut besar berisi anak kedua. Foto tersebut diambil oleh Annie Leibovitz, fotografer ternama langganan para selebriti Hollywood, yang juga teman baik keluarga Demi Moore. Bukan pertama kalinya Leibovitz mengambil potrait Demi dan anak-anaknya. Pada hari pemotretan tersebut pun, tidak ada konsep awal yang diusung. Semua mengalir begitu saja saat Demi tiba-tiba memutuskan untuk menanggalkan baju dan kain satin yang disediakan, hanya berhiaskan cincin dan anting berlian, serta menutup puting dan memeluk perut besarnya yang berusia tujuh bulan.

    Majalah TIME menobatkan foto tersebut menjadi salah satu dari 100 foto paling berpengaruh sepanjang masa. Mengutip dari laman TIME, “foto itu adalah gambar media massa pertama yang menonjolkan seksualitas dalam kehamilan, dan banyak yang merasa terkejut dengan adanya foto seperti itu di kios koran. Beberapa rantai toko kelontong menolak menerbitkan, sementara yang lain menutupinya dengan kertas seperti majalah pornografi. Tentu saja tidak, itu adalah sampul majalah yang provokatif, dan melakukan apa yang sampul terbaik bisa lakukan: mengubah budaya. Kehamilan adalah urusan yang relatif pribadi, bahkan untuk tokoh masyarakat. Setelah gambar Leibovitz, kehamilan selebriti, foto telanjang kehamilan dan paparazzi yang membidik perut buncit mereka telah menjadi industri. Foto tersebut mendobrak apriori-apriori berbasis moral dan dogma mengenai wanita dan kehamilan serta disaat yang bersamaan menciptakan sebuah industri baru yang berjaya hingga saat ini.

    Jika dilihat secara sepintas, tidak ada yang benar-benar menarik secara visual – kecuali ketelanjangan – di foto sampul tersebut. Demi Moore termasuk deretan artis papan atas pada jamannya, tentu saja, menjadi salah satu aspek yang diperhitungkan jika ingin menilik kenapa foto tesebut menjadi sensasional. Secara estetika, bahkan Leibovitz sendiri mengakui jika foto tersebut bukanlah “foto yang bagus[1]Dikutip dari reportase Andrew Tavani: Dalam esai tahun 2008 di mana dia merefleksikan beberapa foto paling terkenalnya, Leibovitz memikirkan bagaimana ia mengagumi foto sampul Demi Moore dan … Continue reading. Foto tersebut menjadi luar biasa ketika itu dibaca sebagai gambar yang berbicara. Menjadi sesuatu yang ada ketika foto itu dipahami sebagai penghancur mitos dan di saat bersamaan menciptakan sebuah mitos baru. Lantas kemudian, mitos apa yang dihancurkan dan dibangun ulang[2]Hal ini sesuai dengan sistem mitos seperti yang diutarakan Barthes: setiap usaha yang kita lakukan untuk menghindari cengkraman mitos pada gilirannya berubah menjadi mangsa mitos; mitos dapat selalu, … Continue reading?

    Mitos, menurut Roland Barthes, adalah suatu nilai atau sistem umum. Maka terkait foto ini kita harus melihat latar belakang kultural era di mana foto ini dibuat untuk memahami nilai-nilai yang berlaku. Ada dua hal dalam foto tersebut yang paling utama untuk diperhatikan. Pertama, menampilkan kehamilan merupakan kultural tabu – terutama di film dan fotografi – ambil contoh foto Demi Moore yang menyebabkan skandal publik. Meskipun di dunia Barat ketelanjangan (nudity) merupakan hal yang lumrah dan diterima masyarakat umum, kehamilan masih digambarkan sebagai sesuatu yang tidak layak ditonton sehingga harus ditutupi. Objektifitas badan wanita hanya layak dinikmati publik terbatas hanya jika wanita tersebut memiliki bentuk badan ‘ideal’ (baca: tinggi semampai sensual). Kehamilan, di satu sisi, menampilkan perubahan bentuk badan wanita disaat ‘kelebihan lemak’ sehingga ‘tidak pantas’ jika anomali tersebut dipublikasikan ke khalayak ramai. Di sisi lain, kehamilan merupakan sesuatu yang sakral secara dogmatis juga sebuah perkara privat yang secara moral dan tradisi tidak sepatutnya menjadi konsumsi publik.

    Kedua, adalah seorang Demi Moore yang memamerkan bukan saja lekuk badan tanpa busana namun juga kehamilannya. Hal ini bukan yang pertama kali bagi Demi untuk mendokumentasikan masa kehamilannya dengan jalan kreatif. Saat melahirkan anak pertama, proses tersebut tidak hanya dilihat langsung oleh beberapa orang teman dan kerabat dekat, namun juga direkam oleh tiga juru kamera sekaligus. Demi melakukan itu untuk dokumentasi pribadi, begitu juga dengan foto sampul itu awalnya ditujukan untuk hal yang sama sebelum akhirnya diputuskan untuk dikirim ke majalah. Demi, Lebovitz dan Tina Brown (editor Vanity Fair saat itu) tidak menyangka jika hal itu menjadi sensasi media tidak hanya di Amerika tapi juga seluruh dunia. Hal yang sangat berbeda tentu saja bisa terjadi jika yang dipotret bukanlah seorang Demi Moore atau satu dari kalangan artis papan atas yang lain. Ibu rumah tangga biasa dari daerah suburban Manhattan tidak akan menjadi berita menarik semenarik cerita Demi Moore. Aspek selebritas menjadi alasan utama kenapa foto itu menjadi sensasional.

    Maka, aspek selebritas lah yang kemudian mendasari kesuksesan foto ini mengubah suatu budaya. Tindakan pregnancy fetishism[3]Salah satu bentuk budaya populer, yaitu saat sebuah konteks kehamilan dilihat sebagai fenomena erotis oleh individu atau kultur.yang dilakukan Demi Moore menandai periode ketika proses kehamilan yang ditampilkan oleh selebriti dilihat sebagai salah satu representasi kehidupan glamor, serta di saat yang sama membentuk pasar bagi para fotografer untuk menciptakan imaji-imaji wanita hamil dan bagi pengarah gaya untuk mengenalkan konsep “pregnancy styling” ke dalam bisnisnya. Sudah tak terhitung lagi, selebriti maupun kalangan umum, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Demi. Jika Demi bisa, kenapa saya tidak? Begitu mungkin pikirnya. Hilangnya sekat privat selebriti dan khalayak umum juga menjadi pendorong terciptanya bentuk baru consumer culture ini. Merayakan kehamilan dan menunjukkan pada dunia jika wanita masih terlihat ‘menarik’ bahkan ketika sedang hamil sekalipun, menjadi suatu keharusan bagi wanita hamil masa kini.

    Referensi:
    Annie Gets Her Shot | Vanity Fair. (2008). Diambil 22 Januari 2018, dari sini
    Barthes, R. (2007). Membedah mitos-mitos budaya massa : semiotika atau sosiologi tanda, simbol dan representasi. (D. L. Subandi, Ed.). Yogyakarta: Jalasutra.
    Celebrities make pregnancy seem glamorous – TODAY.com. (2006). Diambil 22 Januari 2018, dari sini 
    Demi Moore | 100 Photographs | The Most Influential Images of All Time. (n.d.). Diambil 23 Januari 2018, dari sini
    Longhurst, R. (2006). A Pornography of Birth: Crossing Moral Boundaries. Diambil 22 Januari 2018, dari sini
    Rupprecht, C. (2013). Womb Fantasies: Subjective Architectures in Postmodern Literature, Cinema … – Caroline Rupprecht – Google Books. Northwestern University Press. Tavani, A. (2016). 1991 Vanity Fair cover featuring pregnant Demi Moore named 1 of most influential images of all time. Diambil 22 Januari 2018, dari sini

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References

    References
    1 Dikutip dari reportase Andrew Tavani: Dalam esai tahun 2008 di mana dia merefleksikan beberapa foto paling terkenalnya, Leibovitz memikirkan bagaimana ia mengagumi foto sampul Demi Moore dan bagaimana dia melihat gambar itu dalam retrospeksi. “Itu adalah gambar yang populer dan itu menjadi dasar, tapi menurut saya ini bukan foto bagus. Ini sampul majalah,” Leibovitz menambahkan, “Jika itu potret yang bagus, dia tidak akan menutupi payudaranya.” Bayangkan keributan yang akan terjadi jika memang begitu.
    2 Hal ini sesuai dengan sistem mitos seperti yang diutarakan Barthes: setiap usaha yang kita lakukan untuk menghindari cengkraman mitos pada gilirannya berubah menjadi mangsa mitos; mitos dapat selalu, sebagai usaha terakhir, menunjukkan penentangan yang ditujukan kepadanya.
    3 Salah satu bentuk budaya populer, yaitu saat sebuah konteks kehamilan dilihat sebagai fenomena erotis oleh individu atau kultur.

  • Post-warkop: Dialektika dan Perenungan di tengah Keramaian

    author = Tri Wahyudi

    Membaca keramaian tentu saja tidak dapat dilepaskan dari terjadinya interaksi antarperson yang terlibat di dalamnya. Singgungan-singgungan yang terus terjadi memunculkan aksi dan reaksi yang menghasilkan lanskap unik tentang bagaimana memaknai kebebasan. Manusia seolah menjadi liar ketika ia ‘dikeluarkan’ dari rutinitasnya. Warung kopi, sebuah ruang yang tak lagi sekedar menjadi tempat untuk menikmati minuman pelega dahaga tetapi telah menjelma menjadi sebuah ruang interaksi. Warung kopi seringkali hanya dibungkus dengan kemasan sederhana dan menyuguhkan menu dengan harga yang tak seberapa namun ternyata memiliki kekuatan untuk mengundang dan menyihir para ‘makhluk nokturnal’ untuk berwacana dan berdialektika.

    Sebagaimana yang kita ketahui, riuh rendah keramaian di warung kopi kini bukanlah suatu keniscayaan, karena memang seperti itulah adanya. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, fenomena keramaian di warung kopi ini menjadi pintu pembuka tentang bagaimana manusa secara alamiah membuka sekian potensinya untuk bertemu, mengenali, dan menerjemahkan sensitivitas terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

    Di warung kopi, terdapat banyak ‘lingkaran’ yang saling berkutat dengan wacana dan kepentingan sendiri-sendiri. Lantas, apa yang menarik dari pemandangan tersebut? Bukankah suatu pembicaraan serius seharusnya membutuhkan ruang sepi tanpa hiruk pikuk?  Diskusi yang masif bukankah semestinya memisahkan diri dari hingarbingar dan ketidakteraturan?  Akan tetapi, seringkali kenyataan yang tampak sungguh berbeda. Di beberapa (baca: sebagian besar) lingkaran ternyata bukanlah sekedar ketawa ketiwi menikmati teh hangat atau kopi. Mereka secara anatomis membuat gerakan kerenyit dahi sambil sesekali memainkan jemarinya di keyboard cadas laptop pintarnya. Artinya, mereka melakukan kegiatan serius di tengah keramaian.

    Dari pembacaan tersebut, keramaian menjadi ‘yang dirindukan’ untuk mengasah kepekaan. Ruang sepi mungkin tak lagi menjadi teman baik retas wacana. Sebagai subyek berpikir, kognitif manusia bergerak dinamis merespon segala suasana. Warung kopi agaknya menjadi sebuah wahana yang mampu menjadi pasar yang menyediakan berbagai macam kebutuhan. Seperti halnya yang terjadi pada saya malam ini, niat menulis (baca: iseng) muncul dengan tiba-tiba. Aktivitas diskusi dan menulis, tawa dan teriakan, ternyata mampu menumbuhkan kekuatan untuk menyikapi sesuatu, dengan menulis tentunya. Dalam hal ini, konten tidaklah penting, tetapi respon membuktikan bahwa otak menerima rangsang untuk bekerja dalam porsinya. Dalam pengamatan lain, dapat dikatakan bahwa otak memerintahkan seluruh ragam organnya untuk bergerak. Pertanyaan berikutnya, mengapa hal ini justru muncul di tengah keramaian? Mungkin kalimat umum yang sering didengar adalah “inspirasi bisa datang dari mana saja. Tetapi, satu yang tak disadari adalah bahwa manusia adalah animal symbolicum, binatang yang berpikir. Meskipun menegaskan dirinya berbeda dengan binatang –karena dapat berpikir –unsur kebinatangan secara naluriah adalah berburu, berlomba, mengalahkan, dan memenangkan: survive. Dengan demikian, persaingan atau kompetisi memantik otak untuk memberikan respon lebih ketika dalam ketidakberaturan semua mencoba menunjukkan eksistensinya. Mereka yang serius, yang santai, yang mengerenyitkan dahi, yang ketawa ketiwi, ternyata adalah ‘serigala’ (homo homini lupus) yang harus dikalahkan dengan melakukan kegiatan yang lebih, atau setidaknya sama.

    Membincang tentang kompetisi tadi, dalam kaitannya dengan keramaian, terdapat dua pilihan jika ingin mempertahankan eksistensi, yaitu; menjadi yang hilang, atau menjadi yang lebih ramai. Dari sinilah kemudian muncul reaksi atas semua aksi yang seolah-olah alami terjadi. Inspirasi yang muncul ditengah keramaian sebenarnya bukanlah an sich kemampuan manusia yang mengeksplorasi potensinya, akan tetapi naluri kebinatangannya yang mengharuskan untuk bertahan. Dalam bagian ini unsur ‘berpikir’ dimanfaatkan yang kemudian termanifestasi pada tindakan berupa ‘menggunakan potensi kecerdasan/pengetahuan’.

    Hingga pada bahasan ini, Warung kopi tidak lagi dapat dipandang sebagai warung biasa dengan harga tak seberapa. Warung kopi memungkinkan dirinya untuk menjadi belantara hijau yang mampu mengundang para binatang liar untuk datang dan bertemu. Sementara itu, sebagai arena ia menyediakan alat-alat perang yang membuat para binatang tersebut untuk saling mengaum, bahkan berbunuh-bunuhan. Dari kenyataan ini, apakah ada tempat yang benar-benar aman bagi manusia? Jika dalam pembahasan dangkal keamanan adalah terjaganya tubuh dari kekerasan aniaya, malam ini Warung kopi menyuguhkan pandangan lain bahwa aman bukan lagi sekedar tidak disakiti secara fisik, tetapi terjaga dari keterjajahan pikiran yang disebabkan oleh insting kompetisi yang tak terkendali. Dan oleh karenanya, Warung kopi mungkin tak sekedar warung tempat menyantap hidangan saja akan tetapi sudah dalam batasan yang ‘melampaui’. Post-warung kopi’??? mungkin saja.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Politik Endorsement Buku Sastra

    author = About Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.

    View all posts by Asef Saeful Anwar →

    “Barangsiapa ingin tahu peta perpuisian Indonesia kontemporer wajib membaca buku ini.”

     

    Bayangkan, kalimat itu ada di sampul depan sebuah buku puisi. Kalimat itu disusul nama seseorang yang masyhur sebagai sastrawan atau kritikus sastra. Apakah kamu akan tertarik membeli dan membaca buku itu? Bagaimana jika setelah membacanya kamu tidak menemukan kebenaran pernyataan tersebut? Apakah kamu akan kecewa dan memaki-maki penulis endorsement itu sebagai tukang kibul nomor wahid yang gonggongannya membuat kamu percaya bahwa dia sejenis hewan yang suka menjilat?

     

    Bila kita memahami hakikat keberadaan endorsement, kemarahan semacam itu tak perlu tumpah. Bahkan, bisa saja kita tidak membeli buku itu sebab telah mengerti bahwa pernyataan muluk-muluk tentangnya hanyalah salah satu bentuk promosi. Ah, betapa sering manusia kecewa karena pariwara meskipun mereka tahu apa yang terdapat di dalamnya murni promosi dengan simbol-simbol yang melenakan.

     

    Secara sederhana endorsement dapat diartikan sebagai pernyataan promosi yang biasa terdapat di sampul buku. Sebagaimana galibnya, promosi bersifat persuasif yang menuntut calon konsumen (dalam hal ini pembaca) untuk terpengaruh. Dalam endorsement, kekuatan daya pengaruh ini didukung oleh sesiapa yang menerakannya. Tidak sembarang orang bisa mengisinya, kecuali fungsinya sebagai promosi akan gagal. Buku, sebagai benda yang melekatkan nilai-nilai intelektualitas, harus dipromosikan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya, baik praktisi maupun akademisi. Ini yang membedakan promosi buku dengan barang-barang lain yang kadang amat ketara ketidaklogisannya: seorang pemain sinetron striping menjadi bintang iklan deterjen (Apa dia punya waktu untuk mencuci? Apa dia mau mencuci? Masak dia nggak punya asisten rumah tangga?) atau pemain sepakbola yang jadi bintang iklan pelumas (Apakah kecepatan larinya yang penuh presisi di lapangan karena habis minum pelumas itu sebelum bertanding?).

     

    Dalam dunia sastra, sastrawan dan kritikus sastra adalah orang-orang yang diberi kepercayaan untuk menulis endorsement. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih memandang kuatnya makna pernyataan dari siapa yang mengucapkannya, maka kadang se-wagu apa pun kalimat endorsement dari mereka akan dipercayai sebagai pernyataan sahih tentang buku terkait. Celakanya, endorsement kini telah dianggap sebagai penilaian utuh dan penuh dari seorang sastrawan atau kritikus. Maka, ketika tak sesuai dengan isi buku dianggap sebagai pernyataan yang menyesatkan hingga menimbulkan kegemparan. Penulis endorsement pun seolah menjadi tertuduh atas kasus “pembohongan publik”.

     

    Itulah yang barangkali pernah dialami Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri karena pernah menulis endorsement untuk sebuah buku puisi. Tanpa bermaksud membela keduanya, apa yang dilakukan mereka dan sejumlah sastrawan atau kritikus yang pernah menulis endorsement lainnya, bagi saya adalah wajar. Mereka tahu bahwa pernyataannya akan digunakan sebagai bahan promosi sehingga harus memilih kalimat yang dapat menarik minat pembaca untuk membeli buku terkait. Mengapa mereka mau melakukannya? Mungkin itu yang menjadi pertanyaan bagi sejumlah peminat sastra yang kecewa. Dan uang menjadi salah satu jawaban yang paling memungkinkan.

     

    Jika uang yang menjadi motif dari penulisan endorsement, ada ruang pekerjaan baru bagi sastrawan dan kritikus: menulis endorsement. Jadi, sastrawan dan kritikus kini mulai dapat menjadi selebritas yang dapat menuliskan kalimat-kalimat canggih untuk menarik minat para pembeli/pembaca. Menulis endorsement tak ubahnya menjadi bintang iklan sebuah produk shampo atau obat batuk. Sastrawan bisa seperti Lionel Messi yang menjadi bintang iklan shampo yang mungkin tak pernah dipakainya saat berkeramas. Dan kritikus sastra seolah menjadi profesor penemu formula obat batuk yang diiklankannya, obat yang mungkin tak pernah ia minum sebab tenggorokannya senantiasa sehat.

     

    Meskipun seorang selebritas tidak suka atau tidak pernah memakai produk yang diiklankannya, haruslah ia menyatakan bahwa produk terkait adalah baik dan bagus untuk dikonsumsi. Bahkan, melanggar hukum apabila setelah membintangi iklan (baca: menulis endorsement) sang selebritas menyatakan tak menyukai produk terkait. Pada titik ini, nilai-nilai kejujuran mulai digantikan nilai-nilai profesionalisme.

     

    Apa pun yang dikatakan oleh seorang sastrawan atau kritikus sastra dalam endorsement tidaklah dapat dianggap sebagai penilaian yang sahih terhadap buku terkait. Sebaik dan seunik apa pun pernyataannya haruslah dianggap sebagai sebatas promosi. Tidak lebih dari itu. Tidak mungkin sebuah buku yang tebalnya minimal puluhan halaman bisa dinilai secara sahih dengan beberapa kata atau kalimat.

     

    Sayangnya, publik sastra terlanjur menganggap endorsement sebagai kata-kata suci dari seorang sastrawan atau kritikus sastra. Endorsement telah dianggap sebagai hasil perasan perasaan dan pikiran sastrawan atau kritikus setelah membaca sebuah buku sastra. Endorsement tidak dipahami sebagai bagian politik ekonomi penjualan. Padahal, bila dilihat dengan lebih jeli kita akan tahu adanya motif ekonomi di setiap keberadaan endorsement. Misal, penulis senior yang bukunya banyak diterbitkan Penerbit X akan menulis endorsement untuk buku penulis muda yang akan diterbitkan penerbit yang sama. Selain itu, kalimat-kalimat endorsement cenderung merupakan pernyataan umum tapi dikerucutkan seolah hanya berlaku pada satu buku, semisal kalimat berikut: “Buku ini membawa banyak manfaat bagi siapa pun yang membacanya”. Kalimat itu mengerucutkan persepsi manfaat buku hanya pada buku terkait, seolah-olah buku yang lain tidak banyak bermanfaat bagi pembacanya. Maka, jika kamu membaca endorsement di sebuah sampul buku, pikirkan apakah itu penyataan umum yang coba disempitkan dan apakah penulis endorsement itu bukunya pernah diterbitkan oleh, atau memiliki afiliasi dengan, penerbit buku yang tengah kamu pegang itu?

     

    Dengan dua pertanyaan sederhana itu, kita akan mengerti bagaimana cara kerja endorsement. Memahami cara kerjanya akan turut mengubah paradigma yang terlanjur mengakar bahwa endorsement adalah pernyataan yang telah melalui proses pembacaan dan perenungan. Tidak, tidak sedalam itu. Endorsement sebaiknya mulai dipandang sebagaimana hakikat kemunculannya: untuk melariskan sebuah buku. Endorsement bagai bingkai sebuah lukisan. Ia bisa lebih bagus daripada lukisan yang dibingkainya. Endorsement tak ubahnya sebuah bungkus kado yang indah dan rapi, tetapi harus dirobek untuk tahu isinya.

     

    Apa pun pernyataan seorang sastrawan atau kritikus sastra sejauh itu dalam bentuk endorsement tak patut dipermasalahkan. Tanggung jawab seorang penulis endorsement, siapa pun itu, adalah pada kelarisan buku, bukan pada pembaca bukunya. Apa yang menjadi masalah adalah ketika seorang sastrawan atau kritikus menulis sebuah karangan, semisal esai atau makalah, yang sengaja ia komersilkan untuk menyanjung karya-karya tertentu. Karangan itu pasti akan jauh dari nilai-nilai ilmiah, jauh dari objektivitasnya. Inilah yang patut dicegat dan digugat.

     

    Ketika penerbit buku-buku sastra mulai banyak membutuhkan endorsement sebagai alat jualan, saat itu juga sastrawan ternama dan kritikus yang telah mapan berada pada posisi penawaran—untuk tidak mengatakan ditawarkan—sebagai selebritas. Menjadi pilihan bagi mereka untuk menjajal pekerjaan tambahan sebagai selebritas yang profesional. Sementara itu, dari sisi pembaca sastra, kesadaran baru harus segera dibangun dengan cara mengembalikan hakikat endorsement sebermula kehadirannya sebagai alat promosi, bukan alat legitimasi.

     

    Setidaknya, dari keberadaan endorsement kita dapat belajar bahwa jangan lagi terburu memahami sebuah pernyataan hanya dari siapa yang mengatakan atau apa yang dikatakan, tetapi lihat juga di mana hal itu dikatakan. Dan patut diingat bahwa endorsement adalah bagian dari sampul sementara pepatah lama belum kunjung berubah: don’t judge a book by its cover.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/opini/politik-endorsement-buku-sastra/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featasep1-1.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featasep1-1-150×150.jpgAsef Saeful AnwarOpiniAsef Saeful Anwar,Budaya,buku,Endorsement,kibul,Opini,Penerbit,Sastra,Sastra Indonesia“Barangsiapa ingin tahu peta perpuisian Indonesia kontemporer wajib membaca buku ini.”
     
    Bayangkan, kalimat itu ada di sampul depan sebuah buku puisi. Kalimat itu disusul nama seseorang yang masyhur sebagai sastrawan atau kritikus sastra. Apakah kamu akan tertarik membeli dan membaca buku itu? Bagaimana jika setelah membacanya kamu tidak menemukan kebenaran…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Persoalan Kebahasaan, Licentia of Poetica, dan Ekspresi Cinta: Sebuah Usaha Mendekati Puisi-puisi Shiny Ane El’poesya dalam Buku Kotak Cinta

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Bahasa menjadi salah satu unsur paling penting bagi sastra. Tanpa bahasa, sastra hanya akan berhenti pada tataran ide belaka. Dengan kata lain, sastra menjadi (ada), terekspresi dan diterima oleh masyarakat pembaca karena  bahasa hadir sebagai medianya. Akan tetapi, bahasa sebagai media itu juga memiliki kompleksitas dan bukan tanpa persoalan. Bahasa yang digunakan oleh manusia bukan hanya untuk berkomunikasi satu sama lain melainkan lebih jauh untuk mengenal dunia itu terus mengalami perkembangan. Perkembangan ini pada akhirnya menuntut manusia untuk beradaptasi dengan kondisi kebahasaan yang dihadapinya. Perkembangan itu bisa berwujud munculnya istilah-istilah baru, pergantian makna kata atau yang lain. Dahulu dalam penggunaan bahasa sehari-hari, orang menyebut pakaian yang hendak dicuci, dengan kata cucian. Tapi sekarang ini ada kata ganti yang diadopsi dari bahasa Inggris sehingga orang banyak menyebutnya dengan laundry-an (dalam KBBI disebutkan bahwa laundrian diganti dengan istilah penatu, meskipun tidak merujuk pada pakaian yang dicuci tapi pada jenis usaha/orang yang bergerak di bidang pencucian (penyetrikaan) pakaian), misalnya.  Selain itu, dalam perkembangannya, bahasa pun selalu mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sejak ditemukannya aksara, bahasa kemudian masuk ke dalam ruang visual dan menciptakan ruang baru bernama bahasa tulis. Begitu juga saat teknologi informasi-komunikasi semakin berkembang pesat, keberadaan radio, televisi, komputer dan kemudian muncul internet membawa bahasa ke ranah yang semakin luas yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, perkembangan itu bukan tidak menimbulkan masalah bagi bahasa. Bahasa kemudian semakin termediasi, berjarak dan “lepas” dari penuturnya. Pada taraf ini, kemungkinan keterpelesetan dalam pemahaman terhadap bahasa khususnya pada fungsinya sebagai alat komunikasi bisa saja hadir.

    Permasalahan mengenai kebahasan sudah akan kita temukan sejak pada tataran sistem kebahasaan tingkat pertama (Primary modeling system) yakni bahasa lisan. Bahasa lisan sebagai ekspresi bahasa alamiah (sebagai bawaan biologis) manusia hadir melalui artikulasi suara. Ia hadir secara alami sekaligus dipakai dan diwariskan oleh pengguna bahasa. Seorang anak, pertama kali belajar bahasa ibu dari mendengarkan suara yang keluar melalui tuturan. Karena bersifat alamiah, bahasa lisan cenderung lebih mudah dipahami meskipun juga bukan tanpa persoalan. Dalam tataran praktisnya, keterpelesetan memahami makna dari satu penutur ke pendengar bisa saja muncul. Misal saja ketika seorang yang berasal dari suku Batak datang ke Yogyakarta, ketika dia menyampaikan sesuatu dengan bahasa Indonesia logat Batak, apa yang diucapkannya bisa dianggap terlalu kasar akibat intonasi yang dianggap terlalu tinggi dan kurang cocok di telinga masyarakat Jawa. Atau saat menyampaikan sesuatu, ekspresi wajahnya (yang menjadi bagian dalam sistem bahasa lisan) terlihat “kecut” atau datar sehingga membuat lawan bicaranya berpikir macam-macam. Kejadian seperti ini pernah dialami kawan saya sewaktu memesan makanan. Karena nada bicaranya terlalu tinggi, teman-temannya yang orang Jawa menganggap bahwa ia terlalu memaksa penjualnya melayaninya dengan cepat, padahal menurutnya ia tak bermaksud demikian.

    Sementara itu, bahasa tulis sebagai gejala kedua (Secondary modeling system) yang bersifat kultural (karena merupakan ciptaan manusia) juga hadir bukan tanpa persoalan. Di satu sisi, bahasa tulis sebagai penemuan terbesar manusia yang mengubah peradaban (kemudian muncul istilah zaman sejarah dan prasejarah) semakin mengembangkan penggunaan bahasa karena ia berhasil mengatasi permasalahan bahasa lisan yang selama ini sangat mengandalkan ingatan saja (mnenomik). Bahasa tulis bisa dikatakan semakin memperluas kehidupan manusia. Akan tetapi bahasa tulis yang mengubah mekanisme bahasa dari yang awalnya audio kemudian menjadi visual juga menghadirkan problematika tersendiri. Teks sama sekali lepas dari penuturnya. Teks kemudian menjelma menjadi sebuah dunia yang mandiri. Seorang yang buta huruf tak akan bisa menerima gagasan yang disampaikan seseorang melalui teks, menyebabkan adanya alienasi terhadap mereka-mereka yang tidak memiliki kemampuan memahami bahasa tulis. Dunia teks yang dibangun melalui aksara juga memiliki konvensi-konvensi yang mesti dipahami oleh masyarakat penggunanya. Pengguna bahasa harus terus menerus beradaptasi dengan bahasa itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia misalnya, dahulu orang menulis kata Jarum dengan ‘Djarum’. Nama orang, misal “Suharto” ditulis dengan “Soeharto”. Perbedaan penggunaan aksara ini sekaligus mencerminkan bagaimana hubungan antara bunyi dan aksara ini bersifat arbitrer tapi sekali lagi tetap berkaitan dengan konvensi.

    Permasalahan kebahasaan ini menjadi semakin menarik ketika dihubungkan dengan kehidupan sastra. Sejak jaman dahulu, sastra telah menjadi media bagi penyampaian ide dan gagasan mengenai dunia. Sastra bahkan dalam taraf tertentu membentuk gagasan mengenai dunia yang ideal. Ia sering muncul sebagai bayangan yang memberi pemahaman baru tentang realitas. Salah satu hal yang membuat sastra memiliki kemampuan menciptakan dunia yang sama sekali lain adalah adanya ideologi tentang kebebasan kreatif. Yang menarik justru ketika bahasa terus-menerus mengalamami standardisasi, sastra malah seringkali hadir sebagai ekspresi penyelewengan/deotomatisasi terhadap bahasa yang menjadi mediumnya. Dalam taraf ini, kemudian muncul istilah yang kita kenal sebagai Licentia of Poetica, saat sastra punya kebebasan yang tak sepenuhnya terikat dengan bahasa. Dalam tradisi sastra Indonesia, berbagai upaya melepaskan diri dari konvensi bahasa ini bisa dilihat dari ketakgramatikalan kebahasaan, khusunya dalam puisi. Bahkan berbagai “pelanggaran” terhadap bahasa sehari-hari, justru menjadikan puisi menjadi benar-benar “puitik”. Penyair Chairil Anwar misalnya, menggunakan kata “pohonan”, bukan pepohonan atau pohon-pohon.

    Lebih jauh, persoalan kebahasaan nampaknya menjadi bagian tak terpisahkan bahkan cenderung dijadikan penanda dalam tradisi sastra Indonesia. Bahasa dan sastra seringkali membaur dalam istilah yang estetika bahasa-sastra.

    Perlawanan estetika bahasa-sastra nampak muncul sebagai respon dari tradisi yang sudah ada sebelumnya. Dalam sejarah sastra Indonesia (modern), nampak bahwa para penyair periode awal mulai melepaskan diri dari tradisi sastra-bahasa Melayu, untuk membentuk sebuah tradisi kesastraan yang baru dan otonom. Dalam contoh lain,   salah satu penyair Indonesia, Chairil Anwar muncul dengan melakukan perlawanan terhadap tradisi penyair Pujangga Baru. Ia sebagai wakil dari generasinya kemudian dianggap sebagai tonggak dan penanda lahirnya sebuah angkatan. Hal yang sama juga terjadi pada kasus puisi-puisi Sutadji Calzum atau Afrizal Malna,misalnya. Mereka kemudian dipercaya bahkan dimitoskan menjadi tonggak perkembangan dalam sastra Indonesia karena dianggap menawarkan kebaharuan dalam segi estetika bahasa-sastra.

    Pada titik inilah saya mencoba untuk mendekati puisi-puisi Shiny Ane El Poesya (selanjutnya disebut Shiny) dalam antologi puisi Kotak Cinta. Ketika pertama kali membaca puisi-puisi Shiny, saya merasa dihadapkan pada sesuatu yang “aneh”. Aneh karena puisi Shiny cenderung menampilkan sesuatu yang tak lazim, berbeda dengan puisi-puisi Indonesia yang sering muncul akhir-akhir ini. Meskipun tetap menggunakan bahasa Indonesia, namun dari segi bentuk terlihat ada penyimpangan, khusunya pada kaidah kegramatikalan bahasa. Puisi-puisi Shiny seolah mencoba keluar dari konvensi, mencoba mencari ekspresi puitik melalui estetika/gaya bahasa yang berbeda (baru?). Ketika membaca puisi Shiny, saya tak bisa memungkiri bahwa saya menemukan jejak-jejak yang telah telah ditinggalkan oleh penyair-penyair sebelumnya. Meskipun memiliki sejumput perbedaan, puisi Shiny mengingatkan saya pada puisi-puisi Sutadji Calzum Bahri. Dalam kredonya, Sutardji menyatakan bahwa “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri.” Sutardji melalui kredonya menganggap bahasa haruslah dibebaskan. Kata haruslah dibebaskan dari belenggu makna. Upaya yang dilakukan Sutardji kemudian adalah menghadirkan puisi-puisi yang menggunakan kata-kata dengan tidak ditemukan dalam aturan bahasa (misalnya kata yang terdapat dalam kamus bahasa). Dengan kata lain, Sutardji berusaha melawan kaidah kebahasaan formal yang selama ini digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa.

    Usaha untuk melawan bahasa sehari-hari juga dilakukan oleh Shiny dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi Shiny adalah sebuah eksperimentasi yang cenderung memfokuskan diri pada persoalan kebahasaan khususnya bahasa tulis. Eksperimen yang dilakukan oleh Shiny melalui puisi-puisinya di buku ini tidaklah tunggal. Ada puisi yang menonjolkan aspek tipografi. Ada juga puisi simbolik yang menggunakan simbol-simbol kebahasaan di luar aksara seperti tanda baca, emoticon, juga simbol aksara tak terbaca oleh komputer (biasanya terjadi pada penggantian font di software microsoft word yang menyebakan munculnya simbol kotak-kotak). Meskipun terdapat berbagai jenis eksperimen, sebagian besar puisinya masih berhubungan dengan permasalahan kebahasaan, bukan hanya pada ekspresi bentuk saja namun juga menyangkut tema puisi-puisinya.

    Puisi pertama dalam buku Kotak Cinta berjudul “Morfeum” dengan penanda “U” fonetik nampak menunjukkan persoalan kebahasaan itu khususnya mengenai bahasa tulis terlebih dalam persoalan mengenai morfem dan fonem.

    Morfeum

    “memberi kannyabertjinta”

    meberditersepeke anakan
    memberi beri
    meber? kani
    tjintacintacinta tjinta tjinta
    mentintaiditjintai sectinta
    bercintabercinta cintacni

    (Kotak Cinta: Mukadimah)

                    2014


    Dari judul puisinya, nampak bahwa persoalan kebahasaan (linguistik) menjadi topik yang sejak semula dihadirkan dalam puisi Shiny. Puisi pada halaman awal itu hadir sebagai pintu masuk untuk melihat lebih dalam dan lebih jauh terhadap puisi-puisi Shiny. Dalam kacamata saya, judul tersebut mengandung dua hal, yang pertama persoalan tentang morfem sekaligus secara implisit yakni mengenai fonem.

    Morfem (bahasa Inggris: Morpheme)  secara sederhana dapat didefinisikan sebagai  satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. Gabungan Morfem-morfemlah yang kemudian membentuk bahasa dalam tataran (strukrural) yang lebih luas. Dengan kata lain Morfem hadir menjadi inti/awal dari bahasa (struktural). Lebih lanjut melalui puisinya, Shiny tampak menghadirkan dan menjabarkan persoalan morfem ini. Pada bagian awal puisi, Ia nampak menunjukkan bagian yang diistilahkan sebagai morfem terikat. Ini terlihat pada baris berikut:

    meberditersepeke ankani

    Jika kita lihat larik tersebut, maka segera kita lihat terdapat jajaran morfem terikat (dalam hal ini berupa imbuhan-awalan-sisipan-akhiran dalam bahasa Indonesia). Pada baris berikutnya ia kemudian menguraikan proses pembentukan kata, penggabungan antara morfem bebas dengan morfem terikat.          

           Memberi (me-beri)

    Pada larik selanjutnya,  ia mulai mempertanyanyakan proses pembentukan kata itu, kenapa “M” (nasal) hadir di antara gabungan dua morfem tersebut. Nampaknya, Shiny melihat ada persoalan sekaligus keunikan dalam bahasa (khususnya bahasa Indonesia yang juga menjadi media bahaaa puisi Shiny).

    Masih dalam puisi yang sama, nampak bahwa Shiny juga melihat persoalan perubahan dalam struktur kebahasaan, terutama bahasa tulis.

    pada larik:

    “tjintacintacinta tjintatjinta”

    Setidaknya ada dua diski dalam baris itu yang diulang, yakni “Tjinta” dan “cinta” yang merujuk pada penggunaan diksi “‘cinta” yang lazim digunakan masyarakat bahasa sekarang ini. Dua diksi tersebut setidaknya merepresentasikan adanya perubahan dalam bahasa,khusunya bahasa tulis. Jika pada tradisi penulisan di Indonesia sebelum ada perubahan, vokal “C” masih ditulis dengan “Tj” maka pada masa sekarang digunakan simbol “C”. Ferdinand de Sausurre pernah membahas persoalan sistem aksara. Dalam pembahasannya, Sausurre membagi 2 sistem aksara, yakni sistem ideografi dan sistem fonetis. Yang pertama merupakan lambang tunggal yang tidak ada hubungannya dengan bunyi (misal aksara Cina) sementara yang kedua terkait dengan unsur bunyi. Sistem yang kedua inilah yang muncul dalam puisi Shiny di atas sebagaimana juga yang digunakan dalam bahasa Indonesia dengan aksara latinnya. Dari sini dapat kita lihat bahwa puisi Shiny menyinggung masalah-masalah kebahasaan khususnya bahasa Indonesia.

    Pada baris terakhir, persepsi kita mengenai diksi yang utuh dan lazim terganggu ketika muncul kata” cintacni”.  Tentu, kita akan bertanya-tanya apa maksud kata tersebut. Tetapi jika kita mempelajari fonologi maka kita akan segera tahu bahwa “C” yang kedua secara fonetik bisa dibaca “se” sehingga dari sini kita pun bisa melihat bahwa “cintacni” mengandung dua kata yakni cinta dan seni, walaupun dalam pengucapannya sesungguhnya juga bermasalah.

    Pada puisi berikut, Shiny mencoba melakukan ekperimen dengan menggabungkan dua kata yang secara leksikal memiliki makna menjadi sebuah kata baru yang sama sekali tidak memiki makna secara leksikal.

    Mati Dua Kali

    Matimati matimati matimati
    mati berkaliitu deraskali
    mati-dua kaliitu, rindusekali

    (Kotak Cinta:24)

    Pada puisi di atas, Shiny nampak “bermain-main” dalam bentuk puisinya yakni dengan menggabungkan diksi-diksi yang ada. Dua diksi yang memiliki makna masing-masing kemudian menyatu membentuk satu kata yang baru yang “sama sekali” tak memiliki makna lagi. Jika kita mempercayai kredo Sutadji yang disampaikan di atas, maka kita akan melihat bahwa penggabungan kata yang membentuk kata baru dalam puisi Shiny akan menjadikan kata baru itu memiliki artinya sendiri. Kata-kata itu kemudian bukan bermaksud menyampaikan sesuatu yang lain. Tapi pertanyaannya apakah puisi yang demikian akan bisa dipahami? Lalu apa yang harus dilakukan agar kita bisa memahami puisi Shiny?

    Apabila kita menggunakan logika bahasa tulis yang sepenuhnya visual, maka kita hanya bisa menikmati keindahan puisi Shiny dengan melihatnya secara visual saja. Kemungkinan yang kita dapat adalah estetika puisi Shiny adalah pada tipografinya. Melihat puisi Shiny seolah kita melihat karya seni rupa seperti lukisan, patung atau yang lain. Hal ini terjadi karena kita sudah tidak mampu lagi memahami diski-diksi yang dihadirkannya. Tetapi jika kita menggunakan logika bahasa lisan maka segera mendapati bahwa puisi Shiny tetap masih bisa dibaca. Jika kita menggunakan metode kelisanan kedua yakni dengan melakukan performa pembacaan secara lisan terhadap puisi Shiny maka kita akan mampu untuk membacanya.

    “Matimati matimati matimati
    mati berkaliitu deraskali
    mati-dua kaliitu, rindusekali”

    Bisa kita ucapkan menjadi:

    “mati/ mati/mati/mati/mati/mati/ mati/berkali/itu/deras/ sekali/ mati/ dua/kali/itu/ rindu/sekali” ataupun dengan pola lain yang sama-sama gramatikal.

    Gejala permainan bahasa dengan penggabungan beberapa diksi nampak menonjol dalam puisi-puisinya yang lain.

    Kau Bawa

    Kausertakan mer-apipada cintamu
    danhidup matirahasa punpercuma
    dadaku bergetarseperti jantungini
    laluaku dankamu berpasangandini
    berpasangandingin laluku dan,kau

    (Kotak Cinta: 1)

    Puisi di atas nampak tidak gramatikal disebabkan adanya penggabungan diksi-diksi yang dalam bahasa sehari-hari (tulis) seharusnya dipisah (dengan spasi). Nampaknya, pada puisi ini (dan sebagian besar puisi yang lain) terdapat kesengajaan untuk menghabungkan diski-diksi tersebut. Meskipun belum sampai dalam pemahaman makna, dengan menggunakan kelisanan kedua kita akan kembali menemukan ekspresi bahasa yang lebih bisa kita pahami dibanding hanya menikmatinya sebagai sebuah teks yang mandiri. Tentu dalam titik ini kita bisa melihat bahwa meskipun teks merupakan sesuatu yang mandiri, ia juga tetap merupakan kelanjutan dari bahasa lisan.  Puisi Shiny memang akan lebih mudah dipahami dengan membacanya secara lisan (dengan suara). Dengan membacanya menggunakan suara, maka apa yang seolah kabur dalam bahasa tulisnya menjadi hilang. Puisi yang awalnya nampak gelap menjadi terang. Hal ini pun membawa kita melihat persoalan kebahasaan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Shiny tidak melakukan “kekacaun” secara ekstrem? Misalnya dengan melakukan pemenggalan dengan memisah antara morfem bebas dengan yang terikat, atau bahkan memenggal morfem bebasnya? Menurut pengamatan saya, melalui puisi-puisinya,nampak bahwa Shiny tak mau melepaskan sastra dari bahasa. Artinya, ia sepakat puisi sebegitu “njlimet”nya sebisa mungkin tetap terbaca. Tapi resiko pembacaan dengan menggunakan kelisanan kedua juga bukan tanpa persoalan. Dengan kekacauan yang telah dibuat Shiny, kita tak mungkin lagi bisa benar-benar memahami puisi Shiny. Hal ini karena bagaimanapun performa pembacaan kita tetap tak bisa dipisahkan dari teksnya yang kacau. Konsekuensi yang kedua, kalau kita membaca dengan logika bahasa sehari-hari, pemenggalan pembacaan perdiksi atas apa yang kita lakukan terhadap teks mungkin juga tidak tepat. Pada titik ini, pembaca hanya akan masuk bukan hanya dunia kemungkinan pemakanaan tetapi juga kemungkinan pembacaan yang bisa benar-bisa salah.

    Dari sini, saya menyimpulkan bahwa puisi-puisi Shiny telah menjadi sebuah teks yang disatu sisi gelap nyaris tak terbaca. Ia kemudian menjelma selayaknya puisi mantra (meski secara teknik ada perbedaan) yang maknanya bukan lagi ditentukan lewat makna tiap kata dan rangkaian kata. Ia akan dibaca menjadi selayaknya kata yang maksudnya adalah kata itu sendiri. Konsekuensi kedua, kita masih bisa membaca puisi Shiny dengan logika kebahasaan natural yang kita sudah memiliki. Hal ini karena sebagai penutur bahasa kita masih disuguhkan diksi-diksi yang sebelum dikacaukan masih kita kenal. Hanya dengan cara demikian kita masih memiliki kesempatan untuk memahami dan menangkap makna di balik puisi-puisi Shiny. Pada persoalan-persoalan inilah, Shiny mengambil jalan yang cukup riskan, menyuguhkan puisi-puisi yang secara bentuk kebahasaan sudah sebegitu menyimpang dan problematik.

    Permainan bentuk ekspresi kebahasaan yang dilakukan Shiny memang sangat menonjol dalam puisi-puisinya. Dengan kata lain, Shiny melakukan eksperimentasi pada tataran bentuk. Akan tetapi karena terlalu menonjolkan aspek bentuk, Shiny nampaknya kurang peduli terhadap tataran yang lebih dalam. Kalau kita amati, diksi-diksi awal (sebelum dikacaukan) adalah diksi-diksi yang relatif sederhana. Misal saja untuk mengekspresikan sepi maka ia menggunakan kata “sepi”. Untuk mengekspresikan cinta ia menggunakan kata “cinta”. Dari sana nampak bahwa Shiny tidak mengekspresikan konsep yang abstrak itu menjadi konkret. Yang abstrak itu tetap menjadi abstrak. Penggunaan diksi yang demikian juga mengacaukan pemahaman kita tentang ketaklangsungan puisi yang selama ini kita kenal dengan mengekspresikan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

    Mengapa Shiny memilih menghadirkan kekacauan yang demikian? Jika dikaitkan dengan tema-tema cinta yang nyaris muncul dalam setiap puisinya apakah ia ingin mengatakan bahwa cinta memang tidak bisa diuraikan dengan bahasa yang lain? Cinta adalah cinta. Cinta bukanlah Bunga mawar yang mekar atau purnama yang bulat atau ekspresi-ekspresi yang lain?

    Dalam salah satu puisinya berjudul “Doa Penutup”, Shiny juga melakukan eksperimen dengan menghadirkan puisi simbolik dengan menghadirkan simbol-simbol aksara yang tak terbaca. Dalam kasus penulisan khususnya di komputer menggunakan software MS Word atau yang lain, kasus ini biasanya terjadi saat kita memindahkan file ke komputer atau software lain yang fontnya tidak ada sehingga tulisan menjadi tak terbaca. Pada titik ini, meskipun puisi dengan gaya demikian menjadi sama sekali tak terbaca (apalagi puisi dihadirkan dalam bentuk cetak (hardfile) mungkin jika dihadirkan dengan bentuk softfile masih ada kemungkinan terbaca), Shiny setidaknya memberi gambaran pada kita bahwa dunia digital yang sedemikian canggih mengawal bahasa masih membuka kemungkinan adanya “error”. Hal itu menandakan bahwa ada keterbatasan atas media komputer yang saat ini lebih banyak kita gunakan. Apakah puisi yang demikian dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa bahasa yang semakin termediasi namun tetap digunakan oleh manusia saat ini tak lagi mampu mewakili ide, perasaan dan cinta yang dimiliki manusia?

    Fenomena puisi-puisi Shiny sekaligus membuat kita mempertanyakan kembali keberadaan bahasa dan sastra. Apakah puisi Shiny adalah puisi yang hadir dengan tetap menggunakan bahasa konvensional yang selama ini kita pakai ataukah hanya meminjam bentuknya saja meski fungsinya menjadi sama sekali berbeda? Apakah puisi Shiny adalah puisi sebagaimana kita kenal dan pahami saat ini? Kita pun kemudian akan bertanya bahasa itu apa dan sastra itu apa? Bahasa itu bagaimana, sastra itu bagaimana?  Bahasa itu untuk apa dan sastra itu untuk apa? Dan seterusnya, dan seterusnya…

     

    April 2018

     

    Sumber Bacaan
    El’Poesya, Shiny.Ane. 2017. Kotak Cinta. Jakarta: Mata Aksara.
    Ong, Walter.J. 2003. Kelisanan dan Keberaksaraan. Yogyakarta: Gading Publishing.
    Saussure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  • Perihal Anak Zaman Now

    author = Intan Puri Hapsari

    Bangun tidur, bernafas,  beraktivitas, makan, mandi, tidur lalu diulang lagi, diulang lagi sampai hidupmu habis!

    Kalau mau jujur sama diri sendiri sebenarnya hidup sehari-hari saya hanyalah sebuah rutinitas, sebuah kegiatan yang berulang-ulang. Pernahkah kamu membayangkan kalau tidak pernah ditemukan kata “waktu”? Seandainya sehari bukan 24 jam tapi hanya 10 jam, lalu bagaimana pembagian hari-hari tersebut? Apakah jam biologis yang notabenenya harus beristirahat paling sedikit 7 jam, akan dapat beradaptasi dengan waktu yang lebih singkat? Ketika satu hari diperpendek menjadi 10 jam, bagaimana dengan usia kita? Sampai umur berapa saya bisa hidup di dunia ini. 

    Katanya, manusia berevolusi dengan zaman, anak muda zaman now tidak sama dengan orang tua sepuh zaman jadul. Pola pikir, selera, rasa dan ideologi anak didikan revolusi internet tidak akan bisa sepenuhnya dimengerti oleh pendahulunya. Saya tidak tahu kemana harus menempatkan diri; apakah ke golongan anak zaman now atau zaman jadul? 

    Di suatu hari yang cerah, terlintas pemikiran saya untuk menganalisa kronologis evolusi zaman berdasarkan buku sejuta umat : “Sapiens, A brief history of humankind”, karya Yuval Noah Harari. Penulis ini menjabarkan bahwasanya manusia mengalami berbagai macam revolusi di sepanjang sejarahnya. Revolusi kognitif sebagai preambule dari rentetan revolusi yang memaksa manusia untuk berevolusi.  Pada zaman ini,  manusia mulai berevolusi secara intelektual ketika bahasa mulai diciptakan sebagai alat komunikasi. Saya membayangkan pada masa itu, semesta raya telah mengkondisikan manusia untuk mencari alat penyambung lidah baik secara lisan maupun tulisan. Setelah manusia sudah bisa berkomunikasi dengan sesama untuk segala urusan duniawi, mereka juga mulai membutuhkan hidup bermasyarakat dengan menanggalkan gaya hidup yang nomaden. Manusia pada zaman itu, memutar otak untuk menghidupi hidup dengan cara bertani. Revolusi Agriculture menyajikan solusi dari semua permasalahan di kala itu.  Niscayanya, ini juga merupakan sumbu awal, sebuah cikal bakal sistem perekonomian terbentuk nantinya.

    Zaman bergulir, manusia selalu berevolusi menurut teori dan tampaknya bumi pun semakin sesak oleh kehadiran mereka. Apakah ini berkat gizi yang lebih terpenuhi ataukah dunia ini yang menyempit karena tanah habis digarap untuk pertanian? Tapi, revolusi ini belum seberapa dahsyatnya berdampak pada keasrian bumi manusia kita. Seakan manusia zaman itu tidak bisa terpuaskan gaya hidup petani yang mungkin tampak sederhana. Sekarang giliran revolusi industri yang mengembangkan sayapnya guna merayu manusia di masa itu. Industrialisasi yang menjadi fenomena dunia telah dipelopori oleh Negeri Big Ben. Negara pengekor bermimpi hal yang sama dengan suhunya. Industrialisasi dan kapitalisasi bak dua kata tanpa sekat, berlomba dengan waktu untuk memuaskan kebutuhan manusia secara massal dengan berbagai cara. Pola pikir saat itu berkiblat pada gaya hidup kebarat-baratan dan melupakan kearifan lokal yang bukan lagi zamannya. Revolusi ini tak hanya berhenti disini, seperti bumi yang bulat dan terus berputar, manusia zaman ini pun memutar otak mencari jalan agar industri dapat berjalan lebih cepat lagi. 

    Teknologi sebagai hasil dari revolusi industri tampaknya menjadi benang merah atas semua perubahan zaman. Saya lahir di zaman ini, lebih tepatnya pada saat teknologi sedang dielu-elukan secara sakral oleh manusia di kala itu. Saya masih ingat, saat pertama kali mendengar dering telepon rumah; waktu seperti berjalan lambat, mata fokus ke kotak putih berkabel, pasang telinga baik-baik jangan sampai terlewat, hati berharap seorang kawan menyapa. Lantas, bunyi nyaring memecah penantian panjang saya “dring dring dring”, jantung saya berhenti sejenak guna mempersilahkan otak menerka, siapakah gerangan di ujung kabel tersebut? Saya menikmati misteri yang diciptakan oleh mesin kotak berkabel itu, bertahun-tahun dia bisa membuat saya deg-degan setiap kali mendengarnya bersuara. 

    Lalu, tiba pada satu zaman ketika percakapan yang membooming adalah “Hari gini ‘ga punya handphone?”, masih terngiang dengan sangat baik di telinga saya, kalimat yang terlontar itu, rasanya seperti baru kemarin sore. Saya baru memiliki ponsel saat menginjak Sekolah Menengah Atas, rasa penasaran akan siapa yang menelpon saya sudah tidak zaman lagi pada saat itu. Sekarang ponsel bisa mendeteksi nomor sang penelpon, misteri yang seharusnya terjaga kerahasiaannya sudah tidak berlaku. Sekarang saya bisa memilih dengan siapa saya mau memberikan waktu saya untuk bercakap di kotak wireless itu. Pola pikir saya berubah, kalau dulu saya menanti ditelepon, sekarang saya memilih penelpon tergantung hati dan situasi. 

    Saya rasa revolusi internet juga menjadi biang kerok perubahan pola pikir manusia zaman now. Teknologi bercampur internet sudah membuat yang dekat menjadi jauh dan yang jauh menjadi dekat. Dunia tanpa batas, informasi tanpa jarak, komunikasi yang bersifat dua arah sekarang telah beradaptasi menjadi multi arah. Sosial media, aplikasi chat tidak luput di semua ponsel manusia zaman now. Tidak butuh lagi mengenal secara manusia secara fisik, nyata adanya.  Pada zaman ini hanya dibutuhkan profil di dunia maya untuk bisa menaklukan jarak nyata. Manusia yang lahir pada zaman ini, apakah akan mengenal senangnya bermain tak banteng, batu tujuh atau main karet? Games online yang mengglobalisasikan manusia, apakah berfaedah? Saya skeptis ketika hidup menawarkan banyak pilihan namun pada akhirnya tetap merasa sendiri.   

    Industri, Teknologi dan Sains mempresentasikan keberhasilan manusia serta merta mengikat mereka untuk berpikir lebih logis. Penelitian secara ilmiah yang didewakan oleh beberapa negara berbudget menjadi ajang unjuk gigi kepada khalayak ramai. Serasa semua masalah dapat dipecahkan oleh solusi ilmiah, melalui penjabaran eksakta yang menghasilkan solusi yang konkrit. Pola pikir lagi-lagi berubah pada zaman ini, mengesampingkan perasaan demi mendapatkan hasil secara ilmiah lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Saya masih hidup di zaman ini, namun pola pikir masih terjebak nostalgia di zaman saya. Saya masih suka bermain dengan perasaan dan intuisi ketimbang bermain dengan rumus pasti. 

    Selalu ada akhir di sebuah cerita, Yuval Noah menyandingkan revolusi biologi sebagai teori pamungkasnya. Revolusi ini akan menjadi revolusi mutakhir membawa manusia sebagai aktor utamanya. Kloningan manusia dengan bibit unggul akan merajai dunia ini. Langkah- langkah yang tidak akan salah karena dipersiapkan sedemikian rupa akan menjadi bekal perjalanan manusia zaman now ini.  Napak tilas untuk menggabungkan DNA manusia pertama dan penerusnya menjadi wacana guna menetaskan misteri bibit unggul. Terbersit di pikiran saya, siapa yang menentukan kriteria unggul tersebut? Manusia zaman now? Saya takut dengan semua revolusi dan perkembangan zaman ini. Manusia saja dapat dirancang, lalu bagaimana dengan perasaan dan intuisi? Saya tidak mau memiliki kloningan bibit unggul versi saya, saya hanya mau menikmati diri saya seutuhnya pada saat ini. Di antara semua zaman-zaman ini saya merenung, kalau saja waktu tidak mengenal acuan tata bahasa : lampau, sekarang dan masa depan. Saya yakin manusia hanya akan berpikir waktu yang nyata yaitu : waktu sekarang “present” dan doktrin Eckhart Tolle “The Power of Now” yang akan jadi pemenangnya! Waktu kemarin dan besok itu hanyalah tatanan waktu secara psikologis, di mana kebenarannya masih harus dipertanyakan. Jika benar keeksistensian waktu-waktu tersebut hanyalah buatan manusia. Maka, pada hari ini detik ini semua manusia akan bisa bilang bahwa saya anak zaman now! Dan mereka pun akan berhenti mencari manusia versi kini!

  • Perempuan dari Ampenan: Skenario Panjang Puisi Kiki Sulistyo

    author = La Ode Gusman Nasiru

    Judul yang saya terakan hampir tidak pernah saya bayangkan memiliki nada yang begitu rupa. Ada kekhawatiran yang cukup mengganggu demi menoleh kembali kepada judul termaksud, apakah ia punya korelasi yang ketat dengan keseluruhan pembahasan atau hanya akan jadi gula-gula yang saya tempatkan sebagai nama tulisan. Setelah saya amati sekali lagi produk ketidaksadaran itu saya akhirnya meraba ulang dorongan apa yang membuat saya tiba-tiba begitu saja mengkreasikan judul untuk tulisan sederhana ini.

    Harus saya akui keseluruhan objek pengamatan menjadi kekuatan yang cukup dahsyat mendorong saya sampai pada alternatif tersebut. Satu hal yang mengikat preferensi saya dan sehimpun puisi Kiki menjadi simpul yang sangat erat, tidak dapat saya pungkiri, berasal dari strukturasi ritme. Penyair mengkondisikan ritme sebagai peranti paling menonjol dari tipografi yang ia ajukan ke haribaan pembaca.

    Ritme puisi-puisi Kiki dalam antologi Di Ampenan Apa Lagi yang Kau Cari, selanjutnya kita singkat AAKC, dirakit dalam skala yang amat terjaga intensitasnya. Beberapa terasa sangat ketat dan nyaris matematis, semisal kata menggema, mangga, manca, yang disusun dalam satu bait dalam rumah ladang paman, puisi yang sekaligus menyinggung nama Ida untuk pertama kalinya. Ida adalah perempuan yang menjadi pusat rotasi dalam antologi Kiki. Pembahasan mengenai ini akan diperikan pada bagian-bagian selanjutnya.

    Di puisi yang sama, Kiki juga menjejalkan baris rentetan kata yang menang sesaat senang. Juga, lonceng makan siang berkeloneng di tengah ladang, batang-batang kurus kacang tanah membayang di panci rebus, bibi yang anggun bagai api unggun berdiri di kejauhan. Penyair hampir senantiasa memanfaatkan dengan intens kelompok bunyi nasal. Mungkin ia memang telah terikat dengan kata Ampenan yang ia baptis sebagai bagian dari judul antologinya. Kata ini memang berpotensi membayangi Kiki pada hampir semua puisi dalam buku ini.

    Puisi-puisi Kiki yang banyak menarik manfaat dari aliterasi bernuansa sengau yang kental mengingatkan kita bagaimana efek eufoni bekerja membangun suasana sebuah puisi. Puisi lonceng makan siang adalah salah satu yang paling berhasil mereguk berkat dari efek ini. Pertautan antara isi puisi dan suasana yang coba digali melalui ritme anuswara semisal pernikahan dua entitas yang lantas melahirkan anak-anak yang sehat dan gemuk.

    Kita segera dipeluk hangat suasana tengah ladang dengan sup kelinci dan ranum buah-buah mangga. Anda bisa saja beristirahat sejenak mengimajinasikan suasana yang sangat manis dan menyihir segenap indra, sampai akhirnya Anda dibuat melayang dengan fakta puisi tentang romansa jatuh cinta yang syahdu di tengah momentum santap bersama. Cinta yang terhidang sebagai batang-batang kacang dari panci rebus dengan aroma bunga matahari yang terkepul di udara.

    Kalau boleh jujur, saya agak cemas membayangkan bagaimana pertautan rima dimainkan dengan terlampau kalkulatif bahkan sejak antologi ini dibuka oleh bait: dengan serat ampan ia panggil ikan-ikan/di tepi bahana pantai belum bernama/sesaat sebelum tiba pasukan perang/menabuh genderang dari seberang//. Saya segera membayangkan puisi-puisi selanjutnya akan dipaksakan Kiki memiliki style serupa. Benar saja, nyaris semua puisi memiliki gaya yang sama. Homogen. Penyair bertaruh dengan kepercayaan pembaca terhadap corak yang ia usung. Ia mungkin mencoba menawarkan garansi bahwa audiens tidak akan kecewa dengan langgam demikian. Atau bisa juga, ia mungkin tidak peduli dengan itu semua.

    Beruntungnya, energi Kiki tidak sia-sia. Permainan rima luar biasa melekat dalam ruang-ruang kesadaran dan ketidaksadaran saya sebagai pembaca. Ia seperti tentakel gurita yang menempel dan membuat saya nyaris tanpa sadar menuliskan judul yang berirama seperti yang sudah saya singgung di atas. Saya apresiasi keberanian dan keteguhan Kiki dalam hal ini. Homogenitas bentuk yang disodorkan penyair justru memberi semacam suasana baru, ciri yang menjadi khas pada antologi terkaji. Tentu Kiki bukan orang pertama yang memfungsikan aliterasi dalam puisinya. Para pendahulunya, sebut saja Amir Hamzah sebagai penyair paling termasyhur, kerap mengefisiensi persajakan demikian. Anda boleh mengecek puisi Berlagu Hatiku dengan bait Bertangkai bunga kusunting/Kujunjungkupuja, kurenung/Berlagu hatiku bagai seruling/Kukira sekalini mengenyap untung.

    Tidak. Saya hanya ingin menegaskan betapa Kiki memutuskan bersetia dengan topik stilistika yang ia usung. Tugas Kiki pada antologi-antologi selanjutnya menjadi jauh lebih berat. Ia harus membertimbangkan untuk bertahan dengan teknik yang sudah ia kuasai dan kembali bertaruh dengan ekspektasi pembacanya—yang telah mengenali cirinya, atau menemukan lagu baru demi menggapai selera pembaca dalam spektrum yang jauh lebih luas.

    Karnaval Multikultural

    Di muka telah saya singgung sosok Ida sebagai pusar gelombang di tengah samudra puisi Kiki. Saya ingin menyorot bagaimana Kiki memperlakukan Ida, atau apa urgensi Ida dalam sehimpunan puisi. Membahas Ida tentu menjadi pekerjaan paling berdosa jika saya tidak ikut menyertakan tiga nama lainnya, masing-masing dari mereka ialah Eva, Itje, dan Siau Lim. Kesemuanya perempuan yang singgah menggelitik ruang-ruang libidinal dalam hasrat biologis aku-puisi, dengan intensitas yang berbeda sesuai porsi yang dilekatkan penyair.

    Eva adalah figur yang bisa kita jumpai dalam rumah abah husein. Di rumah ini aku-puisi kerap belajar mengaji. Menilik dari naming choice dalam puisi, bolehlah kita berasumsi bahwa Abah Husein masih memiliki darah keturunan Arab. Berangkat dari asumsi tersebut, bisa kita maknai bahwa Eva, sebagai anak atau paling tidak anggota keluarga Husein, juga berdarah Arab. Sampai di sini kita bisa mendudukkan Eva sebagai perempuan turunan Timur Tengah yang parasnya (mampu) membuat panas saraf remaja (aku-puisi).

    Selanjutnya Itje. Ialah karakter untuk perempuan yang eksis dalam itje dari belanda. Judul ini sudah cukup menuntun kita untuk memahami latar belakang rasial tokoh Itje. Di dalam sajak Itje melambai dari atas sepeda mini/berputar-putar di lapangan seperti mainan// (sehingga, aku-puisi memutuskan untuk) kutinggalkan Itje bersama sepeda mininya/aku tahu ia bisa pulang sendiri//konon ia pulang ke Belanda menemui ayahnya//. Itje digambarkan dengan cukup aktif melalui verba “melambai”. Ironisnya, aku-puisi malah meninggalkannya.

    Seperti Itje, Siau Lim yang sekaligus menjadi judul puisi dalam siau lim juga mudah ditebak berasal dari nenek moyang kebudayaan macam apa tokoh kita kali ini. Dibanding Eva dan Itje, Siau Lim jauh lebih pasif. Ia jarang keluar bermain//Siau Lim seperti kota ini/pucat dan kesepian//. Karakter yang nyaris tidak menawarkan apa-apa dalam masa remaja aku-puisi yang menggelegak dan terdesak tuntutan-tuntutan biologis.

    Menarik menerawang bagaimana perempuan-perempuan hadir sebagai kompartemen dalam sehimpun puisi terkaji. Dari keempat perempuan yang saya sebutkan, dengan Ida salah satunya, hanya Ida yang benar-benar menjadi “racun” bagi aku-puisi. Kiki setidaknya menulis delapan puisi yang berbicara tentang Ida dan segala hal yang melekat dengannya. Tentang bagaimana pinggul Ida, rambutnya yang membius, dan tentang bagaimana relasi mereka dikonstruksi demikian dramatis.

    Dramatisasi aku-lirik dengan Ida sudah disinggung Afrizal Malna dalam epilog AAKC. Pertalian kedua karakter dikreasikan dalam hubungan inses. Dari delapan sajak dengan Ida sebagai topik, tiga di antaranya yakni ramalan sirih pinang, anjing merah, dan ampenan, ke mana aku kan menjelang secara eksplisit menyebutkan tabu dari relasi seksual. Puisi pertama mengangkut dua gatra kunci yakni aku dan Ida akan jadi kisah terlarang//kami sebenarnya sedarah yang lama terpisah//. Puisi selanjutnya juga membonceng dua anasir sentral yakni dan akar-akar cahaya membakar mata ibu kita//ruh ibu kita mengembara di atas sana//. Puisi terakhir, menegaskan apa yang sudah terangkum dalam puisi pertama, menuliskan aku kenang ida dengan cintanya yang terlarang// sebagai lokus inses yang telanjang.

    Sementara itu, kelima puisi lainnya berfungsi sebagai penguat imaji inses yang didesain penyair dengan cukup rapi. Puisi-puisi itu berjudul rumah ladang paman; rambut merah ida; lonceng makan siang; sisir kayu; dan ida melihat komet. Kesemua puisi yang terakhir saya imbuhkan masing-masing memikul narasi tentang hubungan pertemanan yang awalnya murni tanpa tendensi seksual, sentuhan fisik pertama, kondisi spiritual jatuh cinta atas respons citra visual dari dada, rambut, dan pinggang, kondisi cemburu dan patah hati, dan khayalan hidup bersama yang utopis.

    Setakat ini, belum ada teori yang mengklaim mampu keluar dari kesepakatan tabu inses. Berbekal motivasi dari orientasi atau perspektif yang beragam, ilmu pengetahuan sependapat bahwa inses adalah laku tercela dan terkelam—meminjam bahasa Freud—umat manusia yang harus dikontrol oleh norma sosial yang sangat kuat. Para ahli medis dan biologi sepakat bahwa keturunan perkawinan sedarah memiliki resiko ganguan genetik, mengarah pada proporsi cacat lahir yang lebih tinggi. Risiko kematian juga menjadi hantu bagi seumur hidup yang membayangi keturunan pelaku inses.

    Menyoal dosa-dosa inses, sama tawarnya dengan sekadar mengamini “temuan” Afrizal pada motif seks sedarah yang sangat telanjang dalam puisi-puisi Kiki. Pembicaraan akan lebih bernilai bila akhirnya kita bisa menemukan makna di sebalik formula inses yang ditembakkan penyair dalam antologi ini. Kita mengambil jarak sejenak untuk mereka-reka hal besar apa yang coba disampaikan penyair lewat simbol-simbol tabu inses yang coba didramatisasi dan diromantisasi.

    Perkara inses menjadi unik di tengah-tengah pertarungan ras yang disodorkan Kiki. Hampir tidak memiliki dasar, bila kita menganggap bahwa puisi Kiki berhenti sampai pada persoalan cinta-kasih. Berbeda halnya andaikata inses kita sorot sebagai simbol. Dengan begitu, akan kita temukan hal-hal baru sebagai konsekuensi makna simbol yang sungguh kentara.

    Pertanyaan yang juga patut dipertimbangkan ialah hasrat apa yang sebenarnya sedang disembunyikan aku-puisi untuk memilih Ida di antara tiga perempuan lainnya yang dalam konteks keterkinian secara universal diyakini memenuhi standar-standar kecantikan. Dari manis wajah oriental, tegas dan wibawa bangsa Arab, hingga yang murni Kaukasoid dari Belanda, ras yang dinggap puncak segala ras di dunia. Kesejatian apa yang dimiliki Ida sekaligus tidak dimiliki Eva, Itje, dan Siau Lim, misalnya. Sebaiknya kita bersiap dengan kenyataan betapa inses hanya lambang belaka, atribut yang niscaya menjadi tangkup bagi esensi lainnya.

    Rambut Merah Ida

    Rambut adalah materi paling menonjol dalam puisi-puisi yang menginternalisasi wujud Ida di dalamnya. Anda bisa memeriksanya pada bagian-bagian berikut ini.

    lalu rambutmu/kucium bagai kembang jepun//di antara mereka/kucium sepenuh dukacita/rambut merahmu, Ida//

    (rambut merah Ida)

    aku meraba rambutnya, merah-terang seakan baru terpanggang//

    (ramalan sirih pinang)

    sudah lama aku menduga merah pada rambut Ida/berasal dari bulu anjing yang suatu petang pernah bertandang//

    (anjing merah)

    pada merah rambut ida ia percaya, ada cerita yang masih rahasia//

    (sisir kayu)

    lembar-lembar september bergetar di rambutnya/rambut yang merah seperti terendam darah//Ida melihat komet, kini aku menulis sonet untuknya/untuk rambut merah dan hari-hari yang tak mudah//

    (ampenan, kemana aku kan menjelang)

    Kecenderungan Kiki terhadap individualitas Ida mengingatkan saya pada cerpen Kaki yang Jelita karya Agus Noor dan Tahi Lalat di Punggung Istriku karangan Ratih Kumala. Saya pernah membahasnya dalam kesempatan yang lain. Agus Noor menghadirkan kisah Kaka dengan kaki jenjangnya. Persona ini selanjutnya menemukan kemegahan individualitasnya di tengah para pengagum yang mendewakan kejenjangan itu. Kaki menjadi lokus seksual bagi Kaka.

    Lokus seksual juga ditemukan di atas punggung tokoh istri dalam cerpen Ratih Kumala. Tokoh suami pada cerpen Ratih justru tergila-gila pada senoktah tahi lalat di punggung. Hal yang ingin saya tilik dari kedua cerpen itu ialah bagaimana pengarang merekonstruksi standar kecantikan yang—katakanlah melekat dengan erat di tas tubuh perempuan Barat atau ras Kaukasoid—selama ini memaksa perempuan di seluruh dunia untuk menjadi homogen dalam ciri fisik mereka.

    Intensitas pemujaan aku-puisi terhadap rambut Ida bisa diidentifikasi memiliki warna serupa dengan standar-standar baru yang coba dikonstruksi Ratih dan Agus. Kiki sengaja menghadirkan lawan tanding bagi Ida. Perempuan-perempuan yang dikondisikan berasal dari tiga bangsa lainnya, Cina, Arab, Belanda, yang dianggap lebih unggul dibanding ras yang turut membentuk ciri fisik Ida. Bagaimanakah kita memahami pilihan aku-puisi yang kukuh menjalin cinta terlarang denga Ida dibanding membangun relasi seksual-emosional dengan tiga perempuan “unggul” lainnya? Perkara cinta terhadap Ida adalah kasus yang kelihatannya sia-sia; sudahlah inses, bukan dari ras unggul pula.

    Mitos kecantikan membentuk konsep bahwa seolah kualitas yang disebut cantik benar-benar ada, secara objektif dan universal. Situasi itu selanjutnya menjelma sebagai sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena bersifat biologis, seksual, dan evolusioner. Hal itu tidak sepenuhnya benar. Secara fundamental kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Kecantikan bukan hal yang universal juga bukan bagian dari fungsi evolusi. Tidak ada legitimasi historis atau pembenaran biologis bagi patron kecantikan. Dengan begitu, dapat ditarik prinsip bahwa kecantikan merupakan kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual.

    Memahami bahwa kecantikan itu nisbi dan seterusnya tidak ada standar pasti dan ukuran yang jelas tentang wujud perempuan cantik, Wolf mendesain sebuah teori yang berasal dari keyakinan bahwa cantik itu mitos. Itulah mengapa kemudian lahir teori mitos kecantikan, underbow studi feminisme. Kreator Ida mungkin tidak membaca Wolf, tetapi ia telah secara sadar ikut meruntuhkan standar-standar kecantikan keterkinian yang terus merongrong dan dipaksakan melalui media massa, keyakinan, atau bahkan ideologi. Kiki meruntuhkan menara gading standar kecantikan dengan membangun benteng standar kecantikan yang baru. Mitos dilawan dengan mitos. Ia percaya, standar cantik tak lebih dari sebuah omong kosong.

    Kecurigaan kita lantas punya alasan untuk merangsek kepada alasan macam apa yang coba diterangkan Kiki melalui pembentukan mitos di tengah gempuran standar dan patron yang lebih popular dan sudah punya nama. Korelasi macama apa yang coba diwacanakan penyair melalui upayanya yang begitu keras kepala mencintai saudaranya dan mengenyahkan hasrat bercinta dengan sesuatu di luar lingkarannya? Apakah ini hanya perkara pertarungan narasi eksogami dan endogami? Sepertinya, formulasi dari gagasan besar AAKC tidak berhenti hanya pada persoalan mitos kecantikan.

    Pada subbagian ini kita telah berbicara tentang ras dan mitos kecantikan secara bersamaan. Fakta isu rasialisme yang diangkut penyair selanjutnya bisa kita asumsikan disulap menjadi kayu bakar dalam tungku pembuatan roti mitos kecantikan yang baru. Hal yang perlu kita garis bawahi ialah untuk apa standar ini penyair ciptakan? Pada bagian ini harusnya kita lebih jeli dan lebih dingin lagi meletakkan fokus analisis pada dasar ideologi Kiki Sulistiyo.

    Resistensi. Kita bisa memulai babak baru perbincangan dengan kata tersebut. Resistensi menjadi landasan bagi Kiki untuk menegaskan asumsinya bahwa perempuan dari ras proto melayu sebagai ras terbesar yang mendiami pulau Lombok, lebih bergairah dan bernyawa dibanding Eva, Itje, pun Siau Lim. Eva yang turunan Arab terlalu alim dan malu-malu sementara Itje gadis Belanda dipandang terlalu bocah, tak punya hasrat, tidak mandiri, dan tidak otonom. Sama halnya Siau Lim yang bernasib sial. Oleh aku-puisi ia dinilai sebagai bocah yang benar-benar menyedihkan, tanpa kehendak menjalani hari-harinya dengan lebih bahagia, dengan bermain keluar rumah. Tidak heran, ia menjadi pucat tanpa gairah, persis mayat hidup dan tak mungkin diajak berkasih-kisah.

    Bandingkan dengan nukilan larik berikut jakun di leherku mulai mengembang dan iseng sekali/memperhatikan dada Ida, anak paman yang berambut merah bagai/gadis manca//Ida berlari di depan/pinggangnya ramping seakan ceruk tebing/bau tubuhnya runtuh/seperti datang dari sebuah kota yang lama dilupakan orang//. Larik-larik ini saya kutip dari lonceng makan siang. Sebuah jalan penokohan bagi Ida yang punya energi besar dan antusiasme menghadapi hari-harinya yang cerah sebagai gadis Lombok.

    Persoalan rambut Ida menjadi batu loncatan yang cukup sempurna untuk sekaligus menghantam persoalan fisik, sifat, dan mental dari lawan tanding Ida. Perempuan-perempuan yang tidak berhasil memuaskan hasrat aku-lirik akan pasangan yang tumbuh dari nyala api vitalitas, padat oleh gerak spiritualitas. Semangat perjuangan dan perlawanan terimplementasi dengan baik melalui pilihan warna yang diletakkan pada rambut Ida: merah.

    Resistensi rasialisme ini hadir sekaligus untuk menegaskan keberpihakannya pada nasionalismenya dengan jalan mengingkari nasionalisme di luar kondisi kulturalnya. Pengingkaran ini bisa kita yakini sebagai bentuk rasa muak Kiki terhadap keunggulan teknik—atau kemajuan-kemajuan lainnya—yang selalu dipretensikan sejalan dengan keunggulan moral. Keunggulan yang seumpama menjadi hak bagi ketiga ras lainnya untuk memegang kendali kuasa sebagai bagian dari misi pengadaban.

    Nasionalisme Kiki sekaligus bertujuan menangkal sikap-sikap negatif semacam inferioritas, pengkultusan terhadap segala budaya impor, dan upaya mengenyahkan mental inlander. Kiki tidak mendudukkan inses sebagai persoalan tabu seksual sedarah belaka. Insens selaik anak panah yang ia lesatkan demi menujah target yang kita sepakai sebagai rasisme. Pengingkaran standar kecantikan yang oriental, timur tengah, atau pun yang ke-barbie-barbie-an tidak berhenti pada upaya meruntuhan mitos, meliankan juga melegitimasi keagungan dan keunggulan budayanya. Upaya counter budaya impor yang cukup cerdas dilakukan Kiki melalui sehimpun puisinya.

    Saya jadi terkenang bagaimana Paul Tickell berbicara tentang kekuasaan kolonial Eropa dan kesadaran kaum terjajah yang tidak paham tentang indikasi seperti apa yang harus diperbuat demi keluar dari mekanisme penjajahan yang bersifat mengatur, mendisiplin, dan menguasai. Namun demikian, masih menurutnya, perlu disangsikan apakah ideologi-ideologi kolonialisasi itu benar-benar berfungsi sebagai wacana yang berkuasa dan mencakup seluruh pendudukan jajahan. Persoalan ini, bila kita adapatasi dalam keputusan Kiki memilih karakter Ida sebagai partner seksualnya, pada gilirannya menjawab kegelisahan di atas.

    Kiki tidak lagi berbicara dalam ruang kolonialisasi Eropa sebagaimana yang menjadi hantu sejarah bangsa Indonesia. Ia menggeser ruang penjajahan ini ke dalam partisi yang lebih riil terkait dengan persoalan dalam konteks keterkinian. Ketiga bangsa yang digambarkan Kiki yakni Arab, Belanda, dan Tionghoa masing-masing mewakili produk-produk impor. Arab dengan narasi agama gurun pasir, Belanda yang berdiri sebagai delegasi Barat atau western, dan Tionghoa yang menjadi lambang bagi kemakmuran dan seperangkat dominasi terhadap kantong-kantong moneter. Kiki menjadikan ketiganya sebagai representasi dari kolonial lantas menjawab apa yang menjadi kerasahan Tickell tentang “indikasi seperti apa yang harus diperbuat”.

    Dalam Clearing a Space, Tickell menyebut Marco Kartodikromo melawan dengan bahasa melalui Matahariah, maka Kiki sejatinya menentang dengan cara yang cukup berbeda. Ia bertanding dengan senjata bernama inses yang selanjutnya berpendar melalui rambut dengan warna merah sebagai penanda keberanian, ciri fisik, mental, dan spiritual. Pembahasan sederhana ini selanjutnya bisa dijadikan landasan penelitian tentang mitos kecantikan atau nasionalisme dalam puisi-puisi mutakhir Indonesia.

    Sumber Acuan

    Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. (Masri Maris. Penerjemah). Jakarta: Freedom Institute.

    Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. (Mundi Rahayu. Penerjemah.) Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

    Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

    Sulistiyo, Kiki. 2017. Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?. Yogyakarta: BASABASI.

    Tickell, Paul. 2008. Cinta di Masa Kolonialisme, Ras dan Percintaan dalam Sebuah Novel Indonesia Awal. Dalam Keith Foulcher dan Tony Day (editor). Sastra Indonesia Modern Kritik Poskolonial, Edisi Revisi Clearing a Space. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

    Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. (Aquarini Priyatna Prabosmoro. Penerjemah.) Yogyakarta: Jalasutra. (Diterbitkan pertama kali tahun 1998).

    Ulasan ini dipaparkan dalam Diskusi Sastra Nasional IV yang bertema “Mengenang Ampenan” di PKKH UGM, Kamis 27 September 2018, oleh La Ode Gusman Nasiru

  • Pentingnya Pemuda Generasi 2028

    author = Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    Mari kita akui bahwa pada tahun 1945 Indonesia tak akan merdeka tanpa 1928. Pun 1928 tak akan ada tanpa 1908, dan tiada 1908 tanpa momentum Politik Etis yang membawa ilmu pendidikan Barat ke Indonesia. Logika tersebut menjadi dasar berpikir artikel ini. Tidak ada sejarah yang berdiri sendiri.

    Di media massa SBY dan Aburizal Bakrie pernah menulis visinya tentang Indonesia 2045. Maret lalu Lemhamnas pun meluncurkan buku Skenario Indonesia 2045. Maka, penting bagi kita yang mengidamkan Indonesia merdeka 100% di tahun 2045 untuk menyiapkan pemuda generasi 2028. Maka, patutlah kita tengok kembali efek domino 1908 ke 1945.

     

    Efek Domino 1908

    Seperti yang diamini oleh para sejarahwan, ada tiga tokoh puncak di Indonesia tahun 1945, yakni triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir. Soekarno (lahir 1901), Hatta (1902), dan Sjahrir (1908). Mereka masih SD, bahkan Sjahrir masih bayi ketika Budi Utomo didirikan 20 Mei 1908. Namun, pada November 1945, Soekarno adalah Presiden Pertama Indonesia, Hatta adalah Wakil Presiden Pertama, dan Sjahrir adalah Perdana Menteri Pertama. Di tahun 1908, siapa yang mengira mereka menjadi pucuk pimpinan bangsa ini?

    Soekarno-Hatta-Sjahrir takkan ada di puncak Indonesia 1945 tanpa masa mudanya diisi dengan membaca gagasan revolusioner Tan Malaka, tanpa diayomi Tjokroaminoto, atau tanpa berdiskusi dengan Agus Salim. Tan Malaka berusia 31 tahun, Tjokroaminoto 46, dan Agus Salim 44 saat Sumpah Pemuda dibacakan. Mereka adalah pamong bagi Soekarno-Hatta-Sjahrir yang berestafet membawa rakyat Indonesia menuju kemerdekaan.

    Meski Soekarno-Hatta-Sjahrir tidak banyak berperan dalam Sumpah Pemuda 1928, namun di tahun itu telah terjadi gejolak emosi nasionalisme yang sama, baik bagi mereka yang hadir di Kongres Pemuda II maupun yang tidak.

    Lihatlah nama yang menghadiri kongres itu. Ada Amir Sjarifuddin (usianya masih 21 th), Mohammad Yamin (25 th), Johannes Leimena (23 th), dsb. Siapakah mereka pasca-1945? Amir Sjarifuddin menjadi Perdana Menteri Indonesia kedua. M. Yamin menjadi Menteri Kehakiman. J. Leimena menjadi Wakil Perdana Menteri. Bahkan, SM Amin (24 th), yang tidak populer, pasca-1945 menjabat sebagai Gubernur Aceh, Sumut, dan Riau. Lihat betapa pentingnya momentum 1928 mengubah jalan hidup para pemuda itu hingga menjadi pemimpin bangsa setelah merdeka.

    Bila 1920-1930 adalah dekade propaganda, maka 1900-1910 adalah dekade bangkitnya nasionalisme. Para pemuda bersemangat mengobarkan nasionalisme dengan wadahnya masing-masing seperti Syarikat Islam (berdiri tahun 1905), Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1908), Indische Partij (1912), dsb.

    Siapa pemuda di balik dekade itu? Ada Tjipto Mangoenkoesoemo (yang pada 1908 berusia 22 th), Ki Hadjar Dewantara (19 th), Agus Salim (24 th), dan HOS Tjokroaminoto (26 th).

    Sejarah menyebutkan bahwa Soekarno-Hatta-Sjahrir berguru pada mereka. Tjokroaminoto adalah induk semang Soekarno ketika ia tinggal di rumah kost miliknya. Hari-hari Soekarno muda dihabiskan dengan belajar pada beliau. Adapun Tjipto Mangoenkoesoemo selama enam tahun berdiskusi hampir setiap malam dengan Hatta ketika diasingkan ke Banda Neira. Sementara Agus Salim selalu berbagi gagasan kepada Sjahrir selama pengasingan mereka di Brastagi.

    Dari sini tampak nyata bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia adalah tongkat estafet yang disaling-silangkan antar-tokoh pendiri bangsa. Bila sekali saja tongkat itu abai diturunkan lintas-generasi, akankah ada Republik Indonesia?

    Atas dasar berpikir inilah mesti disadari bahwa cita-cita Indonesia merdeka 100% di tahun 2045 akan sulit berhasil bila kita tidak memiliki landasan 2028. Pun generasi gemilang 2028 sulit terwujud jika tidak ada kesiapan pembangunan kepemudaan dari sekarang.

    Dekade 2010-2020 adalah momen krusial yang menentukan kesiapan generasi 2028. Melihat pola Soekarno-Hatta-Sjahrir, kelak yang berada di puncak Indonesia 2045 adalah mereka yang lahir di dekade 2001-2010. Mereka menjadi remaja di dekade 2010-2020, lalu mematangkan diri lewat momentum 2028, sehingga pada 2045 siap didaulat memimpin Indonesia.

    Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia akan mengalami bonus demografi tahun 2020-2030 yang menyediakan 70% dari total populasi Indonesia berusia produktif (15-64 th). Di sisi lain, Masyarakat Ekonomi ASEAN telah dimulai 1 Januari 2016. Ini merupakan kebetulan sekaligus kesempatan emas. Dengan kata lain, bonus demografi dan MEA akan menjadi kawah Candradimuka bagi pemuda kita asalkan tersedia trayektori yang tepat meningkatkan kompetensi mereka.

    Lantas, bagaimana menyiapkan trayektori yang tepat bagi generasi 2028? Dari sini perlu diperhatikan apa yang memicu 1908 menjadi tahun Kebangkitan Nasional, yang kemudian berefek domino ke 1928 hingga 1945.

     

    Kesadaran Berpendidikan 

    Disebutkan di awal bahwa 1908 takkan ada tanpa momentun Politik Etis. Sebenarnya Politik Etis ditekankan pada rasa emansipasi bagi bangsa terjajah dalam tiga bentuk: irigasi, emigrasi, dan edukasi. Namun, keuntungan edukasi-lah yang menjadi titik balik cara berpikir rakyat Indonesia kala itu.

    Tanpa Politik Etis, Soekarno tak akan bergelar Insinyur, Hatta dan Sjahrir tak akan bersekolah di Belanda. Tanpa pendidikan tak akan muncul semangat nasionalisme, dan tentu tak akan ada Proklamasi. Amat disayangkan buku-buku sejarah kerap menisbikan hal ini. Sejak lama kita dicekoki bahwa kemerdekaan diraih semata-mata lewat perang. Sulit ditemui buku sejarah resmi yang menitikberatkan peran pendidikan sebagai pemicu berdirinya negara ini. 

    Pendidikanlah yang mengubah wajah Indonesia. Tanpa pendidikan, para pahlawan kita gugur sia-sia. Ada kognisi nasionalis di kepala mereka agar tidak gugur percuma. Pemuda Angkatan ‘45 takkan serta merta mengangkat bambu runcing bila tidak terdidik jiwa nasionalismenya.

    Konsep pedagogi memang telah jauh berubah. Tuntutan pun berganti. Masa depan pemuda kita dihadapkan pada kecanggihan teknologi yang pesat dan terbuka. Mesti diakui bahwa Kalimantan Tengah tertinggal dibandingkan Jawa apalagi Eropa. Hal itu bisa diatasi mengingat kita hidup di era internet —segalanya terakses. Pendidikan adalah cara termudah mengejar ketertinggalan itu. Bila pemuda kita tanggap dan pandai, mereka bisa saja mengakses jurnal Harvard dan menyainginya. Kendalanya hanya bagaimana membuat mereka tanggap dan pandai. Cara terefektif dan berdampak massal untuk mengatasinya ialah dengan pembangunan pendidikan di Indonesia. 

    Pernah terjadi sebuah diskusi sesama orangtua warga Dayak di perantauan yang membicarakan tentang pembangunan pendidikan di Tanah Tambun Bungai. Diskusi itu ingin menjawab bagaimana menjadikan Universitas Palangka Raya (UPR) setara dengan UI, UGM, UNAIR atau ITB. Begini dialektikanya: Seandainya APBD dianggarkan 100% untuk UPR. Seandainya seluruh dosen UI, UGM, UNAIR, ITB kita boyong. Seandainya gedung kampus kita duplikasi, sanggupkah ia menjadi universitas papan atas di Indonesia? Jawabannya: mustahil. 

    Akreditasi sosial terhadap perguruan tinggi ditentukan dari output-nya; prestasi yang dicapai alumninya. Kualitas output ditentukan proses pedagogis selama masa studi, sarana prasarana yang memadai, dan yang paling penting adalah kualitas input-nya (calon mahasiswa yang mendaftar).

    Meski tidak selalu demikian, ada kecenderungan bahwa universitas papan atas di Indonesia kebanyakan mahasiswanya berasal dari SMA-SMA (atau sederajat) terbaik. Kemudian, siapa yang bisa masuk SMA terbaik? Kebanyakan siswa yang berasal dari SMP terbaik. Lalu, siapa yang diterima di SMP-SMP terbaik itu? Kebanyakan siswa yang berasal dari SD-SD berkualitas. Terakhir, siapakah yang bersekolah di SD-SD berkualitas? Ialah mereka yang berasal dari keluarga yang sadar betapa pendidikan dapat mengubah nasib anak mereka. 

    Bagi daerah dengan mutu pendidikan yang masih rendah, tidaklah baik menceraikan perguruan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah. Perlu 6 tahun SD, 3 tahun SMP, dan 3 tahun SMA guna menyiapkan calon mahasiswa yang mampu menjadikan UPR sebagai universitas papan atas di Indonesia.

    Selama ini kita terbuai pada pembangunan infrastruktur, tetapi lupa terhadap pembangunan superstruktur (kebudayaan, falsafah, sosial-keluarga). Memang benar, di daerah seperti Kalteng tanpa akses jalan dan jembatan yang baik akan sulit berangkat sekolah. Namun, bagaimana bila anak kita bersekolah tanpa kesadaran pentingnya pendidikan.

    Sungguh baik bila para calon pemimpin bangsa itu sedari awal dibesarkan di keluarga yang menyadari pentingnya pendidikan. Menyediakan akses buku-buku di rumahnya. Belajar di sekolah inklusif yang memberi perhatian di bidang seni, multikulturalisme, dan teknologi. Lalu, ketika mereka tumbuh remaja tersedia sarana berkembang yang kreatif, bukan konsumtif.

    Semua itu bergantung pada kita, baik sebagai orangtua, tokoh masyarakat, maupun pemimpin bangsa ini yang akan menyerahkan tongkat estafet lintas-generasi. Akankah kita mampu melihat pentingnya generasi pemuda 2028 supaya kelak mereka memiliki kompetensi menjadikan Indonesia 100% merdeka di 2045?

     

    *Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Tabengan edisi 7 Juli 2016

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Pengultusan dan Ketakutan akan Hilangnya Isi Kepala

    author = Hanif Amin

    Saya hidup
    dengan meniru. Waktu kecil, misalnya, saya menonton Naruto dan ingin jadi
    Naruto. Akhirnya yang saya lakukan untuk jadi sedekat mungkin dengan sosok
    Naruto adalah meniru berbagai jurus berkelahinya secara diam-diam.

    Sosok-sosok
    untuk diidolakan dan ditiru, baik yang fiktif maupun nyata, selalu ada
    sepanjang hidup saya hingga sekarang. Saya menemukan mereka lewat berbagai
    manusia dengan berbagai jenis profesi. Lewat komik, TV, dan buku.

    Sekarang,
    medium-medium itu bertambah (dan menggeser yang lama) dengan adanya smartphone dan internet. Ada Youtube,
    film, blog, podcast, dan akun sosial media yang menjadi tempat tiap orang untuk
    menunjukkan keunikan masing-masing.

    Dengan
    bertambahnya medium, bertambah pula orang-orang yang dapat dijadikan idola atau
    role model. Di Youtube saja,
    barangkali kita bisa menemukan puluhan vlogger
    dan content creator asal Indonesia
    yang memiliki subscriber puluhan ribu keatas.

    Dengan
    internet, kini anak-anak SD tidak perlu menunggu dengan sabar hingga sore di TV
    untuk menemukan idolanya. Ponsel mereka menembus batas-batas waktu.

    Sebagai
    remaja, saya juga merasakan kebutuhan untuk menemukan orang-orang yang bisa
    dijadikan panutan. Bedanya, sekarang saya tidak mencari sosok yang bisa
    melakukan jurus-jurus ajaib atau memukuli ratusan orang sendirian. Saya mencari
    orang yang menawarkan “gagasan”, “jawaban” atau “kompas buat menjawab”
    keresahan-keresahan yang saya alami. Mereka yang punya keahlian dan cara hidup
    untuk dibagi.

    Dengan
    sendirinya, saya menemukan beberapa sosok yang terasa begitu menarik untuk
    dicari kabarnya. Lalu mengikuti mereka melalui tulisan, status sosial media,
    video, atau podcast. Dan terima kasih kepada internet, sekarang saya tidak
    perlu menunggu berjam-jam untuk mendapatkan segala macam konten tersebut.
    Semuanya bahkan terasa terlalu mudah.

    Satu hal
    lagi yang jauh berbeda dibanding beberapa tahun lalu adalah soal betapa
    intens-nya saya bisa mengikuti sosok yang saya idolakan. Menonton vlog, membaca
    tulisan, dan mendengarkan podcast mereka seringkali membawa saya kepada ilusi
    bahwa saya begitu dekat dengan si idola.

    Candu untuk
    “mengikuti” ini serasa makin hebat dari hari ke hari dengan begitu aktifnya
    mereka di kanal masing-masing. Kehidupan pribadi mereka terasa menarik hingga
    membuat saya melakukan stalking untuk
    mencari-cari informasi yang lebih.

    Tapi
    ketakutan terjadi ketika saya merasa makin tenggelam pada sosok mereka sampai
    kepada suatu titik dimana saya selalu menjadikan para idola ini referensi dalam
    berpikir dan menyikapi hampir segala hal.

    Misalnya
    ketika menjumpai suatu masalah, tanpa sadar saya selalu mencoba berpikir
    menggunakan sudut pandang dari si idola. Hal ini bisa terjadi begitu sering
    sampai membuat saya melupakan pilihan-pilihan lain.

    Begitu juga
    ketika ada isu yang hadir. Sebelum mencerna dan menggali isu tersebut untuk
    disimpulkan sendiri, saya biasanya selalu mencari-cari opini dari orang-orang
    yang saya idolakan.

    Kepedulian
    saya pada keadaan yang nyata di sekitar tempat tinggal juga menghilang. Pikiran
    saya disibukkan pada masalah-masalah yang penting tapi jauh lalu melupakan yang
    terlihat kecil dan dekat.

    Sesuatu yang
    remeh barangkali terjadi pada persoalan selera musik. Yaitu ketika saya punya
    beberapa musisi idola yang selalu dijadikan referensi. Sebelum mendengarkan
    lagu A, misalnya, saya selalu mencari tanggapan dari si musisi dulu. Kalau dia
    suka, maka saya akan mendengarkan. Kalau tidak, biasanya saya tinggalkan atau
    dengarkan sedikit hanya untuk meyakinkan diri sendiri kalau musik yang saya
    sedang dengarkan adalah musik yang jelek.

    Belum lagi
    kalau idola saya punya semacam “musuh”, orang yang mengkritik atau mendebat
    mereka. Seperti persoalan selera musik, reaksi pertama saya pada si musuh
    adalah “orang ini goblok dan brengsek”. Lalu membaca sedikit soal si musuh
    hanya untuk meyakinkan anggapan saya sebelumnya tentang dia.

    Peristiwa-peristiwa
    tadi ketika dipikirkan ulang seringkali menciptakan kegaduhan kecil dalam
    kepala. Timbul pertanyaan dan keresahan soal identitas diri. Apakah saya punya
    kontrol atas apa yang saya pikirkan?

    Saya jadi
    curiga kalau sebenarnya saya tidak punya isi kepala. Kalau gagasan yang ada di
    dalam kepala adalah hasil ikut-ikutan orang lain bukannya sesuatu yang
    dipikirkan dengan matang.

    Bahkan
    sepertinya saya tidak punya gagasan. Yang ada hanya pengultusan. Saya terlalu
    intens mengikuti orang lain sampai-sampai kehilangan semangat untuk berpikir
    karena merasa sudah terwakili dengan menunggangi pikiran mereka.

    Pangeran
    Siahaan di Twitter-nya bilang : “Jangan percaya sama
    orang. Pada satu titik, orang akan mengecewakan lo. Percaya pada nilai. Percaya
    pada gagasan.”

    Saya kira
    twit barusan bisa menggambarkan masalah banyak orang. Ketika gagasan tertukar
    dengan siapa yang mengemukakan gagasan. Sehingga yang jadi pisau kita untuk
    menyikapi dan membedah sesuatu bukan gagasan, tapi orangnya.

    Akhirnya
    yang ada cuma pengultusan alih-alih akal sehat.

    Dalam skala
    yang besar pengultusan ini terlihat di dalam suasana pemilihan presiden. Selalu
    ada orang yang menganggap calon presiden pilihannya adalah manusia super yang
    tidak punya salah dan si lawan sebaliknya.

    Semuanya
    semakin konyol dengan pelabelan julukan pada masing-masing pemilih. Seperti ada
    perbedaan yang begitu tajam antar-kedua paslon. Seolah-olah segalanya cuma soal
    memilih di antara dua kubu, yang hitam-putih. Antara si baik dan si jahat.

    Kendati
    demikian, internet juga menumbuhkan beragam kultus dalam skala lebih kecil
    karena sekarang tiap orang atau perkumpulan bisa membagikan gagasannya dengan
    gampang dan intens. Pengultusan bisa terjadi dengan lebih mudah, baik dalam hal
    remeh maupun besar. Disadari maupun tidak.

    Adalah tugas masing-masing kita untuk terus mengisi kepala
    dengan akal sehat dan gagasan, alih-alih menumpahkannya secara cuma-cuma ke
    punggung idola.

  • Pengaruh Peristiwa ’65 pada Kondisi Kesehatan Jiwa Masyarakat Indonesia

    author = Mustaqim Aji Negoro

    Peristiwa ‘65 merupakan salah satu cerita sejarah terbesar di Indonesia yang terjadi pada abad ke-20. Peristiwa ini diawali dengan adanya penculikan dan pembunuhan enam orang perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada malam 30 September 1965. Jenazah para perwira ini kemudian ditemukan di sebuah sumur tua yang ada di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur tak lama setelahnya. PKI dituduh oleh Angkatan Darat sebagai biang keladi di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan ini.

    Segera setelah berita pembunuhan terhadap para Jenderal Angkatan Darat ini menyebar, kondisi stabilitas politik dan keamanan nasional menjadi tidak stabil dan berubah mencekam. Berlangsung aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan beberapa organisasi masyarakat anti-PKI dan anti-Soekarno yang dibekingi militer di beberapa kota besar tak lama setelahnya. Tuntutan mereka jelas, yakni pembubaran PKI dan pembersihan kabinet Soekarno dari unsur-unsur Kiri. 

    Hal yang perlu menjadi catatan penting di sini adalah, aksi protes dan demonstrasi tersebut, diikuti dengan persekusi, perburuan, penangkapan, dan pembunuhan massal terhadap para anggota PKI, simpatisan, atau orang-orang yang sekedar dituduh sebagai simpatisannya di mana-mana beberapa hari sampai jauh berbulan-bulan berikutnya.  

    ***

    Siapa sangka peristiwa berdarah yang berlangsung mulai Oktober 1965 sampai akhir 1966 ini ternyata tidak hanya membawa dampak pada insiden pembunuhan massal atau masalah lain yang tampak secara fisik semata. Akan tetapi, lebih daripada itu, juga berdampak langsung terhadap kondisi psikologis dan kesehatan jiwa orang-orang yang hidup di zaman tersebut. 

    Contoh penggambaran paling baik dari kasus ini adalah data yang berhasil dihimpun oleh Dr. Mikail Bharya (salah seorang psikiater tersohor yang hidup pada masa itu) dalam artikelnya di “Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 3 Juli 1972” mengenai kejadian percobaan bunuh diri yang menimpa seorang wanita sunda-muslim berinisial (N) yang mencoba memotong urat nadi di pergelangan tangannya sendiri akibat dituduh komunis dan dihindari kehadirannya oleh para tetangga di sekitarnya pasca peristiwa pada tahun 1965 tersebut (hlm. 65).

    (Sumber foto: Dokumentasi penulis, Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 3 Juli 1972, hlm. 65)

    Dalam kasus itu, wanita berinisial (N) mulai memiliki konflik dengan tetangganya  disebabkan oleh hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Yakni, ketika keluar untuk bergaul dengan tetangganya, wanita tersebut merasa bahwa para tetangga menganggap dirinya sebagai seorang komunis, dan dia yakin bahwa para tetangganya tersebut menghindari kehadirannya karena sebab itu. Semenjak cap komunis melekat pada dirinya ia merasa terasing dan putus pengharapan. Kondisi kesehatan jiwanya menjadi menurun. Kondisi ini terus berlangsung hingga pada suatu hari, karena tekanan batin yang luar biasa tersebut, tanpa suatu niatan khusus sebelumnya, akhirnya ia memutuskan untuk mencoba memotong nadi di pergelangan tangannya. 

    Disebutkan pula dalam tulisan itu, latar belakang keluarga wanita yang coba melakukan bunuh diri tersebut adalah orang tidak mampu, ia memiliki dua belas saudara yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal apapun dan tak pernah tergabung dalam organisasi partai politik manapun (termasuk PKI tentu saja).

    Cerita mengenai orang tak bersalah yang tidak memiliki afiliasi apapun dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) lalu dituduh komunis oleh para tetangga, atau orang-orang di lingkungan di sekitarnya merupakan cerita yang lumrah terjadi pada waktu-waktu tersebut (lihat misalnya penggambaran yang menakjubkan di buku berjudul Palu Arit di Ladang Tebu). 

    Karena dalam hal ini, basis data yang digunakan untuk dapat mengatakan seseorang merupakan simpatisan atau anggota partai komunis sendiri tidaklah jelas dari mana asalnya.  Lalu, kalaupun benar mereka merupakan anggota partai komunis atau simpatisannya, atas dasar justifikasi apa orang-orang desa yang tidak tahu duduk perkara apa-apa mengenai dunia politik itu bebas untuk dibantai sedemikian rupa tanpa proses peradilan? Data-data menyebut jumlah korban keganasan sentimen anti-komunis tersebut tak kurang dari 500.000 orang, bahkah ada yang menyebut sampai 2 juta orang.

    Cerita lain adalah apa yang menimpa Yunus Tan Liang Seng (37 tahun) yang pergi ke Jakarta sejak 11 Juli 1980. Hingga berita dalam Kompas yang terbit pada 22 Oktober 1980, ia belum kembali ke rumahnya di Bogor. Diketahui, Yunus dahulu sempat duduk sampai Tingkat IV sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UI sebelum akhirnya menderita gangguan jiwa akibat syok yang dialaminya sewaktu berlangsung demonstrasi mahasiswa dan sentimen anti-PKI pasca peristiwa ’65.Sementara itu, dalam buku yang berjudul Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa yang ditulis oleh dr. Denny Thong, spKJ yang bercerita tentang sejarah hidup Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro (seseorang yang dijuluki Bapak Psikiatri Indonesia) menyebut bahwa pada masa pergolakan politik yang sedang terjadi pada 1965-1966 tersebut juga membawa dampak yang signifikan pada kondisi penanganan kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Di samping itu, sebagaimana hasil wawancara dr. Thong dengan dr. W. M. Roan SpKJ, teman seperjuangan Prof. Kusumanto Setyonegoro juga menyebut telah terjadi kebingungan di kalangan para psikiater, khususnya yang ada di Jakarta mengenai kondisi tersebut. Berikut kutipan hasil wawancaranya:

    “Masa itu (1965-1968) sangat tidak menguntungkan bagi kami, para psikiater. Beliau (Prof. Kusumanto) berpendapat agar kami tidak terlibat dalam masalah politik. Prahara politik memunculkan banyak ketegangan yang berdampak pada munculnya gangguan jiwa yang terkontaminasi politik. Misalnya, ada orang yang mengaku komunis (pasien bernama H), padahal ia adalah penderita gangguan jiwa di sebuah RSJ Jakarta.” Kenang Roan

    (hlm. 49)

    Sebagai tambahan, dalam tulisannya yang berjudul, “Sejarah Kesehatan Jiwa di Indonesia” di Majalah Psikiatri Jiwa edisi No. 1 Januari 1976, Prof Kusumanto Setyonegoro secara implisit menulis kalimat, “sesudah kabut G30S mulai mereda dan menipis, bagi Direktorat Kesehatan Jiwa tercipta kemungkinan untuk secara lebih tegas meletakkan landasan-landasan yang kokoh bagi perkembangan suatu instansi kesehatan jiwa yang modern.”(hlm. 84).

    Jika kita cermati kalimat tersebut, maka disimpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh Prof. Kusumanto di atas—yang pada saat itu menjadi bagian langsung dari Direktorat Kesehatan Jiwa—bahwasanya peristiwa G30S juga memberikan dampak langsung terhadap institusi tempatnya bekerja untuk melakukan modernisasi dan peningkatan pelayanan kesehatan jiwa. Terjadi stagnasi di sana sebagai akibat dari peristiwa tersebut.

    Sementara itu, data resmi yang berhasil dihimpun oleh Sanatorium Dharmawangsa (salah satu rumah sakit jiwa swasta pertama yang ada di Indonesia) sebagaimana yang termuat dalam “Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 2 April 1968” mengenai jumlah pasien yang berobat ke sana dalam kurun waktu 1962-1966. Tercatat telah terjadi lonjakan yang signifikan pada kurun waktu 1965-1966, yakni terjadi penambahan 126 orang pasien baru pada 1965 dan 189 orang pada tahun 1966. Padahal penambahan pasien yang berobat ke sana pada tahun-tahun sebelumnya tak mencapai 100 orang pasien per-tahun. Data yang hampir sama terdapat di Klinik Psikiatri RSCM-FKUI mengenai penambahan jumlah pasien yang ada di sana pada tahun 1965 sampai dengan 1966. Tercatat, terdapat penambahan 220 pasien penderita gangguan jiwa pada 1965, yang lalu meningkat jumlahnya menjadi 260 orang pada 1966 (ibid., hlm 77).

    Di sisi yang lain, pendapat yang sedikit berbeda datang dari Prof. Sasanto Wibisono dalam sesi wawancara pribadi dengan penulis. Ia menyebut bahwasanya tak ada korelasi langsung yang dapat dibuktikan secara ilmiah antara isu kesehatan jiwa dengan huru-hara politik yang terjadi pada tahun 1965-1966 tersebut. Apalagi sampai dapat meningkatkan jumlah penderita gangguan jiwa yang ada  pada waktu itu. Kalaupun dalam beberapa kasus didapati penambahan, katanya, itu hanya terjadi dalam skala kecil dan dalam kasus gangguan kesehatan jiwa yang ringan sampai sedang, seperti stress dan gangguan kecemasan karena situasi yang terjadi. Perlu diungkapkan di sini, pada saat gejolak politik dan pembantaian besar-besaran tersebut berlangsung, Prof. Sasanto Wibisono muda sedang menempuh studi lanjutan khusus psikiatri di Amerika Serikat (1964-1966).

    (Wawancara pribadi penulis dengan Prof. Sasanto Wibisono di tempat kerjanya di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada tanggal 30 Januari 2020, pukul 11.30)

    Adanya perbedaan pandangan di kalangan psikiatri ini sebenarnya lebih disebabkan karena belum adanya data-base resmi, dan sarana informasi yang lengkap serta ilmiah di bidang psikiatri yang ada di Indonesia waktu itu. Jadi, pendapat dan argumen yang mereka katakan lebih banyak bersumber dari pengalaman pribadi sehari-hari mereka ketika bertemu pasien dan ketika melihat apa kejadian yang sedang terjadi di sekeliling mereka sendiri. Di samping itu, Prof Sasanto Wibisono pada saat terjadinya peristiwa berdarah-darah tersebut tidak sedang berada di Indonesia. Ia pada 1964-1966 sedang menempuh studi lanjutan psikiatrinya di Amerika. Berbeda dengan pernyataan senior sekaligus koleganya, Prof. Kusumanto Setyonegoro yang pada saat itu aktif sebagai seorang psikiater dan pengajar di jurusan Psikiatri FK-UI dan bagian langsung dari Direktorat Kesehatan Jiwa. Ataupun juga, data-data yang berhasil dihimpun oleh Dr. Mikail Barya dan kolega di “Majalah Psikiatri Jiwa” yang pada saat kejadian berlangsung memang sedang berada dan bertugas menjadi psikiater di Indonesia.

    Daftar Pustaka

    Sumber Majalah dan Koran Sezaman

    Kompas, edisi 22 Oktober 1980.

    Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 2 April 1968.

    Majalah Psikiatri Jiwa, edisi. No. 1 Januari 1976.

    Majalah Psikiatri Jiwa No. 3 Juli 1972.

    Buku Bacaan Terkait

    Denny Thong, et al. 2011. Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa. (Jakarta: Gramedia).

    Wawancara dengan tokoh terkait

    Wawancara pribadi dengan Prof. Sasanto Wibisono di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Tanggal 30 Januari 2020, Pukul 11.30.