Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Perihal Anak Zaman Now

author = Intan Puri Hapsari

Bangun tidur, bernafas,  beraktivitas, makan, mandi, tidur lalu diulang lagi, diulang lagi sampai hidupmu habis!

Kalau mau jujur sama diri sendiri sebenarnya hidup sehari-hari saya hanyalah sebuah rutinitas, sebuah kegiatan yang berulang-ulang. Pernahkah kamu membayangkan kalau tidak pernah ditemukan kata “waktu”? Seandainya sehari bukan 24 jam tapi hanya 10 jam, lalu bagaimana pembagian hari-hari tersebut? Apakah jam biologis yang notabenenya harus beristirahat paling sedikit 7 jam, akan dapat beradaptasi dengan waktu yang lebih singkat? Ketika satu hari diperpendek menjadi 10 jam, bagaimana dengan usia kita? Sampai umur berapa saya bisa hidup di dunia ini. 

Katanya, manusia berevolusi dengan zaman, anak muda zaman now tidak sama dengan orang tua sepuh zaman jadul. Pola pikir, selera, rasa dan ideologi anak didikan revolusi internet tidak akan bisa sepenuhnya dimengerti oleh pendahulunya. Saya tidak tahu kemana harus menempatkan diri; apakah ke golongan anak zaman now atau zaman jadul? 

Di suatu hari yang cerah, terlintas pemikiran saya untuk menganalisa kronologis evolusi zaman berdasarkan buku sejuta umat : “Sapiens, A brief history of humankind”, karya Yuval Noah Harari. Penulis ini menjabarkan bahwasanya manusia mengalami berbagai macam revolusi di sepanjang sejarahnya. Revolusi kognitif sebagai preambule dari rentetan revolusi yang memaksa manusia untuk berevolusi.  Pada zaman ini,  manusia mulai berevolusi secara intelektual ketika bahasa mulai diciptakan sebagai alat komunikasi. Saya membayangkan pada masa itu, semesta raya telah mengkondisikan manusia untuk mencari alat penyambung lidah baik secara lisan maupun tulisan. Setelah manusia sudah bisa berkomunikasi dengan sesama untuk segala urusan duniawi, mereka juga mulai membutuhkan hidup bermasyarakat dengan menanggalkan gaya hidup yang nomaden. Manusia pada zaman itu, memutar otak untuk menghidupi hidup dengan cara bertani. Revolusi Agriculture menyajikan solusi dari semua permasalahan di kala itu.  Niscayanya, ini juga merupakan sumbu awal, sebuah cikal bakal sistem perekonomian terbentuk nantinya.

Zaman bergulir, manusia selalu berevolusi menurut teori dan tampaknya bumi pun semakin sesak oleh kehadiran mereka. Apakah ini berkat gizi yang lebih terpenuhi ataukah dunia ini yang menyempit karena tanah habis digarap untuk pertanian? Tapi, revolusi ini belum seberapa dahsyatnya berdampak pada keasrian bumi manusia kita. Seakan manusia zaman itu tidak bisa terpuaskan gaya hidup petani yang mungkin tampak sederhana. Sekarang giliran revolusi industri yang mengembangkan sayapnya guna merayu manusia di masa itu. Industrialisasi yang menjadi fenomena dunia telah dipelopori oleh Negeri Big Ben. Negara pengekor bermimpi hal yang sama dengan suhunya. Industrialisasi dan kapitalisasi bak dua kata tanpa sekat, berlomba dengan waktu untuk memuaskan kebutuhan manusia secara massal dengan berbagai cara. Pola pikir saat itu berkiblat pada gaya hidup kebarat-baratan dan melupakan kearifan lokal yang bukan lagi zamannya. Revolusi ini tak hanya berhenti disini, seperti bumi yang bulat dan terus berputar, manusia zaman ini pun memutar otak mencari jalan agar industri dapat berjalan lebih cepat lagi. 

Teknologi sebagai hasil dari revolusi industri tampaknya menjadi benang merah atas semua perubahan zaman. Saya lahir di zaman ini, lebih tepatnya pada saat teknologi sedang dielu-elukan secara sakral oleh manusia di kala itu. Saya masih ingat, saat pertama kali mendengar dering telepon rumah; waktu seperti berjalan lambat, mata fokus ke kotak putih berkabel, pasang telinga baik-baik jangan sampai terlewat, hati berharap seorang kawan menyapa. Lantas, bunyi nyaring memecah penantian panjang saya “dring dring dring”, jantung saya berhenti sejenak guna mempersilahkan otak menerka, siapakah gerangan di ujung kabel tersebut? Saya menikmati misteri yang diciptakan oleh mesin kotak berkabel itu, bertahun-tahun dia bisa membuat saya deg-degan setiap kali mendengarnya bersuara. 

Lalu, tiba pada satu zaman ketika percakapan yang membooming adalah “Hari gini ‘ga punya handphone?”, masih terngiang dengan sangat baik di telinga saya, kalimat yang terlontar itu, rasanya seperti baru kemarin sore. Saya baru memiliki ponsel saat menginjak Sekolah Menengah Atas, rasa penasaran akan siapa yang menelpon saya sudah tidak zaman lagi pada saat itu. Sekarang ponsel bisa mendeteksi nomor sang penelpon, misteri yang seharusnya terjaga kerahasiaannya sudah tidak berlaku. Sekarang saya bisa memilih dengan siapa saya mau memberikan waktu saya untuk bercakap di kotak wireless itu. Pola pikir saya berubah, kalau dulu saya menanti ditelepon, sekarang saya memilih penelpon tergantung hati dan situasi. 

Saya rasa revolusi internet juga menjadi biang kerok perubahan pola pikir manusia zaman now. Teknologi bercampur internet sudah membuat yang dekat menjadi jauh dan yang jauh menjadi dekat. Dunia tanpa batas, informasi tanpa jarak, komunikasi yang bersifat dua arah sekarang telah beradaptasi menjadi multi arah. Sosial media, aplikasi chat tidak luput di semua ponsel manusia zaman now. Tidak butuh lagi mengenal secara manusia secara fisik, nyata adanya.  Pada zaman ini hanya dibutuhkan profil di dunia maya untuk bisa menaklukan jarak nyata. Manusia yang lahir pada zaman ini, apakah akan mengenal senangnya bermain tak banteng, batu tujuh atau main karet? Games online yang mengglobalisasikan manusia, apakah berfaedah? Saya skeptis ketika hidup menawarkan banyak pilihan namun pada akhirnya tetap merasa sendiri.   

Industri, Teknologi dan Sains mempresentasikan keberhasilan manusia serta merta mengikat mereka untuk berpikir lebih logis. Penelitian secara ilmiah yang didewakan oleh beberapa negara berbudget menjadi ajang unjuk gigi kepada khalayak ramai. Serasa semua masalah dapat dipecahkan oleh solusi ilmiah, melalui penjabaran eksakta yang menghasilkan solusi yang konkrit. Pola pikir lagi-lagi berubah pada zaman ini, mengesampingkan perasaan demi mendapatkan hasil secara ilmiah lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Saya masih hidup di zaman ini, namun pola pikir masih terjebak nostalgia di zaman saya. Saya masih suka bermain dengan perasaan dan intuisi ketimbang bermain dengan rumus pasti. 

Selalu ada akhir di sebuah cerita, Yuval Noah menyandingkan revolusi biologi sebagai teori pamungkasnya. Revolusi ini akan menjadi revolusi mutakhir membawa manusia sebagai aktor utamanya. Kloningan manusia dengan bibit unggul akan merajai dunia ini. Langkah- langkah yang tidak akan salah karena dipersiapkan sedemikian rupa akan menjadi bekal perjalanan manusia zaman now ini.  Napak tilas untuk menggabungkan DNA manusia pertama dan penerusnya menjadi wacana guna menetaskan misteri bibit unggul. Terbersit di pikiran saya, siapa yang menentukan kriteria unggul tersebut? Manusia zaman now? Saya takut dengan semua revolusi dan perkembangan zaman ini. Manusia saja dapat dirancang, lalu bagaimana dengan perasaan dan intuisi? Saya tidak mau memiliki kloningan bibit unggul versi saya, saya hanya mau menikmati diri saya seutuhnya pada saat ini. Di antara semua zaman-zaman ini saya merenung, kalau saja waktu tidak mengenal acuan tata bahasa : lampau, sekarang dan masa depan. Saya yakin manusia hanya akan berpikir waktu yang nyata yaitu : waktu sekarang “present” dan doktrin Eckhart Tolle “The Power of Now” yang akan jadi pemenangnya! Waktu kemarin dan besok itu hanyalah tatanan waktu secara psikologis, di mana kebenarannya masih harus dipertanyakan. Jika benar keeksistensian waktu-waktu tersebut hanyalah buatan manusia. Maka, pada hari ini detik ini semua manusia akan bisa bilang bahwa saya anak zaman now! Dan mereka pun akan berhenti mencari manusia versi kini!