Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Pregnancy Fetishism dalam Foto Sampul Demi Moore 1991

author = Amalya Suchy Mustika Purnama

Suatu hari saya bertanya pada kawan perempuan saya,

“Apa yang kamu pikirkan ketika kamu melihat foto ini?”

“Jijik ih. Ngapain coba lagi hamil difoto-foto”, ujarnya.

“Jijiknya kenapa?”, tanya saya lebih lanjut.

“Ya kan kalau sedang hamil badan sedang kelebihan.”

“Kelebihan? Maksudmu, jadi gak estetis dilihat?”

“Iya, betul ga estetis.”

Bisa jadi hal yang serupa juga ada di pikiran sebagian orang di era 90an yang menghujat tajam sampul majalah Vanity Fair edisi Agustus 1991. Mengusung headline More Demi Moore, edisi tersebut menampilkan Demi Moore yang dengan bangga (dilihat dari tatapan matanya) menunjukkan dengan apa adanya perut besar berisi anak kedua. Foto tersebut diambil oleh Annie Leibovitz, fotografer ternama langganan para selebriti Hollywood, yang juga teman baik keluarga Demi Moore. Bukan pertama kalinya Leibovitz mengambil potrait Demi dan anak-anaknya. Pada hari pemotretan tersebut pun, tidak ada konsep awal yang diusung. Semua mengalir begitu saja saat Demi tiba-tiba memutuskan untuk menanggalkan baju dan kain satin yang disediakan, hanya berhiaskan cincin dan anting berlian, serta menutup puting dan memeluk perut besarnya yang berusia tujuh bulan.

Majalah TIME menobatkan foto tersebut menjadi salah satu dari 100 foto paling berpengaruh sepanjang masa. Mengutip dari laman TIME, “foto itu adalah gambar media massa pertama yang menonjolkan seksualitas dalam kehamilan, dan banyak yang merasa terkejut dengan adanya foto seperti itu di kios koran. Beberapa rantai toko kelontong menolak menerbitkan, sementara yang lain menutupinya dengan kertas seperti majalah pornografi. Tentu saja tidak, itu adalah sampul majalah yang provokatif, dan melakukan apa yang sampul terbaik bisa lakukan: mengubah budaya. Kehamilan adalah urusan yang relatif pribadi, bahkan untuk tokoh masyarakat. Setelah gambar Leibovitz, kehamilan selebriti, foto telanjang kehamilan dan paparazzi yang membidik perut buncit mereka telah menjadi industri. Foto tersebut mendobrak apriori-apriori berbasis moral dan dogma mengenai wanita dan kehamilan serta disaat yang bersamaan menciptakan sebuah industri baru yang berjaya hingga saat ini.

Jika dilihat secara sepintas, tidak ada yang benar-benar menarik secara visual – kecuali ketelanjangan – di foto sampul tersebut. Demi Moore termasuk deretan artis papan atas pada jamannya, tentu saja, menjadi salah satu aspek yang diperhitungkan jika ingin menilik kenapa foto tesebut menjadi sensasional. Secara estetika, bahkan Leibovitz sendiri mengakui jika foto tersebut bukanlah “foto yang bagus[1]Dikutip dari reportase Andrew Tavani: Dalam esai tahun 2008 di mana dia merefleksikan beberapa foto paling terkenalnya, Leibovitz memikirkan bagaimana ia mengagumi foto sampul Demi Moore dan … Continue reading. Foto tersebut menjadi luar biasa ketika itu dibaca sebagai gambar yang berbicara. Menjadi sesuatu yang ada ketika foto itu dipahami sebagai penghancur mitos dan di saat bersamaan menciptakan sebuah mitos baru. Lantas kemudian, mitos apa yang dihancurkan dan dibangun ulang[2]Hal ini sesuai dengan sistem mitos seperti yang diutarakan Barthes: setiap usaha yang kita lakukan untuk menghindari cengkraman mitos pada gilirannya berubah menjadi mangsa mitos; mitos dapat selalu, … Continue reading?

Mitos, menurut Roland Barthes, adalah suatu nilai atau sistem umum. Maka terkait foto ini kita harus melihat latar belakang kultural era di mana foto ini dibuat untuk memahami nilai-nilai yang berlaku. Ada dua hal dalam foto tersebut yang paling utama untuk diperhatikan. Pertama, menampilkan kehamilan merupakan kultural tabu – terutama di film dan fotografi – ambil contoh foto Demi Moore yang menyebabkan skandal publik. Meskipun di dunia Barat ketelanjangan (nudity) merupakan hal yang lumrah dan diterima masyarakat umum, kehamilan masih digambarkan sebagai sesuatu yang tidak layak ditonton sehingga harus ditutupi. Objektifitas badan wanita hanya layak dinikmati publik terbatas hanya jika wanita tersebut memiliki bentuk badan ‘ideal’ (baca: tinggi semampai sensual). Kehamilan, di satu sisi, menampilkan perubahan bentuk badan wanita disaat ‘kelebihan lemak’ sehingga ‘tidak pantas’ jika anomali tersebut dipublikasikan ke khalayak ramai. Di sisi lain, kehamilan merupakan sesuatu yang sakral secara dogmatis juga sebuah perkara privat yang secara moral dan tradisi tidak sepatutnya menjadi konsumsi publik.

Kedua, adalah seorang Demi Moore yang memamerkan bukan saja lekuk badan tanpa busana namun juga kehamilannya. Hal ini bukan yang pertama kali bagi Demi untuk mendokumentasikan masa kehamilannya dengan jalan kreatif. Saat melahirkan anak pertama, proses tersebut tidak hanya dilihat langsung oleh beberapa orang teman dan kerabat dekat, namun juga direkam oleh tiga juru kamera sekaligus. Demi melakukan itu untuk dokumentasi pribadi, begitu juga dengan foto sampul itu awalnya ditujukan untuk hal yang sama sebelum akhirnya diputuskan untuk dikirim ke majalah. Demi, Lebovitz dan Tina Brown (editor Vanity Fair saat itu) tidak menyangka jika hal itu menjadi sensasi media tidak hanya di Amerika tapi juga seluruh dunia. Hal yang sangat berbeda tentu saja bisa terjadi jika yang dipotret bukanlah seorang Demi Moore atau satu dari kalangan artis papan atas yang lain. Ibu rumah tangga biasa dari daerah suburban Manhattan tidak akan menjadi berita menarik semenarik cerita Demi Moore. Aspek selebritas menjadi alasan utama kenapa foto itu menjadi sensasional.

Maka, aspek selebritas lah yang kemudian mendasari kesuksesan foto ini mengubah suatu budaya. Tindakan pregnancy fetishism[3]Salah satu bentuk budaya populer, yaitu saat sebuah konteks kehamilan dilihat sebagai fenomena erotis oleh individu atau kultur.yang dilakukan Demi Moore menandai periode ketika proses kehamilan yang ditampilkan oleh selebriti dilihat sebagai salah satu representasi kehidupan glamor, serta di saat yang sama membentuk pasar bagi para fotografer untuk menciptakan imaji-imaji wanita hamil dan bagi pengarah gaya untuk mengenalkan konsep “pregnancy styling” ke dalam bisnisnya. Sudah tak terhitung lagi, selebriti maupun kalangan umum, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Demi. Jika Demi bisa, kenapa saya tidak? Begitu mungkin pikirnya. Hilangnya sekat privat selebriti dan khalayak umum juga menjadi pendorong terciptanya bentuk baru consumer culture ini. Merayakan kehamilan dan menunjukkan pada dunia jika wanita masih terlihat ‘menarik’ bahkan ketika sedang hamil sekalipun, menjadi suatu keharusan bagi wanita hamil masa kini.

Referensi:
Annie Gets Her Shot | Vanity Fair. (2008). Diambil 22 Januari 2018, dari sini
Barthes, R. (2007). Membedah mitos-mitos budaya massa : semiotika atau sosiologi tanda, simbol dan representasi. (D. L. Subandi, Ed.). Yogyakarta: Jalasutra.
Celebrities make pregnancy seem glamorous – TODAY.com. (2006). Diambil 22 Januari 2018, dari sini 
Demi Moore | 100 Photographs | The Most Influential Images of All Time. (n.d.). Diambil 23 Januari 2018, dari sini
Longhurst, R. (2006). A Pornography of Birth: Crossing Moral Boundaries. Diambil 22 Januari 2018, dari sini
Rupprecht, C. (2013). Womb Fantasies: Subjective Architectures in Postmodern Literature, Cinema … – Caroline Rupprecht – Google Books. Northwestern University Press. Tavani, A. (2016). 1991 Vanity Fair cover featuring pregnant Demi Moore named 1 of most influential images of all time. Diambil 22 Januari 2018, dari sini

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

References

References
1 Dikutip dari reportase Andrew Tavani: Dalam esai tahun 2008 di mana dia merefleksikan beberapa foto paling terkenalnya, Leibovitz memikirkan bagaimana ia mengagumi foto sampul Demi Moore dan bagaimana dia melihat gambar itu dalam retrospeksi. “Itu adalah gambar yang populer dan itu menjadi dasar, tapi menurut saya ini bukan foto bagus. Ini sampul majalah,” Leibovitz menambahkan, “Jika itu potret yang bagus, dia tidak akan menutupi payudaranya.” Bayangkan keributan yang akan terjadi jika memang begitu.
2 Hal ini sesuai dengan sistem mitos seperti yang diutarakan Barthes: setiap usaha yang kita lakukan untuk menghindari cengkraman mitos pada gilirannya berubah menjadi mangsa mitos; mitos dapat selalu, sebagai usaha terakhir, menunjukkan penentangan yang ditujukan kepadanya.
3 Salah satu bentuk budaya populer, yaitu saat sebuah konteks kehamilan dilihat sebagai fenomena erotis oleh individu atau kultur.