Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Puasa Terakhir Pelacur Kramat Tunggak

author = Bambang Widyonarko

Siang itu di sebuah kelas yang
terletak di pojok gedung tua kampus tertua di Yogyakarta, seorang sejarawan
yang mendalami sejarah kriminalitas berkata, “Pelacur, mata-mata, dan serdadu
adalah tiga pekerjaan tertua seumur peradaban manusia.” Beberapa tahun terakhir
masa kuliah, ucapan dosen tadi menggenapi teori Jared Diamond tentang bisnis
seks sebagai bagian dari petualangan hidup manusia. Selama manusia hidup dengan
nafsunya, di sanalah penjaja seks akan hadir melekat layaknya bakteri dalam
tubuh. Ia bukanlah patogen pembawa penyakit, namun bagian dari mikro-organisme
yang menyusun tubuh kehidupan.

Berbicara mengenai penjaja seks,
ingatanku menarik memori masa silam pada sebuah tempat. Tempat itu hanya
selemparan tombak dari tempat tinggalku di pesisir utara Jakarta. Tak elok bila
hanya disebut ‘tempat’, lebih tepatnya lagi kawasan. Kawasan yang menjadi
tujuan para petualang cinta satu malam. Kramat Tunggak yang melegenda.

Adalah Ali Sadikin yang
‘menciptakan’ Kramat Tunggak. Pada saat ia menjadi orang nomor satu di Jakarta,
ia gusar akan kehadiran para pelacur yang berkeliaran hingga ring satu ibukota.
Pelacur-pelacur yang awalnya hanya menjajakan diri di sekitar Segitiga Emas
Senen, berani merambah hingga Sarinah dan Menteng. Sepulang dari lawatan ke Bangkok,
Ali Sadikin lantas membuat lokalisasi tersendiri yang menampung para pelacur
itu agar mudah dikontrol dan mengurangi efek kumuh ibukota. Maklum dibawah Orde
Baru developmentalism adalah
panglima, sehingga apapun yang mengganggu estetika pembangunan akan ‘ditata’.

Kawasan Kramat Tunggak ini berada di
wilayah Koja, Jakarta Utara. Hanya sepertiga gowesan sepeda jengki dari muka Pelabuhan Tanjung
Priok. Kala itu, Kramat Tunggak pernah diklaim sebagai lokalisasi terbesar di
Asia Tenggara mengalahkan Patpong di Thailand. Klaim ini dengan bangga
didengungkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota sebagai branding wisata lucah di Jakarta. Bak daya tarik magnet pula,
perempuan berduyun-duyun datang ke Kramat Tunggak untuk ikut ambil bagian dalam
semarak rengkuhan birahi. Tak dipungkiri, sebagian besar dari mereka terjebak
dalam masalah ekonomi. Kebanyakan diiming-imingi tawaran bekerja di pabrik
dekat pelabuhan, namun nasib memperdaya mereka di tangan mucikari.
Perempuan-perempuan itu kebanyakan datang dari daerah-daerah sekitar Pantai
Utara Jawa.

Kramat Tunggak menjelma menjadi
sebuah kata kunci nun sakti yang semua orang Tanjung Priok paham. Bila para
pelaut-pelaut itu sudah mendarat, tukang ojek sepeda dengan tangkas
mengantarkan mereka ke mami-mami di
sekitar pondok cinta. Sekali tarik layar, dalam semalam pelaut dan pelacur itu
sudah mengarungi samudera nafsu. Lepas itu, giliran buruh-buruh pabrik sekitar
pelabuhan yang datang menjajal keperkasaan mereka. Silih berganti kelas bawah
pekerja membuang lendir di Kramat Tunggak. Begitu terus setiap hari.

***

Pada tahun 1980-an, sebuah langgar
kecil berdiri hanya lima langkah kaki di depan bilik asmara. Dalam langgar itu,
bermukim seorang alim yang biasa dipanggil Kang Ali. Ia adalah santri jebolan
pondok di Tasikmalaya. Pada awal kedatangannya, Kang Ali seolah ditelanjangi
oleh tatapan sinis para mucikari. Mucikari ini seakan bertanya pada Tuhan, “Bagaimana mungkin di taman surga dunia,
Engkau turunkan wali? Salah tempat bukan?

Langgar kecil itu tak pernah
berisik. Azan yang berkumandang selalu terasa senyap dibanding lenguhan dan
desahan yang terdengar lantang. Pelita yang ada dalam langgar, juga tak kalah
redup dengan keremangan bilik di kanan-kirinya. Kang Ali adalah anomali.

Beberapa waktu berselang, segelintir
gadis tanggung datang menemui Kang Ali. Mereka ingin belajar agama setelah
merasa hari-harinya penuh berlumur dosa. Kang Ali hanya tersenyum, senyum yang
tak menghakimi nasib mereka. Sore itu, ia berkisah tentang seorang pelacur yang
dijamin surga oleh Tuhan lantaran berbuat kebaikan. Begitupun mereka, Tuhan tak
pernah memilih-milih dalam berkasih sayang.

Tatkala aparat militer Orde Baru
merangsek masuk mengusik kehidupan malam Kramat Tunggak, tak ada siapapun yang
berani menghentikan laju sepatu lars mereka. Para preman dan centeng yang biasanya memasang tampang
garang di depan pondok cinta, ciut bagaikan kerupuk yang tersiram air.
Aparat-aparat itu meminta retribusi tinggi seraya menggerayangi para pelacur.
Kang Ali berdiri tegak melawan kesewenang-wenangan itu. Nada suaranya keras,
mengutuk tindakan biadab dengan qira’at
tertinggi seorang santri. Sayup-sayup pemerintah pusat menengok berita tentang
ini. Kontrol militer atas kawasan ini dikurangi, kontrol kesehatan ditingkatkan
demi melindungi para penjaja seks di sana.

Ketika Ramadhan tiba, lambat laun
Kramat Tunggak mulai berbenah. Bila sebelumnya bulan suci itu tak ada berbeda
dengan sebelas bulan lainnya, saat Ramadhan pondok-pondok cinta berangsur
menutup tirainya. Perlahan walau sedikit yang memulai, jam operasional hotel esek-esek dikurangi jam tidurnya.
Gadis-gadis dengan terbata melantunkan bait demi bait firman Tuhan. Sebagian
besar dari mereka berpuasa, hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh
mereka.

Tak lupa Kang Ali berbagi
pengetahuan akan ketrampilan hidup. Beberapa gadis diajarkan untuk mengolah
masakan dengan bantuan ibu-ibu pengajian kampung sebelah. Tak ketinggalan
mereka juga diajarkan menjahit dan mengelola binatu. Dalam hati kecil Kang Ali,
ia yakin suatu saat keterampilan ini berguna bagi mereka.

Kehadiran Kang Ali yang sempat
dianggap anomali, pada akhirnya mengetuk sanubari. Ia tak kenal aji mumpung untuk membuat para pelacur
itu hijrah kembali di jalan yang benar.
Baginya, hidup adalah pilihan. Seperti tukang gorengan yang menjajakan makanan,
begitu pun pekerjaan pelacur-pelacur itu. Siapapun tak pernah punya impian
menjadi tukang gorengan atau bahkan pelacur. Nasib dan takdir membawa mereka
pada pilihan berbeda. Sekali lagi bukan salah mereka, nasib ini hanya sedikit
karunia Tuhan di dunia. Walaupun terkadang misoginis, Kang Ali selalu punya
cara mengangkat harkat dan martabat para pelacur sebagai perempuan. Perempuan
yang menduduki singgasana mulia dalam Islam. Itu yang sering diulang.

Nun jauh di sana, Tuhan mengutus
manusia jatmika seperti Kang Ali. Hidup bersama kaum marjinal perkotaan,
menjadi bagian dari masyarakat yang terpinggirkan. Tersisih dan dikerdilkan
oleh rezim pembangunan. Ya, di Yogyakarta bermukim seorang wali kinasih sohor dengan nama Sang Burung Manyar.

***

Saat Sutiyoso menjabat Gubernur
Jakarta, ia dengan bangganya meratakan Kramat Tunggak lantas menggantinya
dengan sebuah bangunan megah bernama Jakarta Islamic Centre.
Perempuan-perempuan penghuni bilik asmara, tercerai dari induk semangnya.
Mereka terdesak dan semakin termarjinalkan. Pekerjaan hilang, begitupun dengan
rumah mereka. Sebagian yang beruntung dapat menyambung hidup kembali di
klub-klub karaoke seberang pelabuhan. Atlantika, Presiden, Borneo, dan sederet
nama lain dari ‘rumah’ baru mereka. Tak sedikit pula dari mereka lari ke Rawa
Malang, suaka baru yang bisa memberikan penghidupan.

Bangunan megah bernama Jakarta
Islamic Centre itu resmi berdiri tahun 2003. Masjid itu menjadi lambang
kemenangan orang-orang suci memberantas najis di hadapan mereka. Najis-najis itu tercabut dari
kehidupannya setelah nasib baik tak pernah berpihak. Kali kedua mereka
dikalahkan lagi oleh kuasa patriarki. Dicabuli oleh negara setelah sebelumnya
oleh lelaki ‘pelanggan’ mereka. Apakah yang lebih menyedihkan dari setelah
diperkosa, diusir dari rumah, dan menjadi papa?

Toh nyatanya setelah aku beranjak dewasa, aku sering mendengar
transaksi birahi di sekeliling bedeng-bedeng
yang menempel pada tembok tinggi masjid. Pemukiman kumuh yang selalu kebanjiran
saat musim penghujan, sangat kontras dengan hijaunya rumput di halaman masjid.
Anak-anak kecil berperut buncit berlarian dengan riang di belakang tembok itu.
Saluran air yang mampat dan menghitam, jelas menghantarkan aroma tersendiri
pada indera penciuman. Tak ada lagi pelacur-pelacur Kramat Tunggak, mereka
sudah menjadi “mantan pelacur” di kampung kumuh itu. Begitulah pemandangan
sehari-hari yang aku ulangi sepulang sekolah dengan seragam putih abu-abu
melintasi kawasan tersebut.

Masjid besar itu bukanlah langgar yang sebelumnya didirikan Kang Ali. Bangunan hanya semiotika belaka. Simbol transformasi tempat ‘kotor’ menjadi tempat ‘suci’. Ia hanya sekadar tempat sujud orang-orang beriman tanpa pernah menyisakan sedikit bentangan sajadah untuk para mustadh’afin yang tersisihkan. Kotak-kotak amal dengan gembok besar mengingatkan pada peti-peti harta milik Qarun. Si miskin yang tak bisa mencicipi hak miliknya. Masjid besar merepresentasikan ketaatan agung terhadap Tuhan, tapi terkadang abai dengan perkara minor kemanusiaan. Kembali lagi, sekali lagi, dan untuk terakhir kali, para pelacur itu ‘hilang’ dari kisah mereka sendiri.

Sungguh
puasa terakhir para pelacur di Kramat Tunggak adalah saat Kang Ali masih hidup.
Mungkin, mereka akan belajar berpuasa kembali saat Imam Mahdi turun ke bumi.
Entahlah.