Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Ramayda Akmal
I.
Dalam perspektif klasik, puisi merupakan pernyataan moral dari penulis yang ditarik dari pengalaman empirik yang faktual dan dihadirkan dengan bentuk yang fiksional [1]Eagleton, Terry. 2007. How to Read a Poem. USA: Blackwell Publishing. P. 25.. Untuk menghadirkan bentuk yang demikian, tulisan harus diputus dari keberlangsungan atau hubungannya dengan konteks empirik dan diletakkan dalam ruang yang lebih general. Namun terdapat pula kemungkinan bahwa puisi-puisi menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya seperti halnya puisi-puisi Hadiwinata dalam kumpulan berjudul Sepanjang Jalan Kesedihan ini. Dalam catatan pembukanya, Hadiwinata mengatakan bahwa:
“Aku menulis sambil bekerja. sambil mencatat hasil produksi, diam-diam aku menulis di catatan kecil. aku menulis puisi-puisi pendek. bahkan terkadang di waktu aku kerja malam. barangkali hasilnya biasa saja, banyak kekurangan di sana-sini. juga masih banyak peristiwa-peristiwa yang tak tercatat di buku ini. aku sadar itu. namun, setidaknya buku ini mewakili cerita-cerita itu.”
Dari kutipan di atas kita mengerti bahwa Hadiwinata justru mendekatkan puisi dengan konteksnya. Ia tidak memutus atau memisahkan tetapi menyatukannya. Puisi-puisinya diciptakan langsung sebagai bagian dari pengalaman-pengalaman yang ia lewati yang menjadi sumber penciptaannya. Seperti yang ia tekankan, puisinya pendek-pendek, ditulis di sela-sela mencatat hasil produksi. Jadi puisi dan catatan hasil produksi berada berdampingan. Seperti halnya catatan hasil produksi, puisi juga menjadi sumber catatan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar aktivitas kerjanya. Secara bentuk, hal ini juga tersirat dalam keseluruhan presentasi puisi-puisinya yang tidak diawali dengan huruf besar dan tidak diakhiri dengan titik, cuma ada jeda dan spasi. Pilihan penyajian ini bisa diartikan tidak adanya pemisahan, tidak adanya awal dan akhir, baik di antara puisi satu dengan yang lain, maupun dari satu puisi ke satu pengalaman yang menjadi sumber penceritaanya.
Sebagai contoh, saya kutipkan satu puisinya yang bisa dikatakan sangat performatif di bawah ini.
permainan
buat nelson
di dalam kilang ini
permainan apa yang kita lakukan
adakah kejar-kejaran?
kami yang berlari mencari-cari bahan
di antara mesin-mesin besi nan berisik
mencipta plywood
yang berharga selangit itu
lalu kau di belakang
mengejari kami ke mana pun
seraya berteriak dan memaki
atau sembunyi-sembunyian?
kami yang bersembunyi
di balik mesin, toilet, plywood
serta tiang penyangga
karena pekerjaan yang tiada henti
dan kau yang berjaga
lalu sebagai hukumannya
ketika kami tertangkap
oleh mata dan mulutmu yang sampah
cacian demi cacianlah
yang mesti kami terima
atau ludahan
atau sesekali pukulan
tetapi apabila hal itu terus terjadi
takkan ada lagi hukuman yang akan kau berikan
kecuali memberhentikan permainan ini
dan menyuruh kami pulang
ke kampung halaman
bintulu, 2018
Pada puisi di atas, kita menangkap suasana kerja, melihat barang-barang yang ada di pabrik, dan merasakan hubungan antara mandor dan pekerja. Semua objek dan situasi yang ditangkap pembaca hampir sama dengan yang dirasakan penulis dan pekerja yang lain. Pembaca disuguhi sebuah pertunjukkan kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian, rasa khawatir dan muak atas cacian, dan seterusnya. Kalimat-kalimatnya yang lancar, jelas dan eksplanatif juga semakin menipiskan perbedaan antara puisi dan ungkapan perasaan sehari-hari Hadiwinata sebagai pekerja.
Puisi Hadiwinata, proses penciptaannya, dengan demikian dalam beberapa derajat tertentu melawan konvensi klasik penciptaan sebuah puisi, yang membutuhkan ketidaklangsungan, estrangement, defamiliarisasi dan deformasi dari bahasa sehari-hari [2]Beberapa doktrin Formalis Rusia terkait karakteristik bahasa puisi..
Namun jika demikian, apakah puisi-puisi Hadiwinata bukan lagi puisi? Apakah puisi itu tidak lagi bisa dibedakan dari keluhan sehari-harinya di tempat kerja? Apakah puisi itu tidak lagi puitik? Menurut saya tidak sama sekali, yang terjadi justru berlawanan. Ada dua kemungkinan yang bisa kita andaikan terkait puisi-puisi Hadiwinata ini. Pertama, dunia empirik menjadi berkarakter puitik. Hadiwinata menarik dunia yang ada di sekitarnya dalam ruang yang keseluruhannya estetis dan memunculkan sesuatu dalam komunikasinya sehari-hari dalam formasi tertentu yang tidak bisa dihasilkan oleh pembicaraan biasa. Kedua, yang terjadi sesungguhnya adalah puisi muncul sebagai deotomatisasi yang sangat tiba-tiba, menghentikan gerak kerja, menjadi pause di keseluruhan aktivitas kerjanya. Pause dan kejutan tiba-tiba itu hanya bisa tercipta oleh sesuatu yang memang menjadi bagian dari dunia yang dikejutkan itu. Dengan kata lain, tercipta oleh penulisan puisi yang menjadi bagian dari aktivitas kerjanya.
II.
Hal ini akan menjadi semakin terang jika kita melihat perbincangan mengenai bentuk dan isi dalam puisi-puisi Hadiwinata. Isi adalah apa yang hendak puisi-puisinya katakan, sementara bentuk adalah cara yang dipilih Hadiwinata untuk mengungkapkannya. Asumsi sederhananya, bentuk tertentu dalam puisi Hadiwinata, membawa isi, membawa gagasan yang tidak bisa atau tidak mungkin disampaikan, dengan cara muncul sebagai pause, sebagai jeda.
Seperti sudah saya ungkapkan, terdapat satu aspek dalam puisi Hadiwinata yang sangat dekat dengan konteksnya. Aspek itu adalah proses penciptaan dan isi atau ceritanya. Ada kedekatan dan kelangsungan yang sangat jelas. Namun, isi itu diceritakan dengan bentuk yang—meskipun seperti saya katakan di awal, tersusun dari kata-kata yang sehari-hari—tetapi dihadirkan dengan sangat spesifik dan berbeda. Sebagai ilustrasi, saya kutipkan salah satu bagian dari puisinya berjudul “Pekerja Perempuan buat Nasmira” sebagai berikut:
di tanah ini
perempuan bekerja serupa lelaki
dari hari ke hari
yang dimulai sejak terbit matahari
sampai ia telah jauh meninggalkan pergi
seperti perempuan sulawesi itu
yang datang ke tanah ini
hanya untuk mengakat dan menyeleksi beribu plywood
dan menerima upah yang terkadang
tak sampai 1000 ringgit malaysia
hingga demam hampir tiap hari melanda
seluruh tubuh begitu kencang, keram
sakit di malam hari
bahkan telat menstruasi
…
Bentuk dari kutipan puisi di atas, yang terdiri atas berbagai aspek seperti suasana (tone), ritma, rima, sintaksis, asonansi, dan bahkan tata bahasanya dihadirkan sedemikian rupa untuk ‘melengkapi’ isi yang hendak disampaikan. Misalnya, rima yang cukup rapi, yang memancing irama yang teratur dalam kutipan di atas, mengarahkan pembaca untuk menekankan informasi-informasi tertentu. Perempuan bekerja serupa lelaki/dari hari ke hari/yang dimulai sejak terbit matahari/sampai ia terlah jauh meninggalkan pergi, adalah larik-larik yang selain menyampaikan informasi juga menekankan suasana tertentu. Seperti juga larik-larik ini: seluruh tubuh begitu kencang/keram sakit di malam hari/bahkan telat menstruasi, yang pendek-pendek dalam susunannya namun tetap berima, seperti halnya menyampaikan sebuah kesedihan yang memang sulit digambarkan dengan kalimat panjang. Kesingkatan itu juga mengarahkan pada fungsi pause dan kejutan yang sudah saya ungkap di atas, yang membawa makna/suasana kesedihan dan penderitaan dalam situasi kerja yang ia ceritakan.
Dari contoh di atas kita mengerti bahwa bentuk tidak sekadar refleksi atau mimesis dari makna, melainkan konstituennya. Bentuk adalah sesuatu yang harus ada, yang membangkitkan sebuah makna. Bisa dikatakan, modifikasi yang dilakukan terhadap bentuk di atas juga bisa memodifikasi maknanya.
Dalam bahasa sehari-hari, manusia adalah pemburu konten. Setiap orang menjadi content-analysis. Yang paling utama dalam komunikasi akhirnya adalah makna dari isi tersebut, tanpa peduli dengan pertimbangan bahasanya. Namun melalui puisi-puisi Hadiwinata, kita membaca isi dan bentuknya secara bersamaan. Kita membaca sebuah proses di mana makna terbentuk melalui relasi antara bentuk dan isi tersebut. Proses inilah yang tidak kita tandai benar-benar dalam komunikasi sehari-hari, yang mungkin tidak Hadiwinata sadari dalam keseharian kerjanya, kecuali ketika menulis puisi. Melalui puisi, kita mau tidak mau harus mencermati kata-kata, mencermati bentuk, sebagai bagian untuk mendapatkan isi dan makna. Kita benar-benar mengalami dan menyadari medium dari pengalaman kita. Dan dalam puisi Hadiwinata, bentuknya yang berbeda dengan misal obrolan di sela kerja atau catatan produksinya, membawa isi lengkap dengan maknanya. Membawa cerita tentang kerja lengkap dengan suasana kesedihannya.
Bagi Hadiwinata sendiri, secara praktis, dalam kejenuhan kerja, menulis puisi, menjadi sarana untuk menyadarkan dirinya akan kondisi di sekitarnya. Tulisan dan kata-kata dalam puisinya adalah medium untuk membawanya pada kesadaran makna, kesadaran akan kondisi yang dialaminya sebagai pekerja. Pikiran yang jenuh disegarkan dengan menulis puisi. Namun dengan menulis puisi juga, Hadiwinata seperti selalu menjaga kewaspadaan dan kesadaran bahwa yang dilewatinya bukan sesuatu yang mudah, ada penderitaan, ada kesedihan. Oleh karena itu, menulis puisi menjadi penyelamatnya akan kelarutan total akan kondisi kerja yang menyedihkan, yang juga berarti menyadarkannya atas kesedihan itu. Puisi menjadi jalan keluar sekaligus jalan masuk menuju kesedihan.
Meskipun tampak seperti paradoks yang tidak mudah bahkan penuh derita, kekuatan puisi-puisi Hadiwinata justru ada di sini. Puisi-puisi yang dihasilkannya bukan sekadar produk estetis di kamar kosong yang sunyi, tetapi juga bagian dari aksi yang menghubungkan secara langsung pengalaman dengan representasinya yang paling lengkap. Sebagai bagian dari aktivitas kerja, puisi muncul sebagai momen jeda di mana dirinya yang berada pada situasi yang otomatis dan dehumanis, dihayati dan dikontemplasikan untuk dikembalikan pada kemanusiaannya.***
Hamburg, September 2020
ditulis sebagai pengantar Buku Puisi karya Hadiwinata yang berjudul Sepanjang Jalan Kesedihan terbitan Penerbit Kabisat
References[+]
↑1 | Eagleton, Terry. 2007. How to Read a Poem. USA: Blackwell Publishing. P. 25. |
---|---|
↑2 | Beberapa doktrin Formalis Rusia terkait karakteristik bahasa puisi. |