Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Raihan Robby
Silampukau membuka lagu “Sang Juragan” dengan sebuah siulan, siulan yang merdu dan singkat seperti sedang menyiul burung peliharaan di beranda rumah. Lalu dengan karakter musik indie folk-nya, mereka membuka lagu dengan lirik yang tajam, apa adanya dan lugas, Hidup ini memang keras // Apa salahnya kujual miras? // Anggur, vodka, arak beras // Dijamin murni tanpa potas. Ketika pertama kali mendengarkan lagu ini, tanpa basa-basi Silampukau mengajak pendengar untuk langsung menyepakati bait pertama dari lirik lagu ini, Hidup ini memang keras, kita semua setuju bahwa memang kehidupan ini teramat keras. Tapi, keras yang seperti apa? Dan dalam kacamata siapa hidup ini begitu keras? Di bait lirik selanjutnya kita langsung diberikan jawaban dari semua itu. Apa salahnya kujual miras? Setelah menyepakati bahwa hidup ini memanglah keras, Silampukau mengambil sudut pandang penjual miras (minuman keras) dalam lagu ini yang menjual berbagai macam minuman keras, seperti Anggur, vodka, arak beras. Terdapat berbagai jenis minuman yang dijual oleh Si Penjual Miras ini, mulai dari buatan pabrik, import hingga lokalan. Seperti Anggur1, Vodka2 dan Arak Beras3. Seperti layaknya seorang pedagang yang menawarkan dagangannya, Si Penjual Miras ini langsung memberikan embel-embel penenang bahwa miras yang ia jual bukanlah miras oplosan, Dijamin murni tanpa potas4. Potas sendiri menjadi polemik dalam “fenomena” minum-minum di Indonesia. Pasalnya, potas merupakan zat kimia yang berbahaya untuk dikonsumsi, apalagi bersama dengan miras, efeknya luar biasa, mulai dari kebutaan hingga kematian. Silampukau di lirik-lirik awal dari lagu ini menggambarkan kenyataan yang hadir di masyarakat, dalam hal ini masyarakat Surabaya yang menjadi kebanyakan tema dari lagu-lagu mereka. Mereka pun menggunakan rima yang berakhiran -as, pada bait-bait lirik awal ini. Seperti; keras, miras, beras, potas, menjadikan pembuka lirik lagu yang sangat menarik bagi saya.
Di lirik selanjutnya, Silampukau menggambarkan situasi kapan Si Penjual Miras ini beroperasi. Datang kapan saja silahkan // Siang-malam tak usah sungkan. Ini adalah realita yang hadir di tengah masyarakat kita, bahwa pedagang miras memang selalu beroperasi siang dan malam, tidak seperti pedagang-pedagang lain yang mempunyai batas waktu ketika berjualan, pedagang miras terkesan sangat flexible untuk menjajakan minuman kerasnya. Kenapa seperti itu? Mungkin karena minuman keras sendiri sudah bukan lagi dijadikan sebagai alat untuk mabuk-mabukan. Ada yang digunakan untuk minuman herbal menjadi jamu pegal-pegal, ada yang untuk relaksasi, bahkan untuk bahan makanan. Pada lirik selanjutnya ada semacam kode untuk para pelanggan yang ingin memesan minuman keras di tempatnya, Sekali siul dua ketukan // Biar ku tahu pasti itu pelanggan. Lalu terdengar siulan dan dua ketukan di lagu itu, ini bagian paling menarik sekaligus menggelikan bagi saya dari lagu ini. Seakan para pelanggan paham dari “kode etik” yang diberikan Si Penjual Miras ini, sekaligus sangat menggelitik karena di lirik sebelumnya, para pelanggan bebas untuk datang kapan saja dan tak usah sungkan, lalu di lirik ini para pelanggan harus paham “kode etik” untuk membeli miras, tanda bahwa Si Penjual Miras ini sembunyi-sembunyi dalam menjual mirasnya. Di lirik-lirik ini pun Silampukau menggunakan rima yang berakhiran -an. Seperti; silahkan, sungkan, ketukan, pelanggan, pengulangan rima yang berakhiran sama ini menjadi menarik, tetapi juga berbahaya bagi lirik lagu jika terlalu dipaksakan dengan tujuan mencari bunyi yang sama.
Gambaran ironi hadir juga di lirik-lirik selanjutnya, Sekali waktu datang mereka yang berseragam // Turun dari mobil, pasang tampang sok seram // Sedikit bangkrut aku tiap mereka datang. Silampukau dengan berani menyindir rahasia umum di masyarakat tentang penarikan “jatah keamanan” yang dilakukan oleh oknum aparatur negara. “Jatah keamanan” ini cukup merugikan para penjual miras yang seringkali tidak mendapatkan untung yang cukup karena selalu ditagih oleh para oknum aparatur negara ini, jika kurang atau telat membayar “jatah keamanan” bisa dipastikan setelahnya toko miras itu akan digerebek dan diambil semua mirasnya sebagai barang bukti yang disita oleh negara. Lebih ironisnya lagi, baru-baru ini di Indonesia sedang ramai-ramai dibahas RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol) yang terdiri dari tujuh bab dan dua puluh empat pasal. Yang isinya antara lain; definisi minuman beralkohol, tata laksana pelarangan, pengawasan, hingga tindak pidana bagi yang melanggar. Jika RUU ini sah menjadi UU, maka setiap orang yang memproduksi, menjual, menyimpan, mengkonsumsi alkohol bisa terancam pidana. Mulai dari golongan minuman beralkohol A,B, dan C (Anggur Merah, Vodka, Cap Tikus). Juga minuman oplosan hingga minuman alkohol tradisional (seperti Ciu Bekonang, Arak Beras) semua akan diatur oleh negara. Lagu ini pun akhirnya menjadi sangat relate dan dekat, karena seperti inilah realisme najis yang ada di masyarakat kita, negara terlalu mencampuri urusan setiap warganya, seperti hak untuk mengkonsumsi alkohol, misalnya. Dampak ini pun sangat dirasakan oleh para penjual miras, seperti di lirik selanjutnya, Yang penting bisnis aman. Begitulah gambaran realisme najis yang sadar atau tidak kita sadari hadir dan berkembang di tengah masyarakat kita.
Realisme najis adalah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Bill Buford untuk mendefinisikan gerakan sastra Amerika Utara (bergerak pada karya fiksi), realisme najis adalah subgenre dari realisme, yang memandang kehidupan dengan apa adanya, tanpa metafora-metafora yang indah, kata-kata yang dihadirkan sangat menggangu, ironis, bahkan biadab. Tetapi selalu penuh kasih sayang. Saya mengkategorikan lagu “Sang Juragan” masuk ke dalam realisme najis dengan napas musik indie folk khas Silampukau. Menariknya Silampukau memang mengangkat berbagai macam tema permasalahan sosial, kerinduan seorang perantau, nostalgia masa kecil, hingga kritik terhadap media televisi hadir di dalam lagu-lagu Silampukau. Sehingga lagu-lagu Silampukau begitu dekat dan terasa hadir di tengah kita.
Belum selesai ke-ironi-an itu dibahas, di lirik selanjutnya dijelaskan dimanakah tempat Si Penjual Miras itu menjual dagangannya, Dari sungai yang berkarat // Susuri arah menuju barat // Di seberang kantor wakil rakyat // Di sanalah aku bertempat. Kita bahas dari nalar lirik lagu Dari sungai yang berkarat, entah apa maksudnya “sungai yang berkarat” itu, apakah sungai yang dipenuhi zat besi yang korosif? Atau sungai yang tidak ada airnya? Sungai yang berkarat ini bagi saya tidak menggambarkan apa-apa, sekali lagi seperti yang saya bilang di awal tadi, penggunaan rima yang berakhiran sama, bisa saja bagus dan bisa saja menjadi senjata makan tuan jika hanya mencari bunyi yang sama. Seperti -at pada berkarat, barat, rakyat, bertempat. Nalar saya terputus pada “sungai yang berkarat” itu, apakah Silampukau ingin berfokus pada ironi Si Penjual Miras? Yang berjualan jauh dari jalanan sampai harus menyusuri “sungai yang berkarat” itu? bagi saya tidak perlu, “sungai yang berkarat” tidak mengartikan apa-apa, jika referensinya adalah sungai yang kotor, mungkin akan sesuai dengan nalar lagu, tapi sungai yang berkarat adalah metafora yang seharusnya tidak perlu dihadirkan, jika ingin mencari keironian dari penggambaran kenyataan tentang Si Penjual Miras dan tempat berjualannya. Tapi, lagi-lagi hal ini menjadi senjata makan tuan, karena terlalu memaksakan rima yang berakhiran sama, sehingga konstruksi nalar lagu yang telah dibangun dari awal lirik menjadi tidak nyambung.
Tidak hanya ironi yang hadir di lagu “Sang Juragan” tetapi juga paradoks sosial, terdapat pada lirik, Kadang datang juga mereka yang terpinggirkan // Wajah kurang makan, ngotot beli minuman // Tak habis pikir aku tiap mereka datang. Mengapa ini saya mengatakan paradoks? Jika tadi Silampukau menampilkan oknum aparatur negara yang sering meminta jatah kepada Si Penjual Miras, di lirik ini ada sedikit kegetiran dan ditunjukan moral dari Si Penjual Miras yang ia pendam sendiri, ketika melihat ada “mereka yang terpinggirkan” atau yang saya artikan sebagai “kaum marjinal kota” seperti gelandangan, pengamen bahkan anak-anak punk, yang ingin berbahagia dengan menenggak minuman keras. Alih-alih melarang atau tidak mengizinkan untuk membeli minuman, moral Si Penjual Miras, hanya sebatas rasa getir di dalam diri, pada akhirnya Si Penjual Miras akan mengizinkan untuk membeli minumannya, seperti lirik Ya sudahlah silahkan! Bernada pasrah tanpa menghakimi si pelanggan.
Di lirik-lirik terakhir dari lagu ini, Hidup ini tambah keras // Semenjak naiknya harga miras // Anggur, vodka, arak beras // Lebih hemat campur potas. Silampukau memberikan tawaran “jalan pintas” karena hidup yang semakin tambah keras dan harga miras yang terus melambung tinggi maka jalan keluarnya adalah miras yang dicampur dengan potas, sehingga menjadi minuman oplosan. Harga menjadi lebih murah, dengan tujuan mabuk yang instan.
Barangkali seperti itulah seharusnya kita menyikapi kehidupan yang tidak pernah menguntungkan kita ini, kita dituntut untuk selalu beradaptasi dengan keadaan, sehingga menghasilkan “jalan pintas” yang cemerlang, atau sangat berbahaya bagi kehidupan. Silampukau bagi saya telah berhasil menggambarkan realisme najis yang terjadi di kota-kota besar, dalam hal ini Surabaya, Silampukau berhasil menggambarkan kondisi sosial Surabaya dengan kaum marjinal yang tersisihkan, bagi saya, seperti inilah percampuran antara realisme najis dengan spirit indie folk, menghadirkan musik-musik yang menyentil hingga mengganggu ketenangan para pendengarnya, karena kita dituntut untuk terus memperhatikan kenyataan di dalam diri dan di luar diri.